Home » » “Buruk Muka, Cermin Dibelah”

“Buruk Muka, Cermin Dibelah”

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 07 Februari 2015 | 05.21

                Pagi hari saat lagi enak-enaknya nyruput kopi luwak di teras rumah, Sarikhuluk kedatangan teman lama, namanya Ammar Khozinudin, yang biasa dipanggil Markoden. Kedatangan Markoden samasekali tak diperhitungkan sebelumnya. Biasanya, setiap kali mau main ke rumah Sarikhuluk, ia terlebih dahulu mengabarinya, minimal dengan sms(short message service), lha kali ini sama sekali tidak ngasih kabar. Apa lagi raut mukanya terlihat sangat serius seakan memendam masalah yang sangat besar. “Assalamualaikum......Cak” sapa Markoden. “Wa`alaikumussalam” jawab Sarikhuluk. “Lho tumben Mar, ga woro-woro dulu, biasanya kan kamu bilang dulu kalau mau datang, apalagi mukamu terlihat sepet gitu” tanya Sarikhuluk. “Anu Cak, sebenarnya aku juga ga enak ga ngabari dulu, cuman mau gimana lagi aku ada masalah, dan sudah merasa buntu, makanya aku ga sempat ngabari dulu. Yang ada di pirikranku ialah ingin segera ketemu sampean, ya minimal curhat lah, syukur-syukur bisa mendapat solusi”. Tukas Markoden.
 “Emang kamu lagi kena masalah apa sampai segitunya, biasanya kamu kalau ke sini malah guyoni dan menghibur aku, lha sekarang malah aneh gini”. “Aku serius iki Cak, aku benar-benar pingin mencari solusi terbaik. Masalahku ialah: Aku kan jelek-jelek gini punya perguruan silat kecil-kecilan. Sebenarnya sih bukan aku yang mendirikan. Cuman aku diberi amanah guruku untuk mengurusi perguruan silat itu. Beberapa tahun aku memegang amanah, kok aku merasa perguruan yang kupimpin semakin menurun. Aku paling sebel kalau temen-temen seperguruanku ngrecoki atau menjadi sok pintar ketika mengingatkanku, padahal yang mendapat amanah kan aku”. “Tunggu dulu. Emang mereka ngrecoki gimana?”. “Anu Cak, aku berusaha mati-matian mengembangkan jurus-jurus yang diajarkan guru, kok ada murid yang tingkatannya baru seusia jagung mengingatkan aku bahwa apa yang kusampaikan salah, padahal aku hafal betul apa yang disampaikan Guru”.
            “Minum dulu kopi Luwaknya Mar! Ni baru dibikinkan sama istriku, wenak tenan lho” . “O suwon(terima kasih) Cak, iya dari tadi aku begitu tegang. Padahal biasanya aku sering guyon”. “Gini ya Mar, aku bukannya sok tahu atau ingin mengajari kamu, wong kamu bisa mendayagunakan pikiranmu kok. Kalau masalahnya itu adalah mengenai jurus yang diajarkan gurumu, kan kamu tinggal tabayyun, nge-cek, atau musyawarah sama teman-teman seperguruanmu. Setiap manusia berpeluang salah. Kamu pun demikian. Kalau ternyata setelah musyawarah kamu benar sesuai dengan yang diajarkan guru, ya sampaikan dengan baik dan bijak. Kalau ternyata memang salah, ya kamu harus berlapang dada, untuk mengakui kesalahanmu. Aku dengar bahwa gurumu yang bernama Padhang Serngege itu orangnya sangat jembar hati, dan berlapang dada” saran Sarikhuluk kepada Markoden.
 “Aku sudah kroscek sama temen-temen seperguruan, tapi mereka terbelah dua, ada yang mendukungku dan ada juga yang setuju dengan pandangan murid yang seusia jagung itu. Kan aku menjadi semakin bingung. Padahal aku sudah haqqul yaqin(benar-benar yakin) bahwa jurusku sudah pasti benar. Sebenarnya aku juga agak gengsi kalau ternyata murid seusia jagung itu yang benar. Mau ditaruh mana nanti mukaku” tukas Markoden. “Mar sebelum aku melanjutkan omongan, tolong tenangkan dirimu dulu, jangan sampai ‘dikejar-kejar emosi’ bicaramu begitu meluap-luap sampai ngatain murid yang bersebrangan denganmu dengan istilah ‘seusia jagung’. Ingat Mar, kebenaran bukan terletak pada senioritas, walaupun masih junior kalau yang disampaikan itu benar, ya tetap benar adanya. Tapi memang sangat sulit jika sifat gengsi sudah menguasai hati”. “Iya sih Cak, coba sampean kasih aku pencerahan dari kisah kanjeng Nabi mengenai hal yang serupa dengan apa yang aku alami biar hatiku adem dan bisa bercermin darinya’ pinta Markoden.
            “Baiklah kalau kamu memang menginginkan itu. Sebenarnya kisah ini tidak sama persis tapi kamu bisa mengambil pelajaran betapa Nabi itu sangat berlapang dada, dan menghormati pendapat sahabat-sahabatnya. Dengan mendengar kisah ini minimal kamu nanti bisa menyikapi permasalahanmu dengan sikap yang lebih dingin dan bijak. Ada sahabat Nabi yang bernama Al-Hubaab bin Al-Mundzir, sewaktu perang Badar, Nabi Muhammad memutuskan untuk bermukim di tempat yang jauh dari lembah Badar. Namun Al-Hubaab bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, apa ini murni pendapatmu, apa langsung turun dari Allah, sehingga aku sama sekali tak boleh berpendapat?” Nabi menjawab: “Ini hanya pendapatku, kamu boleh berpendapat”. “Kalau demikian, aku berpendapat lain, aku lebih setuju untuk bermukim di dekat Badar, kita kuras dan simpan airnya untuk kita, sehingga musuh nanti mengalami kelangkaan air”. Dengan senang hati Nabi menyetujui sara Al-Hubab dan pada akhirnya memang pendapat Al-Hubaab sangat brilian dan berguna dalam perang Badar”.
“Lihat Mar, orang sekelas Nabi saja tidak semena-mena dalam berpendapat, beliau masih mau Musyawarah selama itu bukan Allah yang memerintahkan, dan Beliau tidak ragu-ragu menerima pendapat sahabatnya jika memang pendapat sahabatnya itu sangat bijak. Bahkan pada perang Uhud sebenarnya Beliau punya pendapat lebih baik perang di dalam Madinah, tapi ada sahabat yang tak ikut serta perang Badar merasa antusias untuk jihad perang di Uhud bertemu langsung dengan Musuh, Rasul pun menyetujui pendapat mereka. Pikirkan sekali lagi Mar, katanya kamu ngaku ngimani Rasul serta ajarannya, rasa-rasanya seharusnya kamu bisa ngambil pelajaran dari kisah Rasul yang kuceritakan tadi. Kalau kamu memang benar dalam hal yang kamu ceritakan ke aku, ya selesaikan dengan baik dan bijak, jangan meremehkan orang sedikitpun walaupun itu lebih rendah keilmuannya, atau meskipun kamu lebih senior dari dia. Lha kalau yang salah kamu, ya kamu harus berlapang dada menerimanya, bukannya kamu sering mengingatkanku untuk watawashau bilhaq, watawashau bis shabri(Saling mengingatkan dengan kebenaran dan kesabaran), buang jauh-jauh gengsimu, kamu ini kan pemimpin perguruan silat seharusnya kamu terdepan dalam memberikan contoh. Kalau salah yang kamu harus mau diindatkan”.
“Jangan sampai kamu masuk seperti ungkapan peribahasa: Buruk muka cermin dibelah( karena aib sendiri, menyalahkan orang lain) orang seperti ini sudah jelas salah, tak mau diingatkan, malah nyalahin orang lain. Aku rasa orang sepertimu yang punya selera humor tinggi bisa mengatasinya dengan baik. Atau lebih parah lagi aku ingatkan kamu, jangan sampai masuk pada peribahasa: Anak yang tak pandai berdandan dikatakan cermin yang kabur(Orang yang menyalahkan orang lain, padahal dirinya sendiri yang mencontoh perilaku orang tersebut). Menghancurkan itu lebih gampang daripada membangun dan menjaga keharmonisan Mar, jangan sampai gara-gara gengsi kamu menjadi naik pitam sehingga menutupi potensi kebanaran yang ada dalam jiwamu” cerocos Sarikhuluk, laksana Penasihat Kawakan. “Astaghfirullah Cak, suwon ge sampean sudah mengingatkan aku. Kadang-kadang memang ketika mengurusi perguruan silat aku lebih cendrung mementingkan ke-akuanku daripada orang lain. Sehingga ketika memandang orang lain, selalu aku pandang dengan sudut pandang subyektifku, tanpa mempedulikan orang lain secara obyektif, meski sekecil apa pun orangnya. Sekali lagi terima kasih cak”. Dialog antara keduanya terus berlanjut dengan guyonan-guyonan segar hingga menjelang Dzuhur, Markoden pun berpamitan pulang, di hatinya ia berujar: “Al-Hamdulillah sedikit banyak aku sudah tercerahkan, ga rugi aku datang pada sahabatku yang rada aneh tapi nyata itu...heee”.

           
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan