Ba`da shubuh, cahaya fajar mulai
padhang bersinar. Menyinari tetumbuhuhan alam yang selalu bertasbih pada Tuhan
semesta alam. Pepohonan tak hentinya menaburkan oksigen, sebagai wujud
kepatuhannya pada Yang Maha Kuasa. Bunga-bunga mawar yang ada di pelataran
rumah mulai memekarkan kuncupnya. Hawa pagi begitu menyejukkan hati. Badan
terasa bugar segar. Suasana hati terasa gembira meluap asa. Para petani sudah
mulai bergegas menuju hamparan sawah. Sekawanan burung emprit melambai-lambai di udara mencari makan
untuk anak-anaknya. Embun pagi menyelimuti rerumputan yang sedang tumbuh
menghijau. Ikan-ikan hias di kolam terlihat riang penuh senang
mengepakkan sirip indahnya. Kicauan merdu burung kenari begitu mengalun lembut
membuat hati menari-nari hanyut dalam keindahan suaranya. “Betapa besar karunia
Allah yang diberikan kepada hamba-hambanya. Namun banyak sekali hamba-hamba-Nya
yang mengingkarinya”. Gumam Aisyah Dwi Artanti di taman samping rumahnya.
Ia
sedang asyik me-muraja`ah(mengulang) hafalan dan mentadabburi(merenungi)
ayat-ayat Al-Qur`an. Waktu itu yang ia tadabburi ialah ayat dari surat
Ar-Rahman yang berbunyi: fabiayyi
alaai Rabbikuma tukadzdzibaan(dan dari karunia Rabmu yang mana lagi kamu
mendustakan). Ia larut dalam suasana perenungan yang dalam. Betapa ia telah
dianugerahi Allah nikmat begitu besar, dan merasa belum maksimal dalam
mensyukuri nikmat yang tak terbatas itu. Ia sudah hafal Al-Qur`an. Kedepan ia
pastinya akan mendapat cobaan yang berat, karena perjalanan ahli Al-Qur`an
dalam meniti shirath mustaqim tidaklah mudah. Ia selalu berusaha
memaksimalkan sifat sabar dan syukur supaya bisa tegar dalam menghadapi setiap
cobaan.
Dalam kondisi demikian, HP-nya berdering. Ia letakkan mushaf warna cokelat
mudanya di tempat duduk samping taman. Setelah dilihat, ternyata ia mendapat
telpon dari nomer yang tak dikenal. Ia angkat saja: “Halo assalamu`alaikum,
afwan ini dengan siapa ya, ada keperluan apa?”. “Wa`alaikumussalam, ini
Shinta Aulia. Apa benar ini Aisyah”. “ Subahanallah, mbak Shinta toh, apa kabar
mbaak, pean tau nomer ana dari siapa, kok tau kalo ana sudah lulus dan baru
pulang?”. “Aku tau dari intan dek. Katanya dia adek kelas adek ya di pondok
tahfidz?”. “Ooo Intan toh .... ternyata takdir Allah mempertemukan kita dalam
kondisi seperti ini”. “Apa kabar kamu sekarang? Lagi sibuk apa? Kapan nih
nyusul mbak”. “Al-Hamdulillah baik mbak, untuk sementara ga terlalu sibuk,
hanya kegiatan muraja`ah saja, nyusul apa mbak maksudnya?”.
“Nikah
maksudku...heee”. “Emm..gimana toh mbak ini saja baru lulus...belum terpikir
mbak...tapi kalau ada yang pas memang saya sudah siap secara lahir batin”. “O
ya alamat rumahmu masih tetap seperti yang dulu?”. “Ooo sudah pindah mbak, di
jalan Kebun Indah”. “Wah pantesan kok setiap aku lewat ke rumahmu yang lama kok
sepi-sepi saja, pernah sih ada keluarga gitu, tapi asing, ga ada yang ku
kenal”. “Itu omku mbak..heee”. “Aisyah entar sore ada waktu ga? Aku mau
shilaturrahim ke rumahmu”. “O ada-ada mbak monggo, ana insyaAllah ndak ke
mana-mana”. “Oke...insya`allah ba`da ashar aku kerumahmu dengan seseorang”.
“Silahkan mbak, kalau boleh tau sama siapa ya mbak”. “Entar kamu akan tau
sendiri. Udah dulu ya dek, aku harus nganterin Alvino sekolah. Maaf lho kalau
ganggu waktu adek. Assalamua`laikum”. “Ya mbak...sama-sama, tak tunggu di rumah
lho ya, wa`alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh”.
******
Di kediaman Sabrina terlihat masih dipenuhi nuansa berkabung. Mamanya masih
belum bisa percaya bahwa orang yang selama ini menemani susah-senang hidupnya,
kini telah pergi meninggalkannya; orang yang selama ini menjadi imam dalam
bahtera rumah tangganya, telah pergi jauh darinya. Allah telah menjemputnya
menuju kehidupan yang lebih abadi. Di kompleks perumahan Gunung Sari, suaminya
dikenal sebagai orang yang supel dan peduli sosial. Pantas ketika suaminya
meninggal, banyak sekali yang mengantarkan jenazahnya. “Ma, aku tau ini
sangatlah sulit bagi kita, tapi jika menangis terus, mungkin papa bukan malah
bahagia, sejauh yang bisa kita bisa sekarang ialah mendoakan yang terbaik
untuknya”. “Iya Sabrina, mama selalu mendoakan yang terbaik untuk papamu, cuman
hati ini tak kuasa menahan tangis setiap ingat kenangan bersamanya, suatu saat
kamu akan mengerti betapa perihnya kehilangan orang yang sangat kita cintai”.
“Iya ma, aku sebenarnya sangat susah dan sedih ditinggal oleh beliau, tapi
kurasa yang terbaik sekarang ialah mengikhlaskan dan berdoa yang terbaik
untuknya. O ya ma katanya kemarin mama mau memberitahu wasiat papa yang harus
disampaikan padaku? Kalau mama berkenan, apa washiat papa ke aku?”. “Gini
Sabrina, kamu kan sudah lulus kuliahnya, sudah dapat pekerjaan tetap, mama rasa
kamu sudah waktunya untuk menikah, nah washiat papamu itu berkaitan dengan
pernikahan. Papamu jauh sebelum meninggal mau menjodohkan kamu dengan anak
sahabatnya. Kamu tahu kan sama om Yuda Karisma? Nah itu sahabat papamu. Ia
punya anak yang baru lulus S2 dari universitas Madinah. Anaknya penurut,
pintar, dan baik hati lho”. “Aku ikut kata mama sama papa saja deh, yang jelas
pilihan mama dan papa insyaallah yang terbaik buat Sabrina. Dari dulu Sabrina
punya mimpi mempunyai suami shalih. Kalau takdir cintaku memang bersama dirinya
aku akan siap menemaninya dalam mengarungi samudera kehidupan dengan behtera
rumah tangga”.
*****
Di sore hari bulan Ramadhan, Aji sedang khusyu` membaca Al-Qur`an di ruang
perpustakaan rumahnya. Beberapa saat setelah membaca Al-Qur`an, ia mencoba
merenung sejenak, menentukan jawaban yang harus ia pilih. Ini merupakan pilihan
sulit baginya. Saat itu ia mencoba melukiaskan suasana hatinya dengan menulis
puisi:
Seutas tali cinta
Menjulur panjang
Menjalin kasih dan sayang
Ketika ku mencoba
Mengikat, dengan hati yang datang
Berupa jelita yang menyejuk hati
Hati lain datang mengurai
Ikatan cinta yang kan terjalin
Ke siapa tali cinta ini harus ku jalin
Sedang hati ini
Berada di antara dua hati
Belum lama setelah ia menulis puisi, ia mendapat telepon dari Shinta Aulia.
“Assalamu`alaikum....Mas Aji, ini aku Shinta”. “Iya Sin, aku tau ini suara
Shinta”. “Aku sekarang sedang berada di rumaAisyah Mas, aku sudah memberi
pendahuluan mengenai maksudku menjodohkan mas dengan dia. Al-Hamdulillah Aisyah
belum ada yang meminang. Kabar baiknya, ia juga siap untuk serius menikah.
Setelah aku sampaikan baik-baik mengenai ketertarikan Mas dengan Aisyah, al-hamdulillah disambut dengan hangat. Insyallah mereka
setuju semua. Aku lihat Aisyah tersipu malu. Cuman gini mas, untuk mengetahui
keseriusan mas, keluarga Aisyah pingin mas datang ke rumah Aisyah dengan
keluarga mas, kalau bisa secepatnya. Gitu saja dulu ya mas, sampai jumpa lagi.
Wassalamualaikum”.
“O ya Sin entar tak kabari, wa`alaikumussalam warahmatullahi
wabarakatuh”. Mendapat telpon dari Shinta makin membuat Aji semakin
bingung. Shinta sudah datang ke rumah Aisyah, dan menginginkan Aji segera ke
rumah Aisyah untuk memastikan. Sedangkan orang tua Aji sama sekali belum tahu
kalau Aji tertarik dengan Aisyah. Padahal ke dua orang tua Aji yakin bahwa Aji
menerima pertunagannya dengan Sabrina. Apa yang akan dilakukan Aji?
*********