Home » » Kiai Leres, Lurus & Laris

Kiai Leres, Lurus & Laris

Written By Amoe Hirata on Minggu, 01 Februari 2015 | 14.11

           Tidak  terasa, perjalanan Sarikhuluk  dalam melakukan pemberdayaan umat sudah berjalan empat puluh tahun tiga bulan sepuluh hari. Dia sendiri sebenarnya tidak pernah berhitung, bahkan tidak peduli dengan angka-angka keterlibatannya pada ranah sosial. Penghitungnya justru sahabat-sahabat terdekatnya yang kerap kali menemani dia dalam setiap perjalanannya. Sebagai contoh, Markoden(nama lengkapnya Umar Khozinudin). Setiap kali Sarikhuluk keluar, ia selalu menghitung dan mencatatnya. Bahkan kali ini, ia sudah mencatat sekitar sembilan ribu lima puluh kali pertemuan. Merupakan angka fenomenal yang menunjukkan betapa pedulinya Sarikhuluk dalam ranah sosial. Itu pun yang secara resmi, yang tidak tercatat pun masih banyak sekali.
Pada kesempatan ini, Sarikhuluk –yang ditemani Markoden- diundang sahabat lamanya,  Mat Leman Cah(nama aslinya: Muhammad Sulaiman Syah). Ia diundang untuk mengisi di padepokan akademis yang dirintis untuk mencetak kader-kader calon kiai yang memiliki ilmu multidimensional, kredibilitas tinggi, penguasaan agama yang mumpuni, peduli sosial, bermental baja, punya daya juang tinggi, dan yang sangat penting ialah mampun menjadi sirājan munīran(lentera yang menerangi) atau pemberi solusi di tengah krisis yang sedang dihadapi umat. Penempaan kader kiai ini disingkat sebagai PK2S(Padepokan Kaderisasi Kiai Sakti). Sebuah padepokan yang membidani calon-calon kiai yang bukan hanya mengurusi agama dalam pengertian sempit dan sekularistik, tapi mengurusnya secara komprehensif dan integral.
Sarikhuluk didapuk sebagai pembicara terkait tema, ‘Kepribadian Kiai Tangguh’. Tema ini diangkat agar para calon kiai memiliki wawasan ke-kiaian dan mampu menjalani program ini dengan antusias, sabar, dan efektif, sehingga ketika keluar, mereka mampu membuat perubahan positif baik bagi keluarga, masyarakat, bangsa hingga negaranya. Sarikhuluk pun memulai presentasinya: “ Adek-adek sekalian, keberdirian saya di sini jangan dianggap sebagai penceramah, ulama, ustadz, atau sejenisnya, karena saya belum pantas mendapatkan label yang ‘suci’ seperti itu. Sejauh yang saya bisa, hanya berusaha untuk senantiasa belajar dan memperbaiki kelemahan-kelemahan diri. Karena itu, bisa jadi anda sekalian nanti ada yang lebih tahu dari saya. Karena itu, sekali lagi kita di sini sebenarnya sama-sama belajar”.
“Saya tidak ingin banyak bicara, hanya ada beberapa kata yang tidak sampai menghabiskan waktu sepuluh menit. Ada tiga kepribadian kiai yang perlu kita ketahui bersama, sebagai dasar pijak untuk menjadi kia. Pertama, ‘Kiai Leres’(yaitu kiai yang menjadikan kebenaran sebagai pijakan hidup dan filosofinya). Kedua, ‘Kiai Lurus’(yaitu kiai yang menjadikan sifat istiqāmah sebagai bahan dasar kinerjanya. Ketiga, ‘Kiai Laris’(yaitu kiai yang berorientasi dagang, ia beraktivitas supaya mendapat keuntungan pribadi. Mereka ini biasanya memiliki retorika yang bagus dan dikagumi orang pada umumnya, meskipun ilmu tentang kebenaran, bahkan sifat istiqāmah tak harus menjadi unsur utama bagi sepak terjangnya). Ketiganya bukan untuk dipisah-pisah, karena bisa dirangkai dan diambil positifnya. Kalian di sini didik supaya memiliki ilmu tentang kebenaran, mampu menjalani dan mengamalkan secara pribadi dan sosial, sekaligus mampu menyampaikannya dengan keindahan sehingga bisa diterima banyak orang”.
“Kata kunci ‘Kiai Leres’ adalah kiai yang mendasari hidupnya dengan ilmu kebenaran sejati, yang diistilahkan al-Qur`an dengan kata al-haq. Hidupnya selalu di garda depan dalam mengusung kebenaran. Ia sangat hati-hati terhadap kesalahan. Baginya, yang namanaya kesalahan, kekhilafan, dan pelanggaran apa pun jenisnya, baik sedikit maupun banyak adalah tetap kesalahan yang harus ditinggalkan. Sedangkan ‘Kiai Lurus’, kata kuncinya ialah kontinuitas dan keistiqamahan. Memiliki daya tahan tinggi dalam menapaki terjalnya rona perjuangan. Ia tak gampang kecil hati, selalu tegar menghadapi masalah. Adapun, ‘Kiai Laris’, kata kuncinya ialah mampu menarik simpati publik dengan kelebihan estetika yang dimilikinya. ‘Kia Laris’ akan menjadi negatif jika hanya dibiarkan sampai di situ, tanpa didukung dengan ‘Kiai Leres’ dan ‘Kiai Lurus’. Karena ujian terbesar ‘Kiai Laris’ ialah dunia yang setiap saat bisa menawan hatinya. Maka tak heran, banyak kiai laris –lantaran kelebihan retorika dan keindahan yang dimiliki- namun tidak mampu mempertahankan kebenaran dan keistiqamahan di jalan perjuangan. Sehingga yang dicari bukan lagi perjuangan, tapi keuntungan”.
“Anda sekalian sebagai calon kiai, harus mengupayakan secara sungguh-sungguh ketiganya di dalam diri. Ketiganya tidak bisa dipisahkan. Bagaimana mungkin bisa bertahan pada ke-leresan(kebenaran) jika tidak mempunyai ke-lurusan(keistiqamahan)? Bagaimana mungkin kebenaran dan ketahanan untuk mempertahankan dan memperjuangkan kebenaran bisa terlaksana dengan baik, jika tidak disampaikan dengan keindahan dan penuh hikmah sehingga menimbulkan daya tarik yang membuat kebenaran menjadi laris. Jujur, tugas anda ke depan begitu berat. Kiai(atau apa pun namanya) yang ada di era kontemporer sekarang ini lebih banyak mempunyai kepribadian ‘laris’ daripada ‘leres’ dan ‘lurus’. Di media –kebanyakan-, yang booming adalah ‘kiai laris’. Maka kalian tidak hanya dituntut untuk mengetahui kebenaran, tapi bagaimana anda bisa menjadikannya menjadi integral dengan jiwa, dijalankan dengan penuh istiqamah, serta disampaikan dengan cara yang menarik”.

“Saya ingatkan! Kalau dari awal niat anda sekalian sudah salah, maka lebih baik berhenti saja sejak awal. Amanah ini sungguh berat dan berlintas akhirat. Sangat dibutuhkan kejernihan hati, kemurnian akal, dan ketahanan mental. Karena pada dasarnya amanah besar, hanya mampu diemban oleh mereka yang mempunyai kapasitas dan potensi yang setara dengan besarnya amanah yang diemban. Bila tujuannya salah dan artifisial, maka keberadaan kalian hanya akan menjadi ‘Kiai Leres’ yang mengetahui kebenaran, tapi tak sanggup mengamalkan, atau ‘Kiai Lurus’ yang mampu bertahan dan istiqāmah  dengan landasan ilmu kebenaran yang rapuh, atau ‘Kia Laris’ yang populer di pasaran, layaknya pedagang, sehingga kiai hanya dijadikan sebagai komoditi sosial, bukan perjuangan sosial.  Karena itulah, sekali lagi saya menekankan, jadilah kiai yang leres, lurus dan laris. Ketiganya ibarat paduan orkestrasi yang begitu indah, sehingga mampu menampilkan kebenaran dengan sangat indah dan elegan. Ketiganya bisa kalian temukan pada sosok Nabi Muhammad ṣallallāhu `alaihi wasallam”.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan