Selendang Bidadari

Written By Amoe Hirata on Rabu, 25 November 2015 | 14.04

             Aku bercermin pada kaca rindu. Tampak indah wajahnya, serupa bidadari surga. Hati bergetar tak karuan, menanti sungging senyuman, sang wanita idaman.
                Apa daya, laksana pepohonan dan bumi, kadang ku bisa menyatu dengan bidadari. Ada pula masa, laksana langit dan bumi, minyak dan air, bidadari tak bersamaku.
          Saat jauh, hanya selendang cinta, yang ku pegang erat. Aroma wanginya, membuat ku bertekad: Aku akan menunggu hingga kau datang mendekat.
       Bidadariku, kalau ada kata yang mampu mewakili kerinduanku, maka tak lain selendang sucimu, yang mengikat cinta kita menjadi halal menyatu. Bidadariku: “I love you.”

Benarkah Kita Pengikut Muhammad?

Written By Amoe Hirata on Rabu, 04 November 2015 | 13.25

Dalam buku kumpulan esai yang berjudul, Surat Kepada Kanjeng Nabi(hal. 32, terbitan: Mizan, 2015), ada pernyataan menarik yang ditulis Budayawan Muslim, Emha Ainun Nadjib:
“Di negeri kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya. Di negeri ini, kami punya Muhammadiyah, punya NU, Persis, punya ulama-ulama dan MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, IMM, Anshor, Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi Islam intensif, yayasan-yayasan, mubalig-mubalig, budayawan, dan seniman, cendekiawan dan apa saja”.
Ia pun memungkasi, “Yang tak kami punya hanyalah kesediaan, keberaniaan, dan kerelaan sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu.”
Pernyataan Budaayawan yang akrab dipanggil “Cak Nun” di atas, ternyata masih relevan –meski ditulis di era sembilan puluhan- dengan kondisi umat Muslim saat ini, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
            Pada kulit permukaannya, setiap Muslim –apapun aliran, kelompok dan golongannya- pasti mengaku mengikuti jejak Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Masalahnya –bila dilihat di lapangan- ada beragam warna kontras dalam memanivestasikannya, sehingga mengesankan ajaran yang dikotomis.
            Ironisnya,  masing-masing –yang masih dalam payung Islam- merasa paling mewakili, bahkan bangga terhadap mereka terhadap kelompoknya yang dianggap ittibā`(mengikuti) Kanjeng Nabi(Ini sesuai dengan, Al-Mu`minun: 53 dan Ar-Rum: 32).
            Sikap demikian membuat gambaran nabi menjadi tak utuh, ajarannya pun terpenggal-penggal.
Yang berjuang melalui jalur budaya, melihat sepak terjang nabi hanya pada kebijakan-kebijakan kultural, sehingga ajaran-ajaran beliau yang lain tak begitu dihiaraukan. Yang  berjuang dengan orientasi politik, menakar nabi dengan sudut pandang politik, sehingga ajaran agung lain dari beliau tidak begitu diperhatikan.
            Yang berjuang pada orientasi pemurniaan akidah dan syari`at, kadang tak peduli terhadap masalah politik dan kehidupan sosial umat. Ada juga yang berkeliling-keliling daerah, meneladani dakwah nabi, sehingga yang dipentingkan adalah dakwah ke luar daerah untuk menyampaikan ajaran-ajaran syariat nabi(seperti: Rukun Islam), di sisi lain tak peduli pada politik.
            Bahkan ada juga yang memilihnya dengan cara pandang subtantif. Misalkan, Islam itu adalah agama cinta, maka tak dibenarkan kekerasan atas nama agama. Tanpa sadar membiarkan saudara Muslim dianiaya, (bahkan membela) aliran-aliran menyimpang, di sisi lain berusaha menutup-nutupi ajaran jihad yang ada dalam Islam(karena khawatir dicap teroris).
            Di sisi lain ada juga yang mau mengikuti Muhammad, dan Islam asalkan bersumber dari kalangan Ahlul Bait sehingga menafikan yang lainnya.
            Semua mengaku mengikuti nabi, mencintainya, padahal gambaran mereka tentang nabi masih dikotomis, tidak kaffah. Gerakan-gerakan yang ada hanya menggambarkan sudut sempit di mana nabi bergerak, belum benar-benar menunjukkan nabi yang utuh. Maka jangan heran jika sampai sekarang umat Islam belum menyatu, karena masing-masing berjuang sesuai dengan tafsir dan kecendrungannya.
            Suatu saat Mutsannah bin al-Haritsah(sesepuh Bani Syaiban) memberi penawaran menarik pada Rasulullah. Ia dan sukunya mau membela, mengikutinya asal di kawasan Arab saja. Rasul pun dengan tegas dan penuh adab menolak, sembari berujar: “Sesungguhnya agama Allah ta`ala tidak akan ditolong oleh-Nya, melainkan orang yang (mau memperjuangakan) segenap sisinya,”(al-Sirah al-Nabawiyah wa akhbaru al-Khulafa, Ibnu Hibban, 1/101).
            Peristiwa itu mengajarkan pelajaran penting: jika mengaku mengikuti nabi, memperjuangkan Islam, maka harus pada segenap sisinya.
Mengambilnya sepotong-sepotong hanya akan membuat Islam jadi rancu. Akibatnya, persatuan umat sulit terwujud. Umat lain pun dengan mudah mengadu domba umat Islam.
Syaikh Mutawalli al-Sya`rawi dalam salah satu ceramahnya menyatakan, ‘Tidak mungkin sesama yang haq akan bertentangan, yang memungkinkan bertentangan adalah jika sama-sama bathil, karena jika yang hadir benar-benar haq(sesuai, Qs. Al-Isra: 81) maka kebatilan pasti lenyap.
Pertanyaannya sekarang ialah: masing-masing golongan apa sudah pada posisi yang haq? Benar-benar menggambarkan Nabi Muhammad dan Islam secara menyeluruh? Jika di lapangan masih banyak terjadi perselisihan destruktif sesama umat Islam, maka masing-masing (dengan rendah hati) harus mengevaluasi diri.
Mari mengikuti Muhammad shalallahu `alaihi wasalam dan Islam dengan segenap sisinya, supaya kita ditolong Allah, dan persatuan pun bisa terwujud.

Wallahu `alam bi al-Shawab.

Jatuh Cinta Setiap Hari

Written By Amoe Hirata on Selasa, 03 November 2015 | 04.12

            Bagi setiap pasangan yang baru menikah -pada umumnya-, malam pertama adalah malam yang sangat indah. Waktu yang panjang terasa pendek; badan capek terasa rileks; jiwa nestapa terasa bahagia. Bunga cinta indah merekah; hati dan jiwa diliputi kebahagiaan yang membuncah.
Demikian juga Pandu yang sedang asyik menikmati malam pertamanya dengan Kumala Hati Mutiara, laiknya kumbang menikmati bunga merekah.
Tapi, ada pertanyaan serius yang ditanyakan Kumala kepada Pandu: “Mas, bagaimana caranya agar bisa jatuh cinta setiap hari, sebagaimana malam pengantin kita?”.
            Pandu tak menyangka mendapatkan pertanyaan itu. Memang terdengar sederhana, namun sarat makna. Kebanyakan orang mungkin hanya berhenti pada kenikmatan cinta di bulan madu. Tapi, kalau mau dikejar lebih jauh: apakah cinta yang dibina hanya berbalut nafsu sesaat sehingga membuat cinta menjadi rentan ‘berkarat’, atau berbalut kesadaran relung hati yang membuat cinta bertumbuh setiap hari?
Maka sangat wajar jika Kumala menanyakannya. Yang ia harapkan bukan cinta sementara, dan biasa. Dara cantik itu menghendaki cinta hakiki, yang mampu bertahan menuju ridha ilahi.
            Sejenak ia berfikir, berusaha mengumpulkan bahan-bahan keilmuan yang selama ini didapat, untuk menyediakan jawaban yang tepat.
“Sayang! pertanyaanmu sungguh luar biasa. Cinta saja berabad-abad masih diperdebatkan maknanya, apalagi cara untuk mempertahankannya pasti lebih sukar. Meski begitu, aku akan mencoba –sekadar mampu- untuk menjawab pertanyaan sebagus itu.”
            “Kamu tahu Dik, bagaimana cinta Nabi Muhammad kepada Khadijah?” tanya Pandu. “Emmmm, ndak ngerti Mas. Setahuku sih nabi sangat setia dan tak pernah menduakannya selama hidup bersama.”.
“Ya, memang cinta nabi kepadanya adalah cinta setia. Namun lebih dari itu, api cinta nabi pada Khadijah senantiasa membara sampai ia tiada?.” Tanya Pandu. “Sepertinya begitu Mas,” jawabnya sekenanya.
“Dik! Suatu saat Aisyah cemburu. Gara-gara nabi sering menyebut-nyebut nama Khadijah dan amat peduli dengan kerabatnya. Ia berseloroh, Apa tidak ada wanita lain selain wanita tua yang sudah meninggal dunia itu?’. Singkat cerita nabi tersinggung, sehingga menunjukkan kelebihan-kelebihan Khadijah.”
            “Ada beberapa alasan penting –sesuai dengan riwayat hadits- yang bisa dijabarkan disini: mengapa cinta nabi terhadap Khadijah masih bersemayam di dalam hati?.” Pandu mulai menjelaskan.”
Pertama, cinta nabi pada Khadijah adalah karunia ilahi. Nabi menanggapi Aisyah, ‘Sungguh aku dikaruniai cintanya (Khadijah)’(Hr. Muslim). Ya. Cinta yang berasal dari karunia ilahi adalah cinta suci. Ia mencintai bukan karena hawa nafsu sesaat, tapi karena bimbingan dan anugerah ilahi.
Kedua, nabi dikaruniai anak dengan Khadijah(Hr. Bukhari). Cinta sejati tak berhenti pada romantisme semu. Apalah arti cinta, jika tidak ditujukan untuk melahirkan generasi. Maka ada istilah ‘buah cinta’. Maka sangat wajar cinta nabi masih menyala, karena bersama Khadijah mendapat buah cinta.”
Ketiga, cinta nabi pada Khadijah adalah cinta misi atau cinta berdasar nilai hakiki. Ketika Aisyah mengatakan bahwa nabi telah dikaruniai ganti cinta yang lebih baik, beliau menjawab, ‘Allah tidak mengganti yang lebih baik darinya. Ia beriman di saat orang-orang kafir. Membenarkanku, di saat yang lain mendustakanku. Menolongku dengan hartanya, di saat orang lain mencampakkanku.”(Hr. Ahmad).
Di sini jelas posisi cinta nabi pada Khadijah. Bagi beliau Khadijah bukan semata materi, tapi nilai hakiki. Khadijah selama hidupnya mampu menjadi mitra terbaik dalam berdakwah. Sebagai istri ia bukan saja mampu menjadi pelipur lara bagi suaminya, namun ia juga mengorbankan segenap miliknya demi perjuangan dakwah. Maka tak mengherankan jika sepanjang zaman, ia selalu berkesan.”
“Intinya apa Mas. Aku masih kurang paham,” tanya Kumala dengan manja. “Dari kisah nabi tadi, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan agar cinta menjadi langgeng atau dengan kata lain, agar jatuh cinta setiap hari.”
“Emang apa saja Mas? Aku sudah tak sabar mendengarnya.” “Hehehe, kamu ini. Semakin manja, kamu semakin cantik dan imut.
Pertama, Dasari cinta karena, dan berdasarkan Allah ta`ala. Cinta karena Allah adalah cinta yang tulus mengharap ridhaNya. Cinta berdasarkan Allah adalah cinta berbingkai rambu-rambu yang telah ditetapkan Allah.  Cinta Rasul dengan Khadijah langgeng, karena dibangun berdasarkan cinta tulus pada Sang Maha Agung.”
Kedua, memiliki visi dan misi yang jelas. Nikah dalam Islam `kan memiliki visi dan misi yang jelas. Nikah bukan sekadar luapan hawa nafsu, tapi adalah sunnatullah yang harus dituju. Tujuannya jelas, di antaranya: untuk melestarikan keturunan, melaksana titah Tuhan. Dengan Khadijah Rasul dianugerahi keturunan, maka wajar jika cinta keduanya konstan.”
Ketiga, diuji dalam kehidupan nyata. Cinta karena Allah yang dibarengi dengan visi-misi yang baik, pada akhirnya perlu pengujian. Sebagaimana Khadijah yang mampu lulus ujian cinta, dengan pengorbanan luar biasa. Ia sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya; penentram jiwa suaminya; penyokong dan pendukung terbaik suami di kala suka maupun duka. Semua itu –sekali lagi- perlu diuji. Sebagaimana emas ditempa dalam bara api, untuk memperoleh kualitas tinggi.”
“Intinya sayang, jika kita ingin jatuh cinta setiap hari, maka cinta kita harus melampau materi(bukan karena: tampan/cantik, harta, keturunan meskipun ketiganya memangg penting) karena ia akan lenyap bersama waktu, tapi cinta berdasar nilai hakiki akan menjadi abadi hingga di akhirat nanti.”
“Khadijah selalu dikenang, karena ia adalah pejuang, penyayang, penyokong, tahan menghadapi ujian yang menghadang. Maka jangan heran jika cinta Rasul padanya selalu bertumbuh setiap hari. Ingat kata-kata Rasul mengenai dirinya: “Aku telah dianugerahi Allah cintanya(Khadijah)”. Rasul mampu memelihara anugerah cinta dengan sebaik-baiknya.” Pungkas Pandu.
Kumala pun menimpali, “Mas dengan jawabanmu yang begitu berkesan dan menawan, rasanya cinta ini bertambah kuat berkelindan. Ya Allah, terima kasih telah menganugerahiku suami shalih. Uhibbuka fillah(aku mencintaimu karena Allah).”
Uhibbuki aidhan fillah(aku mencintaimu juga karena Allah).” dengan mesrah Pandu membalasnya.
Dalam balutan cinta suci, Pandu dan Kumala Hati sama-sama berkomitmen tinggi: menjaga cinta bertumbuh setiap hari. Tentunya, dengan usaha prima dan pertolongan Sang Maha Pencinta.

Wallahu a`lam bi al-Shawāb.
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan