Yusuf Kontemporer

Written By Amoe Hirata on Selasa, 17 Januari 2012 | 20.20

          

            Apa yang ada dibenak anda ketika disebut nama “Yusuf”? Mungkin di antara anda ada yang menjawab: Ooo itu nama Nabi. Kemudian kalau saya kembangkan pertanyaan: apa yang paling anda ingat mengenai Nabi Yusuf? Mungkin anda juga akan menjawab: Ooo ketampanannya. Apa ada yang salah dengan jawaban ini? Tentu saja tidak. Memang Nabi Yusuf terkenal dengan ketampanannya.  Namun yang menjadi kurang obyektif ialah ketika kita hanya terpaku pada ketampanannya saja. Karena apa gunanya ketampanan jika tak takwa?; apa gunanya kegantengan jika tak taat?;apa gunanya kerupawanan jika tak beriman?. Jika kita mengingat Nabi Yusuf, justru yang utama ialah bukan sekedar ketampanan fisik, namun lebih dari itu bahwa dia juga memiliki ketampanan batin yang patut diteladani. Apa gunanya ketampanan fisik jika tak diiringi dengan ketampanan batin? Bukankah Allah tidak melihat pada bentuk dan jasad kita, tapi melihat pada ketakwaan kita?
            Ketampanan fisik hanya sekedar bentuk wadag lahiriah yang bisa sirna dan tiada, akan tetapi ketampanan batin akan senantiasa bernilai dan abadi meski fisik telah hancur binasa. Dari kisah Nabi Yusuf seharusnya kita bukan saja mengenang ketampanan dan kerupawanannya, kita harus meneladani bagaimana Yusuf kecil yang begitu sabar ketika dicampakkan di sumur hingga dijual ke negeri Kinanah Mesir; bagaimana Yusuf begitu kuat memegang rahasia mimpinya sewaktu kecil; bagaimana Yusuf bisa memiliki keimanan yang tinggi; bagaimana Yusuf lebih memilih penjara daripada melayani rayuan wanita; bagaimana kesyukuran Yusuf ketika mendapat anugerah Allah; bagaiman semangat Yusuf yang begitu tinggi dalam berdakwah meskipun sedang dipenjara; bagaimana ketawadlu`an Yusuf ketika mengatakan bahwa semua yang ia kuasai tentang tafsir mimpi adalah dari Allah; bagaimana keamanahan Yusuf ketika menjadi bendahara kerajaan; dan lebih dari itu semua ialah bagaimana Yusuf mempunyai kebesaran hati dan kelapangan jiwa sehingga mau memaafkan semua saudaranya yang bersekongkol mencampakkan Yusuf.
            Ada dua kata yang bisa mewakili kebesaran Nabi Yusuf: Pertama: Syukur dan Kedua: Sabar. Dengan sifat syukur dia mampu memanfaatkan setiap anugerah Allah untuk ditransformasikan menjadi energi positif yang mampu memacu dan mendorong dirinya untuk senantiasa beribadah kepada Allah ta`ala. Dengan sifat sabar dia mampu menahan, mampu bertahan dari segenap ujian dan cobaan yang silih berganti. Pada akhirnya sifat syukur dan sabar ini, atas izin Allah ia mampu mendapatkan happy ending(akhir yang manis). Bukankah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam pernah bersabda: (sungguh) mengagumkan keadaan orang mukmin, segala keadaannya itu baik, jika ia mendapat kebaikan maka ia bersyukur, dan jika ditimpa keburukan ia bersabar. Coba perhatikan betapa dahsyatnya sifat sabar dan syukur dalam mengkondisikan dan mengkontrol diri seseorang supaya tetap setabil. Bahkan ibnu Qayyim dalam kita `Uddatu as-Shoobirin mengatakan bahwa syukur dan sabar merupakan bagian paling mendasar dari keimanan. Separuh iman ialah syukur dan separuhnya lagi ialah sabar. Kalau kita cermati betul-betul sifat syukur dan sabar akan kita dapati dari sosok Nabi Yusuf.
            Yusuf sebagai sosok manusia tampan secara fisik memang telah tiada berabad-abad yang lalu tetapi Yusuf sebagai esensi nilai akan senantiasa ada hingga kiamat nanti. Sebagai esensi nilai ia tidak akan musnah karena ada yang meneladani. Orang-orang tampan yang mampu mensyukuri ketampanannya dengan senantiasa berjuang, berkorban, beribadah ikhlas mengharab ridha Allah maka ia telah meneladani Yusuf. Coba buka kembali lembaran emas sejarah kehidupan para sahabat Nabi, akan kita temukan esensi nilai itu. Suatu saat Umar bin Khathab berkata: Yusuf umat ini ialah Jarir bin Abdillah al-Bajli. Kalau kita perhatikan betul-betul pernyataan Umar ini maka akan kita temukan kebenaran faktualnya. Dalam lembaran sejarah emas Jarir bin Abdullah kita temukan bahwa Rasulullah pernah mengatakan bahwa wajah Jarir ada mushatul malaaikah(percikan keindahan malaikat). Ia merupakan sahabat yang tampan dan rupawan. Tak hanya itu, ia juga berjuang, berkorban, dan bersabar. Waktu memerangi penduduk Hamdan matanya terkenah panah namun dia mampu bersabar dan mengharap ridha Allah. Ia juga termasuk sahabat yang pandai dan meriwayatkan hadits dari Rasulullah. Ia mampu teguh tegar memegang Islam meski kebanyakan dari sukunya murtad. Maka benarlah kata Umar jika Jarir bin Abdillah adalah Yusuf umat ini. Karena ketampanan yang dimiliki mampu disyukuri dengan amalan-amalan positif, dan mampu memercikkan kesabaran dari hatinya sehangga tabah dalam menghadapi segala cobaan, sampai akhirnya ia meninggal di bumi Syam.
            Sebagaimana Nabi Muhammad, Nabi Yusuf secara fisik memang telah tiada, namun keteladanan mereka berdua akan senantiasa ada menyertai kita jika kita mau meneladaninya. Untuk menjadi Yusuf secara esensial tentunya kesabaran dan kesyukuran harus senantiasa melekat dalam benak kita, karena itu bagian inti dari keimanan. Namun sekali lagi meneladani bukan perkara yang mudah. Perlu usaha ekstra untuk mampu merealisasikan nilai yang dicontohkannya. Kita dapat pelajaran besar bahwa yang terutama bukan ketampanan fisik tapi batin. Kalaupun kita dianugerahkan ketampanan maka itu perlu disyukuri dengan senantiasa berjuang dan berkorban untuk menggapai ridha Allah. Kita tahu betapa Yusuf tidak terlalu mempedulikan ketampanannya tapi ia semangat berjuang dan bersabar. Wal `Aaaqibatu lil Muttaqin(akhir yang baik pasti dimiliki orang –orang bertakwa). Ketampanan yang tak beriring syukur dan sabar adalah ketampanan yang menipu dan menjerumuskan. Meski tak tampan namun beriring sabar dan syukur maka ketampanan batin Yusuf otomatis bisa diteladani. Maukah anda menjadi Yusuf kontemporer?
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan