“Marnissi(red: bukan nama sebenarnya)! Ayo ikut paman ke Surabaya. Nanti di sana kamu akan paman usahakan bekerja di pabrik pasta gigi.” Ajak pamannya, Joko Subroto(red: bukan nama sebenarnya). Gadis manis nan lugu asal Banyuwangi ini pun, tak kuasa menolak. Sebenarnya idealismenya ingin melanjutkan kuliah, namun apa daya orang tuanya tidak mampu, ia harus bekerja jika mau kuliah. Kebetulan ia ingin melanjutkan kuliah di Surabaya. Karena itulah, dengan sangat terpaksa –demi menggapai cita-citanya dan untuk membantu orang tuanya- akhirnya ia terima tawaran pamannya.
Dengan membawa harapan besar, ia pun memberanikan diri untuk ke Surabaya bersama pamannya. Namun begitu malang nasibnya. Ketika sampai di Surabaya, ia menjadi korban human trafficking(perdagangan manusia). Pamannya sendiri menjualnya menjadi seorang pelacur di tempat pelacuran besar, Surabaya. Secercah harapan pun menjadi sirna. Bukan idealisme yang ia dapatkan, tapi kebohongan yang tak pernah ia sangka bahwa itu dilakukan oleh pamannya. Hari-harinya penuh derita. Ia harus melayani laki-laki hidung belang. Sedangkan nilai-nilai agama yang selama ini dijaga, seolah runtuh diluluhlantakkan realita.
Dalam hati kecilnya ingin sekali ia keluar dari dunia hitam, namun ia tidak bisa apa-apa. Sejauh yang ia bisa, di setiap sepertiga malam, ia bersimpuh ke haribaan-Nya untuk menanamkan secercah harapan yang barangkali dikabulkan pada masanya. Namun ini dilema bagi dirinya. Di satu sisi ia merasa menjadi wanita kotor, di sisi lain ia harus menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Pernah suatu ketika dia hampir putus asa, dan tak mau lagi menunaikan shalat serta ibadah lainnya, namun itu semakin menyebabkan hatinya tersiksa.
Ia menyesal sejadinya: “Andai saja aku tidak egois dengan idealismeku. Pasti aku tidak akan jatuh ke dalam lembah kenistaan seperti ini. Aku sangat kangen dengan suasana ketika masih di pondok pesantren dulu. Belajar ilmu agama, bercengkrama dengan teman-teman, belajar membaca dan mengajari adik kelas membaca al-Qur`an. Oh ya Allah. Bagaimana juga dengan nasib kedua orang tuaku?” air mata pun bercucuran membasahi pipi manisnya. Dengan kondisi seperti itu, yang ia bisa ialah memperbanyak istighfar, dan berdakwah sesuai dengan batas kamampuannya. Ia berusaha membesarkan hati para wanita yang menjadi korban sepertinya, dan berusaha mengajarkan dan menyadarkan mereka dengan nilai-nilai Islam. Mereka sangat berharap besar, jika suatu saat nanti Allah akan membantunya keluar dari cobaan ini.
Doanya pun terkabul. Ketika ada upaya serius dari WALKOT, Surabaya untuk menutup tempat pelacuran, akhirnya ia pun bisa terbebas. Sungguh kagetnya ketika pengurus MUI mengetahui bahwa, Marnissi sangat piawai dalam membaca al-Qur`an, berikut macam-macam qira`ahnya, seperti: Nahawan, Bayati, Hijaz, Shaba, Ras, Jiharkah, Syika, dan lainnya. Ia begitu menguasainya. Di balik wajah manisnya, rupanya ia sangat piawai dalam membaca al-Qur`an, berikut qira`ahnya. Pengurus MUI pun bertanya, kenapa ia bisa sampai jatuh ke lembah nista ini. Ia pun menjawab: “Terkait dengan bacaan al-Qur`an, ia bercerita bahwa pernah menjadi santriwati di salah satu pondok di JATIM. Ia menjadi korban penipuan pamannya. Awalnya ia dijanjikan bekerja di pabrik odol(pasta gigi), ternyata ia dijual di tempat pelacuran. Sekarang, ia pun sangat bersyukur, karena sudah terbebas dari kenistaan ini.
Di luar sana, mukin masih banyak lagi gadis-gadis yang mengalami nasib seperti Marnissi. Maka sebagai Muslim, sejauh yang bisa diusahakan hendaknya mampu berkontribusi dalam mengentas segala bentuk penistaan wanita. Usaha untuk amar ma`ruf nahi munkar memang harus tetap digalakkan, namun sekali lagi harus dibalut dengan hikmah. Tidak bisa hanya sekadar menunjukkan kesalahan mereka –karena kita yakin sebenarnya mereka tahu bahwa itu salah- tapi bagaimana kita berusaha memberikan solusi terbaik sampai membuat mereka tersadar. Berbadai elemen pemerintah dan segenap instansi keagamaan sudah sepatutnya bersatu untuk membebaskan wanita(secara khusus), dan manusia (pada umumnya) dari berbagai macam bentuk penindasan. Kita pasti tidak mau dari keluarga kita mengalami seperti yang dialami Marnissi. Maka kontribusi kita sangat dibutuhkan.
Ada baiknya kita simak pernyataan Rib`i bin Abi `Amir kepada Rustum: “Kami adalah kaum yang diutus Allah untuk membebaskan manusia dari penyembahan makhluk menuju penyembahan khaliq(Allah), dari kesempitan dunia menuju keluasan akhira, dari kelaliman agama menuju keadilan Islam”. Bukankah Rasul juga mengingatkan: “Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, maka ia bukan bagian dari mereka. Kasus Marnissi di atas, merupakan cambuk religius-sosiologis yang perlu dijadikan sebagai teguran bagi kita. Boleh jadi selama ini kita sibuk menjadi orang baik, namun di sisi lain ternyata kita lupa berbagi kebaikan kepada orang lain. Dalam al-Qur`an kita bukan hanya dituntut menjadi manusia shalih, tapi juga mushlih(yaitu yang mampu mentransfer kebaikannya secara komunal). Sesuai dengan kaidah fiqhiyah: “Kebaikan yang berskala sosial, lebih utama dibandingkan kebaikan berskala individual”. Wallahu a`lam bi al-Shawab.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !