Tidak terasa,
perjalanan Sarikhuluk dalam melakukan pemberdayaan
umat sudah berjalan empat puluh tahun tiga bulan sepuluh hari. Dia sendiri
sebenarnya tidak pernah berhitung, bahkan tidak peduli dengan angka-angka
keterlibatannya pada ranah sosial. Penghitungnya justru sahabat-sahabat
terdekatnya yang kerap kali menemani dia dalam setiap perjalanannya. Sebagai
contoh, Markoden(nama lengkapnya Umar Khozinudin). Setiap kali Sarikhuluk
keluar, ia selalu menghitung dan mencatatnya. Bahkan kali ini, ia sudah
mencatat sekitar sembilan ribu lima puluh kali pertemuan. Merupakan angka
fenomenal yang menunjukkan betapa pedulinya Sarikhuluk dalam ranah sosial. Itu
pun yang secara resmi, yang tidak tercatat pun masih banyak sekali.
Pada
kesempatan ini, Sarikhuluk –yang ditemani Markoden- diundang sahabat lamanya, Mat Leman Cah(nama aslinya: Muhammad Sulaiman
Syah). Ia diundang untuk mengisi di padepokan akademis yang dirintis untuk
mencetak kader-kader calon kiai yang memiliki ilmu multidimensional,
kredibilitas tinggi, penguasaan agama yang mumpuni, peduli sosial, bermental
baja, punya daya juang tinggi, dan yang sangat penting ialah mampun menjadi sirājan
munīran(lentera yang menerangi) atau pemberi solusi di tengah krisis yang
sedang dihadapi umat. Penempaan kader kiai ini disingkat sebagai PK2S(Padepokan
Kaderisasi Kiai Sakti). Sebuah padepokan yang membidani calon-calon kiai yang
bukan hanya mengurusi agama dalam pengertian sempit dan sekularistik, tapi mengurusnya
secara komprehensif dan integral.
Sarikhuluk
didapuk sebagai pembicara terkait tema, ‘Kepribadian Kiai Tangguh’. Tema ini
diangkat agar para calon kiai memiliki wawasan ke-kiaian dan mampu menjalani
program ini dengan antusias, sabar, dan efektif, sehingga ketika keluar, mereka
mampu membuat perubahan positif baik bagi keluarga, masyarakat, bangsa hingga
negaranya. Sarikhuluk pun memulai presentasinya: “ Adek-adek sekalian,
keberdirian saya di sini jangan dianggap sebagai penceramah, ulama, ustadz,
atau sejenisnya, karena saya belum pantas mendapatkan label yang ‘suci’ seperti
itu. Sejauh yang saya bisa, hanya berusaha untuk senantiasa belajar dan
memperbaiki kelemahan-kelemahan diri. Karena itu, bisa jadi anda sekalian nanti
ada yang lebih tahu dari saya. Karena itu, sekali lagi kita di sini sebenarnya
sama-sama belajar”.
“Saya tidak
ingin banyak bicara, hanya ada beberapa kata yang tidak sampai menghabiskan
waktu sepuluh menit. Ada tiga kepribadian kiai yang perlu kita ketahui bersama,
sebagai dasar pijak untuk menjadi kia. Pertama, ‘Kiai Leres’(yaitu kiai
yang menjadikan kebenaran sebagai pijakan hidup dan filosofinya). Kedua,
‘Kiai Lurus’(yaitu kiai yang menjadikan sifat istiqāmah sebagai bahan
dasar kinerjanya. Ketiga, ‘Kiai Laris’(yaitu kiai yang berorientasi
dagang, ia beraktivitas supaya mendapat keuntungan pribadi. Mereka ini biasanya
memiliki retorika yang bagus dan dikagumi orang pada umumnya, meskipun ilmu
tentang kebenaran, bahkan sifat istiqāmah tak harus menjadi unsur utama
bagi sepak terjangnya). Ketiganya bukan untuk dipisah-pisah, karena bisa
dirangkai dan diambil positifnya. Kalian di sini didik supaya memiliki ilmu
tentang kebenaran, mampu menjalani dan mengamalkan secara pribadi dan sosial,
sekaligus mampu menyampaikannya dengan keindahan sehingga bisa diterima banyak
orang”.
“Kata kunci ‘Kiai
Leres’ adalah kiai yang mendasari hidupnya dengan ilmu kebenaran sejati, yang
diistilahkan al-Qur`an dengan kata al-haq. Hidupnya selalu di garda
depan dalam mengusung kebenaran. Ia sangat hati-hati terhadap kesalahan. Baginya,
yang namanaya kesalahan, kekhilafan, dan pelanggaran apa pun jenisnya, baik
sedikit maupun banyak adalah tetap kesalahan yang harus ditinggalkan. Sedangkan
‘Kiai Lurus’, kata kuncinya ialah kontinuitas dan keistiqamahan. Memiliki daya
tahan tinggi dalam menapaki terjalnya rona perjuangan. Ia tak gampang kecil
hati, selalu tegar menghadapi masalah. Adapun, ‘Kiai Laris’, kata kuncinya
ialah mampu menarik simpati publik dengan kelebihan estetika yang dimilikinya. ‘Kia
Laris’ akan menjadi negatif jika hanya dibiarkan sampai di situ, tanpa didukung
dengan ‘Kiai Leres’ dan ‘Kiai Lurus’. Karena ujian terbesar ‘Kiai Laris’ ialah
dunia yang setiap saat bisa menawan hatinya. Maka tak heran, banyak kiai laris –lantaran
kelebihan retorika dan keindahan yang dimiliki- namun tidak mampu
mempertahankan kebenaran dan keistiqamahan di jalan perjuangan. Sehingga yang
dicari bukan lagi perjuangan, tapi keuntungan”.
“Anda
sekalian sebagai calon kiai, harus mengupayakan secara sungguh-sungguh
ketiganya di dalam diri. Ketiganya tidak bisa dipisahkan. Bagaimana mungkin bisa
bertahan pada ke-leresan(kebenaran) jika tidak mempunyai ke-lurusan(keistiqamahan)?
Bagaimana mungkin kebenaran dan ketahanan untuk mempertahankan dan
memperjuangkan kebenaran bisa terlaksana dengan baik, jika tidak disampaikan
dengan keindahan dan penuh hikmah sehingga menimbulkan daya tarik yang membuat
kebenaran menjadi laris. Jujur, tugas anda ke depan begitu berat. Kiai(atau apa
pun namanya) yang ada di era kontemporer sekarang ini lebih banyak mempunyai
kepribadian ‘laris’ daripada ‘leres’ dan ‘lurus’. Di media –kebanyakan-, yang booming
adalah ‘kiai laris’. Maka kalian tidak hanya dituntut untuk mengetahui
kebenaran, tapi bagaimana anda bisa menjadikannya menjadi integral dengan jiwa,
dijalankan dengan penuh istiqamah, serta disampaikan dengan cara yang menarik”.
“Saya
ingatkan! Kalau dari awal niat anda sekalian sudah salah, maka lebih baik
berhenti saja sejak awal. Amanah ini sungguh berat dan berlintas akhirat. Sangat
dibutuhkan kejernihan hati, kemurnian akal, dan ketahanan mental. Karena pada
dasarnya amanah besar, hanya mampu diemban oleh mereka yang mempunyai kapasitas
dan potensi yang setara dengan besarnya amanah yang diemban. Bila tujuannya
salah dan artifisial, maka keberadaan kalian hanya akan menjadi ‘Kiai Leres’
yang mengetahui kebenaran, tapi tak sanggup mengamalkan, atau ‘Kiai Lurus’ yang
mampu bertahan dan istiqāmah dengan landasan ilmu kebenaran yang rapuh,
atau ‘Kia Laris’ yang populer di pasaran, layaknya pedagang, sehingga kiai
hanya dijadikan sebagai komoditi sosial, bukan perjuangan sosial. Karena itulah, sekali lagi saya menekankan,
jadilah kiai yang leres, lurus dan laris. Ketiganya ibarat paduan orkestrasi
yang begitu indah, sehingga mampu menampilkan kebenaran dengan sangat indah dan
elegan. Ketiganya bisa kalian temukan pada sosok Nabi Muhammad ṣallallāhu
`alaihi wasallam”.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !