Home » » Pergeseran Budaya: Desa menuju Kota

Pergeseran Budaya: Desa menuju Kota

Written By Amoe Hirata on Minggu, 08 Februari 2015 | 02.30

               Sewaktu aku masih kecil, anak-anak sebayaku biasa memanggil orang tuanya dengan sebutan: ‘Bapak dan Emak’, ‘Bapak dan Ibu’. Waktu itu sebutan ‘Ayah’ masih terlalu elit. Sebutan ‘ayah’ diidentikan kepada status sosial, biasanya untuk orang-orang kaya yang sudah ‘melek’ budaya perkotaan. Kadang-kadang ada juga orang yang biasa-biasa saja menggunakan sebutan ‘ayah’. Tentu saja secara kultur strata sosial, fenomena semacam ini malah dijadikan sebagai bahan tertawaan. Ada yang usil berkata: He ayahmu sedang sibuk apa yah? Ooo ayahku lagi mulung sampah. Yang lainnya menimpali: hei ayahmu kerja di mana? Eemm ayahku kerja mbecak di pasar( Hahaha). Kemudian sepuluh tahun kemudian lambat laun sebutan ‘ayah’ sudah tidak begitu terasa ‘elit’ lagi. Kata ‘ayah’ sudah umum di desa. Secara umum orang tua menyuruh anaknya memanggil ‘ayah dan ibu. Di saat yang lain ada juga sebutan ‘Aba/abi dan Umi’, sebutan ini juga sifatnya elit karena dipersyarati pergi haji ke Makkah dahulu baru disebut Abi dan umi. Ada juga yang walau tidak haji dipanggil abi dan umi, tapi sebagaimana kejadian di atas, malah mendapat ejekan dan cibiran: Alah gayanya pol wong ga pernah ke Makka saja pakai dipanggil abi dan umu, keduwuren tole. Kemudian berkembang lagi beberapa tahun berikutnya menjadi: ‘Papa dan Mama’, ‘Bokap dan Nyokap’. Selanjutnya akan berkembang seperti apa aku juga ga tahu.
            Fenomena di atas bisa dispekulasikan menjadi probabilitas realita yang menggambarkan karakter penduduk desa dalam menyikapi situasi dan kondisi yang sedang dialami. Kalau ditilik dari proses penyebutannya, di samping bermuatan feodal dan cendrung mendewakan status, fenomena tadi juga menggambarkan betapa gaya hidup masyarakat ditentukan oleh gaya hidup perkotaan. Sedang gaya hidup perkotaan dipengaruhi gaya hidup luar negeri. Dampak negatif yang paling serius dirasakan ialah melunturnya nilai-nilai budaya setempat yang sudah bertahun-tahun dipelihara. Perkembangan zaman memaksa seseorang –suka atau tidak suka- untuk menganggap budaya lokal itu ketinggalan zaman dan ndeso. Sedangkan budaya non-lokal merupakan budaya yang harus menjadi kiblat budaya. Perubahan penyebutan orang tua seperti yang dipaparkan di atas sebagai suatu standar penilaian betapa budaya lokal sudah larut dalam budaya asing. Orang sudah malu dipanggil, bapak, pakde, mbah, emak, paklek, paman. Mereka lebih suka dan merasa keren jika dipanggil, papa, pipi, abi, om, dan opa. Semua mengalir begitu saja tanpa ada upaya untuk tetap menjaga budaya lokal dan kritis terhadap budaya asing. Memang tidak dipungkiri adanya realitas lain yang menunjukkan ada orang yang masih peduli pada budaya lokal sehingga tidak terpengaruh dengan budaya asaing. Tapi orang-orang sperti ini sangat langkah dan asing.
            Apakah salah mengikuti perkembangan zaman? Apakah salah mengambil budaya asing? Apakah salah meniru-niru budaya asing? Apakah salah meangapresiasi budaya non-lokal? Tentu saja ini bukan sekadar masuk urusan hukum sosial berupa boleh atau tak boleh, tapi lebih dari itu seharusnya yang menjadi pertanyaan ialah, mengapa kita meniru budaya asing? Apkah budaya asing sudah bisa dijamin positif dan tidak mencemari budaya lokal? Apakah dengin meniru budaya asing otomatis akan menjadikan budaya lokal maju dan modern? Mungkin masyarakat tidak sampai berpikir sejauh ini. Kenyataan yang ada pengaruh asing sudah begitu merasuki budaya lokal. Aroma materialisme, konsumerisme, kapitalisme sangat tajam. Yang dipikir yang penting enak, enjoy, nyaman dan tenang. Kalaupun ada yang menyadari dan mengetahui, biasanya tidak bisa memobilisir masyarakat untuk kritis terhadap budaya asing, apalagi kalau berada pada jabatan struktural dan fungsional. Kenyataan demikian malah menguntungkan pihak-pihak tertentu. Yang kritis dianggap najis; yang peduli dianggap cari puji; yang berjuang dianggap cari uang.  Memang sejatinya budaya asing boleh-boleh saja bahkan harus diadopsi jika memang positif dan cocok dengan budaya lokal. Namun jika malah membuat budaya lokal tercemari maka menjadi tidak relevan lagi untuk diterima. Budaya lahir dari dialektika komunitas yang memiliki meliu yang beranekaragam. Merupakan tindakan yang sangat tidak bijak jika, sudah jelas tak cocok malah dipaksa cocok. Namun sekali lagi sangat kecil kemungkinan masyarakat berpikir dan bertanya semacam ini.
            Yang disebut tadi baru sekadar penyebutan orang tua saja. Adapun pengaruh budaya asing lainnya malah begitu besar dan luar biasa. Sopan-santun ala Jawa lambat laun terkikis dengan budaya asing yang dipasarkan media. Di sisi lain pengaruh industrialisasi, membuat masyarakat semakin pragmatis sekaligus egois. Budaya tegur-sapa, gotong-royong, dan kegiatan lainnya sudah terasa hampa – kalau tidak boleh dikatak sirna sama sekali-. Orang desa sudah meng-kota.  Sudah tidak ada lagi kesenjangan antara desa dan kota. Semua pada merasa moderen. Yang ga ikut modern akan terlibas-libas oleh zaman. Kalau dulu waktu kecil anak-anak sukan mainan lokal berupa bentengan, kekean, semidenan(petak umpet), bal-balan, karetan, omah-omahan yang dimainkan di luar rumah dan memiliki spirit dealektis, sportif, kolektif, integral, sinergis, lalu digantikan dengan permainan-permainan moderen yang kebanyakan indoor seperti: video game, play station, dan lain sebagainya yang cendrung mendidik anak egois dan lupa waktu. Kemudian di sisi lain, orientasi pendidikan menjadi tidak murni lagi untuk mencerdaskan dan megembangkan potensi anak. Pendidikan hanya dibatasi sampai tingkat SMK, rata-rata anak-anak diarahkan kerja. Orientasi kerja, kerja dan terus kerja, bila tidak diimbangi dengan kearifan lokal dan nilai-nilai agama lambat laun akan menceraikan manusia dari kemanusiannya. Manusia akan menjadi budak-budak industri. Bekerja siang dan malam hanya untuk meraih kepuasan individu. Unsur-unsur transenden akhirat sudah molai terkikis, meski secar formal masih tetap dilakukan. Semoga spekulasi yang realistis ini tidak berkembang menjadi bencana.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan