Sewaktu
aku masih kecil, anak-anak sebayaku biasa memanggil orang tuanya dengan
sebutan: ‘Bapak dan Emak’, ‘Bapak dan Ibu’. Waktu itu sebutan ‘Ayah’ masih
terlalu elit. Sebutan ‘ayah’ diidentikan kepada status sosial, biasanya untuk
orang-orang kaya yang sudah ‘melek’ budaya perkotaan. Kadang-kadang ada juga
orang yang biasa-biasa saja menggunakan sebutan ‘ayah’. Tentu saja secara
kultur strata sosial, fenomena semacam ini malah dijadikan sebagai bahan
tertawaan. Ada yang usil berkata: He ayahmu sedang sibuk apa yah? Ooo ayahku
lagi mulung sampah. Yang lainnya menimpali: hei ayahmu kerja di mana?
Eemm ayahku kerja mbecak di pasar( Hahaha). Kemudian sepuluh tahun kemudian
lambat laun sebutan ‘ayah’ sudah tidak begitu terasa ‘elit’ lagi. Kata ‘ayah’
sudah umum di desa. Secara umum orang tua menyuruh anaknya memanggil ‘ayah dan
ibu. Di saat yang lain ada juga sebutan ‘Aba/abi dan Umi’, sebutan ini juga
sifatnya elit karena dipersyarati pergi haji ke Makkah dahulu baru disebut Abi
dan umi. Ada juga yang walau tidak haji dipanggil abi dan umi, tapi sebagaimana
kejadian di atas, malah mendapat ejekan dan cibiran: Alah gayanya pol
wong ga pernah ke Makka saja pakai dipanggil abi dan umu, keduwuren tole.
Kemudian berkembang lagi beberapa tahun berikutnya menjadi: ‘Papa dan Mama’,
‘Bokap dan Nyokap’. Selanjutnya akan berkembang seperti apa aku juga ga tahu.
Fenomena
di atas bisa dispekulasikan menjadi probabilitas realita yang menggambarkan
karakter penduduk desa dalam menyikapi situasi dan kondisi yang sedang dialami.
Kalau ditilik dari proses penyebutannya, di samping bermuatan feodal dan
cendrung mendewakan status, fenomena tadi juga menggambarkan betapa gaya hidup
masyarakat ditentukan oleh gaya hidup perkotaan. Sedang gaya hidup perkotaan
dipengaruhi gaya hidup luar negeri. Dampak negatif yang paling serius dirasakan
ialah melunturnya nilai-nilai budaya setempat yang sudah bertahun-tahun
dipelihara. Perkembangan zaman memaksa seseorang –suka atau tidak suka- untuk
menganggap budaya lokal itu ketinggalan zaman dan ndeso. Sedangkan
budaya non-lokal merupakan budaya yang harus menjadi kiblat budaya. Perubahan
penyebutan orang tua seperti yang dipaparkan di atas sebagai suatu standar
penilaian betapa budaya lokal sudah larut dalam budaya asing. Orang sudah malu
dipanggil, bapak, pakde, mbah, emak, paklek, paman. Mereka lebih suka dan
merasa keren jika dipanggil, papa, pipi, abi, om, dan opa. Semua mengalir
begitu saja tanpa ada upaya untuk tetap menjaga budaya lokal dan kritis
terhadap budaya asing. Memang tidak dipungkiri adanya realitas lain yang
menunjukkan ada orang yang masih peduli pada budaya lokal sehingga tidak
terpengaruh dengan budaya asaing. Tapi orang-orang sperti ini sangat langkah
dan asing.
Apakah
salah mengikuti perkembangan zaman? Apakah salah mengambil budaya asing? Apakah
salah meniru-niru budaya asing? Apakah salah meangapresiasi budaya non-lokal?
Tentu saja ini bukan sekadar masuk urusan hukum sosial berupa boleh atau tak
boleh, tapi lebih dari itu seharusnya yang menjadi pertanyaan ialah, mengapa
kita meniru budaya asing? Apkah budaya asing sudah bisa dijamin positif dan
tidak mencemari budaya lokal? Apakah dengin meniru budaya asing otomatis akan
menjadikan budaya lokal maju dan modern? Mungkin masyarakat tidak sampai
berpikir sejauh ini. Kenyataan yang ada pengaruh asing sudah begitu merasuki
budaya lokal. Aroma materialisme, konsumerisme, kapitalisme sangat tajam. Yang
dipikir yang penting enak, enjoy, nyaman dan tenang. Kalaupun ada yang menyadari
dan mengetahui, biasanya tidak bisa memobilisir masyarakat untuk kritis
terhadap budaya asing, apalagi kalau berada pada jabatan struktural dan
fungsional. Kenyataan demikian malah menguntungkan pihak-pihak tertentu. Yang
kritis dianggap najis; yang peduli dianggap cari puji; yang berjuang dianggap
cari uang. Memang sejatinya budaya asing
boleh-boleh saja bahkan harus diadopsi jika memang positif dan cocok dengan
budaya lokal. Namun jika malah membuat budaya lokal tercemari maka menjadi
tidak relevan lagi untuk diterima. Budaya lahir dari dialektika komunitas yang
memiliki meliu yang beranekaragam. Merupakan tindakan yang sangat tidak bijak
jika, sudah jelas tak cocok malah dipaksa cocok. Namun sekali lagi sangat kecil
kemungkinan masyarakat berpikir dan bertanya semacam ini.
Yang
disebut tadi baru sekadar penyebutan orang tua saja. Adapun pengaruh budaya
asing lainnya malah begitu besar dan luar biasa. Sopan-santun ala Jawa lambat
laun terkikis dengan budaya asing yang dipasarkan media. Di sisi lain pengaruh
industrialisasi, membuat masyarakat semakin pragmatis sekaligus egois. Budaya
tegur-sapa, gotong-royong, dan kegiatan lainnya sudah terasa hampa – kalau
tidak boleh dikatak sirna sama sekali-. Orang desa sudah meng-kota. Sudah tidak ada lagi kesenjangan antara desa
dan kota. Semua pada merasa moderen. Yang ga ikut modern akan
terlibas-libas oleh zaman. Kalau dulu waktu kecil anak-anak sukan mainan lokal
berupa bentengan, kekean, semidenan(petak umpet), bal-balan, karetan,
omah-omahan yang dimainkan di luar rumah dan memiliki spirit dealektis,
sportif, kolektif, integral, sinergis, lalu digantikan dengan
permainan-permainan moderen yang kebanyakan indoor seperti: video game,
play station, dan lain sebagainya yang cendrung mendidik anak egois dan lupa
waktu. Kemudian di sisi lain, orientasi pendidikan menjadi tidak murni lagi
untuk mencerdaskan dan megembangkan potensi anak. Pendidikan hanya dibatasi
sampai tingkat SMK, rata-rata anak-anak diarahkan kerja. Orientasi kerja, kerja
dan terus kerja, bila tidak diimbangi dengan kearifan lokal dan nilai-nilai
agama lambat laun akan menceraikan manusia dari kemanusiannya. Manusia akan
menjadi budak-budak industri. Bekerja siang dan malam hanya untuk meraih
kepuasan individu. Unsur-unsur transenden akhirat sudah molai terkikis, meski
secar formal masih tetap dilakukan. Semoga spekulasi yang realistis ini tidak
berkembang menjadi bencana.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !