Mujahid Via Qalam

Written By Amoe Hirata on Senin, 22 Agustus 2016 | 14.22

JIHAD via qalam (pena, tulisan) adalah bagian penting yang turut mewarnai dinamika perjuangan Ulama. Di sepanjang sejarah, ada banyak contoh yang membuktikan bahwa mereka adalah seorang mujahid (pejuang) yang sangat intens dalam bidang ini.  Ibnu Jarir At-Thabari misalnya, selain lisan, beliau juga sangat aktif dalam berjihad via tulisan. Hal ini bisa dilihat dari produktivitasnya dalam menulis buku.  Menurut catatan sejarah, bila semua karangannya dikalkulasikan, berjumlah 358 ribu lembar. Ini berarti  dalam sehari ia mampu menulis sebanyak 40 lembar (Abdu al-Fattah Abu Ghuddah, Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā, 43).
Contoh lain yang tidak kalah menarik, Imam Ibnu Jauzi, ulama bermadzah Hanbali ini juga berjihad dalam bidang tulisan. Abdu al-Fattah dalam bukunya menyebutkan bahwa beliau meninggalkan karya sebanyak lima ratus buku (Qīmatu al-Zaman, 56). Bahkan ada yang sangat mengharukan. Syekh Abu Bakar al-Bāqalāni tidak tidur sebelum menulis  35 lembar per-hari (Qīmatu al-Zaman, 86). Ini berarti semangat jihad ulama dalam bidang tulisan tidak diragukan lagi.
Ulama lain seperti Imam al-Gazhali, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziah, al-Hafidh Ibnu Katsir, Imam al-Dzahabi, Imam al-Suyuthi dan lain sebagainya adalah ulama-ulama yang turut serta meramaikan jagad sejarah jihad umat Islam via tulisan.
Dalam negeri pun, ada banyak  ulama yang berjihad via tulisan. Sebagai contoh - tanpa bermaksud membatasi – misalnya KH. Agus Salim, A. Hassan, M. Natsir dan Buya Hamka. Dalam buku yang berjudul Haji Agus Salim (1884-1954) Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, disebutkan bahwa beliau adalah seorang penulis yang kreatif dan produktif. Tulisannya begitu luas cakupannya dan sangat tajam. (Haji Agus Salim [1884-1954] Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme. Hal: 21).
Ahmad Hassan, seorang ulama yang dikenal dengan kepiawaiannya dalam berdebat, ternyata juga menggeluti jihad ini. Menutur penelitan Guillaume Frédéric Pijper dan Tujimah, selain alim dan cerdas, Pendiri Pesantren PERSIS Bangil ini diakui sebagai penulis produktif. (Penelitian tentang agama Islam di Indonesia, 1930-1950, hal: 38). Buku yang berjudul: Soal-Jawab, Tafsir al-Furqan, Islam dan Kebangsaan, Kesopanan Tinggi, ABC Politik, al-Hidayah, Risalah Jum’at, Kitab Tauhid, Adakah Tuhan?,  adalah beberapa contoh karangannya yang mencapai tujuh puluh lebih.
            Mohammad Natsir, yang juga merupakan murid A. Hassan, juga menekuni jihad dalam bidang tulisan. Dalam buku yang berjudul 100 Tahun Mohammad Natsir,  disebutkan bahwa beliau seorang penulis kreatif. Sebagai contoh, di masa penjajahan Belanda, beliau sudah melahirkan karya tulis berbahasa Belanda yang diperhitungkan. Buku yang berjudul Komt tot het Gebed (1931), Mohammad als Proffet (1931), Gouden Regels uit den Quran (1932), dan Het Vasten (1934) beberapa contoh buah tangannya. (100 Tahun Mohammad Natsir, Berdamai dengan Sejarah, hal: 426). Polemik antara dirinya dengan Soekarno via tulisan juga menjadi bukti penting bahwa beliau sangat intens berjihad di medan ini.
            Demikian juga Buya Hamka. Menutut James Roberth Rush, beliau adalah sosok penulis yang cakap, produktif, dan populer. Di akhir tahun 1930-an, karya-karya Hamka sudah bisa didapat di perpustakaan sekolah umum. (A. Suryana Sudrajat, Ulama Pejuang dan Ulama Petualang, hal: 13 dan 14). Karya monumental yang tertoreh dalam jeruji besi seperti Tafsir al-Azhar, adalah salah satu bukti bahwa ulama kharismatik sekaliber beliau juga turut andil dalam berjihad via tulisan.
            Beberapa cerita di atas menunjukkan bahwa jihad via tulisan adalah salah satu bentuk perjuangan jihad ulama muslim di sepanjang sejarah. Dengan menulis, mereka bisa menjaga khazanah keilmuan Islam sekaligus abadi sepanjang masa walau raga sudah bercampur tanah. Ini sesuai dengan peribahasa Latin kuno yang menyatakan, verba volant, scripta manent, yang berarti: apa yang terucap akan berlalu, namun yang tertulis (dibukukan) abadi selamanya.

Menjadi Muslim Kaffah

Written By Amoe Hirata on Senin, 01 Agustus 2016 | 11.33

      Setiap orang mengaku menjadi Muslim. Masalahnya, Muslim bagaimanakah yang dikehendaki oleh Allah Ta`ala? Kajian tafsir berikut akan menjawabnya dengan jelas.
A.    Ayat Kajian               : Al-Baqarah(208)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٢٠٨ فَإِن زَلَلۡتُم مِّنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡكُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُ فَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٠٩
B.     Arti Mufradāt           :
ٱلسِّلۡمِ           : Islam
كَآفَّةٗ            : Keseluruhan
خُطُوَٰتِ        : Langkah-langkah
عَدُوّٞ             : Musuh
مُّبِينٞ            : Nyata
فَإِن زَلَلۡتُم     : Maka jika kalian tergelincir
ٱلۡبَيِّنَٰتُ        : Keterangan atau bukti



C.    Arti Ayat                    :

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu(208) Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(209)


D.    Sebab Turun             :
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ikrimah, ia berkata, ‘Abdullah bin Salam, Tsa`labah, Ibnu Yamin, Asad & Usaid anak Ka`ab, Sa`id bin `Amru, dan Qais bin Zaid –semuanya berasal dari Yahudi- berkata: “Wahai Rasulullah! Hari Sabtu adalah hari agung yang biasa kami hormati. Biarkan kami mengagungkannya! Sesungguhnya Taurat adalah Kitab Allah, maka perkenankan kami berdiri(membacanya) di malam hari.” Lalu turunlah ayat ini(Al-Baqarah: 208).

E.     Tafsir              :
Ayat ini dimulai dengan ‘panggilan kasih sayang’ dari ar-Rahmān, “Hai orang-orang yang beriman,”. Terkait ayat yang diawali dengan ungkapan ini, Abdullah bin Mas`ud berkomentar, ‘Jika kamu mendengar Allah berfirman: {Ya ayyuhalladzīna Āmanu}, maka dengarkan dengan baik, karena (sesudahnya pasti) ada kebaikan yang diperintah, atau kejelekan yang dilarang.’
Siapa saja yang mengaku beriman, maka perhatikan dengan sungguh-sungguh perintah atau larangan pada ayat ini. Di sini ada satu perintah dan satu larangan. Perintahnya, ‘masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,”. Masuk Islam itu harus menyeluruh, tak boleh sepotong-sepotong.
Sebagaimana sebab turunnya ayat ini, para sahabat yang sebelumnya beragama Yahudi, masih ingin meminta pada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam agar dibiarkan  mengagungkan ritual keagamaan di hari Sabtu, bahkan membaca kitabnya di malam hari. Namun, ayat ini menolaknya. Berislam harus total, tidak boleh parsial.
Ketika Umar ta`jub dengan kitab Taurat, Rasul marah, dan menyebutnya sebagai mutahawwik(orang bingung). Ini karena, apa yang ada dalam Islam, melalui sumbernya al-Qur`an sudah cukup. Tidak perlu mengambil lagi dari kitab-kitab lainnya. Cukuplah Islam dilaksanakan secara kaffah.
Suatu saat Mutsannah bin al-Haritsah(sesepuh suku Syaiban) memberi penawaran menarik pada Rasulullah. Ia dan sukunya mau membela, mengikutinya asal di kawasan Arab saja. Rasul pun dengan tegas dan penuh adab menolak, sembari berujar: “Sesungguhnya agama Allah[Islam] ta`ala tidak akan ditolong oleh-Nya, melainkan orang yang (mau memperjuangakan) segenap sisinya,”(al-Sirah al-Nabawiyah wa akhbaru al-Khulafa, Ibnu Hibban, 1/101).
Peristiwa itu mengajarkan pelajaran penting: jika mengaku mengikuti nabi, memperjuangkan Islam, maka harus pada segenap sisinya.
Mengambilnya sepotong-sepotong hanya akan membuat Islam jadi rancu. Akibatnya, persatuan umat sulit terwujud. Umat lain pun dengan mudah mengadu domba umat Islam.
Kemudian, yang dilarang dalam ayat ini ialah, ‘dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan,’. Imam Qatadah dan Sadyu –sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dalam tafsirnya-, menyatakan: “Yang dimaksud dengan langkah-langkah setan ialah setiap (perbuatan) maksiat terhadap Allah ta`ala.” 
Dinamika yang terjadi pada kisah Adam, Hawa dan Iblis adalah contoh riil bagaimana moyangnya setan(Iblis), membuat langkah-langkah yang menggelincirkan Adam dari ketaatan menuju kemaksiatan.
Langkah Iblis sangat halus, lembut, licin, dan strategis. Adam dan Hawa dirayu, dibujuk, diyakinkan bahwa pohon yang dilarang malah membuatnya kekal dan menjadi raja. Di sini yang dirusak Iblis bukan perintah Allah, tapi maksud dari perintahNya. Sebegitu halusnya sehingga Adam dan Hawa pun terjatuh pada kemaksiatan. Dewasa ini-bahkan sejak dulu-, cara-cara atau langkah-langkah Iblis itu ternyata banyak diikuti oleh orang-orang liberal.
Apa hubungan antara perintah berislam secara total dengan larangan mengikuti langkah setan? Yang gampang dimengerti ialah: Berislam secara total itu tak gampang. Di sana ada aral merintang buatan setan. Maka, usaha untuk menjalankan Islam secara total, harus diiringi kesadaran mendalam tentang langkah-langkah setan yang setiap saat bisa menggelincirkan jika tak hati-hati.
Suatu saat Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam –sebagaimana riwayat Hakim dan Ahmad- membuat garis lurus, dan garis miring di samping kanan dan kirinya. Garis lurus itu dikatakan sebagai jalan Allah(Islam). Sedangkan garis miring di sampingnya adalah jalan setan. Maka dengan tegas Allah berfirman: “dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”(Qs. Al-An`am: 153).
Ayat ini dipungkasi dengan penegasan dariNya, “Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” Terkait ayat ini, Syaikh al-Maraghi menerangkan: “Yaitu janganlah kalian mengikuti jalannya setan dalam upaya menyesatkan dan membisiki manusia berbuat kejelekan dan kekejian. Ia adalah musuh bagi kalian yang jelas permusuhannya. Setan merupakan penumbuh lintasan pikiran yang jelek, dan pendorong orang melakukan tindak kriminal serta dosa.”
Mungkin terbesit pertanyaan di benak pembaca, ‘Bukankah setan adalah mahluk ghaib yang tak bisa diindra, lalu mengapa dikatakan sebagai musuh yang nyata?’. Ternyata, yang dimaksud dengan musuh yang nyata –sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir- ialah: nyata permusuhannya. Maksudnya, sejak awal Iblis, saitan dan manusia sudah dijadikan sebagai musuh.
Karena itu Allah berfirman: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyal.”(Qs. Fathir: 6).
Setelah terang posisi setan adalah musuh nyata, ayat selanjutnya menjelaskan: “Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Al-Baqarah: 209).
Syaikh Sa`adi menjelaskan: “Pada ayat ini ada ancaman dan peringatan keras yang dapat menghindarkan diri dari ketergelinciran(kesalahan). Allah Yang Maha Perkasa dan Bijaksana, bisa memaksa orang yang bermaksiat dengan kekuatanNya serta menyiksa pendosa berdasarkan hikmahNya. Di antara bentuk kebijaksanaannya ialah menyiksa orang yang berbuat maksiat dan pendosa.
Jika sudah berusaha -tanpa ada unsur kesengajaan-, tapi tetap tergelincir layaknya Nabi Adam dan Hawa, maka cara yang paling tepat adalah segera bertaubat laiknya keduanya dengan doa: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”(Qs. Al-A`rāf: 23).
Wallahu a`lam bi al-Shawāb

F.     Pelajaran        :

1.      Wajib menerima Islam secara utuh
2.       Dilarang menjalankan ajaran Islam secara parsial
3.      Setiap (orang) yang menghalalkan sesuatu yang haram, serta meninggalkan kewajiban adalah pengikut setan
4.      Haram mengikuti langkah-langkah setan
5.      Perlu mengetahui dan waspada terhadap langkah-langkah setan
6.      Setan adalah musuh yang nyata
7.      Kesalahan yang disengaja(lantaran sudah tahu bukti jelas) akan mengakibatkan siksa
8.      Penjelasan tentang kekuatan dan kebijaksanaan Allah

G.    Rujukan         :
1.      Lubābu al-Nuqūl, As-Suyuthi
2.      Tafsīr al-Qur`ān al-`Aẓīm, Ibnu Katsir
3.      Tafsīr al-Marāghi,
4.      Aisar al-Tafāsir, Abu Bakar Jabir al-jazairi
5.      Taisīr al-Karīm al-Rahmān, Sa`adi
6.      Tafsīr wa Bayān Mufradāti al-Qur`ān, Muhammad Hasan al-Himshi
7.      al-Sīrah al-Nabawiyah wa Akhbāru al-Khulafā, Ibnu Hibban
8.      Mustadrak, Hakim dan Musnad, Ahmad bin Mushtafa al-Maraghi
[Pernah terbit di Majalah: Al-Muslimun, Bangil].
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan