Cinta Sang Aktivis

Written By Amoe Hirata on Jumat, 27 Februari 2015 | 19.03

            “Hanya dengan bahasa tangis, aku mampu menepis. Duka-lara yang sekarang mendera. Hati ini sedang terkikis. Oleh janji, yang tak pernah ditepati. Sedang diri, setia menanti. Oleh harapan yang begitu menjulang tinggi, tanpa pernah terbukti. Hatiku dipenuhi lamunan, tanpa ada kepastian; dipenuhi angan, tanpa ada pembuktian. Padahal bagiku, ia adalah sosok ikhwan shalih, tapi ternyata aku salah pilih. Padahal bagiku ia calon imam sejati, ternyata aku salah mengerti.” Begitulah ungkapan Shania, sang aktivis Muslimah, yang sedang patah hati. Sayap hatinya patah, sehingga hatinya sekarang rentan. Rapuh dalam ketidakpastian.
            Ibunya –Siti Maimunah- yang penuh kasih dan sayang, tak tinggal diam. Ia berusaha menguatkan hati putri tersayang. “Wahai ananda! Kau masih terlalu muda, untuk mampu membedakan antara madu dan cuka. Tak semua yang terlihat baik, berbanding lurus dengan hati apik. Terkadang engkau lihat buah mangga pada musim penghujan. Mukanya sungguh menawan, sedangkan di dalamnya terjadi pembusukan. Barangkali, lelaki shalih yang telah menyakiti hatimu, laiknya buah mangga yang tumbuh di musim penghujan. Kalau itu yang terjadi, kamu tinggal menunggu, musim panas menghampiri. Sebab mangga di musim panas, terasa manis dan puas”.
            “Ibu bukan sok tahu. Namun, perjalanan cinta telah menempa. Hati ibu yang dipersembahkan untuk ayah. Dulu ibu mengira, ayahmu adalah orang biasa. Karena dari tampang, sangat susah untuk dijuang. Dari aura wajah, sangat susah untuk dikerah. Persis seperti ketika masih pada usia sepertimu, ibu memiliki banyak fantasi cinta. Kala itu, laki-laki ideal adalah laki-laki yang: romantis, puitis, perhatian, bertampang shalih. Namun perjalanan cinta memberikan pelajaran berharga, bahwa: romantika, tanpa kepribadian kuat, hanya fatamorgana. Puitis, tapi tak realistis, hanya butiran debu yang dihempas angin. Perhatian yang tak berasas keseriusan, hanya buih dihempas ombak. Shalih sejatinya bukan bermuara pada tampang, karena bentuk lahir bisa dipalsu.
            “Ananda! Coba sejenak kamu berselancar. Pada lembaran kisah al-Qur`an. Di sana pasti kamu dapati, ciri-ciri lelaki idaman. Kamu bisa membaca kisah Nabi Yusuf. Dengan ketampanan luar biasa, tak membuatnya lupa diri. Ia bertumbuh dilingkungan istana, segalanya sudah terpenuhi, tapi ketika dirayu oleh Sang Ratu, untuk mengugurkan harga dirinya, ia tak mau. Ia lebih memilih Allah di atas segalanya. Kamu juga bisa membaca kisah Nabi Musa, yang tidak tampan, bahkan kurang lancar berbicara. Namun Nabi Syu`aib, justru memilihnya menjadi menantu”.

            “Secara fisik(ketampanan wajah), memang Yusuf dan Musa tak berbanding. Namun keduanya bisa bertemu, pada dua sifat mendasar: kuat dan amanah. Carilah suami yang kuat dan amanah. Kekuatan tanpa amanah, maka hanyalah tirani. Amanah tanpa kekuatan, hanya menjadi romantisme yang tak mungkin dilaksanakan. Keduanya saling berkaitan. Tak kan pernah dilepaskan. Mulai sekarang, jangan mudah tertipu dengan janji-janji indah, tanpa bukti. Cinta sejati adalah cinta yang dibangun di atas landasan syar`i. Cinta yang beriring keseriusan, sehingga menuju ke pelaminan. Bukan cinta kebanyakan, begitu melenakan(indah memesona), tapi berujung kesengsarakan.” Pungkasnya.

Wisata Religi di Dāru al-Aitām


          Biasanya, ‘wisata religi’ oleh kebanyakan orang dimaknai sebagai perjalanan menziarahi para wali dan ulama-ulama besar. Namun, aku sendiri mempunyai makna tersendiri terkait dengan ‘wisata religi’. Bagiku, ‘wisata religi’ adalah wisata yang membangkitkan girah keberagamaan seorang hamba sehingga bisa menjadi lebih dekat dengan Tuhan, menambah iman, dan bermanfaat baik bagi pribadi maupun orang lain.
            Konsekuensi dari pengertian tersebut menjadikan ‘wisata religi’ tidak tergantung kepada obyek wisata, tapi pada bagaimana mencari dan menggali makna dari berbagai obyek wisata, sehingga bisa menumbuhkan kesadaran bagi jiwa. Jadi, apapun obyek wisatanya, kalau mampu digali maknanya kemudian melahirkan kesadaran jiwa sehingga menjadikan keagamaannya lebih baik dari sebelumnya, maka berarti itu bisa dinamakan ‘wisata religi’.
            Ada beberapa nas al-Qur`an –yang aku anggap- sangat representatif dijadikan sebagai dalil perlunya ‘wisata religi’ dalam pengertian seperti yang aku ungkap di atas. Sebagai contoh: Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(Qs. Al-Ankabut: 20).
            Ayat yang semisalnya ada di: Ali Imran: 137, Al-An`am: 11, An-Nahl: 36, An-Naml: 69, Rum: 42. Pada semua ayat tersebut, kata perintah ‘sīrū’(berjalanlah kalian), selalu beriring kata ‘fanḍuru’(lihat/perhatikanlah). Secara eksplisit, perjalanan apapun bentuknya, bila tak diiringi dengan pengambilan pelajaran, maka bisa dikatakan sebagai perjalanan yang sia-sia. Karena itulah, meskipun obyek wisatanya terkesan religi, namun  isa tidak menjadi religi jika orang yang berwisata hanya sekadar wisata.
           
 Wisata yang akan saya catat pada tulisan ini ialah wisata religi di Dāru al-Aitām, Garut. Lembaga ini adalah bagian penting dari pondok pesantren Darus Salam Garut. Ketika shubuh, aku pergi ke mushalla al-Rahmah menunaikan shalat. Di situ aku melihat anak-anak kecil yang berbaris rapi menunaikan shalat. Dari usianya, terlihat sangat variatif. Ada yang sangat kecil, ada pula yang lumayan besar sekitar sepuluh tahunan. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana anak sekecil itu sudah tidak berayah dan beribu.
            Kondisi ini membuat pikiranku menelusuri masa silam, menembus masa yang menggambarkan sosok manusia paling agung, Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Ternyata, ia juga terlahir yatim.  Dipikir-pikir, ternyata yatimnya beliau sangat berarti bagi kita, umat Islam. Paling tidak ada beberapa pelajaran berharga yang dapat diambil darinya: Pertama, mengasah rasa belas kasihan terhadap anak yatim. Kedua, ilmunya tidak didapat dari manusia. Ketiga, yatim bukan sebagai penghalang untuk menjadi orang sukses. Keempat, yatim sebagai peluang, bukan kemalangan. Kelima, mendorong para dermawan untuk membantu dan memberdayakan mereka.
            Ketika aku berkunjung di lembaga Dāru al-Aitām ini, rasa optimis begitu memenuhi alam pikir dan jiwaku. Mereka ini calon orang-orang besar di masa depan. Guru tahfidz sudah disediakan dari negeri Arab langsung, Yaman. Sarana dan prasarana terjamin. Mereka hanya sekolah dan menghafal al-Qur`an. Tinggal menunggu takdir dari-Nya, jika calon mujahid-mujahid kecil ini mampu dikawal dan dididik dengan baik, maka akan lahir generasi baik.
            Ada beberapa pelajaran berharga yang dapat diambil dari ‘wisata religi’ Dāru al-Aitām. Di antaranya: Pertama, bagi anda yang memiliki orang tua yang masih lengkap, tanamkan kepedulian dalam jiwa untuk membantu mereka. Kedua, keyatiman berpeluang besar membentuk orang besar. Ketiga, perlu ada kerjama yang sistematis dan strategis untuk mengayomi dan mendidik mereka agar tidak menjadi generasi sia-sia. Keempat, sebagai upaya religius untuk mendekatkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya. Kelima, sebagai cambuk sosial pada setiap jiwa agar peka terhadap permasalahan umat, sehingga mampu mencari solusi terbaik. Bukankah ada ungkapan: “Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan umat Musli, maka ia bukan bagian dari mereka”. Wallahu a`lam bi al-Shawab.

Cinta Mutawatir

Written By Amoe Hirata on Kamis, 26 Februari 2015 | 23.13

Kalau cinta hanya buat kau mengeluh
Berarti cinta palsu

Kalau cinta hanya buat kau kaget
Berarti cinta monyet

Kalau cinta hanya buat kau galau
Berarti cinta semu

Kalau cinta hanya buat kau sedih
Berarti cinta mitasi

Carilah CINTA MUTAWATIR
Yang tak membuatmu khawatir

Yaitu cinta yang mengantarmu
Pada cinta Rab-mu

Yaitu cinta yang membuatmu
Makin dekat pada Tuhan-mu

Cinta yang menggenapkan ganjilmu
Cinta yang menemani kesendirianmu
Cinta yang tak kan lekang bersama waktu
Cinta yang senantiasa tumbuh menyertamu
Cinta yang mendewasakan kekanakanmu

Demikianlah
CINTA MUTAWATIR

Dua Pusaka

Dalam perjalanan sunyi
Manusia berusaha mengeja
Kesejatian diri
Yang belum terkira

Badai ujian begitu bertubi
Manusia hanya bisa membaca
Tanda yang penuh misteri
Sisanya hanya tanda tanya

Dengan kejernihan hati
Berasas  dua pusaka
Manusia bisa meniti
Perjalanan dunia


Al-Qur`an Hadits menjadi
Dua sumber pusaka
Bagi setiap abdi

Yang mau menguak rahasia

Bumerang Ilmu

Written By Amoe Hirata on Rabu, 25 Februari 2015 | 19.51

Ilmu yang kau tumpuk
Dalam ruang hati
Akan menjadi lapuk
Jika tak dimengerti

Ilmu yang kau punya
Dalam relung dada
Akan menjadi sia-sia
Jika tak beriring etika

Bahkan,

Jika ilmu yang ada
Tak beriring
Amal nyata
Hanya jadi bumerang


The Origin of Shi`ah

Written By Amoe Hirata on Selasa, 24 Februari 2015 | 19.30

           Ketika membicarakan tema tentang syi`ah, maka kita tidak bisa melepaskan dari sejarah perkembangannya. Syi`ah pertama kali lahir dilatarbelakangi oleh faktor politik. Konflik politik antara Ali dan Mu`awiyah –oleh para sejarawan- disinyalir sebagai faktor krusial, yang membidani lahirnya syi`ah. Dengan demikian, pembicaraan seputarnya pertama-tama harus dilihat melalui kaca mata politik, meskipun pada perkembangannya sampai masuk pada ranah teologis.
            Adalah Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi asal Yaman, kerap kali dituduh sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan aliran ini. Didasari oleh faktor kebencian yang luar biasa terhadap Islam, ia pun membuat konspirasi besar memanfaatkan situasi politik yang tidak stabil. Disebarkanlah propaganda negatif di segenap penjuru negeri Islam, sehingga konflik internal pun semakin meruncing. Syi`ah sebagai aliran baru, lahir dalam situasi politis semacam ini.
            Peristiwa tahkīm(arbritase) yang disepakati antara pihak Ali dan Mu`awiyah yang diwakili oleh Abu Musa al-`Asy`ari dan `Amru bin Ash, membuat internal kaum Muslim terbelah.  Pihak yang setuju dari golongan Ali, adalah cikal bakal gerakan syi`ah(meskipun tidak bisa digeneralisir, namun dari sinilah syi`ah lahir). Adapun pihak yang tidak setuju, disebut sebagai sekte khawārij(yang kemudian hari juga berperan besar dalam menimbulkan fitnah di kalangan umat Islam).
            Jadi, secara historis kita bisa membuat mapping (pemetaan) bahwa: Pertama, desainer atau otak di balik pembuatan syi`ah adalah seorang Yahudi yang menyamar beragama Islam. Kenyataan ini memberi pelajaran besar bagi kita, bahwa syi`ah sangat bertalian erat dengan Yahudi. Kedua, menimbulkan fitnah di antara kaum muslimin. Ketiga, menggunakan jalur politik sebagai cara jitu untuk merealisasikan gerakan. Keempat, manajemen organisasi gerakan yang sistematis dan rapi. Kelima, menjastifikasi ajaran dengan dalil-dalil normatif yang memikat.
            Dengan pemetaan tersebut, maka tidak heran jika sekarang, Israil dan Iran(sebagai negara resmi yang berideologi syi`ah) terlihat damai saja meski dicitrakan sebagai musuh. Ketika negara-negara Muslim yang lain yang berusaha memiliki proyek nuklir diintimidasi oleh Amerika dan Israel, lantaran dianggap berbahaya, namun sampai saat ini, Iran masih leluasa mengembangkan proyek nuklirnya. Di sisi lain, kita melihat bahwa kekuatan politik umat Islam, untuk saat ini –mau tidak mau harus diakui- berada di negara Iran.
            Bila kita lebih jeli membaca sejarah, rupanya ada karakter yang sangat mirip antara orang Yahudi dan syi`ah. Dalam al-Qur`an, dijelaskan di antara ciri-ciri orang Yahudi ialah sangat cinta dunia, materialistik, pengecut, pembuat makar, konspiratif, memusuhi umat Islam, suka mengadudomba, menjalankan transaksi riba, ketika kuat atau berkuasa, mereka bertindak semena-mena, namun ketika lemah mereka akan menjilat. Sifat-sifat tersebut ternyata juga dimiliki oleh syi`ah.
            Konsep ajaran dalam syi`ah seperti imāmah, taqiyyah, takfīr shahabi, dan lain sebagainya bermuara pada karakter Yahudi. Konsep imamah misalnya, ia sebagai pelindung kuat dalam ranah politik. Ketika Imam dianggap berkuasa penuh, maksum, di atas segala otoritas, maka politik menjadi kuat karena digerakkan oleh satu orang, sehingga rawan terjadi perselisihan internal. Karena itulah, dalam syi`ah masalah politik begitu kuat.
            Dalam konsep taqiyyah, mirip dengan sikap Yahudi yang pura-pura berpihak pada Islam, ketika dalam kondisi lemah. Hukum taqiyyah sendiri dalam syi`ah memang disyari`atkan ketika dalam kondisi lemah. Konsep taqiyyah ini membuat mereka memiliki kepribadian ganda yang paradoks. Kondisi ini membuat mereka sakit secara psikis, dan mental. Sikap semacam ini juga bisa disamakan dengan orang-orang munafik. Hampir susah dibedakan –secara historis- antara orang Yahudi dan munafik.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, secara original atau natural, syi`ah lahir dari orang Yahudi, jadi sangat tidak mengherankan jika sikap dan sifat mereka seperti Yahudi. Tidak aneh juga jika ada kerjasama serius di antara mereka. Bahkan, Yahudi tidak segan-segan membantu mereka. Melihat sisi natural syi`ah sebagaimana pembahasan di atas, maka tidak mungkin antara syi`ah dan sunni disatukan, karena watak dasar mereka adalah memecah belah umat, utamanya pada ranah politik.

Pengakuan Mantan Feminis

Written By Amoe Hirata on Senin, 23 Februari 2015 | 00.37

Dulu aku mengira
Faham feminis
Begitu memesona
Dengan janji manis

Sekarang aku sadar
Bahwa itu hanya utopis
Kelihatannya wajar
Padahal tidak realistis

Perbedaan
Tak berarti penindasan
Sebagaimana kesetaraan
Tak berarti penghormatan

Islam datang dengan
Konsep keserasian
Bukan kesetaraan
Yang menghinakan





Visualisasi Surga & Neraka Versi Al-Qur`an

Written By Amoe Hirata on Jumat, 20 Februari 2015 | 11.26

            Melalui kisah Adam dan Hawa ketika masih berada dalam surga, kita akan mencoba memahami secara mendasar bahwa surga dan neraka berfungsi sebagai balasan bagi orang yang taat dan yang tidak taat. Kemudian, surga yang dibahasakan oleh Allah dalam Al Qur`an  dengan kata ‘jannah’ diibaratkan sebagai tempat yang nyaman, enak, dan diliputi keindahan. Keduanya disuruh makan dan minum sepuasnya, dan tidak akan merasa lapar dan telanjang. Adapun neraka sebaliknya, diistilahkan dengan kata ‘nār’(api) sebagai balasan bagi hamba yang tidak taat. Gambaran neraka pertama kali ialah tercabutnya kenikmatan surgawi yang ditandai dengan lepasnya baju dan diturunkan ke bumi karena memakan pohon buah larangan. Meskipun yang dilarang itu lebih sedikit, namun mempunyai daya tarik yang begitu tinggi. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa surga dan neraka adalah balasan bukan, tujuan utama, karena tujuan utama adalah keridhaan Allah SWT.
            Dilihat dari segi nama, keduanya memiliki keunikan. ‘Jannah’ dalam bahasa Arab berarti kebun, atau sesuatu yang menutupi. Sedangkan ‘nār’ berarti api. Mungkin pembaca akan bertanya-tanya, mengapa keduanya dipasangkan. Kalau ‘jannah’berarti kebun kenapa tidak dipasangkan dengan kata gurun pasir, atau tanah yang tandus? Bukankah api lebih pas dipasangkan dengan kata air? Apa yang digambarkan Al Qur`an sebenarnya sudah sangat tepat. Kata ‘jannah’ sudah mengandung air, dan segala bentuk keindahan. Sedangkan ‘nār’ sudah mewakili, bahkan lebih dahsyat dari sekadar kata gurun pasir atau tanah yang tandus. Gurun pasir dan tanah yang tandus, masih memungkinkan untuk dimasuki, meskipun terasa panas. Adapun api, siapa yang berani masuk ke dalamnya?.
Gambaran surga secara spesifik dapat kita lihat dari nama-namanya yang terdapat dalam Al Qur`an sebagai tempat yang kekal(khalidin), tempat kembali yang nyaman(ma`wa), tempat kenikmatan, negeri kesejahteraan dan kedamaian(darus salam), keberuntungan(thuba), taman(raudhah) dan negeri yang tetap(darul qarar). Sedangkan neraka digambarkan sebagai api yang menyala-nyala(sa`ir), panas(jahim), membuat orang terjatuh terhina(hawiyah) dan digambarkan sebagai negeri kehancuran(darul bawar). Gambaran surga yang diwakili oleh nama yang terdapat dalam Al Qur`an merupakan gambaran kebahagian sejati. Demikian juga gambaran nama-nama neraka, mencerminkan kesedihan dan kerugian sejati. 
            Ketika Al Qur`an menggambarkan surga, gambaran yang diberikan sungguh indah dan di luar nalar manusia. Banyak digambarkan dalam Al Qur`an, bahwa dalam surga ada sungai-sungai yang mengalir di bawahnya(sebagai contoh lihat surat Al Baqarah: 25 dan 266). Kalau sekadar sungai yang mengalir di samping kebun atau lembah, mungkin orang sudah biasa melihat. Tapi ini sangat berbeda, sungai yang mengalir bukan terletak dipermukaan atau di sampingnya, tapi di bawahnya. Bahkan di ayat lain –yang lebih mengherankan- ada sungai yang berasal dari madu, khamer, susu dan air yang sangat jernih(Qs. Muhammad: 15). Di ayat lain surga digambarkan seluas langit dan bumi(Qs. Ali Imran: 133 dan Al-Hadid: 21). Kesemua gambaran itu, di samping mencengangkan, juga memiliki daya tarik luar biasa bagi orang-orang yang beriman.
            Ketika Al Qur`an menggambarkan neraka, gambaran yang diberikan sungguh jelek dan mengerikan. Apa anda pernah membayangkan diberikan minum dari gislīn(darah campur nanah)? Atau diberi makan dari dharī`(makanan berduri)? Buah yang bernama zaqqūm yang tumbuh dari dasar neraka jahim di mana mayangnya seperti kepala setan.  Belum lagi ketika kehausan akan diberikan air yang mendidih. Semua itu akan membuat orang berfikir dua kali ketika hendak melanggar sesuatu. Hanya saja, surga dan neraka baru bisa menjadi pemicu dan pemacu semangat untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, ketika surga dan neraka dipandang dengan ‘mata pandang keimanan’. Adam dan Hawa tergelincir dan terbujuk untuk melanggar larangan, ketika keimanannya lemah.
            Sisi lain dari kedahsyatan surga dan neraka dalam Al Qur`an ialah kemampuanya menggambarkan sesuatu yang berefek langsung pada sikap dan perbuatan seseorang. Kejernihan dan kemurnian hati dan pikiran generasi pada zaman Nabi tak kuasa menahan pengaruhnya yang luar biasa. Tak jarang Nabi beserta sahabat ketika sedang membaca ayat-ayat adzab, mereka menangis seketika. Ketika sedang membaca ayat-ayat rahmat berupa balasan bagi orang-orang taat di surga, tiba-tiba muka mereka berseri-seri sembari mengharap dan mensyukurinya. Yang lebih dahsyat dari itu, gambaran Al Qur`an mengenai surga dan neraka membuat para sahabat dan orang-orang yang meneladaninya tidak merasa takut kehilangan nyawa. Mereka begitu rindu surga, sehingga ingin segera bercerai dengan kehidupan dunia yang fana.
            Menariknya,  surga dan neraka bukan saja terkait dengan masalah keimanan. Gambaran surga dan neraka dalam Al Qur`an ternyata memberikan inspirasi pada bidang arsitektur peradaban manusia. Bangunan-bangunan bersejarah pada masa keemasan Islam baik di Baghdad dan Andalusia, salah satunya terinspirasi dari lukisan surga dan neraka dalam Al Qur`an. Dalam kitab yang berjudul Al-Itqākarya Imam Suyuthi, ayat yang artinya: “Pergilah kamu mendapatkan naungan yang mempunyai tiga cabang”, dikatakan beliau sebagai ayat yang berkaitan dengan arsitektur bangunan. Padahal ayat tersebut masuk dalam pembahasan neraka.
Intinya surga dan neraka yang dilukiskan Al Qur`an bukan saja sebagai balasan, dan motivasi keimanan yang mendorong orang untuk beramal atau meninggalkan sesuatu, tapi ia juga membuat orang terinspirasi hinggga pada ranah berskala peradaban. Maha Benar Allah yang telah berfirman: “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar(9) dan Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih(10)[Qs. Al-Isra`: 9-10). 

Mati Sujud

Written By Amoe Hirata on Kamis, 19 Februari 2015 | 18.30

            Kematian merupakan kemestian. Siapa saja dan apa saja pasti akan merasakan mati. Baik orang beragama maupun tidak, kalau sudah membicarakan tema “kematian” pasti akan sepakat bahwa kematian itu mutlak terjadi. Kematian menggambarkan akhir dari titik perjuangan dunia. Kematian merupakan detik-detik yang menentukan seseorang akan mendapat penghargaan apa kehinaan. Sangat jarang orang yang bermimpi bagaimana seharusnya kelak ia mati, karena yang terbayang jika disebut kata ‘kematian’ yang ada di benaknya hanyalah rasa takut dan ngeri. Padahal pada batas tertentu kita sebenarnya bisa merencanakan jauh-jauh hari kita mati dalam kondisi apa dan bagaimana. Namun ini sama sekali tidak menentang takdir Tuhan, manusia hanya bisa berdoa pada Tuhan agar dimatikan dalam kondisi yang terbaik. Sebagai muslim tentu saja menginginkan mati dalam kondisi khusnul khatimah(akhir yang baik). Supaya kematian tidak hanya sekadar sebagai sesuatu yang menakutkan dan mengerikan, maka kematian seharusnya dijadikan sebagai ‘kesadaran diri’. Setiap kali melakukan sesuatu hendaknya dipikir terlebih dahulu bahwa apa yang dilakukan ada kaitannya dengan kematian terbaiknya?. Alangkah indahnya jika kita mati dalam kondisi syahid, di mana banyak sekali yang mengantar jenazah kita ke pemakaman dengan derai air mata kehilangan. Laiknya ulama-ulama besar semacam ibnu Taimiyah, ibnu Jauzi, ibnu Qayyim, ibnu Hajar dan lain sebagainya yang diantarkan oleh beribu-ribu orang.
              Coba kita luangkan waktu sejenak untuk melihat pada lembaran sejarah emas sahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Mereka merupak generasi yang sama sekali tidak takut mati. Mereka punya pendirian: “mengapa kita takut mati sedangkan kematian itu pasti, yang terpenting ialah apa yang kita persiapkan sebelum kematian datang”. Maka jangan heran jika pada lembaran sejarah emas mereka banyak didapati orang yang bukan hanya tak takut sama mati, namun menjadikan kematian sebagai kerinduan; menjadikan kematian sebagai pelipur lara dunia yang sungguh fana. Diantara mereka sangat rindu dengan kematian. Bukan sekadar kematian tapi kematian yang luar biasa yaitu mati ‘syahid’. Ada yang ingin mati di medan perang, ada yang ingin mati ketika berdakwah, ada yang ingin mati ketika bersama Rasulullah, ada yang ingin mati di majlis ilmu. Kesemuanya terangkum dalam ‘mati syahid’. Mereka hanya bisa merencanakan kematian, tetapi yang menentukan hanyalah Tuhan. Khalid bin Walid misalnya, ia sangat mendabakan mati syahid di medan jihad, dan berpuluh-puluh peperangan yang ia ikuti dan mendapat kemengan gemilang, namun ternyata ia mati bukan di medan perang tapi di ranjang. Abu Bakar pun mati sakit di ranjang. Umar, Utsman dan Ali mati dibunuh musuh. Apapun dan bagaimanapun cara kematiannya, mereka sepakat untuk mendambakan ‘mati syahid’, sehingga mati dalam kondisi apapun asalkan ada niatan untuk mendapat kesyahidan maka itu adalah impian ideal.
            Pernahkah anda mendengar sahabat yang dikenal dengan sebutan Abu Tsa`labah Al-Khusyna? Mungkin jarang sekali yang mendengar atau bahkan sama sekali belum mendengar. Berkaitan dengan kematian, ada kisah menarik berkaitan dengan beliau. Ketika membicarakan kematian pada rekan-rekannya, ia berujar: Sesungguhnya aku benar-benar menginginkan Allah mematikanku tidak seperti mematikan kebanyakan kalian. Kematian dengan cara apa gerangan yang diinginkan oleh Abu Tsa`labah? Dalam kitab siyarul A`lam an-Nubala` karya Imam ad-Dzahabi disebutkan bahwa Abu Tsa`labah berharap pada Allah agar ia dimatikan dalam kondisi sujud. Apakah permintaannya dikabulkan?. Ya, Allah mengabulkannya. Ketika ia sedang menunaikan shalat Malam, ia meninggal dalam kondisi sujud. Ketika malam, putrinya bermimpi bahwa ayahnya telah meninggal, seketika itu juga ia bangun. Lantas ia panggil ibunya: “di mana ayah bu?”. Ibunya menjawab: “ayahmu di mushallanya”. Lalu dengan segera putrinya memanggil Abu Tsa`labah, tetapi Abu Tsa`labah sama sekali tak menjawabnya. Berbegas ia bangunkan ayahnya ternyata ayahnya sudah meninggal dunia. Masyaaallah, alangkah bahagianya Abu Tsa`labah meninggal dunia sesuai dengan apa yang diinginkannya, kelak ketika hari Kebangkitan tiba, ia akan dibangkitkan dalam kondisi sujud. Ia telah mendapatkan khusnul khatimah (akhir –kematian- yang baik).
            Setelah membaca kisah-kisah sahabat Nabi berkaitan dengan kematian, lantas apakah kita akan menyikapi kematian sebagaimana kebanyakan orang? Kebanyakan orang hanya menakutinya. Padahal kalau dihadapi dengan ketakutan maka orang akan semakin berusaha melupakan dan menjauhinya. Orang yang takut mati, sejatinya telah dijangkiti penyakit wahn sebagaimana khabaran Nabi Muhammad shallallahu`alaihi wasallam. Cinta dunia dan takut mati merupakan penyakit kronis yang dapat menggerogoti iman seseorang. Semakin otang takut mati maka ia akan menjauhi kematian dan akan semakin cinta dunia, semakin dunia dicintai maka orang akan semakin malas untuk mempersiapkan bekal kematian. Kebanyakan orang di dunia ini mengumpulkan, mencari, menghimpun sesuatu yang sejatinya tak bakal dibawa mati, padahal kematian itu pasti. Ada riwayat yang menjelaskan: Orang yang cerdas ialah orang yang mampu melakukan evaluasi diri dan menundukkan nafsunya dan melakukan amalan sebagai bekal setelah mati, sedangkan orang lemah dan bodoh ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan pada Allah. Sekarang pilihan di tangan anda. Anda mau jadi orang cerdas apa menjadi orang pandir. Muslim yang cerdas akan merencanakan, mempersiapkan, berdo`a sedemikian rupa untuk menghadapi datangnya mati. Sedangkan muslim yang dungu ialah muslim yang selalu mengikuti hawa nafsu sehingga takut pada kematian bahkan lupa untuk mempersiapkan amal ketika ia tiba. Kesadaran akan kematian, dan perencanaan akan kematian akan berpengaruh besar pada langkah hidup kita menuju kematian khusnul khatimah. Kematian yang didambakan setiap orang ketika dijemput malakul maut(malaikat maut) menuju kehidupan yang abadi. Akhir yang baik merupakan titik final dan penentuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wallahu a`lam bis shawab.

Membeli Rumah di Surga

Written By Amoe Hirata on Rabu, 18 Februari 2015 | 05.00

        Rumah adalah lambang dari ketenangan, tempat istirahat, tempat penghilang penat, tempat ketentraman, tempat untuk menetap atau mukim. Dalam bahasa Arab ada beberapa kata yang sinonim berkaitan dengan rumah, diantaranya: bait(berarti tempat untuk mabit atau tidur malam), manzil(tempat untuk peristirahatan ketika habis dalam perjalanan), dâr(tempat lalu-lalang atau aktivitas). Karena sangat pentingnya rumah, maka tidaklah heran jika salah satu di antara sekian banyak mimpi kebanyakan manusia ialah: memiliki rumah yang mapan. Bahkan kemapanan rumah merupakan kebutuhan pokok manusia di setiap peradaban. Sampai sekarang pun kalau kita melihat kecendrungan manusia terkait dengan keinginan memiliki rumah, masih sangat tinggi. Ditambah pula di sisi lain iklan-iklan di media turut serta meramaikan jual-beri rumah, sebagai gambaran bahwa kebutuhan manusia akan rumah memang tak dapat dihindari. Nabi Muhammad shallallâhu `alaihi wasallam sendiri dalam salah satu haditsnya beliau bersabda: “ada empat hal yang termasuk kebahagiaan (yaitu) istri shalihah, rumah yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman”[H.r. Ibnu Hibbân]. Hadits ini bahkan menunjukkan bahwa di antara yang membuat manusia bahagia ialah memiliki rumah, bukan hanya sekadar memiliki bahkan sekaligus luas.
         Betapapun rumah merupakan idaman bagi kebanyakan orang pada umumnya, kalau kita menilik kembali sejarah masa silam Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam, rumah beliau sangatlah bersahaja. Ini mengajarkan kepada kita akan kesederhanaan dan ‘kesadaran akhirat’. Sebagus apapun yang namanya rumah, ia hanyalah tempat sementara; ia hanyalah wasilah untuk pergi ke ‘rumah keabadian’ di surga kelak; ia adalah tempat singgah sementara. Karena itu, jika manusia muslim menjadikan rumah mewah, elit, indah sebagai tujuan utama hidupnya, maka sebenarnya telah salah kapra. Sebagus-bagusnya rumah ia tak lebih dari tempat persinggahan sementara di dunia, dan ketika sudah meninggal dunia, ia tidak akan dibawa ke alam baka. Yang abadi ialah rumah di surga. Yang dalam istilah al-Qur`an disebut sebagai, ‘dâru al-qarâr’[Q.s. Ghafir: 39](rumah keabadian/rumah tetap dan mapan) yang akan dijumpai di akhirat kelak. Dengan demikian, sebagai muslim tentunya jangan sampai kita salah dalam memandang, menyikapi, memposisikan rumah yang dimiliki atau yang baru diinginkan di dunia. Karena sejatinya semua itu hanya persinggahan sementara, dan akan musnah ketika kiamat telah tiba.
            Dalam lembaran emas sejarah para sahabat ada seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hazzâm, yang merupakan teman Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam ketika masa jahiliyah, ia juga keponakan Khadijah, yang kelahirannya sangat unik yaitu di dalam Ka`bah. Ia baru masuk Islam ketika pada masa fathu Makkah(pembebasan kota Mekkah). Ada kisah menarik berkaitan dengan perkataan Hakim bin Hazzâm terkait masalah rumah. Suatu saat Daru al-Nadwah(tempat rapat pembesar Qurays di masa jahiliyah) menjadi miliknya. Ketika masuk Islam, Ia jual rumah itu kepada Mu`awiyah bin Abi Sufyan dengan harga seratus ribu dirham. Melihat kejadian itu, Abdullah bin Zubair menegurnya: “apakah anda akan menjual kemuliaa (rumah) kehormatan Qurays?”  Ia pun menjawab: “Telah berakhir kehormatan wahai keponakanku, (yang ada) hanyalah takwa, dengan uang itu aku beli rumah di surga, aku bersaksi pada kalian bahwa uang itu akan persembahkan hanya untuk Allah(berjuang di jalan Allah)”. Kalimat Hakim sangat singkat, jelas, padat, sekaligus memikat. Siapa coba yang tak bangga jika memiliki rumah kehormatan sekaligus rumah bersejarah kaum Qurays, daru al-Nadwah?. Namun pandangan Hakim, lain dari pada yang lain, baginya rumah sejati ialah ‘rumah surga’. ‘Kesadaran akhirat’ mengantarkannya untuk bersikap tepat mengenai rumah. Ia memposisikan rumah di dunia –sehebat apapun bentuk dan sejarahnya- sebagai tempat sementara. Yang ia inginkan lebih dari itu, yaitu rumah abadi yang ia dambakan di surga. Tentu saja memang untuk mendapatkannya harus disertai perjuangan dan pengorbanan. Beranikah kita bermimpi untuk membeli rumah di surga, dengan mengabdikan diri, berjuang dan berkorban hanya untuk Allah Swt? atau kita merasa puas dengan rumah di dunia yang terbatas ruang dan waktu; yang akan kita tinggal ketika telah tiada? Walalâkhirati khairun laka minal ûlâ(kehidupan akhirat lebih baik dari kehidupan sekarang (dunia).

Demi Allah Aku Beruntung

Written By Amoe Hirata on Selasa, 17 Februari 2015 | 04.00

       
          Bila Allah ta`ala memberi kesempatan pada saudara untuk mendapat keberuntungan, lantas keberuntungan apa yang tergambar di benak saudara? Keberuntungan apa yang saudara bayangkan ketika mendapat kesempatan emas ini? Keberuntungan apa yang hendak dimohon pada Allah subhaanahu wa ta`aala? Apa saudarai ingin kaya raya? Ingin wanita cantik? Ingin tahta? Ingin jabatan? Ingin pintar? Ingin terkenal? atau tak ingin sama sekali. Konsep kita mengenai pengertian keberuntungan akan mempengaruhi sikap dan aksi kita dalam mengusahakannya. Orang yang didominasi oleh pemikiran materialistik mempersepsikan keberuntungan hanya sekadar materi belaka; yang untung ialah yang punya harta banyak, isteri cantik, jabatan tinggi, dan berbagai atribut materi lainnya. Sedangkan orang yang didominasi oleh pemikiran Islam mempersepsikan keberuntungan yang terutama bukan sekadar keberuntungan materil, kebuntungan yang diinginkan adalah keberuntungan lintas dimensi. Keberuntungan yang dapat mengantarkannya menuju keberuntungan akhirat. Sehingga keberuntungan material duniawi yang tak bisa mengantarkannya pada keberuntungan akhirat, maka hal itu adalah keberuntungan semu dan palsu. Sebagaimana manusia biasa pada umumnya, orang tipe ini bukan berarti tak suka atau sama sekali membuang materi. Materi digunakan sedemikian rupa untuk memudahkan jalannya pada keberuntungan abadi menuju akhirat.
          Fenomena semacam ini akan sangat mudah kita jumpai dalam lembaran sejarah para sahabat Nabi Muhammad shallallahu`alaihi wasallam. Mari kita baca salah satu perkataan sahabat berikut ini: “Demi Allah aku beruntung. Ucapan ini keluar dari bibir seorang sahabat mulia yang bernama Haram bin Milhan. Kata-kata ini keluar bukan karena telah mendapat untung besar ketika berdagang, bukan karena mendapatkan isteri cantik jelita, bukan karena mendapat anugerah harta yang begitu besar. Sama sekali tidak berhubungan dengan yang demikian itu. Kata-kata ini justru keluar di saat-saat kritisnya. Kata-kata ini keluar di saat ajal hendak tiba. Kata-kata ini keluar ketika ia ditikam dari belakang oleh Jabbar bin Silmi hingga tembus ke dadanya. Bayangkan! Di saat yang genting dan kritis seperti ini, beliau sempat mengucapkan kata-kata yang mencengangkan itu. Ini berkaitan dengan peristiwa penting mengenai 70 sahabat ahli Qur`an yang di utus untuk berdakwah ke Najad bersama Aamir bin Malik – pemuka kabilah Amir- sampai terjadinya pembunuhan masal di Bi`ru Ma`unah. Tidak ada yang selamat dalam pembunuhan masal ini, kecuali sahabat yang bernama Ka`ab bin Zaid yang meninggal setahun setelah peristiwa itu di pertempuran Khandaq.
Ketika sampai di Bi`ru Ma`unah para sahabat berkemah di sana, kemudian mengutus Haram bin Milhan untuk berdakwah pada  Amir bin Thufail – keponakan dari Amir bin Malik- Keponakan Amir bin Malik ini terkenal jahat, licik dan suka berkhianat. Apa yang terjadi kemudian? Yang terjadi bukan disambut dengan baik malah, orang jahat ini menyuruh salah satu pembesarnya yang bernama Jabbar bin Silmi untuk membunuh Haram bin Milhan dari belakang. Diambillah satu tombak besar kemudian ditikamkan pada punggung Haram bin Milhan hingga tembus ke depan dadanya. Reaksi Haram bin Milhan sungguh membingungkan Jabbar Sang pembunuhnya. Pasalnya, ketika sudah jelas-jelas hidupnya sangat kritis, Haram bin Milhan bukan malah bersedih tapi mengucapkan dengan mimik muka bahagia: Demi Allah aku beruntung.  Jabbar tidak habis pikir melihat kejadian ini. Menurutnya apa untungnya mati. Bukankah kematian adalah akhir dari segalanya. Ini menurut pemahamannya. Rasa penasaran inilah nanti yang membimbingnya menuju petunjuk Allah yaitu Islam. Ia menemukan kenyataan penting bahwa salah satu kata kunci yang bisa menjelaskan kata-kata Haram bin Milhan ialah anugerah syahid. Ya, Haram bin Milhan merasa beruntung karena tiada terkira karena telah syahid di jalan Allah. Ia telah beruntung karena sudah pindah dari dunia yang semu dan sementara menuju akhirat yang hakiki dan abadi. Ia merasa bahagia karena idealismenya selama ini mendapatkan ridha ilahi benar-benar terwujud. Ungkapan Haram bin Milhan yang diabadikan sejarah ini bukan saja membuat dirinya untung secara pribadi, bahkan mengantarkan pembunuhnya yang bernama Jabbar bin Silmi menuju petunjuk Allah subahanahu wata`ala.
Peristiwa yang menarik dan mencengangkan ini memberikan pelajaran berharga pada kita mengenai makna keberuntungan. Keberuntungan ialah kebahagian yang dicapai seseorang berupa ridha Allah subhanahu wata`ala. Untuk menggapai keridaan-Nya memang dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Mungkin nanti harta akan habis, mungkin nanti aka mendapat kesusahan yang luar biasa, dan mungkin nanti pada puncaknya nyawa yang akan dipertaruhkan. Keberuntungan seperti ini adalah keberuntungan di atas keberuntungan. Keberuntungan yang tidak terpaku pada keberuntungan materil; keberuntungan yang mengantarkan hamba kepada Tuhannya. Coba peristiwa ini dijadikan semacam cermin persepsi kita mengenai keberuntungan. Sudahkah sama atau mirip makna keberuntungan yang kita persepsikan dengan keberuntungan yang dipersepsikan oleh Haram bin Milhan? Kalau dunia lebih mendominasi alam pikiran kita maka cerminan yang dihasilkan bukan saja berbeda dengan cerminan Haram bin Milhan bahkan sama sekali bertentangan. Keberuntungan yang dipersepsikan dan dicapai Haram bin Milhan adalah keberuntungan yang mengharuskan orang memiliki semangat perjuangan dan pengorbanan. Keberuntungan yang dibangun bukan atas landasan egoisme materil, tetapi keberuntungan yang dilandasi oleh kepentingan sosial-umat. Ia syahid ketika menjalankan misi dakwah. Dan sejarah mengabadikannya dengan tinta emas yang akan menjadikannya teladan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan keberuntungan sejati.

Dermawan Tapi Tak Hartawan

Written By Amoe Hirata on Senin, 16 Februari 2015 | 02.00

Manusia sebagaimana yang telah menjadi aksioma adalah merupakan makhluk sosial. Manusia tak mampu hidup sendiri. Kenyataan ini mengharuskan mereka kerja sama satu sama lain. Bila tidak maka manusia – kalaupun bisa – akan menjalani kehidupan dengan sangat berat dan sulit. Kenyataan ini pula membawa kita pada kenyataan berikutnya berupa: manusia yang akan dikenang dan dihormati adalah mereka yang paling banyak manfaatnya. Logika sosial masyarakat juga menempatkan orang yang dikenang adalah mereka yang punya kontribusi banyak pada orang lain. Hanya orang-orang yang memiliki manfaat sosial yang akan selalu ada di hati manusia. Manfaat sosial yang diberikan bisa berupa tenaga, harta, waktu, dan apa saja yang bisa dimanfaatkan manusia. Yang penting dan perlu digarisbawahi ialah kata kunci: bermanfaat. Selama manfaat itu senantiasa diterbarkan, maka selama itu pula ia akan dihormati dan dikenang. Dan kalau kita amati benar-benar bahwa para pahlawan itu menjadi pahlawan karena kontribusi besar yang telah dibayar; mereka rela susah payah untuk memberi manfaat sosial, sehingga tidak mengherankan jika mereka diabadikan sejarah sebagai orang-orang yang terdepan dalam memberi manfaat sosial. Karena mereka telah sukses melampaui kepentingan dirinya untuk memberikan sebanyak-banyaknya manfaatnya yang sifatnya sosial.
Di antara sifat fundamental yang harus dimiliki untuk bisa menjadi bermanfaat bagi orang lain ialah sifat suka memberi. Orang yang suka memberi biasa dibahasakan dengan istilah, ‘dermawan’. Kedermawanan bisa memikat hati manusia; kedermawanan bisa menciptakan kesan baik di hati orang yang diberi derma. Di sisi lain kalau kita melihat dalil secara normatif dari hadits Rasulullah yang berbunyi: Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Secara implisit ini menjelaskan betapa kedermawanan akan membuat orang lebih terhormat daripada kebiasaan menerima. Kedermawanan akan mengangkat derajat seseorang asal dilakukan dengan ikhlas dan proporsional. Kalau demikian halnya, pertanyaan selanjutnya ialah apakah kedermawanan mengharuskan kita jadi hartawan; menuntut kita jadi kaya; meniscayakan kita menjadi kaya raya? Tentu saja tidak, meski yang sudah jama` di kalangan masyarakat pada umumnya bahwa yang bisa menjadi dermawan adalah mereka yang hartawan, yang mempunyai banyak harta. Prinsip dermawan ialah kemampuannya untuk menderma dan memberi manfaat. Sebagaimana yang disinggung di atas bahwa manfaat tidak terbatas pada harta tetapi bisa juga waktu, tenaga, dan lain sebagainya yang bermanfaat bagi manusia. Dengan demikian menjadi dermawan tak harus menunggu punya harta. Masih banyak manfaat lain yang kita berikan untuk manusia.
Sewaktu terjadi perang Tabuk pada tahun 9 Hijriah, Rasulullah mendorong sahabat-sahabatnya untuk mendermakan hartanya untuk perjuangan di jalan Allah. Di antara mereka ada yang mendermakan semua hartanya; ada yang mendermakan separuh hartanya dan ada pula yang mendermakan harta sesuai dengan kadar harta yang dimiliki. Akan tetapi di sisi lain ada beberapa sahabat yang tergolong fakir dan miskin. Mereka sama sekali tidak mempunyai harta untuk didermakan, bahkan untuk turut serta jihad saja tidak mempunyai kendaraan. Mereka dalam lembaran sejarah dikenal dengan istilah, ‘al-Bukkaa`un(yang banyak menangis)’ sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur`an, artinya demikian: dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan(At-Taubah: 92). Mereka ada tujuh orang. Di antara mereka ada yang bernama `Ulbah bin Zaid. Ketika ia ditolak ikut serta jihad karena tidak mempunyai apa-apa, akhirnya sewaktu malam ia shalat tahajjud kemudian berdoa: Ya Allah, sesungguhnya Engkau memerintah jihad dan mendorong hamba melakukannya, sedangkan Engkau tidak menjadikan untukku sesuatu yang bisa membuatku kuat, serta Kau tidak memberi pada Rasul sesuatu yang dapat membawaku(turut serta berjihad) dan sungguh aku berderma(bersedekah) pada setiap muslim dengan segenap kedzaliman yang menimpaku baik berupa harta, jasad maupun harga diri.
Hampir-hampir `Ulbah bin Zaid putus asa karena sama sekali tak punya harta untuk didermakan di jalan Allah. Namun di keheningan malam yang sunyi, ia bermunajat pada Tuhan seraya mendermakan sesuatu yang sama sekali tak berkaitan dengan harta benda. Ia berderma dan bersedakah dengan keikhlasan terhadap kezaliman yang telah dilakukan oleh teman-teman muslimya kepada dirinya baik berupa harta, jasad, maupun harga diri. Ia mengikhlaskan semua itu sebagai sedekah untuk berkontribusi berjihad di jalan Allah. Tanpa dinyana ternyata setelah shalat Shubuh Rasulullah mengumumkan bahwa sedekah `Ulbah bin Zaid diterima dan dicatat sebagai seorang penderma tulus dan jujur sebagaimana penderma lain di kalangan sahabat yang telah mendermakan harta. `Ulbah tak mau putus asa. Ia berusaha sedemikian rupa untuk tetap menjadi dermawan meski ia tak hartawan. Ia mendermakan sesuatu yang sama sekali mungkin belum terlintas dibenak kita. Bahwa memaafkan kesalahan, kezaliman orang lain ternyata dicatat sebagai sedekah. Ia lulus menjadi dermawan meski tak hartawan. Kisah ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa menjadi dermawan tak harus menunggu mempunyai sesuatu. Apa saja yang intinya bernilai manfaat baik itu, arta, tenaga, waktu dan lain sebagainya selama bermanfaat maka itu bisa diberikan pada orang lain. Sehingga tak ada lagi alasan bersedekah, berderma menunggu punya harta; tidak ada alasan lagi berderma menunggu sampai punya. Apa saja yang bisa diberikan berupa manfaat, di situ terbuka lebar untuk menjadikan kita dermawan.

            

Ahli Hukum, Pribadi Santun

Written By Amoe Hirata on Minggu, 15 Februari 2015 | 20.12

         
Dalam khazanah hadits Rasulullah shallalâhu `alaihi wasallam ada satu hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang berbunyi demikian: man yuridillâhu bihi khairan yufaqqihhu fiddîn(barang siapa dikehendaki Allah mendapat kebaikan, maka ia akan difahamkan dalam urusan agama). Dalam istilah ilmu Fiqh, orang yang faham tentang agama disebut fâqih (ahli hukum). Kandungan hadits itu sangat jelas: Orang yang faham hukum agama, maka secara otomatis sebenarnya telah dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan. Hadits tersebut secara garis besar membicarakan kemuliaan orang yang memahami hukum agama. Yang menjadi pertanyaan mendasar ialah: apakah kebaikan di sini sifatnya umum? Dalam arti, apakah setiap orang yang faham hukum agama sudah bisa dipastikan bahwa seluruh tingkah lakunya pasti baik? Apakah kepahaman hukum berjalinkelindan dengan segenap tingkah dan laku? Apakah orang yang mengerti pasti mengamalkan? Apakah orang yang faham pasti beramal?.
Kalau kita jeli dan cermat saat membaca semangat inti dari hadits itu, maka kita akan mendapatkan kesimpulan, ‘orang yang paham hukum agama, memang dikehandaki oleh Allah mendapat kebaikan, tapi tak berhenti sampai di situ. Meskipun paham hukum, jika hukum hanya dijadikan teori keilmuan, tidak pernah benar-benar dijalankan dan ditegakkan, maka paham hukum agama malah akan membuat seangsara diri dan orang lain’. Realita membuktikan, bahwa banyaknya orang yang faham hukum agama, tidak berbanding lurus dengan kebaikan sikap dan laku. Sehingga faham hukum agama saja tidak cukup untuk membuat orang menjadi baik. Makanya tidak mengherankan jika misalkan terdapat kesenjangan yang serius pada kenyatannya antara Islam sebagai agama dan muslim sebagai pemeluk agama. Kebaikan itu sifatnya bukan paten atau tetap (konstan), tetapi bersifat dinamis (bergerak), selama orang masih hidup, maka tidak ada kata berhenti untuk berusaha menjadi baik, kebaikan baru paten jika empunya kebaikan sudah kembali ke haribaan Tuhannya.
            Selanjutnya, kita bisa bertanya lebih dalam lagi: apakah faham hukum agama dan mengamalkannya itu saja sudah cukup untuk membuat orang baik? Ternyata masih belum cukup. Ada beberapa faktor lagi yang perlu dipenuhi misalkan: keikhlasan, cara penyampaian atau  mengajarkannya kepada orang lain yang belum mengerti. Nah, dalam hal penyampaian dan pengajaran inilah secara umum banyak dai-dai yang mengatasnamakan kelompoknya berjuang di bawah naungan  panji-panji Islam berdasarkan al-Qur`an dan Hadits kurang santun dan bijak dalam mengajarkan, menyampaikan, dan menyikapi orang yang belum benar-benar mengerti tentang hukum Islam. Ini berkaitan erat dengan metode penyampaian dan penyikapan dakwah. Bila hukum agama meskipun baik dan benar, tetapi tidak disampaikan dan diajarkan dengan cara yang bijak dan santun maka, hanya akan membuat hukum agama semakin dibenci. Jadi sekali lagi kebenaran dan kebaikan juga membutuhkan cara penyikapan dan penyampaian yang baik. Orang yang ahli hukum, tetapi hanya sebatas keahlian, dan digunakan untuk menghakimi orang dengan cara yang tak santun maka hanya akan mencoreng hukum Islam. Padahal da`i itu tugasnya bukan menghukumi, tetapi mengajak dengan cara yang baik, santun dan sebijak-bijaknya. Realitanya banyak yang ahli hukum, tapi tidak santun.
            Dalam sejarah emas kehidupan sahabat Nabi Muhammad shallalâhu `alaihi wasallam ada pelajaran berharga yang berkaitan dengan tema di atas. Anda tentu tak asing dengan nama sahabat agung bernama Mu`adz bin Jabal. Seorang sahabat yang luas ilmu, dermawan, qâri`(ahli dalam masalah al-Qur`an)handal,  mujahid sejati, sahabat yang pernah diberi komentar Rasulullah: Demi Allah wahai Mu`adz sungguh aku mencintaimu, demi Allah ya Mu`ad sungguh aku mencintaimu (Hr. Abu Daud, Nasa`i dan Hakim), dan digambarkan oleh Rasulullah shallalâhu `alaihi wasallam sebagai orang yang paling mengetahui hukum halal dan haram pada umat Islam. Anas bin Malik radhiyallâhu `anhu pernah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallalâhu `alaihi wasallam bersabda: orang yang paling pengasihsayang pada umat ini  di antara umatku ialah Abu Bakar, dan yang paling gigih dan tegas dalam menjaga agama Allah adalah Umar, dan yang paling pemalu(secara benar) adalah Utsman bin `Affân, dan yang paling alim(faham) mengenai hukum halal dan haram adalah Mu`adz bin Jabal....[H.r.  Ahmad, Tirmidzi, dan Nasa`i]. Demikianlah secara singkat mengenai keagungan Mu`adz bin Jabal.
Ketika Mu`adz berdakwah ke negeri Yaman bersama dengan Abu Musa al-`Asy`ari, Ia mendapat nasihat berharga dari Rasulullah. Nasihat itu padat dan singkat namun sangat dalam maknanya bagi mereka yang mengerti hukum dan ingin mengajarkannya pada orang lain. Rasulullah menasihatinya: yassiru wa lâ tu`assiru(permudah dan jangan mempersulit), bassyiru wa lâ tunaffiru(berilah kabar menggembirakan hati, jangan membuat orang lari). Mu`adz sangat memegang betul nasihat Rasulullah, sehingga sebagai ahli hukum, Ia juga santun, pantaslah jika banyak orang yang mencintainya, dakwahnya pun terhitung sukses, lebih dari itu Ia juga pejuang sejati, yang mati dalam usianya yang terhitung muda (yaitu sekitar 33 tahun, terkena wabh tho`un[lepra]). Apakah Mu`adz tak pernah berbuat kurang bijak? Tentu saja sebagai manusia Ia pernah melakukan ketidakbijakan dalam melakukan sesuatu meskipun secara hukum fiqih bisa dikatakan benar. Pernah suatu ketika, setelah Ia bermakmum Shalat Isya` yang diimami Rasulullah, Ia pulang dan mengimami kaumnya, tapi waktu itu Mu`adz dilaporkan kepada Nabi gara-gara bacaan ayat waktu menjadi Imam sangat panjang, sehingga membuat salahsatu makmum yang tak tahan akhirnya melakukan shalat sendiri, kemudian melaporkan kejadian ini pada Rasulullah. Sewaktu ketemu, Rasulullah berkomentar: Fattân Fattân Fattân(Tukang Fitnah, Tukang Fitnah, Tukang Fitnah). Mu`adz mendapat pengalaman berharga bahwa mengerti hukum saja tidak cukup, tapi perlu mempertimbangkan sisi-sisi lain dalam menerapkan atau menyampaikan hukum. Di sinilah pentingnya hukum dibungkus dengan kebijaksanaan dan kesantunan.
Di negeri tercinta ini, mungkin banyak yang mengerti hukum, tapi pertanyannya ialah apakah hukum sudah benar-benar ditegakkan, kalau pun ditegakkan, apa sudah bijak dan santun?. Masyarakat sangat butuh figur-figur seperti Mu`adz bin Jabal, yang menguasai dan piawai hukum, tapi tetap menyampaikan, menegakkannya dengan cara santun, sehingga tak mengherankan jika banyak masyarakat yang kagum. Hukum memang perlu dan sangat penting ditegakkan, tapi yang lebih penting lagi hukum harus dibungkus dengan cara yang bijak dan santun. Disampaikan dengan cara sebijaksana mungkin, dan melalui tahapan-tahapan yang memungkinkan orang untuk melakukannya secara optimal. Bila tidak demikian, maka jangan heran dan marah jika, orang yang didakwahi malah benci bahkan memusuhi agama. Akhirnya: HUKUM memang penting, tapi yang lebih penting lagi, ialah harus dibalut dengan HIKMAH. Hukum tanpa hikmah hanya akan membuat nilai-nilah agama menjadi mengerikan dan membuat susah.

Sumengko, Rabu 30 April 2014/20:07

MARNISSI: Mantan Santriwati Korban Prostitusi

Written By Amoe Hirata on Jumat, 13 Februari 2015 | 09.42

“Marnissi(red: bukan nama sebenarnya)! Ayo ikut paman ke Surabaya. Nanti di sana kamu akan paman usahakan bekerja di pabrik pasta gigi.” Ajak pamannya, Joko Subroto(red: bukan nama sebenarnya). Gadis manis nan lugu asal Banyuwangi ini pun, tak kuasa menolak. Sebenarnya idealismenya ingin melanjutkan kuliah, namun apa daya orang tuanya tidak mampu, ia harus bekerja jika mau kuliah. Kebetulan ia ingin melanjutkan kuliah di Surabaya. Karena itulah, dengan sangat terpaksa –demi menggapai cita-citanya dan untuk membantu orang tuanya- akhirnya ia terima tawaran pamannya.
Dengan membawa harapan besar, ia pun memberanikan diri untuk ke Surabaya bersama pamannya. Namun begitu malang nasibnya. Ketika sampai di Surabaya, ia menjadi korban human trafficking(perdagangan manusia). Pamannya sendiri menjualnya menjadi seorang pelacur di tempat pelacuran besar, Surabaya. Secercah harapan pun menjadi sirna. Bukan idealisme yang ia dapatkan, tapi kebohongan yang tak pernah ia sangka bahwa itu dilakukan oleh pamannya. Hari-harinya penuh derita. Ia harus melayani laki-laki hidung belang. Sedangkan nilai-nilai agama yang selama ini dijaga, seolah runtuh diluluhlantakkan realita.
Dalam hati kecilnya ingin sekali ia keluar dari dunia hitam, namun ia tidak bisa apa-apa. Sejauh yang ia bisa, di setiap sepertiga malam, ia bersimpuh ke haribaan-Nya untuk menanamkan secercah harapan yang barangkali dikabulkan pada masanya. Namun ini dilema bagi dirinya. Di satu sisi ia merasa menjadi wanita kotor, di sisi lain ia harus menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.  Pernah suatu ketika dia hampir putus asa, dan tak mau lagi menunaikan shalat serta ibadah lainnya, namun itu semakin menyebabkan hatinya tersiksa.
Ia menyesal sejadinya: “Andai saja aku tidak egois dengan idealismeku. Pasti aku tidak akan jatuh ke dalam lembah kenistaan seperti ini. Aku sangat kangen dengan suasana ketika masih di pondok pesantren dulu. Belajar ilmu agama, bercengkrama dengan teman-teman, belajar membaca dan mengajari adik kelas membaca al-Qur`an. Oh ya Allah. Bagaimana juga dengan nasib kedua orang tuaku?” air mata pun bercucuran membasahi pipi manisnya. Dengan kondisi seperti itu, yang ia bisa ialah memperbanyak istighfar, dan berdakwah sesuai dengan batas kamampuannya. Ia berusaha membesarkan hati para wanita yang menjadi korban sepertinya, dan berusaha mengajarkan dan menyadarkan mereka dengan nilai-nilai Islam. Mereka sangat berharap besar, jika suatu saat nanti Allah akan membantunya keluar dari cobaan ini.
Doanya pun terkabul. Ketika ada upaya serius dari WALKOT, Surabaya untuk menutup tempat pelacuran, akhirnya ia pun bisa terbebas. Sungguh kagetnya ketika pengurus MUI mengetahui bahwa, Marnissi sangat piawai dalam membaca al-Qur`an, berikut  macam-macam qira`ahnya, seperti: Nahawan, Bayati, Hijaz, Shaba, Ras, Jiharkah, Syika, dan lainnya. Ia begitu menguasainya. Di balik wajah manisnya, rupanya ia sangat piawai dalam membaca al-Qur`an, berikut qira`ahnya. Pengurus MUI pun bertanya, kenapa ia bisa sampai jatuh ke lembah nista ini. Ia pun menjawab: “Terkait dengan bacaan al-Qur`an, ia bercerita bahwa pernah menjadi santriwati di salah satu pondok di JATIM. Ia menjadi korban penipuan pamannya. Awalnya ia dijanjikan bekerja di pabrik odol(pasta gigi), ternyata ia dijual di tempat pelacuran. Sekarang, ia pun sangat bersyukur, karena sudah terbebas dari kenistaan ini.
Di luar sana, mukin masih banyak lagi gadis-gadis yang mengalami nasib seperti Marnissi. Maka sebagai Muslim, sejauh yang bisa diusahakan hendaknya mampu berkontribusi dalam mengentas segala bentuk penistaan wanita. Usaha untuk amar ma`ruf nahi munkar memang harus tetap digalakkan, namun sekali lagi harus dibalut dengan hikmah. Tidak bisa hanya sekadar menunjukkan kesalahan mereka –karena kita yakin sebenarnya mereka tahu bahwa itu salah- tapi bagaimana kita berusaha memberikan solusi terbaik sampai membuat mereka tersadar. Berbadai elemen pemerintah dan segenap instansi keagamaan sudah sepatutnya bersatu untuk membebaskan wanita(secara khusus), dan manusia (pada umumnya) dari berbagai macam bentuk penindasan. Kita pasti tidak mau dari keluarga kita mengalami seperti yang dialami Marnissi. Maka kontribusi kita sangat dibutuhkan.

Ada baiknya kita simak pernyataan Rib`i bin Abi `Amir kepada Rustum: “Kami adalah kaum yang diutus Allah untuk membebaskan manusia dari penyembahan makhluk menuju penyembahan khaliq(Allah), dari kesempitan dunia menuju keluasan akhira, dari kelaliman agama menuju keadilan Islam”. Bukankah Rasul juga mengingatkan: “Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, maka ia bukan bagian dari mereka. Kasus Marnissi di atas, merupakan cambuk religius-sosiologis yang perlu dijadikan sebagai teguran bagi kita. Boleh jadi selama ini kita sibuk menjadi orang baik, namun di sisi lain ternyata kita lupa berbagi kebaikan kepada orang lain. Dalam al-Qur`an kita bukan hanya dituntut menjadi manusia shalih, tapi juga mushlih(yaitu yang mampu mentransfer kebaikannya secara komunal). Sesuai dengan kaidah fiqhiyah: “Kebaikan yang berskala sosial, lebih utama dibandingkan kebaikan berskala individual”. Wallahu a`lam bi al-Shawab.

Mereguk Hikmah dari Nenek Bungkuk

            Siang hari, Kamis 12 Februari 2015, sepulang dari workshop pemikiran Islam kontemporer di ITS Surabaya, ada pemandangan miris yang aku jumpai di Jl. Manyar, Sukolilo, Surabaya. Seorang nenek tua –entah siapa namanya- dalam kondisi bungkuk, berjuang sekuat tenaga untuk mengais sesuap nasi. Dari kejauhan dibalik kaca mobil, aku bisa melihat dengan jelas ia sedang menjual kora Jawa Pos. Dengan sangat sabar, telaten, dan semangat tinggi, ia hampiri satu per satu tiap mobil untuk menjajakan dagangannya. Melihat fenomena tersebut, hati terenyuh. Nenek setua itu, masih berjuang sekuat tenaga untuk bekerja.
            Berbagai pertanyaan pun memenuhi otakku. “Kenapa pada usia setua itu, ia bekerja? Di mana keluarganya? Bagaimana sikap pemerintah setempat ketika melihat kejadian itu?” Uniknya, ia tidak menjadi pengemis walau sebenarnya ia sangat layak mengemis. Ia memilih untuk berdiri di atas kaki sendiri. Dari auranya terlihat ketegaran, kekuatan, ketahanan yang sangat sulit –kalau tidak boleh dikatakan mustahil- ditiru oleh anak-anak jaman sekarang yang manja, alay dan lebay. Di usia yang semestinya pensiun, dan istirahat di rumah, ia malah berjibaku dengan keadaan, untuk bertahan hidup di luar. Merupakan cambukan luar biasa baik bagi aku pribadi, masyarakat bahkan pemerintah.
            Aku berpikir sejenak, menembus lorong waktu. Apa jadinya jika pemandangan seperti ini dilihat oleh Khalifah Umar bin Khattab?  Pada zamannya saja –tanpa disuruh- ia rajin melakukan blusukan di malam hari untuk memeriksa kondisi rakyatnya yang masih dalam kondisi melarat, apalagi jika melihat kondisi yang sedemikian terang seperti yang aku lihat hari ini? Di mana nurani manusia modern tersimpan, ketika melihat kejadian seperti ini?  Ah, semakin tidak aku pahami saja logika orang modern. Padahal secara normatif, Nabi pernah mengingatkan: “Bukan dari golongan kami orang yang tidak memuliakam orang tua renta”. Ini menjadi semacam nasihat bagi setiap jiwa yang masih hidup nuraninya, untuk segera membantunya.

            Aku tak berdaya di hadapannya. Aku hanya bisa terenyuh, tanpa bisa membantu; hanya bisa kasihan, tanpa ada bantuan; hanya bisa meratapi, tanpa ada solusi. Sejauh yang aku bisa untuk sementara ini, hanyalah mereguk hikmah dari sekilas perjalanannya. Pertama, kondisi sesulit apapun bukan alasan untuk menyerah dan berpangku tangan. Kedua, hidup melarat tapi mandiri, jauh lebih mulia dari pada hidup mewah, tapi bergantung pada orang tua. Dalam Islam, ada ajaran: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. Sebuah ajaran luar biasa yang menempa orang untuk memberi, daripada meminta-minta. Ketiga, selama manusia berusaha dengan keras, Allah pasti menunjukkan jalannya. Keempat, sebagai kritik sosial. Adanya orang seperti ini, tanpa ada peran nyata dari pemerintah, maka sesukses apapun pembangunan negara, akan sia-sia jika dibangun tanpa nurani. Kelima, jangan sampai kita membiarkan orang tua kita dalam kondisi seperti itu. Minimal dimulai dari keluarga, kemudian orang lain.

            Bila hati tak terenyuh dengan kejadian ini, maka masihkah tersisa dalam benak anda rahma Tuhan? Jadikanlah ini sebagai peringatan. Karena pada dasarnya, pertolongan Allah kebanyakan muncul dari orang-orang lemah sepertinya. Wallahu a`lam bi al-shawab.

‘Rumah Mesum’ Cap Museum

Written By Amoe Hirata on Rabu, 11 Februari 2015 | 20.24

            Paidi, salah satu penduduk desa Jumeneng sedang asyik berbagi cerita di rumah Sarikhuluk. Ia baru saja dari kota menyambangi kawan SD, Badaruddin. Dari sekian banyak ceritanya, ada satu fenomena sosial menarik yang ia ceritakan pada Sarikhuluk: “Cak, di satu kota besar, aku dibuat kaget oleh tempat yang aku anggap sakral, mulia dan lambang pusaka, ternyata isinya bertentangan dengan subtansi” tukas Paidi dengan PD menceritakan pengalamannya. “Maksud kamu apa, pakai bahasa abstrak dan sok ngilmiah seperti itu?” tanya Sarikhuluk.
            “Jadi begini Cak, sewaktu di kota, aku diajak oleh temanku pergi ke sebuah museum. Pikiranku pertama jelas positive thinking(jieh guaya aku yo Cak) pasti yang namanya museum `kan, isinya sesuatu yang bernilai sejarah yang begitu dihormati dan dimuliakan. Lha pas aku masuk di dalamnya tau ga apa isi di dalamnya?” tanya Paidi dengan ekspresi membuat penasaran. “Iya apa, lanjutkan saja ceritanya” balas Paiman di sampingnya. “Pas aku masuk, ternyata banyak orang-orang berbuat mesum, bahkan memang disediakan ruang khusus untuk itu. Tanpa malu-malu lagi” ceritanya meyakinkan.
            “Aku sendiri sih ga kaget di. Kerusakan nilai di perkotaan sudah berada pada titik nadirnya. Bukankah sudah menjadi konsumsi orang di media sehari-hari sajian yang menggambarkan sesuatu yang paradoks. Teriak HAM, padahal diri sendiri merenggut HAM. Intinya babi, tapi cap sapi. Kelihatanya alim, tapi nyatanya hobi maksiat dan lalim. Terlihat sebagai pejuang, eh ternyata cari uang. Seakan baik, ternyata munafik. Begitu banyak kejadian-kejadian seperti itu, jadi sekali lagi aku ga kaget dengan ceritamu itu. Malah suatu saat akan ada suatu masa –jika moral orang sudah semakin jauh dari tuntunan agama- rumah bordil cap rumah pendidikan moril”.
            “Cuman begini, walaupun kenyataannya seperti itu bukan berarti kita meng-gebyah uyah(mengeneralisir) semuanya. Justru ketika ada fenomena seperti itu, kita harus semakin rajin untuk membentengi diri dan masyarakat agar terlindungi dari hal-hal semacam itu. Seperti di desa Jumeneng ini contohnya, mereka memang diberi kebebasan untuk mengakses internet, berdiskusi, berkreasi sedemikian rupa, namun mereka tetap mempunya rem(kontrol) agama dan sosial untuk melindungi diri, keluarga serta masyarakat. Kamu `kan tau sendiri, orang di sini sangat jujur. Kalau iya, iya. Kalau tidak, ya tidak. Di sini jelas, yang namanya kambing tau akan kekambingannya sehingga ia mengembek. Yang ayam juga tau keayamannya, sehingga ia berkokok” sambung Sarikhuluk.

            “Ooo, ngunu nggeh Cak(begitu ya Cak). Tapi, gimana caranya mengingatkan mereka di kota yang sudah terlanjur seperti itu?” tanya Paidi. “Pertanyaanmu keduwuren(terlalu tinggi)”. “Lho  kenapa Cak?”. “Memang tidak ada yang salah dengan pertanyaanmu, dan itu sangat baik. Tapi yang perlu kamu perhatikan adalah ‘skala’ mu. Kalau posisimu hanya bagaikan setetes air, maka jangan bernafsu untuk memadamkan kobaran api yang begitu luas diterpa angin. Bergabunglah dengan tetesan-tetesan yang lain hingga membentuk gumpalan air yang minimal setara bahkan lebih dari api tersebut”. 

Dua Jam Bersama Bina Qolam

            Pada hari Rabu 11 Februari 2015 jam 09.00 pagi, peserta PKU(Program Kaderisasi Ulama) Gontor UNIDA(Universitas Darussalam Gontor) mendapatkan kesempatan istimewa berkunjung ke Sekretariat Bina Qalam Indonesia. Momentum ini digunakan dengan sebaik-baiknya oleh peserta PKU untuk menggali dan belajar lebih dalam terkait dunia kepenulisan pada Bina Qolam.
            Mengawali pertemuan, Ust. Ma`mun Affani –salah satu pengurus Bina Qalam- membuka acara dengan mempersilahkan terlebih dahulu kepada ketua rombongan atau pembimbing dari PKU VIII, Ust. Syaifullah(seorang dosen di UNIDA). Setelah selesai menyampaikan sambutan, acara disambung langsung oleh Ust. Ma`mun Affani dengan menjelaskan profil Bina Qolam kepada para peserta.
            Dalam pembukaannya, penulis yang dikenal dengan novel ‘Kehormatan di Balik Kerudung’ tersebut menyatakan: “Dalam dunia tinju, pasti ada manajernya. Tugas petinju hanya latihan dan pertandingan. Olah raga seperti itu saja ada manajernya, apalagi penulis, mestinya juga ada manajernya. Nah, Bina Qolam berdiri, sebagai fasilitator, mediator dan manajer untuk mengembangkan penulis Muslim, hingga menjadi penulis bertaraf dunia”.
Ustadz muda lulusan UNIDA(Universitas Darussalam) Gontor, yang juga dikenal dengan novel ’29 juz harga wanita’ tersebut kembali melanjutkan: “Bina Qolam berdiri pada bulan Februari 2014. Lembaga ini memiliki visi: melahirkan penulis Muslim. Adapun visinya, di antaranya: mengembangkan potensi penulis, melahirkan penulis kelas dunia, membangun lembaga pengelola penulis dan karyanya, membangun komunitas penulis Muslim, membangun kerjasama strategis dengan segenap umat.” Tuturnya.
            Lebih lanjut beliau menandaskan: “Tujuan didirikannya Bina Qolam di antaranya: meningkatkan kompetensi penulis Muslim, mempengaruhi opini masyarakat dengan karya tulis, memberi presepsi dan cakrawala pemikiran yang shahih, terhimpunnya karya penulis Muslim, dan terpublikasikannya karya penulis Muslim”. Dengan demikian diharapkan akan lahir penulis-penulis Muslim yang produktif yang berorientasi dakwah yang karyanya bisa dirasakan oleh masyarakat dunia.
            Di samping itu, beliau juga menjelaskan bagaimana strategi Bina Qolam dalam mewujudkan tujuannya: “Strateginya bisa disebutakan di antaranya sebagai berikut: Mencetak penulis Muslim dengan world vew(pandangan hidup) yang benar, menerbitkan karya penulis Muslim melalui berbagai media, dan mengelola isu, informasi secara terorganisir, dan menyiapkan produc House bagi para penulis”. Mungkin lumayan banyak penulis Muslim di Indonesia, namun yang mempunyai world vew yang benar, sangat jarang. Sehinga Bina Qolam merasa perlu untuk mewujudkannya.
           
        Setelah menggambarkan secara singkat profil Bina Qolam, kemudian disambung oleh Ust. Oki Ariono, Direktur Bina Qolam. Beliau menuturkan: “Bina Qolam berangkat dari pertanyaan kontemplatif berikut, ‘Islam di Indonesia, sudah ada ada sejak sekitar 10 abad, namun berapa banyak penulis yang tulisannya bisa menjangkau dunia atau kenapa penulisnya masih sangat sedikit?’ pertanyaan tersebut melahirkan anak pertanyaan berikut, ‘apa sebabnya? Apa karena kualitas penulis atau tulisan yang kurang baik, atau karena pemasaran yang kurang baik?’. Beberapa pertanyaan tersebut menginspirasi para Sesepuh YDSF(Yayasan Dana Sosial Al-Falah) Surabaya, seperti Ir. Abdul Qadir Baraja, untuk mendirikan Bina Qolam.         

          Setelah menambahkan profil Bina Qolam, berlangsunglah diskusi yang hangat antara peserta PKU VIII dengan pengurus dan direktur Bina Qolam. Bina Qolam membuka kesempatan sebesar-besarnya kepada peserta PKU VIII  dan penulis Muslim berbakat lainnya untuk berkontribusi dalam kegiatan dakwah penulis Bina Qolam. Besar harapan Bina Qolam untuk menelurkan penulis Muslim hebat yang mempunyai kontribusi besar terhadap dakwah Islam hingga tingkat dunia. Setelah selesai –tepatnya pukul 11.00- acara pun dipungkasi dengan pembacaan hamdalah.
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan