Bukan Cinta Biasa

Written By Amoe Hirata on Kamis, 13 September 2012 | 17.16

            Panorama dhuha begitu indah. Hawa begitu sejuk memanjakan .Embun pagi bening menyelimuti rerumputan dan tetumbuhan. Sungai-sungai mengalir sedang dan bening. Ikan-ikan di sungai begitu serentak berenang ba` sedang pentas dalam kontes renang. Kumbang-kumbang nampak cantik bergairah menghinggapi bunga-bunga mawar yang sedang mekar di taman pesantren al-Karimah.
            Pagi ini, Puspita Sari sedang menunaikan shalat Dhuha dan istikharah. Begitu khusyuknya Ia shalat seolah tiada segala. Dia bukan main bingungnya. Menghadapi dua pilihan yang begitu sulit. Belum lagi terlaksana pernikahannya dengan Aji, ternyata ada lagi yang mau menikahinya. Sebenarnya Dia tidak akan bingung jika Aji akan menepati janjinya untuk nikah tahun ini. Berhubung studi Aji agak tersendat akibat tesis yang belum terselesaikan, maka Aji menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Puspita.
            Bagaimana tidak bingung dan sedih. Ia merasa sudah mengalami beberapa kegagalan untuk menuju mahligai rumah tangga bahagia. Untungnya Dia adalah wanita yang shalihah, sehingga apapun ujian yang menimpa akan dihadapi dengan hati yang lapang dan sabar. Ia ingat sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wassallam : “Begitu mengagumkan kondisi orang mukmin. Segala kondisi (yang dialami) itu baik baginya. Dan itu tidak dimiliki seorangpun kecuali mukmin. Jika Ia mendapatkan kebahagiaan bersyukur (dan itu) adalah lebih baik baginya. Dan jika Ia ditimpa kesusahan Ia bersabar (dan itu) lebih baik baginya(Hr. Muslim).
            Dalam doa yang ia lantunkan Ia memohon: “ Ya Allah ampunilah dosa-dosa hamba-Mu ini. Tunjukkanlah yang terbaik bagi hamba. Bila memang Aji Kurniawan itu jodohku, maka permudahlah jalannya dan jika Alyan Hisan yang terbaik maka gampangkanlah. Aku berserah diri pada-Mu. Aku ingin membina mahligai rumah tangga bahagia. Aku ingin membina rumah tangga yang yang selalu mengingat-Mu. Yang kuingin bukan cinta biasa. Aku ingin cinta sejati menuju-Mu. Allahumma taqabbal du`aa`. Amiin.
                                                               *****
            Di bandara Berlin, terlihat begitu ramai. Para calon penmpang terlihat berbaris rapi menunggu giliran chak in. Para petugas keamanan dengan penuh semangat mengecek satu persatu koper calon penumpang untuk jaga-jaga biar tidak ada tindakan kriminal.
            Dengan agak tergopoh, Dino beserta rombongan segera cepat-cepat menuju bandara. Ini karena, jadwal keberangkatan yang seharusnya pukul lima sore dimajukan menjadi pukul tiga sore. Setelah dikonfirmasikan ternyata ada kesalahan teknis jadwal penerbangan. Waktu itu Ia diantar sama Bagas, Sharon, Arjuna, Kasturi beserta dosen dan koleganya.
            Karena kemajuan jadwal inilah akhirnya persiapan Dino mengemasi barang-barang tidak efektif. Banyak sekali barang yang tidak terbawa. Ia hanya membawa yang penting-penting saja. Sebelum berangkat Ia berpamitan pada teman-teman satu persatu. Kemudian Ia meminta salah satu dosenya yang bernama Muhammad Wahed( sebelumnya bernama Friedrhic Ballach) untuk meminta doa pamitan. Dengan segera Ia berdoa: “Ya Allah, Mudahkanlah perjalanan Dino. Anugerahkanlah keselamatan. Kabulkanlah permohonannya untuk menggapai cinta sejati karena yang ia inginkan bukan cinta biasa. Pertemukan Dia dengan Puspita dalam mahligai rumah tangga jika memang itu menuju pada cinta sejati-Mu”.
                                                                         *****
            Gema takbir memenuhi masjidil Haram. Beribu-ribu orang berpakaian ihram sedang melaksanakan ibadah haji. Lantunan dzikir terlantun semarak. Wajah ceria penuh cinta tergambar pada wajah-wajah mereka.
            Pada tahun ini, Aji berazam menunaikan ibadah haji. Dari dahulu Ia ingin melaksanakan ibadah haji. Nah, baru kali ini Ia bisa melaksanakan haji. Betapa senang dan syukurnya ia bertepatan dengan itu judul tesisnya diterima.
            Di bawah naungan Ka`bah, Aji melaksanakan thawaf. Selesai thawaf Ia berdoa: “Ya Allah, Engkau adalah Maha Waduud. Bimbinglah selalu aku pada kesejatian cinta-Mu. Aku tak mau jatuh pada cinta terlarang yang dibangun berdasar maksiat pada-Mu. Aku ingin cinta fitri. Bukan cinta biasa. Bila Puspita Sari itu jodohku yang dapat mengantarkanku pada cinta sejati-Mu, maka pertemukanlah Aku dengannya dalam jalinan cinta”.

                                                                   *****

            Suara merdu terlantun syahdu. Dihiasi dengan bacaan mulia al-Qur`an. Di serambi masjid al-Hikmah, Alyan Hisan lagi asyik membaca mentadaburi al-Qur`an. Pada waktu itu yang dibaca: wahai Tuhanku anugerahkanlah padaku dari isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami imam dari orang-orang bertakwa”(al-Furqan: 74).

            Dalam batin Ia bergumam: “Mudah-mudahan Allah menganugerahiku isteri shalihah dan keturunan penyejuk hati dan menjadi penghulu orang-orang bertakwa. Semoga cinta itu adalah Puspita. Yang mengantarkanku pada kesejatian cinta. Bukan cinta biasa  tak bermakna yang malah menjauhkanku dari Maha Pecinta”.

Minta Jabatan

Written By Amoe Hirata on Rabu, 12 September 2012 | 19.36

             Pada tulisan yang berjudul: ‘Takut Jabatan’, disinggung suatu etika penting berkaitan dengan jabatan. Di antaranya bahwa hubungan seseorang dengan jabatan ialah: diminta bukan meminta, diajukan bukan mengajukan serta dimohon bukan memohon. Kemudian ada peristiwa sejarah yang diabadikan Al-Qur`an ada kisah yang berkaitan dengan orang yang meminta jabatan. Kisah ini berkaitan dengan kisah Nabi Yusuf, yang meminta pada raja mesir kala itu untuk menjadi bendaharawan kerajaan Mesir. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah peristiwa sejarah mengenai Yusuf meminta jabatan dengan hadits-hadits Nabi yang menganjurkan tidak meminta jabatan itu bertentangan? Padahal hadits-haditsnya shahih? Dengan melihat secara sepintas tanpa meneliti dan mencermati terlebih dahulu mungkin orang akan mengatakan ayat dan hadits berkaitan dengan meminta jabatan sangat bertentangan. Namun jika mau jeli dan mau mengumpulkan beberapa hadits dan dengan hati-hati memahami Al-Qur`an sedara komprehensif, maka antara keduanya sama sekali tidak ada pertentangan atau kontradiksi. Ketika Yusuf mengatakan:: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". Yang perlu digarisbawahi dari kata-kata Yusuf ialah kata: pandai menjaga dan lagi berpengetahuan. Dua acuan ini menandakan Yusuf mampu menjabat bendaharawan lantaran dua kualifikasi kompetensi yang dimiliki, karena itu ia minta dijadikan bendaharawan. Lebih luas lagi bahwa Nabi Yusuf mementanya bukan untuk kepentingan diri sendiri, tapi untuk kepentingan rakyat, suasananya juga mengharuskan ada bendaharawan yang mampu mengatasi musibah kemarau panjang dan kelangkaan pangan yang akan dihadapi.
            Dalam sejarah emas sahabat-sahabat Nabi ada dua fenomena peristiwa menarik yang perlu diangkat berkaitan dengan meminta jabatan. Minimal yang mau diangkat pada tulisan ini ialah dua kisah yang sama sekali bertentangan dan disikapi Nabi dengan jawaban yang berbeda. Pertama ialah kisah Abu Dzar Al-Ghifari. Suatu ketika ia meminta jabatan gubernur kepada Nabi, kemudian dijawab: Wahai Abi Dzar engkau adalah orang yang lemah, jabatan itu amanah, jabatan pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang benar-benar menunaikan kewajibannya,(serta mampu) mengemban amanat yang diembannya. Kisah lain dengan tema yang sama dan dengan jawaban berbeda yaitu ketika seorang sahabat yang bernama Ziyad bin al-Harits as-Shuda`i meminta Rasul menjadikan amir(pemimpin)) kaumnya, lalu Rasul membolehkan dan membiarkannya. Ziyad adalah seorang sahabat yang sangat ditaati oleh kaumnya, yaitu kaum Shuda`. Lihat, keduanya sama-sama meminta jabatan tetapi dijawab dengan jawaban yang berbeda. Sepintas memang bertentangan, tetapi bila kita mau lebih teliti dan menganalisa lebih dalam, ada hal yang melandasi jawaban Nabi. Nabi menolak Abu Dzar meminta jabatan karena Abu Dzar adalah orang yang lemah dalam masalah kepemimpinan, bila diteruskan maka malah akan menjadi kerusakan. Rasulpun di akhir hadits secara obyektif juga memberi pengecualian bagi mereka yang mampu mengemban amanah jabatan dengan baik. Sedangkan Ziyad bin Harits mempunya kompetensi tentang kepemimpinan. Ia sangat ditaati oleh kaumnya. Orang yang tidak mempunyai keahlian dan karisma menjadi pemimpin, tidak mungkin ditaati sedemikian rupa oleh kaumnya. Namun ke dua peristiwa itu mengalir pada muara yang sama bahwa keduanya meminta jabatan bukan karena kepentingan pribadi, tetapi kepentingan orang banyak.
            Karena itulah kita harus berhati-hati menyikapi masalah meminta jabatan. Dari sekian banyak orang yang meminta lebih banyak tumbangnya daripada tetap tegarnya. Karena itu juga sangatlah wajar ketika Rasulullah mewanti pada sahabat yang bernama Abdurrahman bin Samurah: Wahai Abdurrahman bin Samurah, kamu jangan meminta jabatan, jika kamu diberi jabatan karena memintanya, maka (beban jabatan akan ditimpakan)padamu, namun jika kamu diberi jabatan tanpa memintanya, maka kamu akan ditolong(Hr. Bukhari dan Muslim). Kita bisa melihat, merasakan, menyimak, mengamati, merenungi fenomena meminta jabatan di desa kita, di kabupaten kita, di provinsi kita hingga negara kita sangatlah menggeliat dan menjamur. Coba lihat hasilnya! Masyarakat, rakyat tambah makmur apa tambah ajur? Kenyataannya malah terpuruk meski memang tidak semuanya seperti itu. Sudahkah mereka siap berlaku seperti Yusuf yang kompeten dan ahli sehingga mampu mengemban amanah?; sudahkah mereka menapaktilas jejak Ziyad bin Harist yang mempunyai kemampuan menggerakkan kaumnya kearah kebaikan?; sudahkah mereka mampu mengedepankan kepentingan umum yang lebih luas daripada kepentingan pribadi, sebagaimana Nabi Yusuf dan Ziyad?; Kemudian sudahkah lingkungan sedemikian mendesak sehingga membuat mereka maju mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin? 
Jawaban itu sangatlah jelas dan tidak perlu dijelaskan karena masing-masing dari kita sudah bisa menjawabnya melalui realita yang ada. Kenyataan yang ada menjelaskan bahwa permintaan jabatan tidak berbanding lurus dengan kemakmuran rakyat, ketika jabatan sudah didapatkan; permintaan jabatan tidak diimbangi dengan motif memprioritaskan kepentingan umum atas kepentingan pribadi ketika jabatan sudah didapat; permintaan jabatan tidak berjalinkelindan dengan kemampuan yang dimiliki. Akibatnya amanah disia-siakan. Ketika amanah disia-siakan, maka merupakan tanda-tanda kehancuran. Ketika Nabi ditanya tentang bagaimana menyianyiakan amanah, Nabi menjawab: jika sesuatu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran)nya. Dari lembaran sejarah yang dipaparkan di atas, coba dengan jujur kita bertanya pada hati kita: apakah selama hidup, kita  cendrung menjadi orang yang meminta jabatan apa diminta menjabat? Jawaban kita akan mempengarui jalan hidup kita, ketika kita terlibat secara langsung dengan kepentingan orang banyak. Masalahnya apakah kita mampu seperti Nabi Yusuf dan Ziyad ketika meminta jabatan? Kemudian ketika diminta sudahkah kita benar-benar mampu mengemban amanah jabatan? Kalau tidak mending kita zuhud terhadap jabatan, sembari melakukan yang terbaik di tengah kondisi umat manusia yang memperebutkan jabatan. Kerena pada akhirnya jika tak terlaksana dengan baik, hal itu malah akan menjadi kehinaan dan penyesalan kita di akhirat kelak.
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan