Prahara Cinta

Written By Amoe Hirata on Rabu, 13 Maret 2013 | 17.28

            Di sepertiga malam yang sunyi, Aji menyimpuhkan kaki bermunajat ke hadirat Allah Swt. Setelah menunaikan shalat tahajud, ia mulai membuka mushaf al-Qur`an sembari melantunkannya dalam suasana hening. Dengan tatapan yang teduh, sembari tepekur merenungi ayat-ayat Al-Qur`an Ia berusaha menyimpan rapat-rapat suasana hatinya. Dirinya merasa bingung bukan main. Hatinya berkecamuk laksana lautan digoyang angin membentuk pusaran gelombang. Gelombang ‘pilihan rumit’ begitu menderu menggalaukan pikiran dan hatinya. Di hadapannya ada pilihan pelik: memilih cinta Aisyah Dwi Artanti atau Sabrina Cinta As-Syifa? Bagaimana tidak berat, keshalihan dari keduanya sudah tak diragukan lagi. Masing-masing dari keduanya juga memiliki keunggulan dan kelebihan masing-masing. Aisyah Dwi Artanti di samping shalihah, ia adalah akhwat yang baru lulus dari pondok tahfidz al-Qur`an, dan al-hamdulillah ia juga telah menamatkan hafalan al-Qur`an. Sejak dahulu Aji mengidam sosok pendamping hidup yang shalihah dan penghafal al-Qur`an. Sedangkan Sabrina Cinta As-Syifa merupakan anak dari sahabat bapaknya yang dulu pernah diceritakan ke Aji, bahwa papa dari Sabrina menginginkan perjodohan antara Sabrina dan Aji. Sabrina di samping cantik, kalem, cerdas, lulusan kedokteran –bahkan sudah praktik- ia juga termasuk cewek yang sangat menjaga aurat. Dan yang pasti, Sabrina merupaka tipikal cewek yang sangat taat pada orang tua. Sewaktu masih kuliah di Madinah, ia memang pernah mengidamkan sosok dokter sebagai pasangan untuk melengkapi perjuangan dakwah.
            Malam itu keresahan hati Aji belum juga reda. Keraguan semakin menjadi-jadi. Besok adalah hari penentuan keputusan. Aisyah apa Sabrina? Begitu kurang-lebih suara hatinya yang tak kunjung diam. Padahal ia sudah mengiyakan Shinta Aulia untuk mendatangi rumah Aisyah. Ia juga tak pernah menolak permintaan ayah dan ibunya ketika ditawari Sabrina. Benar-benar membingungkan. Ia pun memutuskan untuk shalat istikharah. Di saat-saat seperti ini, jangan sampai ia dikuasai oleh nafsu. Bagaimanapun juga ia harus hati-hati dalam memilih calon ibu dari anak-anaknya. Ia tahu betul bahwa memilih calon istri yang tepat merupakan  gambaran masa depannya. Laksana bahtera yang mengarungi samudera, maka seorang calon suami harus berhati-hati dalam menentukan calon pendampingnya. Bila salah pilih, maka penderitaan akan selalu mengiring pelayarannya, menuju pulau impian. Istri tak shalihah ibarat duri dalam daging. Bayangkan ketika menyusuri samudera dengan bahtera, di luar ada ombak bergulung-gulung, diri sendiri sibuk mengemudikannya, sedang istri tak mau mendukung, selalu membuat resah dan bingung, bahkan begitu menyakitkan bagai duri dalam daging, oh alangkah sengsaranya jika salah pilih. Ia pun beristikharah dengan penuh khusyu`. Setelah itu ia berbaring sebentar untuk menunggu shalat shubuh.

*********
            Pagi hari di samping rumah, Aisyah terlihat sumringah. Dari kejauhan ia terlihat asyik duduk di samping kolam ikan. Tatapannya syahdu, bibirnya terlihat selalu bergerak melantunkan dzikir. Ia bergumam dalam hati: “Alangkah indahnya sepasang ikan emas itu. Hidupnya terlihat rukun, disertai banyak anak yang begitu indah mirip seperti kedua orang tuanya. Heemm bagaimana ya nanti kalau aku berumahtangga? Apakah akan sebahagia itu. Berjuang bersama mas Aji. Saling mendukung. Saling mengingatkan. Bercengkrama penuh bahagia, dan memiliki banyak anak yang akan dipersiapkan untuk menjadi mujahid-mujahid pejuang agama. Oh betapa Indahnya, membangun bahtera rumahtangga bahagia. Mempunyai suami yang shalih, bertanggungjawab, penyayang, dan pejuang merupakan idamanku sejak dulu” tak terasa ia hanyut dalam lamunan sampai akhirnya lamunannya buyar lantaran dipanggil ibunya. “Aisyah.......Aisyah....Aisyah” panggil ibunya. “Astaghfirullah...ternyata aku terlena dalam lamunan orang yang belum halal untukku. Maafkan aku ya Allah”gumam hatinya. “Iya bu, Aisyah sedang di samping kolam. Ibu tidak usah kesini, biar Aisyah saja yang ke situ”. “Baik nak, kamu kesini sebantar ibu ada perlu”. “Iya bu saya ke situ sekarang” jawab Aisya disertai senyum khasnya yang beriring lesung pipi.
            “Aisyah, tolong kamu pergi ke dapur membantu bibi. Ibu mau pergi ke pasar untuk membelikan bumbu-bumbu dan keperluan-keperluan lain yang belum lengkap untuk acara lamaran nanti sore” pinta ibunya. “Iya bu dengan senang hati akan saya bantu bibi di dapur” jawab Aisyah. Sejurus kemudian, dengan lekas ia pergi ke dapur membantu bibi Salimah. Bibi Salimah adalah pembantu rumah yang sudah Aisyah anggap seperti bibinya sendiri. Bibi Salimah mulai bekerja sejak Aisyah baru dilahirkan yaitu sekitar duapuluh tahun silam. Keduanya begitu akrab. Bibi Salimah sangat tau betul karakter Aisyah. Bahkan ketika Aisyah lagi bersedih, ia selalu dijadikan sebagai tumpahan curhatnya. Bagi bibi Salimah, Aisyah sudah seperti anaknya sendiri, ia begitu menyayanginya. Ini sangat beralasan, bertahun-tahun ia belum dikaruniai anak, Aisyah ba` anaknya sendiri. “Assalamu`alaikum bi” sapa Aisyah dengan senyum merekah pada bibi Salimah. “Eh, Chacha - panggilan khas Aisyah - , sini nak bantu bibi. Tak terasa ya sekarang usiamu sudah genap duapuluh tahun. Tapi bagi bibi kamu masih imut-imut dan masih lucu seperti waktu kecil dulu, hehehe. Ingat ga ketika kamu dulu ngambek gara-gara ndak dibelikan boneka sama ayahmu? Kamu mendatangi bibi sambil memohon dan memelas dengan bahasa yang belum begitu jelas agar bibi bisa membujuk ayahmu. Karena bibi berhasil membujuk ayahmu, akhirnya kamu menjuluki bibi sebagai “bibi peri” hehehe, ingat itu kamu sangat lucu sekali dan manja” ucap bibi Salimah mengingatkan. “Hehe...ah bibi, kalau aku ingat itu jadi malu rasanya. Sekarang `kan Chacha sudah tumbuh dewasa. Lihat Chacha sekarang sudah lebih tinggi dari bibi. Menurut bibi Chcaha masih manja ya?”. “Hehehe, Cha, gayamu masih seperti yang dulu. Kamu tambah cantik dan manis, seperti anak peri di tv tv. Cuma kamu masih terlihat manja. Tak terasa ya, nanti sore kamu akan dikhitbah(dilamar). Jujur bibi sebenarnya belum siap ditinggal kamu”. “Bi, jangan gitu dong, Chacha jadi terharu. Nanti Chacha janji, insyaallah akan selalu saya sempatkan berkunjung kerumah sebulan sekali”. “Baik nak, bibi pegang janjimu. Ayo sini cepat bantu bibi bikin kue”. “Siap bibi peri, anak peri akan mengerahkan segenap bantuannya, hehehe” sahut Chacha.

********
            Wajah Sabrina terlihat sayu. Tatapannya kosong. Matanya berkaca-kaca. Beberapa hari yang lalu ia terlihat begitu gembira meluap asa ketika tahu kalau akan dilamar oleh Aji, anak sahabat papanya yang lulusan universitas Madinah. Namun sekarang ia bersedih. Harapan pernikahannya seolah buyar seketika. Baru saja ia mendapat kabar tak baik dari mamanya. Keluarga Bapak Yuda Karisma, tadi pagi ke rumah. Intinya, mereka memohon maaf sebesar-besarnya kalau ternyata lamaran tidak jadi. Mereka juga merasa sangat bersalah dengan keputusan yang mendadak ini. Mereka mengira, dulu ketika Sabrina ditawarkan ke Aji, mereka anggap Aji setuju lantaran tak berkomentar apa-apa melainkan senyuman. Kemarin baru mereka tahu kalau Aji sudah punya calon yang akan dilamar. Aji memang pada waktu itu dirundung bingung. Ia sudah terlanjur berjanji ke Shinta untuk melamar Aisyah, di sisi lain ia juga seolah mengiyakan tawaran ayahnya. Sehingga ia berada pada posisi sulit, meskipun memang menurut penuturan Aji keduanya merupakan wanita idaman Aji. Namun bagaimanapun juga Aji harus tetap memilih. Dalam istikharahnya kemarin, Aji diberi tanda-tanda melalui mimpi bahwa yang nampak ialah gadis berjilbab pembawa al-Qur`an. Akhirnya ia mantap kalau yang dimaksud adalah Aisyah, karena Aisyah lah yang memang hafal al-Qur`an. Mama Sabrina pun menyadari dan tak memaksakan kehendak. Bagaimanapun juga jodoh sudah ditentukan sama Yang Di Atas. Manusia hanya bisa berusaha, sedang takdir berada di tangan Tuhan. Ketika berita itu disampaikan pada Sabrina, karuan aja ia langsung sedih.
Beberapa hari kemarin sewaktu ia mendengar profil dan fhoto Aji, ia seolah jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia sangat mengidamkan sosok laki-laki shalih yang mempu mengayomi dan menjaga dirinya. Hati kecilnya begitu yakin, bahwa sosok impiannya berada pada pribadi Aji. Melihat anaknya yang dirundung gulana, dengan sigap ibunya menasehati: “Nak, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Jodoh itu berada di tangan Tuhan. Kamu tentunya masih ingat kata-kata papa yang disadur dari al-Qur`an. ‘Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu; boleh jadi kamu mencintai sesuatu padahal itu buruk bagimu’. Mungkin kamu benci dengan keputusan Aji, ibu juga menyadarinya, tapi kamu perlu ingat, barangkali di balik kebencianmu, Allah akan menyiapkan calon imam yang lebih baik daripada Aji, untukmu, tentunya jika kamu mampu melewati semua ini dengan sabar dan hanya berharap padanya” nasihat mamanya mendinginkan suasana hati. Lambat laun Sabrina sadar juga. Ia tak boleh larut dalam kesedihan. Buat apa bersedih terhadap sesuatu yang tak mungkin diraih. Ia harus tetap optimis. “Terima kasih ma. Mama selalu pandai dari dulu dalam mendamaikan hatiku” tukas Sabrina. “Sekarang tenangkan dirimu. Perbanyak memohon pada-Nya. Tenang aja mama punya sahabat, yang anaknya tak kalah baik dengan Aji meskipun bukan lulusan Arab. Kapan-kapan kalau kondisi hatimu sudah benar-benar membaik, nanti akan mama kenalkan. Ingatnya ya nak, sekaran kamu jangan sedih lagi. Fokuslah pada pekerjaanmu. Yang lalu biarlah berlalu. Tataplah masa depan yang cemerlan” pungkas mama Sabrina.

*******
            Di kediaman Aisyah, ba`da ashar persiapan sudah sempurna. Meski tak terlalu mewah, tetapi suguhan yang disajikan juga tak murah. Semua keluarga diundang untuk menyambut kedatangan tamu agung. Sebentar lagi, putri meraka akan dilamar oleh laki-laki shalih lulusan Madinah. Buraian senyum menghiasi bibir mereka. Kebahagian terlihat jelas dari muka mereka. Hati Aisyah berdegup kencang, ia larut dalam bayang-bayang cinta yang sebentar lagi datang. Bagai di alam mimpi, ia mencubit-cubit pipinya, seakan tak percaya kalau sebentar lagi ia akan dilamar oleh calon imam yang ia cintai. Ia berdo`a dala hati: “Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim, tautkanlah hati-hati kami dengan ikatan cinta sejati. Cinta yang dibina karena cinta kepada-Mu. Cinta yang dibangun berdasarkan ketaatan pada-Mu. Cinta yang tak kan lekang oleh waktu. Anugerahkan kami cinta sejati, yang selalu membuat kami sadar akan cinta-Mu”.
            Jam menunjukkan pukul 16.00 Wib. Rombongan yang ditunggu-tunggu sedari tadi akhirnya datang juga. Beberapa sanak keluarga yang ditugasi menyambut kedatangan rombongan keluarga Aji sudah siap menyambutnya dengan suka-cita. Anak-anak kecil juga tak kalah semangat untuk turut menyalami para tamu yang baru datang. Sambutan sore ini dari keluarga Aisyah begitu hangat dan bersahabat. Diajaklah keluarga Aji memasuki rumah Aisyah. “Assalamu`alaikum” rombongan bapak Yuda Karisma mulai menyapa keluarga Aisyah dengan senyuman. Keluarga Aisyah pun berdiri menyambut keluarga bapak Yuda Karisma. Ketika dua keluarga besar sama-sama bertatap muka, sesuatu yang tak diinginkan pun terjadi. Dengan tanpa bisa mengontrol diri, ibu Aisyah yang bernama Marta Anjani Mustika langsung menampar wajah bapak Yuda Karisma. Kegaduhan pun terjadi. Orang-orang pada bingung bertanya-tanya dalam hati. “Oh, ternyata kamu di sini. Akhirnya Allah mempertemukan kita juga. Masih tidak puaskah kau membohongiku seperti dulu. Tidak, aku tak mau tertipu untuk yang kedua kalinya. Kita batalkan saja lamaran ini. Aku tak mau mendapat besan penipu” ungkap Marta dengan luapan amarah.
            Dengan segera ayah Aisyah, Hamdani Syahbani menenenangkan istrinya. “Bu, kendalikan emosimu. Malu banyak orang di sini. Memangnya ada apa kok kamu tiba-tiba bersikap seperti itu? Tanya Hamdani keheranan. “ Ayah, kamu masih ingat kan ceritaku dulu sebelum aku menjadi istrimu? Aku dulu pernah dijanjikan oleh seorang laki-laki -yang aku cintai- untuk dinikahi. Ia sudah datang melamarku. Ia berjanji menikahiku. Lalu pas acara pernikahan, tiba-tiba ia tak datang dengan alasan yang sampai sekarang aku tak tahu. Keluargaku dibikin malu dengan peristiwa itu. Hatiku seakan remuk berkeping-keping saat itu. Itulah laki-laki yang aku ceritakan dulu padamu, Mahesa Muhammad. Meskipun namanya diganti Yuda Karisma, tapi aku tak akan lupa dengan ciri bekas luka yang ada di dagunya. Sudah kita batalkan aja, ga ada acara lamaran hari ini” dengan penuh emosi yang belum juga redam ibu Aisyah membuat suasana sore hari itu semakin gaduh.
            Ibu Aji, Sekar Ayu Wulandari merasa tidak terima dengan kejadian ini. Dengan segera ia menarik tangan suaminya dan mengajak rombongan Aji beserta keluarga pulang segera. Ia berkata pada Aji: “Ini yang kamu bilang keluarga agamis dan taat beragama? Beginakah cara orang yang taat beragama menyambut tamu? Begitukah Islam mengajarkan? Aku sudah lama tahu cerita tentang Marta dari ayahmu, tapi aku menyadari kekhilafannya. Tapi yang tidak bisa aku terima, kenapa masalah ini diselesaikan dengan cara yang tak begitu sopan seperti ini. Mengapa ayahmu tak diberi kesempatan untuk menjelaskan? Martabatku sebagai manusia seolah-olah diinjak oleh Marta gara-gara perilakunya tadi. Ayo kita pulang ga usah ada lamaran. Aku tak sudi menjadi besannya” ungkap Sekar sambil marah. Batallah lamaran pada sore hari itu. Suasana yang sebelumnya hangat dan penuh bahagia, tiba-tiba berubah menjadi dingin dan penuh amarah. Sebenarnya ayah Aisyah berusaha menahan keluarga Aji untuk membicarakan masalah ini dengan baik, tapi seperti pepatah: ibarat nasi sudah menjadi bubur. Segala upaya menjadi percuma. Akhirnya keluarga Aji pulang dengan tangan hampa.
*******
            Malam hari Aisyah mengurung diri di kamar bibi Salimah. Ia sangat sedih bukan main. Hatinya dipenuhi rasa malu, sedih, marah, resah yang begitu besar. Ia tak percaya, kalau ternyata hari kebahagiaan yang dimimpikan hanya seperti fatamorgana di padang pasir. Cinta yang bersemi dalam hatinya seakan gugur layu dihempas prahara. Cintanya diterpa prahara. Hati dan pikirannya serasa sakit tak terhingga. “Bi, kenapa aku diuji dengan ujian seberat ini? Setahuku ibu adalah sosok yang sangat ramah, berakhlak mulia, dan selama ini belum pernah aku melihatnya seperti ini. Seberat-berat masalah, aku tak pernah melihat dia kehilangan kontrol. Kalaupun itu berkaitan dengan masa lalunya yang kelam, kenapa dikait-kaitkan dengan anak. Bukankah tak ada manusia yang tak pernah salah? Kenapa ibu tak memaafkannya” tanya Aisyah sesenggukan. “Nak, kamu harus memahami ibumu. Luka yang dialami ibumu dulu memang begitu dalam. Ia pernah dikhianati oleh seorang yang ia cintai. Tanpa dinyana sama sekali, ternyata orang yang mengkhianati cintanya adalah bapaknya Aji. Kalau saja ibumu tahu kalau bapaknya Aji itu adalah Mahesa Muhammad, pasti sejak awal tidak akan direstui” jawab bibi Salimah.
********
            Di kamar atas tempat istirahat ayah dan ibu Aisyah suasananya lenggang. Tak seperti biasanya  kondisinya begitu sunyi. Marta masih terlihat bermuram durja. Perlahan-lahan, suaminya pun berusaha menenangkan hatinya. “Dik, aku tahu kamu pernah mengalami masa-masa pahit dengan Mahesa. Aku pun kalau jadi kamu juga akan marah sejadi-jadinya kalau diperlakukan seperti itu. Tapi kamu harus ingat, Islam selalu mengajarkan untuk memaafkan kesalahan orang. Allah saya Maha Pemaaf. Kenapa kita sebagai manusia tak bisa memaafkan kesalahan orang lain. Kenapa kamu tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan? Ayolah dik, bukalah hatimu. Kamu apa tidak kasihan dengan Aisyah. Secara sadar atau tidak kita telah menghancurkan kebahagiannya. Bagaimanapun juga, anak `kan tidak ikut-ikut dengan kesalahan ayahnya. Aku lihat Aji adalah anak yang berbakti dan shalih. Keduanya pun juga saling mencintai. Kamu masih ingat `kan hadits Rasulullah yang berbunyi: ‘Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar’?. Kalau kita salah mengambil keputusan, maka dampak negatif akan menimpa putri kita. Menurut saranku, kamu selesaikan masalahmu dengan ayahnya Aji dengan baik-baik, nanti aku temani. Kemudian lamaran anak, kita teruskan lagi” saran Hamdani Syahbani. “Iya mas, sebenarnya aku juga sangat menyesal melakukan perbuatan tadi. Setan menguasai diriku, aku merasa diperbudak nafsu dan amarah. Besok kita segara menyelesaikan masalah ini. Kita pergi ke rumah Aji Kurniawan” balas Marta dengan penuh kesungguhan. “Baiklah. Sekarang kita istirahat dulu” ajak Hamdani.
********
            Kondisi di rumah Aji pun tak kalah suram. Perasaan malu, kecewa, mangkel, marah bercampuraduk jadi satu. Ia tak pernah mengira hubungannya akan berakhir menjadi seperti itu. Sempat terlintas dalam benaknya pertanyaan: “apakah tanda yang diberikan Allah lewat mimpi itu salah, apau aku yang salah memahaminya?”. Di ruang tamu mereka berkumpul membicarakan masalah yang terjadi dengan sisa-sisa amarah. “Pokoknya aku tidak setuju mas. Aku tau sampean itu memang pernah melakukan salah. Mas juga pernah menjelaskannya panjang lebar kepadaku. Dan aku sudah memakluminya. Bertahun-tahun aku juga melihat kesungguhanmu mencari Marta untuk minta maaf, tapi tak juga bisa ditemukan. Ternyata tanpa dinyana kita dipertemukan dengannya dalam momen seperti ini. Kamu tak sempat menjelaskan, malah dipermalukan di depan umum seperti itu. Benar-benar bukan akhlak islami. Sebagai wanita aku sudah tak mau meneruskan hubungan anak kita dengan Aisyah” ungkap Sekar. “Tolong tenangkan hatimu, apapun pendapatmu aku setuju. Tapi urusan pribadiku harus tetap diselesaikan dengan cara sebaik-baiknya. Untuk Aji, aku pikir kamu sudah dewas dan bisa menentukan sikap. Kamu jangan putus asa karena putus cinta. Barangkali Aisyah bukan jodohmu. Kalau kamu mau nanti aku sama ibu ke rumah Sabrina memintanya untuk menjadi istrimu” balas Yuda Karisma. “Kepada-Nya lah aku berserah yah. Begitu berat cobaan yang menimpaku. Berkali-kali aku gagal menjalin hubungan. Semoga setelah ini, aku dipertemukan dengan kekasih yang benar-benar sejati” tanggapan Aji menimpali ayahnya.

*******
            Kabar gagalnya lamaran Aji lambat laun terdengar oleh keluarga Sabrina. Namun apa daya, ternyata Sabrina sudah menerima lamaran Muhammad Syahdu Al-Hiqni, anak sahabat mamanya yang berkerja sebagai pengacara profesional. Ingin rasanya Sabrina kembali menerima Aji, namun janji sudah kadung dibuat dengan Syahdu. Ibunya pun sudah bilang ke keluarga bapak Yuda, bahwa tak mungkin Sabrina menerima tawaran Aji Kurniawan, karena Sabrina sudah dilamar orang. Cinta Aji pun ditimpa prahara. Benih-benih harapan yang selama ini tumbuh, semakin melayu. Ia serba bingung. Kalau kembali ke Aisyah, ibunya pasti tak setuju.Sabrina pun sudah dilamar orang. Beberapa hari ia merenung tepekur. Berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan. Berserah dan meminta kepada-Nya, barangkali selama ini ada yang salah dengan dirinya. Hampir-hampir ia putus asa dengan yang namanya cinta. Hanya saja, keimanan tak pernah mengijinkan seorang mukmin putus asa. Ia ingat betul bahwa hanya orang-orang yang tak beragama yang putus asa dengan rahmat Tuhan. Bagaimanapun juga ia harus tetap bertahan. Mengaduh hanya kepada-Nya. Allah pasti akan mempertemukan jodoh untuknya. Peristiwa ini ia torehkan dalam bait-bait puisi:

Ketika hati sudah yakin
Bahwa cinta kan terjalin
Tak dinyana
Cinta ditimpa prahara

Hati kaya menjadi miskin
Jalan mudah menjadi labirin
Apa benar cinta
Jika berakhir duka

Tapi iman membuatku yakin
Bahwa Tuhan kan prihatin
Pada hamba yang tak putus asa
Yang hanya pada-Nya ia meminta


[Bagaimana kelanjutan kisah cinta Aji. Apakah nantinya ia akan berjodoh dengan Aisyah apa Sabrina? Atau malah akan berjodoh dengan gadis lain yang lebih shalihah. Kita tunggu saja kisah selanjutnya].

Kesenjangan

Written By Amoe Hirata on Selasa, 12 Maret 2013 | 01.30

Bujang!

Kau lihat gedung tinggi menjulang

Jangan tertipu dengan kemegahan itu

Nyatanya pada sekeliling 

Banyak manusia tak berpunya

Akan kau jumpai kesenjangan yg begitu tajam

Yang satu dengan enak makan ayam

Yang lain hanya bisa makan bayam

Siapa yg kan peduli dengan nasib mereka

Orang berpunya tlah mengabaikanya

Semoga itu kamu

Ku yakin itu
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan