Singgasana Rahman Berguncang

Written By Amoe Hirata on Senin, 10 Desember 2012 | 20.40

  
                    Allah subhaanahu wata`ala menurut penjelasan Al-Qur`an bersemayam di atas Arsy. Imam Malik ketika ditanya mengenai bersemayam: “Bersemayam maknanya maklum, tata caranya majhul, sedangkan menanyakannya adalah bid`ah”. Arys (Singgasana) sana Allah yang begitu dahsyat dan besar itu menurut penuturan hadits disangga oleh 8 Malaikat yang antara daun telingan dan lehernya saja berjarak tujuh ratus tahun. Itu baru jarak antara dan telinga dan lehernya, bagaimana kalau bentuknya secara seutuhnya, sungguh tak terkira. Itu baru penyangganya, bagaimana dengan Arys-Nya? Sungguh dahsyat dan tak terbayang. Yang terpenting dalam masalah ini  ialah kita wajib mengimaninya karena ini urusan ghaib. Kita tak dituntut untuk mengetahui secara detail, yang perlu kita ketahui ialah sebatas yang sudah dijelaskan di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Karena meski kita tidak tahu tentang masalah ini sebenarnya tidak membahayakan atau memberi manfaat signifikan buat kita. Intinya, yang ingin ditekankan sebagai pembuka untuk tulisan ini ialah bahwa Arys(Singgasana) Allah begitu dahsyat dan luar biasa. Tidak bisa diungkap dan diterka dengan kata-kata; tidak bisa digambarkan oleh benak kita. Ini sangat jelas sekali. Kalau Tuhan kita adalah Maha Yang Luar Biasa, tempat bersemayamnya pasti luar biasa juga.
                          Singgasana yang begitu besar dan dahsyat ini dalam lembaran sejarah manusia pernah berguncang. Haah....Berguncang? Mungkin anda kaget atau sama sekali tak percaya mendengarnya. Itu juga hanya terjadi pada zaman Nabi Muhammad, berkaitan dengan kisah sahabat beliau yang begitu mulia. Ada apa gerangan sampai-sampai Arsyu Ar-Rahman berguncang? Kenapa ini sampai terjadi? dan apa kaitannya dengan Sa`ad bin Mu`adz? Bila kita mau menyempatkan diri untuk membaca sejarah emas sahabat Nabi Muhammad, kita akan menemukan jawabannya. Sa`ad bin Mu`adz adalah sahabat yang berasal dari kabilah `Aus. Sebelum masuk Islam, Ia adalah merupakan pembesar kabilah `Aus. Ia masuk Islam di tangan Mush`ab bin `Umair. Kehidupanya pasca masuk Islam diisi dengan perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa. Banyak yang masuk Islam melalui perantaranya. Sewaktu terjadi perang Badar, Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabat. Dalam sekilas dialog itu Sa`ad bin Mu`adz dengan lantang mengatakan lakukan wahai Rasulullah, apa yang engkau kehendaki, Demi Allah kalau kau memerintahkan kami menyusuri sungai ini maka kami pasti menaatinya. Di kesempatan yang lain tidak kalah besar pengorbanan dan perjuanganya seperti ketika mengeksekusi sekutunya dari Yahudi bani Quraidha karena menyelisihi piagam Madinah. Bayangkan! usia keislamannya sampai dia meninggal baru 6 tahun. Tapi kenerja dan aksinya dalam memperjuangkan Islam sungguh besar dan luar biasa. Seolah kisah ini mengisyaratkan bahwa manusia bernilai bukan karena berapa lama ia hidup, tapi seberapa besar manfaat dan kontribusinya walaupun berusia pendek. Karena yang mengabadikannya ialah karya; yang membuatnya dikenang karena jasa-jasanya. Sa`ad meninggal pasca mengurusi masalah penghianatan Yahudi bani Quraidhah.
            Ketika Sa`ad bin Mu`adz  meninggal, kalimat yang disampaikan Rasulullah ialah: Arys Rahman berguncang karena kematian Sa`ad bin Mu`adz. Tak hanya itu kesaksian sahabat-sahabat yang lain mengatakan bahwa jenazahnya sangat ringan sekali tidak seperti jenazah lainnya. Lalu Nabi menjelaskan bahwa para malaikat turun ke bumi turut serta membantu mengangkat jenazahnya. Bayangkan, Arys berguncang dan malaikat turut serta mengantarkan jenazahnya. Kita mungkin akan bilang wow. Kebanyakan orang hanya terperangah dan takjub hanya pada hasil. Kebanyakan orang mengagumi orang besar, menakjubi pahlawan hanya karena hasilnya. Dengan sangat sederhani mereka menilai dengan penilaian se-simple itu. Padahal jalan menuju keberhasilan dan kesuksesan itu bukan jalan yang gampang. Mereka melalui berbagai rintangan dan halangan. Mereka berjuang di jalan sunyi. Mereka berjuang di kala orang-orang lain beristirahat dengan tenang. Mereka rela tak tidur ketika orang lain pada nyeyak tertidur. Dengan demikian, seharusnya ketika menilai orang besar yang pertama ialah sejauh mana kita bisa manapaktilasi jejak mereka; sejauh mana kita bisa meneladani mereka. Bukankah ada pepatah yang mengatakan: Berakit-rakit kita ke hulu, berenang-renang ke tepian(Bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian). Bagaimana kita akan menuai hasil jika tidak ada perjuangan. Begitu juga ketika kita menyikapi kisah Sa`ad bin Mu`adz, yang terutama bukan berguncangnya singgasana Rahman kerenanya atau karena malaikat turut serta mengangkat jenazahnya, tapi yang utama ialah bahwa Sa`ad bin Mu`adz adalah pejuang sejati. Ia mulia karena kontribusi yang dipersembahkannya; ia mulia karena dalam rentetan perjuangannya ia bisa mengendalikan egonya untuk senantiasa ikhlas karena-Nya.
            Menurut Al-Qur`an manusia dikatakan mulia karena amal terbaiknya yang terangkum dalam kata: “TAQWA”. Jadi penilaian wadag materil sama sekali bukan menjadi poros acuan. Bila kita mampu mengendalikan dan mengontrol diri kita dengan mengerahkan potensi kita dalam bingkai karya dan perjuangan maka kemuliaan akan menyertai, meski bukan itu tujuan utama kita. Rasulullah memberi kualifikasi kualitatif berupa: Manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Demikian juga kita memandang kisah Sa`ad bin Mu`adz ini. Kita tak terperangah dan tercengang hanya karena singgasana Tuhan berguncang atau karena jasadnya diangkat malaikat. Yang harus dilakukan ialah sejauh mana kita bisa meneladani dan menapaktilasi jejaknya. Dengan senantiasi memancangkan spirit ini pada benak kita, maka keridaan dan kemuliaan otomatis menyertai asalkan dikerjakan dengan ikhlas. Dengan spirit dan motiv ini nantinya kita akan lulus menjadi insan muttaqin(manusia bertakwa). Akhir yang baik pasti akan didapatkan oleh mereka yang bertakwa.

Syahid bin Syahid

Written By Amoe Hirata on Selasa, 13 November 2012 | 20.38

              Menjadi orang baik itu bagus, tapi menjadikan orang lain ikut baik, itu lebih bagus. Menjadi shalih itu bagus, tapi menjadi mushlih(membuat perbaikan sosial) itu lebih bagus. Kaidah fiqhiyah mengajarkan kita nilai penting berupa: al-Khairu al-muta`addi khairun min al-qaashir(Kebaikan yang berdampak sosial lebih baik dari pada kebaikan individual). Kebaikan seharusnya tak hanya dinikmati oleh individu, ia harus mengimbas pada ranah sosial. Alangkah indahnya jika kebaikan itu merata baik itu pribadi, keluarga, masyarakat, hingga negara. Karena itulah ada ungkapan: Jangan hanya menjadi shalih secara pribadi, jadilah shalih secara sosial. Kenyataan ini mengingatkan kita pada mutiara hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam berupa: Khairu an-Naasi, `anfa`uhum li an-Naasi (manusia terbaik ialah yang manfaat sosial kemanusiannya paling banyak). Inilah yang menjelaskan rahasia penting kenapa para pahlawan itu terasa masih hidup di tengah-tengah kita, karena kontribusi kebaikan yang ditinggalkan mereka begitu besar ketimbang kesalahan dan kekhilafan mereka. Ini juga yang menjelaskan pada kita mengapa orang bisa diberi gelar sebagai pahlawan.
            Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam selalu menginginkan kebaikan kepada umatnya. Beliau tak mau kebaikan hanya berhenti pada dirinya. Beliau menginginkan semua umat manusia mendapatkan kebaikan. Keteladanan beliau ini sangat membuat sahabat-sahabatnya terkesan. Di antara mereka yang terkesan ialah salah seorang dari suku Daus, namanya at-Thufail bin `Amru ad-Dausi. Ketika Thufail mengunjungi Makkah, para gembong kafir Qurays berusaha menghalang-halanginya berinteraksi dengan Nabi. Disampaikanlah padanya isu-isu negatif tentang Nabi. Dikatakan bahwa Nabi sangat berbahaya. Kata-katanya laksana sihir yang mampu membuat masyarakat terpecah belah. Thufail tidak boleh dekat-dekat Nabi, supaya tak terpengaruh dengan ucapannya. Namun suatu ketika takdir Allah mempertemukannya dengan Nabi. Dari kejauhan Thufail mendengar bacaan Nabi. Ia berusaha menutup telinganya sesuai dengan saran orang kafir Qurays. Tetap saja dia bisa mendengar suara Nabi. Akhirnya ia membuat keputusan: Buat apa aku sumpal telingaku, aku ini kan penyair, kalau kata-katanya baik maka akan aku ikuti, tapi jaka jelek maka akan aku campakkan. Ketika telinga dibuka, tiba-tiba ia mendengar kata-kata yang sungguh mengesankan, sampai akhirnya ia datangi Rasulullah hingga masuk Islam.
            Yang menarik dan patut dijadikan tauladan ialah Thufail bin `Amru ad-Dausi tak mau kebaikan yang ia dapatkan berupa petunjuk Islam  hanya dinikmati sendiri. Ia meminta doa pada Rasulullah agar semua sukunya diberi petunjuk. Sepulang dari Makkah, ia mulai berdakwah mengajak keluarganya lebih dahulu. Bapaknya diajak hingga rela masuk Islam. Istrinya dan anaknyapun diajak sampai akhirnya masuk Islam. Dengan semangat yang begitu luar biasa ini nantinya membuat suku daus sebagaimana doa Nabi, bisa memeluk Islam dan bertemu Rasulullah pada perang Khaibar. Tak hanya itu. Perjuangan dakwahnya yang begitu luar biasa mengantarkan dirinya pada kesyahidan. Kesyahidan yang bukan hanya terbatas pada diri pribadi, namun anak kesayangannya yang bernama `Amru bin Thufail ad-Dausipun turut mendapat kesyahidan. Takdir syahid keduanya diabadikan sejarah dalam pertempuran Yamamah dan Yarmuk. Mungkin sangat gampang kita menjumpai sahabat yang syahid di jalan Allah. Namun, menemukan sahabat yang memiliki keluarga yang juga syahid itu sangat jarang. Ia sebagai kepala keluarga, bukan saja mampu mentransfer kebaikan yang ia dapat dari Islam pada dirinya untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, lebih dari itu ia mampu mentransfer kebaikan pada keluarga hingga sukunya. Pantaslah jika ia dijuluki sebagai, “Dzu an-Nuur” yaitu yang memiliki cahaya. Ya, cahayanya mampu menyinari kegelapan-kegelapan jahiliah yang ada pada lingkungannya. Pantas pula jika keduanya dijuluki, “as-Syahid bin as-Syahid”. Ia lulus mengamalkan ayat: quu anfusakum wa ahlikum naaran(peliharalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka). Kepahlawan model demikian merupakan kepahlawan di atas kepahlawanan.
            Kebaikan yang ditularkan secara sosial akan membentuk energi yang begitu besar. Energi yang begitu besar ini pada gilirannya akan mampu membuat perubahan-perubahan sosial. Namun jika kebaikan itu mandeg, berhenti pada diri sendiri maka tidak akan mempunyai dampak perubahan. Kebaikan semacam ini akan terbawa arus kejelekan yang dominan. Kebaikan semacam ini tak mampu mewarnai, malah diwarnai. Kebaikan semacam ini laksan air yang menggenang. Semakin lama air menggenang, akan menimbulkan bau tak sedap. Maka jangan heran kalau ada kasus dimana kebaikan malah berdampak negatif secara sosial. Ini bisa timbul ketika orang merasa baik secara pribadi, kemudian acuh tak acuh dengan kepentingan sosial. Waktunya kerja bakti sosial, ia malah mengaji di Mushallah; waktu ada orang membutuhkan bantuan, ia malah asyik bermunajat pada Tuhan. Dengan demikian, kebaikan harus dialirkan, supaya tetap segar dan mampu memberikan manfaat sosial. 

Cinta di Kelam Senja

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 10 November 2012 | 17.24


          Mentari sore semakin tenggelam menyenja, menuju kelam malam. Menyajikan keindahan panorama sunset yang begitu memesona jiwa. Bulan sabit sudah mulai menampakkan wajahnya. Beberapa hari lagi akan memancarkan keindahan purnamanya. Angin begitu semilir memasuki mobil Aji yang jendelanya lagi terbuka. Sederetan lampu di jalan raya mulai hidup membentuk garis horisontal yang sangat indah. Bersamaan dengan itu, terdengar kumandang adzan yang begitu merdu dan menawan jiwa. Oooh betapa senangnya perasaan Aji Kurniawan, akhirnya ia bisa kembali ke negeri tercinta, setelah menyelesaikan studinya di Madinah. Tulisan yang diajukannya dulu yang berjudul: “Relevansi Ilmu Hadits dalam Metodologi Ilmu Modern” telah diujikan, dan dapat meraih nilai mumtaz `ala syarfil `ula(Summa Cumloud). Betapa bahagianya ia, cita-citanya selama ini untuk merampungkan studi S-2nya di tanah tempat tinggal Nabi. Meskipun ia harus melaluinya dengan berbagaimacam halangan dan rintangan, hingga pernikahannya dengan Puspita Sari gagal, akibat pilihan yang sangat rumit dan dilematik. Namun dalam dasar sanubarinya ia selalu percaya, bahwa Allah pasti menganugerahkan padanya jodoh yang shalihah, yang mampu menjadi penenang hatinya. Ia sangat yakin bahwa selama manusia betul-betul baik dan berusaha dengan baik untuk mencari jodoh, maka Allah akan memudahkan jalannya.
            Aji begitu hanyut dalam rasa syukur selama di mobil. Di sela-sela ia melamun, tiba-tiba ia dikagetkan dengan suara Pak Hermawan selaku supirnya: “Mas, sudah waktunya buka, monggo di minum airnya, O ya tadi bapak sama ibu minta maaf soalnya tidak bisa menjemput mas di Juanda soalnya sedang melayat teman dekatnya yang meninggal”. “O ndak papa Pak, aku sama sekali tak meragukan Bapak sama Ibu, kalau mereka tak bisa menjemput, pasti ada urusan mendadak. Jangan lupa Pak, entar mampir dulu ke rumah Shinta Aulia, aku sudah kangen mau ketemu dia, sekalian ketemu om dan tante”. “Ok...beres mas, kita akan meluncur ke sana, semoga saja ndak macet”. Setelah 2 jam perjalanan akhirnya Aji sampai di rumah Shinta Aulia. Dipencetlah bel yang ada di depan rumahnya. Beberapa saat setelah itu pembantunya keluar.  “Maaf ini siapa ya? Ada keperluan apa dan mau nyari siapa?”. “ Bik Sanipah ni gimana, masak lupa sama Aji”. “Lho...ternyata sampean toh, maklum mas bibi sudah tua, matanya kurang awas, jujur aku panggling lho sama sampean, tambah bersih, tambah ganteng aja, hehehe, monggo-monggo, kebetulan di rumah ada Shinta sama tantemu.
            “Bi siapa yang ngebel tadi?”(tanya Shinta). “Anu mbak, mas Aji baru datang dari Madinah, mampir ke sini dulu”. “Hah....yang bener bik, awas yah tuh anak pulang ga ngomong-ngomong, tau gitu `kan tak jemput ma suamiku, anak itu sukanya bikin surprise(kejutan) aja. Maa...ada Aji Maa(Panggil Santi ke mamanya yang bernama: Wulandari). “Lho masak ndok, kok aku gak dikasih kabar sama pamanmu, katanya masih kurang beberapa bulan lagi”(sahut bu Wulan). “Assalamu`alaikum tante and Si Bawel Shinta heeee”. “Wa`alaikumussalam. Ih kamu Ji, kebiasaan kalau pulang ga ngasih tau. Aku tuh sebenarnya dari dulu pingin jemput kamu di Juanda, eh kamunya sukanya pulang ga ngomong-ngomong”Ujar Shinta. “Gimana le kabarmu baik-baik saja kan, tante, om sama Shinta kangen banget sama kamu, sudah sekitar 3 tahunan kita tak ketemu, kamu juga jarang ngasih kabar sih, coba kamu punya FB atau paling tidak twitter kan nanti bisa hubungan”. “Hee...maaf sebelumnya ya tante, maaf juga ya Si Bawel, bukannya aku ndak mau ngasih tahu kalian, aku sebenarnya juga kangen banget sama kalian, cuman aku pikir lebih mengesankan kalau ini aku rahasiakan sebagai surprise”.
“Ayo le silahkan duduk dulu, kamu mau minum apa”. “Minum air saja tante”. “Hee...Mas Aji, ngomong-ngomong gimani nih hubungannya ma temenku Puspita, masih nyambung nih....hee?”. “Sudah ga nyambung lagi Sin, waktu itu pas aku di Madinah, aku dihadapkan dua pilihan yang sama-sama berat, antara idealisme melanjutkan studi S2 dengan menikahi Puspita. Gimana ga berat coba, aku waktu itu kan sebenarnya sudah mau lulus, tapi ada masalah yang harus ku selesaikan sehingga aku gagal ketemu dosen pembimbingku, akhirnya pernikahanku dengan Puspita gagal, soalnya aku menundanya untuk menyelesaikan studi lebih dulu, sedangkan keluarganya begitu mendesak, akhirnya ya hubungan kami kandas di tengah jalan”. “Emm gi tu toh, aku turut prihatin mas”. “Sin mana anakmu yang agak sipit itu, hee, mana Alvino?” “Dia ma papanya main ke rumah nenek, aku ndak ikut soalnya agak kurang enak badan. Alvino sekarang tambah imut, gemuk dan lucu lho mas, pokoknya nanti kalau mas lihat pasti gemes, dia sekarang baru masuk TK”.
“Ini minumannya Ji, monggo ayo diminum. Kamu dah punya calon ya? Kapan kamu nikah? Studi sudah selesai, usia juga sudah 25 tahun, nunggu apalagi Ji?”. “Hee..masih belum tante, soalnya aku sempat gagal, aku pikir aku fokus studi dulu, dan al-hamdulillah sekarang sudah kelar”. “Mas, kalau emang belum, aku punya calon buat mas. Namanya Aisyah Dwi Artanti. Ia lulusan pondok tahfidh di Jawa Barat. Masalah kecantikan, ndak kalah lho sama Puspita, ia juga sudah hafal Al-Qur`an, kebetulan dia sudah lulus dan siap untuk menikah”. “Tunggu-tunggu, kayaknya aku tau anak itu, bukannya itu adik kelasmu dulu yang terkenal baik, cantik dan pinter waktu di SMP?”. “Iya Mas, habis SMP dia mondok di pondok tahfidz”. “ Kalau anak itu insyaAllah aku mau Sin. Sebenarnya meski ga cantik-cantik amat aku juga mau asalkan shalihah. Kalau ternyata ada yang baik, cantik, pintar dan hafal AL-Qur`an, maka itu benar-benar anugerah, hee”. “Ok kalau pean mau entar anaknya tak hubungin. Buruan lho entar kedahuluan orang, hee, nyesel slho kalau kedahuluan”.

Setelah satu jam lebih berada di rumah tante Wulan dan Shinta, akhirnya Aji pamit pulang, sembari memberikan oleh-oleh pada mereka. Sesampainya di rumah ia sudah ditunggu oleh sanak keluarganya. Kedatangan Aji disambut dengan begitu hangat. Selang beberapa jam kemudian setelah sanak-keluarganya sudah pulang, ayah dan ibunya baru datang dari melayat. Ketika melihat wajah Aji, ibunya tak kuasa membendung air matanya, anak lelakinya sudah pulang ke kampung halaman, sekarang ia sudah tumbuh dewasa, wajahnya sangat mirip dengan ayahnya. Ayahnya pun merangkulnya penuh haru. Setelah melepas kangen dan bercerita banyak hal, menjelang tidur Ayah Aji memanggil Aji ke ruang tamu bersama dengan ibunya. Sesampainya di ruang tamu, ayahnya berkata: “Nak, ayah pingin ngomong serius sama kamu, Bapak `kan tadi habis melayat sahabat bapak, Nah sebelum meninggal dulu ia pernah ngomong sama Ayah, Kalau bisa ia ingin menjodohkan anak terakhirnya yang bernama Sabrina Cinta As-Syifa. Anaknya lulusan kedokteran lho le, meski ia ga pernah mondok, tapi keluarganya itu sangat menjaga rambu-rambu agama. Anaknya di samping cantik berjilbab, juga taat lho sama orang tua. Mungkin ini terlalu tergesah-gesah, tapi saya pikir biar ga lupa wasiat ini langsung tak sampaikan saja padamu, mau tidaknya kamu yang menentukan, tapi Ayah dan Ibu sangat berharap kamu mau menerimanya, aku menerimanya bukan karena kekayaannya, aku sama ibumu tau betul kalau dia itu anak yang baik, lagian kamu kan belum ada calon”. Mendengar pernyataan Ayahnya, Aji bergumam dalam hatinya: “Wah gimana nih, aku sudah terlanjur ngomong ke Shinta kalau menerima tawarannya dijodohkan dengan Aisyah, sedangkan Sabrina juga anak yang baik, jadi bingung aku, mau nolak juga ndak tega sama Ayah dan Ibu. Aku harus bagaimana ya?”.

‘Tak Sempat Shalat’, Tapi Sukses Akhirat

Written By Amoe Hirata on Rabu, 24 Oktober 2012 | 19.37

              Allah subhanahu wata`ala menciptakan kematian dan kehidupan pada dasarnya –sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Mulk ayat: 2- ialah untuk menguji siapakah di antara kita yang paling baik amalnya. Ayat ini dengan jelas menekankan bahwa yang dijadikan patokan ialah ahsanu `amalan(amalan terbaik) bukan aktsaru amalan(amalan terbanyak). Yang menjadi tolak ukur dari sukses tidaknya seseorang dalam rangka ujian ketika diberi kematian dan kehidupan ialah baiknya amal. Amal yang baik menyangkut dua hal: Pertama: dilakukan dengan ikhlas. Kedua: dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasulnya. Dengan demikian, sebanyak apapun amalan seseorang namun tidak memenuhi standar kebaikan maka tidak akan bernilai apa-apa. Adapun orang yang amalnya sangat minim dan sedikit tetapi kualitas amalannya sangat baik memenuhi standar syar`i, maka amalan yang sedikit ini bisa memudahkannya menuju kebahagiaan di Akhirat berupa  surga. Tentu saja yang tahu betul siapa yang benar-benar terbaik amalnya hanyalah Allah subhanahu wata`ala. Namun agama datang sebagai petunjuk yang memberitahukan standar-standar pada manusia mengenai baik tidaknya amalan. Sehingga dengan upaya yang serius dan sungguh-sungguh, selama berjalan pada standar syari`ah maka peluang untuk mendapat kemuliaan akan lebih besar daripada sekadar banyak amal namun tidak berangkat dari dasar syari`at yang benar, sebagaimana petunjuk Allah dan Rasulnya. Intinya ‘kebaikan amal’ merupakan prioritas dan penentu sukses tidaknya seseorang dalam beramal. Amal yang banyak tidak akan membantu jika tidak didasari dengan standar syar`i. Bayangkan jika amalan banyak sekaligus didasari dengan standar kebaikan syr`i, maka ini merupakan semacam jalan lebar yang bisa memudahkannya menuju akhirat.
            Dalam lembaran sejarah emas sahabat Nabi, ada peristiwa unik yang menunjukkan bahwa letak bernilainya amalan itu ialah bukan pada banyaknya tapi pada kandungan kebaikannya, meskipun sedikit. Dalam kitab Sirah Nabawiyahnya yang berjudul, “as-Sirah an-Nabawiyah, `Ardhu Waqaai` wa tahlilu Ahdats”, Ali Muhammad Muhammad Shalabi menceritakan: ada sahabat yang hanya bermodal syahadat tulus kemudian ia berjihad hingga gugur syahid. Padahal ia belum sempat shalat apalagi melaksanakan rukun Islam yang lainnya. Amalannya terhitung sangat sedikit dan minim bila dibandingkan dengan sahabat-sahabat lain yang sudah masuh Islam. Namun lihat capaian yang diraihnya ia mendapatkan surga. Sahabat itu ialah Al-Ushairim. Nama aslinya `Amru bin Tsabit bin Waqasy. Ia berasal dari suku `Aus, dari bani Asyhal. Ketika Sa`ad bin Muadz masuk Islam beserta suku `Aus lainnya, Ushairim belum mau menerima Islam karena masih ragu. Hatinya belum bisa menerima petunjuk Islam. Namun Allah akan menunjuki siapa saja yang dikehendakinya. Ketika terjadi perang Uhud, ia bertanya pada Rasul dimanakah Sa`ad bin Mu`adz? Dimanakah teman satu sukuku? Nabi menjawab: Mereka menuju Uhud. Ketika itu ia sudah merasa mantap hatinya untuk menerima petunjuk Islam sehingga, seketika itu juga ia menyatakan keislamannya pada Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam kemudian setelah itu ia mengambil tombak, pedang miliknya dan menaiki kuda lalu bergabung dengan sahabat-sahabat yang lain. Ketika ia berada di sekeliling para sahabat, ia diusir: menjauhlah dari kami! Ushairimpun menimpali: Aku telah beriman. Kemudian ia turut berperang hingga mengalami luka parah.
            Ketika teman-temannya dari bani Asyhal, mencari korban dari para sahabat yang terbunuh di perang Uhud, tiba-tiba mereka dikagetkan dengan jasad Ushairim yang terluka parah tapi masih hidup: Ini Ushairim, kenapai ia datang ke sini, bukankah sewaktu kita tinggal perang ia masih kafir? Lalu mereka menanyakan langsung pada Ushairim, apakah ia turut berpartisipasi perang karena fanatisme kesukuan atau karena senang terhadap Islam? Ushairim menjawab: Bahkan aku senang (masuk) Islam, aku beriman pada Allah dan Rasul-Nya, aku masuk Islam, kemudian aku bergabung dengan Rasulullah ikut perang, kemudian aku mengalami luka parah, jika aku meninggal maka semua hartaku untuk Muhammad, (silahkan) dipergunakan sekehendak hatinya”. Kemudian ia meninggal. Ketika dilaporkan kepada Rasulullah, Rasulpun berkomentar: innahu min ahlil jannah(ia termasuk dari penghuni surga). Padahal ia belum sempat shalat sama sekali. Di kesempatan lain Rasulullah bersabda: `amila qolilan waujiro(amalnya sedikit tapi mendapat ganjaran(yang besar). Bahkan Abu Hurairah bertanya pada orang-orang, ceritakan padaku siapakah sahabat yang masuk surga padahal belum pernah shalat? Ketika mereka tidak tahu, akhirnya meminta jawaban ke Abu Hurairah. Abu Hurairah menjawab: ia adalah Ushairim bin Abdil Asyhal. Ushairim dengan amalnya yang sedikit mampu menjemput momen terbaik atas izin Allah. Kejadian yang dialaminya mengajarkan kita nilai penting berupa: letak berharga tidaknya sebuah amalan ialah pada kebaikan yang terkandung di dalamnya, dalam artian sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Walau amalan terhitung sedikit, tetapi diposisikan pada standar semacam itu akan bernilai dahsyat. Pada pandangan orang banyak memang amalannya terhitung sedikit, namun yang membuat amalan itu berharga dan bernilai dahsyat ialah karena ketulusan, keikhlasan, dan kesungguhan untuk berjuang di jalan Allah. Sedikit tapi berkualitas saja sudah bernilai dahsyat, apalagi jika kita melakukan amalan banyak tapi berkualitas, Allah subhanahu wata`ala pasti akan mencucurkan rahmat-Nya. Kesempatan untuk itu, sebenarnya sangat terbuka lebar jika kita menghendakinya. Kesuksesan kita terletak pada seberapa cepat kita berubah, serta sepandai apa kita menjemput momentum yang diberikan Allah subhanahu wata`ala pada kita. Faidza faraghta fanshab, wa ila Rabbika farghab(jika ada waktu senggang maka gunakan lah untuk amal kebaikan, dan hanya kepada Rab kamulah kamu berharap).

            

Takdir Cinta

Written By Amoe Hirata on Jumat, 19 Oktober 2012 | 17.20


          Pagi begitu cerah. Hawa begitu terasa nyaman. Pancaran enerji positif terasa menyelimuti desa Jembar Sari. Wajah-wajah optimis dari para pekerja yang ada di persawahan semakin membuat pemandangan menjadi indah. Pagi itu, tak seperti biasa desa Jembar Sari terlihat ramai. Dari mulut ke mulut tersiar kabar kedatangan Dinondari Jerman. Rupanya mereka penasaran dan tidak sabar menunggu kedatangan Dino. Dahulu, di desanya Dino dikenal sebagai pemuda yang baik hati, supel dan dermawan. Meskipun terlahir dari keluarga kaya, Ia tidakn pernah menyombongkan diri.
            Di pelataran rumah Dino, desa Jembar Sari, terlihat ada beberapa prang yang sIbuk masang terop. Keluarga mau menyambut kedatangan Dino dengan meriah. Sudah empat tahun lebih mereka tidak bertemu Dino. Pastinya, perasaan kangen sangat kuat menguasai hati mereka.
            Segenap persiapan sudah sedemikian matangnya. Ibnu Sina(paman Dino) sedang mengawasi para pekerja persiapan penyambutan. Kemudian segera meluncur ke bandara Juanda untuk menjemput Dino. Diperkirakan Dino sampai sana pukul sepuluh pagi.

                                                                     *****
            Dari kejauhan, di ponpes al-Karimah nampak ramai. Banyak mobil dan motor yang diparkir. Rupanya para wali santriwati sedang menjemput anak-anak mereka yang akan libur sekolah. Rencananya lIbur dua minggu. Kh. Ahmad Sudardi dan Hani`am segera menjemput puterinya. Ketika bertemu, mereka berdua tak kuasa menahan tangis bahagia. Segeralah keduanya berpelukan dengannya. Bagaimana tidak, anak semata wayangnya ini ternyata sudah hafal al-Qur`an tiga puluh juz.
            Setelah berpamitan dengan para asatidz/dzah, Puspita dan orang tuanya segera mengendarai mobil menuju rumah. Katanya, di rumah Puspita sudah dimasakin masakan vaforitnya yaitu Bergedel dan sayur sop. Di tengah perjalanan, tiba-tiba abahnya bertanya: “Ndhok! Gimana kabar Aji? Apa kamu sudah mengambil keputusan? Kalau memang sudah putus, Abah dan Umi sudah punya calon buat kamu, namanya Alyan Hisan”.
            Puspita kaget. Dalam hati ia berujar: “Lho kok bisa kebetulan begini ya, padahal aku belum ngasih tahu ke mereka”. Baru diketahui kemudian, bahwa orang tua Puspita dan orang tua Alyan adalah sahabat dekat yang sudah lama ga ketemu. Ketika ketemu pada acara reoni sekolah mereka berbincang-bincang hingga sampai pada pembicaraan perjodohan antara anak mereka.
            Belum hilang rasa kaget padi diri Puspita tiba-tiba HP-nya berdering tanda sms masuk. Bunyi sms itu demikian: ”Assalamu`alaikum Sar, gimana kabarmu? Semoga kamu selalu baik, ini Aku, Dino. Aku baru pulang dari Jerman, Kusempatkan untuk pulang, karena aku mendengar berita bahwa kamu ga jadi nikah sama Aji, Aku mau tanyak, apa masih ada kesempatan bagiku untuk menikahi dirimu? Bls gpl, Dino”.

                                                                 *****

            Sesampainya di rumah, Dino disambut begitu meriah oleh keluarga dan masyarakat desanya. Mereka secara bergantian menyalami dan merangkul Dino. Ada satu cewek yang terlihat malu-malu sedang bersamaan dengan seorang Bapak paruh baya. Ternyata, cewek itu adalah Devi Angelina, anak dari Bapak Sudarsono yang baru selesai kuliah dari Perancis. Penampilanya anggun, wajah cantik, oval, kulit kuning langsat, dan tingginya seratus enam delapan. Sebelum meninggal, Pak al-Kindi berwashiat pada pak Sudarsono agar menikahkan puterinya dengan anaknya.
            Setelah menyalami tamu yang hadir, Dino beranjak kearah Bapak Sudarsono. Dan Ia dikenalkan dengan puterinya yang bernama Devi Angelina. Dino belum tahu kalau Devi adalah cewek yang bakal dijodohkan dengannya.

                                                                    *****

            Di kediaman Puspita Sari terlihat ada beberapa mobil yang diparkir di depan rumahnya. Tamu yang datang adalah keluarga Alyan Hisan. Bapak Vano Setiabudi dan Ibu Wulan Safitri beserta rombongan keluarga mau melamar Puspita Sari untuk anaknya yang bernama Alyan Hisan.
            Semakin bingung saja diri Puspita. Dia dihadapkan pada posisi sulit. Cinta pertamanya meu melamar dia. Sedangkan di depan matanya sekarang ada juga yang siap melamarnya. Ia segera memasuki kamar. Berpikir dan merenung kira-kira mana yang harus Dia pilih. Bagaimanapu sulitnya Ia harus dengan cepat memilih meskipun ada pihak-pihak yang mungkin dikecewakan dengan keputusannya itu.

                                                                  *****

            Setelah debat alot dengan pamannya, akhirnya Ia memutuskan untuk menolak perjodohan yang diwasiatkan Bpk Al-Kindi. Meski ini berat, Ia harus memutuskan, karena Ia sudah sms ke Puspita untuk melamar dirinya. Akhirnya, kedua belah pihak tidak bisa apa-apa. Bagaimanapun juga memang pernikahan tidak bisa dipaksakan. Dengan segera Dino mengajak pamannya untuk pergi ke rumah Puspita Sari. Dino tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Belum selesai beres-beres rumah akhirnya pak ibnu Sina segera bergegas untuk menuju ke rumah Puspita. Tak ketinggalan pula di samping keluarga, Pak Sudarsono dan Devipun ikut. Devi penasaran, cewek kayak apa sih yang bisa sampai memincut Dino.
                                                                    *****
            Abah dan Umi Puspita heran bukan main. Seumur-umur anak semata wayangnya itu tidak pernah mengucap kata “tidak” pada kedua orang tuanya. Setiap kali disuruh ia tidak komentar dan langsung dikerjakan. Tapi kali ini Puspita dengan tegas menolak lamaran Alyan Hisan. Memang ini sulit Bah, tapi aku harus ngomong sekarang mumpung belum terlambat. Sebelum Alyan Hisan sudah ada yang mau melamarku. Namanya, Dino. Abah pasti tahu anaknya. Dia adalah cinta pertamaku. Puspita harap abah bisa meridhainya.

                                                                    *****

            Dalam perjalanan menuju rumah Puspita, Dino merasa bimbang dan kuatir, sampai saat ini Puspita belum menjawab sms-nya. Ia ga tahu pasti apa penyebabnya. Tapi Dia tetap meneruskan niat awalnya.
            Ketika mau sampai di rumah Puspita, dari jauh Dino melihat ada banyak mobil di rumah Puspita. Sebelum ke rumah Puspita, Ia bertanya dahulu pada orang yang lewat disekitar jalan itu: “Maaf bu, Ada apa ya di rumah Puspita kok ramai-ramai?” Ibu menjawab: ”Ooooo...Anu dek Puspita mau dilamar oleh Alyan Hisan; putera bpk Vano yang kaya itu lho mas”.
            Mendengar jawaban itu, Dino merasa lemas tak berdaya. Ternyata Dia sudah terlambat. Usahanya yang sedemikian besar seolah sia-sia. Sekarang terjawab sudah mengapa Puspita Sari tidak menjawab sms-nya. Ini merupakan ujian sangat berat bagi Dino. Kabar yang sedemikian indah dan membuat dia pulang ke Indonesia hanya terasa seperti fatamorgana. Memang terlihat menjanjikan hal-hal yang indah, bagus namun itu hanyalah ilusi.
                                                                      *****


Bukan Cinta Biasa

Written By Amoe Hirata on Kamis, 13 September 2012 | 17.16

            Panorama dhuha begitu indah. Hawa begitu sejuk memanjakan .Embun pagi bening menyelimuti rerumputan dan tetumbuhan. Sungai-sungai mengalir sedang dan bening. Ikan-ikan di sungai begitu serentak berenang ba` sedang pentas dalam kontes renang. Kumbang-kumbang nampak cantik bergairah menghinggapi bunga-bunga mawar yang sedang mekar di taman pesantren al-Karimah.
            Pagi ini, Puspita Sari sedang menunaikan shalat Dhuha dan istikharah. Begitu khusyuknya Ia shalat seolah tiada segala. Dia bukan main bingungnya. Menghadapi dua pilihan yang begitu sulit. Belum lagi terlaksana pernikahannya dengan Aji, ternyata ada lagi yang mau menikahinya. Sebenarnya Dia tidak akan bingung jika Aji akan menepati janjinya untuk nikah tahun ini. Berhubung studi Aji agak tersendat akibat tesis yang belum terselesaikan, maka Aji menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Puspita.
            Bagaimana tidak bingung dan sedih. Ia merasa sudah mengalami beberapa kegagalan untuk menuju mahligai rumah tangga bahagia. Untungnya Dia adalah wanita yang shalihah, sehingga apapun ujian yang menimpa akan dihadapi dengan hati yang lapang dan sabar. Ia ingat sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wassallam : “Begitu mengagumkan kondisi orang mukmin. Segala kondisi (yang dialami) itu baik baginya. Dan itu tidak dimiliki seorangpun kecuali mukmin. Jika Ia mendapatkan kebahagiaan bersyukur (dan itu) adalah lebih baik baginya. Dan jika Ia ditimpa kesusahan Ia bersabar (dan itu) lebih baik baginya(Hr. Muslim).
            Dalam doa yang ia lantunkan Ia memohon: “ Ya Allah ampunilah dosa-dosa hamba-Mu ini. Tunjukkanlah yang terbaik bagi hamba. Bila memang Aji Kurniawan itu jodohku, maka permudahlah jalannya dan jika Alyan Hisan yang terbaik maka gampangkanlah. Aku berserah diri pada-Mu. Aku ingin membina mahligai rumah tangga bahagia. Aku ingin membina rumah tangga yang yang selalu mengingat-Mu. Yang kuingin bukan cinta biasa. Aku ingin cinta sejati menuju-Mu. Allahumma taqabbal du`aa`. Amiin.
                                                               *****
            Di bandara Berlin, terlihat begitu ramai. Para calon penmpang terlihat berbaris rapi menunggu giliran chak in. Para petugas keamanan dengan penuh semangat mengecek satu persatu koper calon penumpang untuk jaga-jaga biar tidak ada tindakan kriminal.
            Dengan agak tergopoh, Dino beserta rombongan segera cepat-cepat menuju bandara. Ini karena, jadwal keberangkatan yang seharusnya pukul lima sore dimajukan menjadi pukul tiga sore. Setelah dikonfirmasikan ternyata ada kesalahan teknis jadwal penerbangan. Waktu itu Ia diantar sama Bagas, Sharon, Arjuna, Kasturi beserta dosen dan koleganya.
            Karena kemajuan jadwal inilah akhirnya persiapan Dino mengemasi barang-barang tidak efektif. Banyak sekali barang yang tidak terbawa. Ia hanya membawa yang penting-penting saja. Sebelum berangkat Ia berpamitan pada teman-teman satu persatu. Kemudian Ia meminta salah satu dosenya yang bernama Muhammad Wahed( sebelumnya bernama Friedrhic Ballach) untuk meminta doa pamitan. Dengan segera Ia berdoa: “Ya Allah, Mudahkanlah perjalanan Dino. Anugerahkanlah keselamatan. Kabulkanlah permohonannya untuk menggapai cinta sejati karena yang ia inginkan bukan cinta biasa. Pertemukan Dia dengan Puspita dalam mahligai rumah tangga jika memang itu menuju pada cinta sejati-Mu”.
                                                                         *****
            Gema takbir memenuhi masjidil Haram. Beribu-ribu orang berpakaian ihram sedang melaksanakan ibadah haji. Lantunan dzikir terlantun semarak. Wajah ceria penuh cinta tergambar pada wajah-wajah mereka.
            Pada tahun ini, Aji berazam menunaikan ibadah haji. Dari dahulu Ia ingin melaksanakan ibadah haji. Nah, baru kali ini Ia bisa melaksanakan haji. Betapa senang dan syukurnya ia bertepatan dengan itu judul tesisnya diterima.
            Di bawah naungan Ka`bah, Aji melaksanakan thawaf. Selesai thawaf Ia berdoa: “Ya Allah, Engkau adalah Maha Waduud. Bimbinglah selalu aku pada kesejatian cinta-Mu. Aku tak mau jatuh pada cinta terlarang yang dibangun berdasar maksiat pada-Mu. Aku ingin cinta fitri. Bukan cinta biasa. Bila Puspita Sari itu jodohku yang dapat mengantarkanku pada cinta sejati-Mu, maka pertemukanlah Aku dengannya dalam jalinan cinta”.

                                                                   *****

            Suara merdu terlantun syahdu. Dihiasi dengan bacaan mulia al-Qur`an. Di serambi masjid al-Hikmah, Alyan Hisan lagi asyik membaca mentadaburi al-Qur`an. Pada waktu itu yang dibaca: wahai Tuhanku anugerahkanlah padaku dari isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami imam dari orang-orang bertakwa”(al-Furqan: 74).

            Dalam batin Ia bergumam: “Mudah-mudahan Allah menganugerahiku isteri shalihah dan keturunan penyejuk hati dan menjadi penghulu orang-orang bertakwa. Semoga cinta itu adalah Puspita. Yang mengantarkanku pada kesejatian cinta. Bukan cinta biasa  tak bermakna yang malah menjauhkanku dari Maha Pecinta”.

Minta Jabatan

Written By Amoe Hirata on Rabu, 12 September 2012 | 19.36

             Pada tulisan yang berjudul: ‘Takut Jabatan’, disinggung suatu etika penting berkaitan dengan jabatan. Di antaranya bahwa hubungan seseorang dengan jabatan ialah: diminta bukan meminta, diajukan bukan mengajukan serta dimohon bukan memohon. Kemudian ada peristiwa sejarah yang diabadikan Al-Qur`an ada kisah yang berkaitan dengan orang yang meminta jabatan. Kisah ini berkaitan dengan kisah Nabi Yusuf, yang meminta pada raja mesir kala itu untuk menjadi bendaharawan kerajaan Mesir. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah peristiwa sejarah mengenai Yusuf meminta jabatan dengan hadits-hadits Nabi yang menganjurkan tidak meminta jabatan itu bertentangan? Padahal hadits-haditsnya shahih? Dengan melihat secara sepintas tanpa meneliti dan mencermati terlebih dahulu mungkin orang akan mengatakan ayat dan hadits berkaitan dengan meminta jabatan sangat bertentangan. Namun jika mau jeli dan mau mengumpulkan beberapa hadits dan dengan hati-hati memahami Al-Qur`an sedara komprehensif, maka antara keduanya sama sekali tidak ada pertentangan atau kontradiksi. Ketika Yusuf mengatakan:: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". Yang perlu digarisbawahi dari kata-kata Yusuf ialah kata: pandai menjaga dan lagi berpengetahuan. Dua acuan ini menandakan Yusuf mampu menjabat bendaharawan lantaran dua kualifikasi kompetensi yang dimiliki, karena itu ia minta dijadikan bendaharawan. Lebih luas lagi bahwa Nabi Yusuf mementanya bukan untuk kepentingan diri sendiri, tapi untuk kepentingan rakyat, suasananya juga mengharuskan ada bendaharawan yang mampu mengatasi musibah kemarau panjang dan kelangkaan pangan yang akan dihadapi.
            Dalam sejarah emas sahabat-sahabat Nabi ada dua fenomena peristiwa menarik yang perlu diangkat berkaitan dengan meminta jabatan. Minimal yang mau diangkat pada tulisan ini ialah dua kisah yang sama sekali bertentangan dan disikapi Nabi dengan jawaban yang berbeda. Pertama ialah kisah Abu Dzar Al-Ghifari. Suatu ketika ia meminta jabatan gubernur kepada Nabi, kemudian dijawab: Wahai Abi Dzar engkau adalah orang yang lemah, jabatan itu amanah, jabatan pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang benar-benar menunaikan kewajibannya,(serta mampu) mengemban amanat yang diembannya. Kisah lain dengan tema yang sama dan dengan jawaban berbeda yaitu ketika seorang sahabat yang bernama Ziyad bin al-Harits as-Shuda`i meminta Rasul menjadikan amir(pemimpin)) kaumnya, lalu Rasul membolehkan dan membiarkannya. Ziyad adalah seorang sahabat yang sangat ditaati oleh kaumnya, yaitu kaum Shuda`. Lihat, keduanya sama-sama meminta jabatan tetapi dijawab dengan jawaban yang berbeda. Sepintas memang bertentangan, tetapi bila kita mau lebih teliti dan menganalisa lebih dalam, ada hal yang melandasi jawaban Nabi. Nabi menolak Abu Dzar meminta jabatan karena Abu Dzar adalah orang yang lemah dalam masalah kepemimpinan, bila diteruskan maka malah akan menjadi kerusakan. Rasulpun di akhir hadits secara obyektif juga memberi pengecualian bagi mereka yang mampu mengemban amanah jabatan dengan baik. Sedangkan Ziyad bin Harits mempunya kompetensi tentang kepemimpinan. Ia sangat ditaati oleh kaumnya. Orang yang tidak mempunyai keahlian dan karisma menjadi pemimpin, tidak mungkin ditaati sedemikian rupa oleh kaumnya. Namun ke dua peristiwa itu mengalir pada muara yang sama bahwa keduanya meminta jabatan bukan karena kepentingan pribadi, tetapi kepentingan orang banyak.
            Karena itulah kita harus berhati-hati menyikapi masalah meminta jabatan. Dari sekian banyak orang yang meminta lebih banyak tumbangnya daripada tetap tegarnya. Karena itu juga sangatlah wajar ketika Rasulullah mewanti pada sahabat yang bernama Abdurrahman bin Samurah: Wahai Abdurrahman bin Samurah, kamu jangan meminta jabatan, jika kamu diberi jabatan karena memintanya, maka (beban jabatan akan ditimpakan)padamu, namun jika kamu diberi jabatan tanpa memintanya, maka kamu akan ditolong(Hr. Bukhari dan Muslim). Kita bisa melihat, merasakan, menyimak, mengamati, merenungi fenomena meminta jabatan di desa kita, di kabupaten kita, di provinsi kita hingga negara kita sangatlah menggeliat dan menjamur. Coba lihat hasilnya! Masyarakat, rakyat tambah makmur apa tambah ajur? Kenyataannya malah terpuruk meski memang tidak semuanya seperti itu. Sudahkah mereka siap berlaku seperti Yusuf yang kompeten dan ahli sehingga mampu mengemban amanah?; sudahkah mereka menapaktilas jejak Ziyad bin Harist yang mempunyai kemampuan menggerakkan kaumnya kearah kebaikan?; sudahkah mereka mampu mengedepankan kepentingan umum yang lebih luas daripada kepentingan pribadi, sebagaimana Nabi Yusuf dan Ziyad?; Kemudian sudahkah lingkungan sedemikian mendesak sehingga membuat mereka maju mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin? 
Jawaban itu sangatlah jelas dan tidak perlu dijelaskan karena masing-masing dari kita sudah bisa menjawabnya melalui realita yang ada. Kenyataan yang ada menjelaskan bahwa permintaan jabatan tidak berbanding lurus dengan kemakmuran rakyat, ketika jabatan sudah didapatkan; permintaan jabatan tidak diimbangi dengan motif memprioritaskan kepentingan umum atas kepentingan pribadi ketika jabatan sudah didapat; permintaan jabatan tidak berjalinkelindan dengan kemampuan yang dimiliki. Akibatnya amanah disia-siakan. Ketika amanah disia-siakan, maka merupakan tanda-tanda kehancuran. Ketika Nabi ditanya tentang bagaimana menyianyiakan amanah, Nabi menjawab: jika sesuatu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran)nya. Dari lembaran sejarah yang dipaparkan di atas, coba dengan jujur kita bertanya pada hati kita: apakah selama hidup, kita  cendrung menjadi orang yang meminta jabatan apa diminta menjabat? Jawaban kita akan mempengarui jalan hidup kita, ketika kita terlibat secara langsung dengan kepentingan orang banyak. Masalahnya apakah kita mampu seperti Nabi Yusuf dan Ziyad ketika meminta jabatan? Kemudian ketika diminta sudahkah kita benar-benar mampu mengemban amanah jabatan? Kalau tidak mending kita zuhud terhadap jabatan, sembari melakukan yang terbaik di tengah kondisi umat manusia yang memperebutkan jabatan. Kerena pada akhirnya jika tak terlaksana dengan baik, hal itu malah akan menjadi kehinaan dan penyesalan kita di akhirat kelak.

Takut Jabatan

Written By Amoe Hirata on Rabu, 15 Agustus 2012 | 19.34

               Di tengah hiruk pikuk negara yang penduduknya mengimani idiologi demokrasi, fenomena kompetisi jabatan tidak asing untuk diperbincangkan. Bukan karena menjabat sebagai suatu tanggung jawab besar yang harus diemban, tetapi pada realitanya lebih kepada kompetisi formal struktural dan fungsional yang bisa melonjakkan serta meningkatkan level seseorang agar menjadi lebih terhormat, mulia dan disegani. Di saat tertentu memang untuk meyakinkan orang, biasanya digunakan berbagai cara yang persuasif-inovatif dengan mengusung tema besar mengenai kepentingan orang banyak, mengenai isu-isu sosial, sebagai pijakan suksesi mendapatkan jabatan. Jabatan kebanyakan sudah ditanggalkan dari ruh tanggung jawab; sudah diceraikan dari spirit masuliyah(responsibilitas); sudah digugurkan dari rahim tanggung jawab. Kalau kita mengenal istilah dunia dan akhirat, maka jabatan secara umum sudah begitu sangat mendunia dan dijauhkan dari kepentingan akhirat; jabatan sudah sedemekian mengental dengan orientasi duniawi hingga unsur ukhrawinya luluh mencair meninggalkannya. Implikasi riil dari fenomena ini jelas akan semakin mendikotomi manusia dari integritasnya sebagai manusia yang secara transendental memiliki hubungan yang apik denga Sang Penciptanya. Jabatan dalam fenomena ini tentu saja sangat meredusir subtansi manusia. Manusia yang berorientasi jabatan, kebanyakan sudah begitu luntur kemanusiaannya. Ia bukan lagi sebagai manusia seutuhnya. Dalam menilai orang biasanya dengan standar fungsional-struktural dari jabatan yang sedang dijalani. Orang akan dihormati jika memiliki jabatan tinggi. Orang yang jabatannya rendah sama sekali tak diperhitungkan meski kemanusiannya lebih natural, utuh dan orisinil daripada yang punya jabatan tinggi.
            Dari paradigma hukum Islam, jabatan memang tidak dilarang, asal sesuai dengan prosedur syari`at. Tapi masalahnya kemudian ialah bahwa secara etis sebagaimana yang diwejangkan Nabi, bahwa hubungan atau korelasi antara manusia dengan jabatan itu seyogianya ‘diminta’ bukan ‘meminta’; ‘diajukan’ bukan ‘mengajukan’; ‘dicalonkan’ bukan ‘mencalonkan’; ‘diangkat’ bukan ‘mengangkat’. Suatu saat Rasul bersabada yang intinya: “Barangsiapa meminta jabatan, maka akan diserahkan (bebannya) pada dirinya sendiri, sedangkan orang yang diminta menjabat akan ditolong oleh Allah. Lihat perbedaan fundamental dari dua kata tersebut. Allah akan menolong orang yang diminta menjabat dan membiarkan orang yang meminta jabatan menanggung beban jabatan tanpa pertolongan-Nya. Mekanisme demikian memang kurang subur di tanah demokrasi. Ini hanya bernilai mitos bagi kebanyakan orang. Semua mekanisme untuk memperoleh jabatan memang mengarah pada ‘me’ daripada ‘di’. Sebenarnya meski secara teknis iklim demokrasi mengaharuskan demikian, di sisi lain ada sela-sela yang secara kualitatif-subtansial bisa diakomodir untuk menghasilkan output yang positif baik untuk individu maupun sosial. Namun sekali lagi usaha inipun sudah sedemikian langkah dan biasanya tumbuh-berkembang pada manusia-manusia yang secara sosio-kultural termarjinalkan dari berbagai pernak-pernik fungsional jabatan. Kondisi ini secara sadar maupun tidak sadar, memang dimeriahkan dengan kecanggihan media yang dimiliki oleh pihak-pihak yang multi kepentingan individual. Sehingga karena saking terbiasanya, atmosfir kompetisi jabatan semacam tadi sudah bukan hal yang tabu, tetapi sudah menjadi hal yang layak untuk diperlombakan, dan dikompetisikan demi meraih keuntungan pribadi.
            Berkaitan dengan tema: “Takut Jabatan”, ada baiknya kita segarkan kembali ingatan kita dengan sejarah emas sahabat-sahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Pernahkah anda mendengar atau ingatkah pada sosok yang bernama Miqdad bin `Amru? Beliau adalah sahabat yang pemberani, komandan pasukan berkuda di perang Badar, dermawan, penuh hikmah, sangat cinta Nabi, antusias dalam berjihad dan sangat anti pada kedzaliman. Mengenai kemuliaan dan sepakterjangnya dalanm dunia perjuangan dan perjuangan tidak perlu diragukan lagi. Banyak sekali pengalaman-pengalaman berharga yang dia alami bersama Rasulullah. Salah satu pengalamannya bersama Rasulullah yang berkaitan dengan jabatan ialah bahwa suatu ketika Rasulullah menjadikannya sebagai wali(gubernur), ia mendapatkan jabatan gubernur dari Rasulullah. Ketika sudah menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai gubernur, Rasulullah bertanya padanya: Apa yang kamu dapati dari jabatan gubernur(kepemimpinan)? Miqdad menjawab: Wahai Rasulallah, (ketika aku menjabat) aku mennyangka(menganggap)  bahwa semua manusia adalah sebagai pelayan atau budakku. Demi Allah, aku tidak akan menjabat apapun selama aku masih hidup. Dalam kitab rijal haular rasul kisah Miqdad mengenai jabatan yang senada dengan cerita diatas digambarkan demikian: Pada suatu hari ia diangkat oleh Rasulullah sebagai amir disuatu daerah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi bertanya: “Bagaimanakah pendapatmu  menjadi amir?” Maka dengan penuh kejujuran dijawabnya: “Anda telah menjadikan daku menganggap diri diatas semua manusia sedang mereka semua dibawahku….Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, semenjak saat ini saya tak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya.
            Miqdad bukan berarti tak kapabel dan kompeten dalam menanggung jabatan yang diamanahkan padanya. Kita mengetahui bahwa dia bisa diandalkan. Ia sama sekali tak meminta jabatan, tapi diminta. Namun pengalaman pribadinya dalam menjalankan roda kepemimpinan jabatan yang ditanggungnya memercikkan suatu hikmah yang luar biasa, sehingga bernilai filosofis dan penuh hikmah. Bahwa jabatan cendrung menggiring seseorang untuk memandang manusia lain lebih rendah dari dirinya; lebih cendrung mendorong seseorang memandang manusia lain sebagai pelayan, budak dan anak buahnya. Kesadaran itu membuatnya berkomitmen untuk takut jabatan semasa hidupnya. Coba banyangkan, ini ketika jabatan dipegang oleh orang amanah dan sanggup menanggung serta bukan meminta jabatan tapi diminta, mengalami pengalaman semacam ini. Lalu bagaimana dengan atmosfir demokrasi yang melahirkan sistem-sistem yang membuat orang harus meminta jabatan padahal kadang-kadang bahkan sangat banyak sekali yang kemampuanya tidak paralel dengan jabatan yang diemban. Apakah bukan malah membuat sengsara orang lain dan hanya mementingkan kepentingan pribadinya? Jawabanya ada pada pengalaman dan relung hati anda.

Pertaruhan Cinta

Written By Amoe Hirata on Rabu, 08 Agustus 2012 | 17.13

Malam hari kota Heidelberg sedang dibanjiri hujan salju. Musim dingin nampaknya tak kunjung usai. Kondisi demikian biasanya membikin kebanyakan orang males keluar rumah. Mereka lebih suka menghangatkan diri didalam rumah sambil menikmati kopi susu dan minuman hangat lainya. Tak jauh dari kondisi dingin salju itu, Dino terlihat bersikap dingin dan cemberut seakan ada sesuatu masalah besar yang sedang menimpanya. Sepulang kuliah, tidak seperti biasanya ia langsung pergi menuju rumah sewaanya.  Biasanya sepulang kuliah ia mampir dulu ke perpustakaan kampus.
            Ia betul-betul terlihat bingung. Lagi-lagi ia dihadapkan dengan posisi sulit. Belum lama lamaranya ditolak oleh orangtua Wangi Bunga Kasturi, karena ia bersikukuh untuk bepegang teguh pada agamanya dan ingin segera menikahi Kasturi. Ternyata tidak sampai disitu, tadi pagi salah satu dosen wanitanya bernama Diana Lhorenza juga sedang memberikan pilihan sulit pada Dino. Dia merupakan doktor utama penguji skripsinya. Diam-diam dosen itu menyukai Dino. Dino diberi pilihan kalau mau lulus dia harus rela bercinta dengan dosennya. Kalu tidak ia terancam tidak lulus.
Dino masih termenung seorang diri. Ia disIbukkan oleh pilihan sulit. Antara lulus S1 tapi bercinta dengan dosen yang tidak ia cintai itu, atau ia memilih tidak lulus tapi idealisme yang ia bangun selama ini akan gagal dengan sia-sia belaka. Rasa pusing semakin membebaninya. Disaat seperti itu ia ingat Bapaknya pernah berpesan:” Nak, railah segala sesuatu dengan  cara yang jujur dan tidak mengorbankan prinsip, bila engkau dihadapkan dengan pilihan sulit tetaplah berpegang pada kejujuran dan memegang prinsip, jangan sampai hanya karena idealisme engkau rela tidak jujur dan mengorbankan prinsip”.
Ingatan itu seakan datang sebagai solusi. Ia datang pada saat yang tepat. Hatinya sekarang sudah sangat tenang. Dia mantap akan memilih pilihan yang kedua yaitu rela tidak lulus demi mempertahankan kejujuran dan prinsipnya. Ia rela tidak lulus S1 jika harus mengorbankan prinsip nila yang telah ia pegang selama ini.
Memang benar-benar terjadi. Sewaktu Dino menyampaikan pilihan kedua dosenya tiba-tiba naik pitam dan mengancam tidak akan meluluskanya. Dengan sikap tabah dan tenang Dino menimpali:” Lakukanlah apa saja yang anda inginkan, bagi saya kejujuran dan prinsip itu lebih utama dari hanya sekedar kelulusan, saya heran di negara yang bebas ini masih ada pemaksaan-pemaksaan kehendak”.
            Melihat Dino yang begitu kuat memegang prinsip itu Diana Lhorenza tidak berdaya. Karena merasa kalah dan malu ia benar-benar akan tidak meluluskan Dino. Dalam hati kecilnya diam-diam ternyata takjub dan iba melihat ketabahan dan kekuatan Dino dalam memegang prinsip namun dia tetap bersikeras untuk tidak meluluskan Dino.
Pasca kegagalan studi yg dialaminya ia memutuskan untuk keluar dari kampus dan belajar secara otodidak sambil mengembangkan teori-teori yang diperolehnya selama belajar dikampus. Tak hanya itu ia rajin manjalin komunikasi dengan dokter-dokter ternama di kota itu hingga ia mendapat pengalaman yang luar biasa.Ketika Dino sedang asyik membaca buku ia mendapatkan sms dari pamanya; Ibnu Sina:” Dino bagaimana kabarmu? Kapan kamu balik ketanah air? Paman dan keluarga sangat kangen sama kamu, Kamu bilang kuliah disana tinggal dua bulan lagi, paman harap kalau sudah selesai kamu segera pulang karena perusahaan sedang membutuhkanmu, ada berita yang mungkin cukup bagus bagi kamu, Puspita sari denger-denger tidak jadi nikah dengan Aji yang lulusan Madinah, barang kali ini adalah kesempatan bagimu untuk segera melamarnya kembali sebelum dilamar orang, paman tahu kau masih mencintainya”.
Sms itu membuat Dino agak sedikit kaget. Gadis cinta pertamanya sampai saat ini ternyata masih belum menikah. Yang jelas dia akan mendapat peluang besar jika dia segera pulang dan melamarnya. Tapi ia agak ragu karena dengan pulang tanpa membawa ijazah seolah telah mengecewakan pihak keluarga dan merasa bohong kepada Puspita karena ternyata studinya gagal. Lagi-lagi ia bingung seolah berada dalam pertaruhan cinta. Kalau ia tidak pulang kesempatan akan lenyap. Kalau pulang dengan tanpa membawa ijazah dia akan mengecewakan keluarga dan merasa membohongi puspita.
Ia belum bisa menjawab. Ia hanya menulis puisi:

Ketika benih-benih cinta tumbuh indah memesona
Menghiasi taman-taman jiwa yang bersemai sayang
Ku sambut bunga cinta dengan aroma kasih
Yang ku tebar melalui wangi janji setia
Tak kusangka keindahan itu diterpa badai
Hingga bunga itu tak dapat ku jamah dan kucium wanginya
Aku tak patah arang meski patah hati
Ku terus  pergi jauh  lalui rambu-rambu cinta
Hingga tanpa sadar bunga cinta itu kembali tumbuh mekar
Kalbu merasa gunda
Apakah aku harus memetik bunga cinta yang sama
Jiwa sedang menghadapi dilema

Dalam pertaruhan cinta

Tercukil Tapi Tak Tercuil

Written By Amoe Hirata on Rabu, 11 Juli 2012 | 19.33

                 Bayangkan jika kita sudah menemukan orang yang kita sayangi. Bayangkan jika kita menemukan orang yang kita cintai. Sungguh, hati akan berbunga. Keharumannya semerbak menawan hati. Kegersangan jiwa yang selama ini menandus kering, sontak menjadi subur makmur oleh tanaman cinta yang begitu menggoda. Bila benih cinta sudah bersemi kasih dan sayang maka segala hal akan dikorbankan untuk menjaga dan merawat keberadaannya. Sedemikian dahsyat pengaruh cinta bagi seseorang hingga untuk memperjuangkan dan menjaganya akan mengorbankan apa saja walau harus nyawa.
            Adalah Qotadah bin Nu`man saudara dari Abu Sa`id al-Khudri benar-benar telah menemukan cintanya. Ia menemukan sosok yang dapat mengisi kekosongan hatinya; yang dapat menyejukkan kegersangan hatinya; yang dapat menentramkan kegalaun jiwanya. Betapa tidak kalau yang dicintai itu ialah: Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Setelah berada pada rimba jahiliah yang kelam, akhirnya ia menemukan sorot cahaya yang terang benderang menyinari kegelapan sikap dan laku yang selama ini dijalani. Begitu ia menemukan cahaya petunjuk yang terang itu dia tak akan pernah melepaskannya. Ia rela mati untuk memperjuangkan petunjuk yang ia dapatkan.
            Kehidupannya diisi dengan perjuangan-perjuangan yang mengagumkan. Berjuang dengan sekuat tenaga dengan harta dan jiwanya untuk kepentingan Islam. Rasulullah pernah berdoa untuknya: Ya Allah pakaikan padanya keindahan.  Kata-kata ini beliau sebut bertepatan dengan perang Uhud yang hampir saja membut Qotadah bin Nu`man kehilangan sebelah matanya. Matanya terkena busur panah hingga keluar bagai tercukil. Hampir saja para sahabat memotongnya, namun mereka mengadukan masalah ini kepada Rasulullah. Rasulullah tidak mengiyakan saran mereka, Beliau malah mengembalikan mata ke tempat semula dan melumurkan padanya ludah, berkat izin Allah Qotadah bin Nu`man sembuh seketika. Pada kondisi demikianlah akhirnya beliau berdoa: Ya Allah, pakaikan padanya keindahan.
            Walau matanya seakan keluar tercungkil, namun semangat membara untuk memperjuangkan Islam dan cintanya pada Allah dan Rasulnya tak pernah pupus dan padam; tak pernah tercuil sedikitput oleh harapan-harapan kerdil. Ia sungguh-sungguh cinta pada Rasulullah sehingga Ia tak eman meski pengelihatanya akan hilang. Cinta yang besar ini ternyata membuatnya beruntung. Bukan hanya matanya yang kembali normal, tapi ia merasa semakin cinta pada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Ketika Rasululla wafat menuju keharibaan-Nya hatinya seolah tercabik-cabik, tak kuasa menahan kesadihan yang begitu dalam. Namun dia bersyukur meski beliau telah tiada tetap ada pegangan berupa Al-Qur`an dan As-Sunnah yang bisa menyinari dan mencahayai titian hidupnya menuju jalan yang mustaqim. Cinta bukanlah sekedar mengobral janji dengan kata-kata indah; bukan sekedar romantisme yang garing tanpa bukti, tapi cinti itu perlu dibuktikan dengan perjuangan dan pengorbanan. Semakin besar cinta menggelora dalam dada, semakin besar perjuangan yang harus dibuktikan, hingga pada akhirnya, ketika perjuangan sudah begitu sangat besar, maka rasa manis akan kita rasakan. Cintapun dengan suka cita berkata: Kemari ikut aku, kau sungguh pantas mendapat cinta sejatinya, kini aku sungguh percaya. Semoga Allah senantiasa meridhai dan menjagamu wahai Qotadah bin Nu`man di peristirahatan sementara menuju keridaan ilahi.

Nestapa Cinta Penjara Suci

Fajar menyingsing lembut. Panorama disekeliling pondok al-Karimah remang-remang tak terlihat jelas. Dalam hening itu, terdengar suara gaduh hewan-hewan sawah dan lain sebagainya; kokok ayam, suara katak, ringkikan jangkrik. Maklum lhokasi pondok al-Karimah terletak di pedesaan, terlebih di belakangnya terdapat  sawah yang luas. Para santri sudah berjejer rapi sejak jam 03:00 dini hari menunaikan shalat Tahajjud. Suara tilawah ayat-ayat al-Quran terdengar serempak dan syahdu. Biasanya, setelah menunaikan shalat Tahajjud para santriwati menunggu waktu shalat Shubuh dengan membaca al-Quran secara bergantian.
Puspita sari sedang khusyu membaca ayat-ayat  al-Quran bersama teman-temanya. Dalam hati ia merasa bersyukur bisa mengikuti pondok tahfidz di pondok al-Karimah. Ini karena, banyak hal yang ia dapatkan, dari mulai kemandirian, kedisiplinan, kebersamaan, dan sifat-sifat baik lainya. Ditengah kekhusyuan itu terdengarlah kumandang adzan shalat Shubuh. Para santriwati bersiap-siap menunaikan shalat Shubuh berjama`ah. Mereka menunaikan shalat sunnah qabliyah dulu baru setelah itu baru menunaikan shalat Shubuh.
Ba`da shalat Shubuh, sebagaimana biasa, ada siraman rohani yang biasa disebut kultum(kuliah tuju menit). Kali ini diisi oleh ustadza Rahmah Shinta Adi Lesmana Lc, (ustadzah lulusan Mesir yang di samping pakar dalam ilmu diniah, dia juga pakar dalam bidang ilmu kauniah). Pada kesempatan ini, ustadzah Rahmah mengupas tema, ‘Cinta Sejati’. Beliau menandaskan bahwa cinta sejati pada dasarnya hanya milik Allah dan Rasul-Nya. Bila seorang muslim mencintai sesuatu melebihi kecintaanya terhadap Allah dan rasul-Nya maka ia telah menodai kesejatian cinta. Cinta Allah dan Rasul-Nya adalah diatas segala cinta. Cinta Allah dan Rasulnya merupakan indikasi kesempurnaan iman seorang muslim dan muslimah. Karena itu selayaknya bagi kita untuk selalu menempatkan cinta Allah dan Rasul-Nya diatas segala cinta karena hanya dengan itu kita bisa menemukan kesejatian cinta.
Selepas pemaparan kultum, para santri diberikan kesempatan untuk bertanya kepada ustadzah Rahmah. Dengan cepat dan segera Puspita Sari mengacungkan telunjuknya tak sabar untuk bertanya. Silahkan(kata ustadzah Rahmah). Maaf ustadzah, kalau cinta sejati itu hanya untuk Allah dan Rasul-Nya lalu bagaimana cara kita memposisikan cinta antara lawan jenis dengan cinta sejati itu? Apakah cinta kita yang tulus dan dalam terhadap laki-laki dapat merusak kesejatian cinta? Bagaimana cara kita berinteraksi dengan cinta selain Allah dan Rasul-Nya? Mungkin hanya ini saja uztadzah, kurang lebihnya saya mohon maaf sebesar-besarnya.
Dengan santun dan senyum lembut ustadzah Rahmah menjawab:" Saya akan menjawab ketiga pertanyaan tersebut dengan satu jawaban saja:"Posisi cinta lawan jenis dengan cinta sejati ialah cinta lawan jenis di letakkan di bawah cinta sejati. Ini bukan berarti ada pertentangan antara cinta sejati dengan cinta lawan jenis. Intinya kualitas dan kuantitas cinta sejati tetap di jadikan acuan cinta. Pada dasarnya cinta selain Allah dan Rasul-Nya harus di dasari oleh semangat cinta sejati karena pada dasarnya jika cinta itu tidak dilandasi oleh semangat ibadah menuju cinta sejati maka kita telah menodai kesejatian cinta. Cara kita berinteraksi dengan selain cinta sejati ialah dengan selalu membangun kesadaran internal bahwa pada dasarnya cinta selain sejati merupakan salah satu serpihan cinta yang di rajut dan dijalin untuk mendapat kesejatian cinta. Bila melebihi kadar tersebut maka akan terjadi ketidak harmonisan interaksi cinta, ini dapat berdampak buruk pada cinta sejati kita.
Bertepuk tanganlah seluruh santri setelah mendengar jawaban ustadzah Rahmah. Puspita merasa senang dan puas atas jawabanya. Ada satu hal yang janggal di benak Puspita; Mengapa sejak ia bertanya sampai selasai di jawab, ustadzah memandangnya terus, dan pandangan ini dirasanya sebagai pandangan yang tak biasa. "Ada apa ya gerangan dengan ustadzah ini?"(Tanya puspita pada diri sendiri). Rupanya memang benar. Setelah acara kultum itu ustadzah Rahmah menemui kepala asramah pesantren. Ia pingin tahu banyak perihal Puspita. Ia mendapat keterangan bahwa disamping cantik, Puspita adalah ahwat yang cerdas dan baik budi pekertinya, hanya dalam waktu satu tahun dia sudah mampu menghafal al-Quran dan menguasai qira`ah sab`ah(model tujuh bacaan masyhur al-Quran), ia juga sangat disenangi dan disayang oleh teman-temannya.
Seteleh mendapat keterangan itu, ustadzah Rahmah Shinta Adi Lesmana segera menemui Puspita Sari. Kebetulan waktu itu Puspita Sari sedang mendapat telfon dari keluarganya di kantor. Akhirnya dengan sabar ustadzah Rahmah menunggunya di masjid. Puspita Sari mrndapat kabar kurang baik. Abahnya mengatakan bahwa Aji Kurniawan memintanya untuk menunda perkawinanya setahun lagi mengingat ia telah gagal mengajukan judul akibat menolhong temanya yang lagi terkena serangan jantung. Tapi Aji sendiri sudah menyerahkan semua keputusan kepada Puspita Sari. Kalau siap menunggu maka hubungan bisa terus berlanjut kalau tidak maka Puspita bebas untuk memutuskan hubungan pertunangan yang tlah terjalin.
Puspita agak kaget mendengarnya. Ia bilang pada abahnya: "Bah, Puspita minta maaf, tolong berikan waktu beberapa hari untuk memutuskanya. Untuk sekarang ini Puspita masih belum bisa mengambil keputusan". "Baiklah ndok kalau memang begitu, mungkin sekian dulu, abah tunggu jawabanmu, abah harap kamu jangan terlalu sedih".
            Selepas menerima telfon dari abahnya, Puspita segera menuju masjid untuk me-muroja`ah(mengulang) hafalanya. Dari kejauhan terlihat ustadzah Rahmah sedang duduk menunggunya. "Puspita sebelumnya saya minta maaf kalau sedikit mengganggu, saya sudah banyak mendengar tentang kamu. Waktu saya sangat sedikit. Makanya saya akan to the point saja. Begini saya sedang mencarikan calon istri untuk keponakan saya, namanya Alyan Hisan; lulusan S2 Universitas Indonesia. Al-hamdulillah secara materi dia sudah mapan. Orangnya juga masih mudah dan shalih, dan ingin segera mencari calon istri. Kira-kira kamu mau tidak menjadi calon istrinya?.

            Puspita merasa bingung. Mana kira-kira yang akan dipilih oleh Puspita? Kalau memilih Aji Kurniawan, dia harus menunggu setahun lagi, ini otomatis akan merusak rencana yang sudah ia rencanakan selama ini. Kalau dia memilih Alyan Hisan memang ia bisah langsung menikah tahun ini. Tapi, ia merasa tidak tega dan kasihan  kepada Aji Kurniawan.

Terompah Surga

Written By Amoe Hirata on Senin, 18 Juni 2012 | 19.32

              Ada banyak hal dalam kehidupan di dunia ini yang dianggap orang sederhana namun memiliki nilai yang sangat berharga. Gejala demikian muncul pada komunitas yang menilai sesuatu itu hanya secara wadag materil. Penilaian demikian tentu sangat relatif dan subyektif. Pada gilirannya pihak yang berkuasalah yang menentukan standart penilaian materil. Misalnya: kulit putih dianggap sebagai kulit terbaik dan yang paling rendah ialah hitam; Yang dihormati dimasyarakat ialah yang kaya dan berkedudukan, sedangkan orang biasa dan miskin tidak dihormati; yang benar ialah pendapat subyektif manusia kaya, pendapat si miskin  dikesampingkan; pendapat orang terkenal diutamakan meski salah daripada orang biasa meski benar. Masih banyak lagi berbagai standar penilaian yang sangat wadag.
            Letak bernilai tidaknya sesuatu bukan semata terbatas pada lahiriah semata akan tetapi juga batiniah. Islam menetapkan standart  bernilainya sesuatu pada kualitas bukan kuantitas; menilai sesuatu bernilai berdasarkan etos kerja, ketakwaan, dan kinerja terbaik, bukan pada kehebohan dan keindahan fisik. Orang dianggap berharga bukan terpaku pada kekayaan, kedudukan, kegantengan, kecantikan, dan berbagai standar lahiriah lainnya, tapi yang dijadikan acuan ialah seberapa baik amal dan kinerjanya, dan seberapa besar ketakwaannya. Walaupun berkedudukan jika tak takwa maka percuma. Meskipun kaya jika tak baik amalnya maka percuma. Meski rupawan tapi jika tak takwa maka tiada gunanya.
            Pada zaman jahiliyah di mana Islam baru tumbuh berkembang, standart penilaian yang sangat wadag dan materil ini sangat mendominasi alam pikir dan idiologi mereka. Misal saja orang-orang kulit hitam dianggap sebagai orang kelas bawah, tak memiliki hak-hak seperti orang kulit putih, lebih dari itu kebanyakan dari mereka dijadikan budak. Hampir tak terdengar-kalau tak boleh dibilang sama sekali tidak- orang-orang kulit hitam yang menempati posisi penting. Mereka selalu dinomerduakan.
            Diantara orang hitam yang tinggal di Arab jahiliyah kala itu ialah Bilal bin Rabah. Sebagaimana yang lain, sebelum masuk Islam ia tak lebih hanya sebagai budak. Melayani dan membantu keperluan tuannya. Tuannya kala itu salah seorang pembesar Qurays bernama Umayyah bin Khalaf. Kehidupan Bilal yang sangat sederhana dan bersahaja di waktu Jahiliyah terhitung sangat biasa dan tak begitu diperhitungkan. Namun ketika cahaya Islam menyinari kegelapan hatinya, seorang Bilal yang dianggap hina ini seolah terlahir kembali. Dalam Islam dia dimuliakan, disetarakan, dihargai dan dihormati. Ia merasakan keteduhan dan kesejukan dari agama yang baru datang ini. Sekali dia dapat petunjuk agung ini, tak akan pernah dilepas meski harus mendapat tantangan berat. Lambat laun keislamannyapun bocor. Ketika tuannya tahu, maka Bilal disiksa sedemikian rupa di tengah terik mentari, ditindihi batu. Bilal tak gentar dan tetap teguh seraya berkata: Ahad Ahad Ahad. Sampai akhirnya Bilal dibebaskan oleh Abu Bakar as-Shidiq radhiyallahu `anhu.
            Nabi sangat menghormati Bilal. Ia tidak pernah membeda-bedakan setatus, karena yang terbaik adalah siapa yang paling takwa. Bilal dapat kemulian menjadi muadzin tetapi. Bilal tahu bahwa bakat dan potensinya adalah suara, maka dia berkontribusi melalui segi suara. Lebih dari itu, yang menjadikan Bilal penuh kemulian dan kehormatan ialah: Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wassallam pasca pulang dari perjalanan isra` wa mi`raj, beliau menceritakan bahwa ketika melihat surga ia mendengar suara terompah Bilal. Rasulullahpun penasaran sehingga menanyakan langsung kepada Bilal tentang amalan apa yang membuatnya mendapatkan kepastian masuk surga padahal dia masih hidup di dunia. Dengan sangat sederhana Bilal menjawab: Aku selalu menjaga kesucianku, dan setiap kali aku selesai bersuci aku shalat dua rakaat. Mungkin ini terkesan sederhana. Namun dibalik kesederhanaan ini menyimpan: kekontinyuan, kedawaman, ke-itqannan, dan keistiqamahan dalam beramal. Bukankah amal yang paling dicintai Allah ta`ala ialah meski sedikit tapi dawam dan istiqamah?Terompah Bilalpun mendahuluinya ke surga.
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan