Pagi
hari saat lagi enak-enaknya nyruput kopi luwak di teras rumah,
Sarikhuluk kedatangan teman lama, namanya Ammar Khozinudin, yang biasa
dipanggil Markoden. Kedatangan Markoden samasekali tak diperhitungkan
sebelumnya. Biasanya, setiap kali mau main ke rumah Sarikhuluk, ia terlebih
dahulu mengabarinya, minimal dengan sms(short message service), lha
kali ini sama sekali tidak ngasih kabar. Apa lagi raut mukanya terlihat
sangat serius seakan memendam masalah yang sangat besar. “Assalamualaikum......Cak”
sapa Markoden. “Wa`alaikumussalam” jawab Sarikhuluk. “Lho tumben
Mar, ga woro-woro dulu, biasanya kan kamu bilang dulu kalau mau datang,
apalagi mukamu terlihat sepet gitu” tanya Sarikhuluk. “Anu Cak,
sebenarnya aku juga ga enak ga ngabari dulu, cuman mau gimana lagi aku ada
masalah, dan sudah merasa buntu, makanya aku ga sempat ngabari dulu. Yang ada
di pirikranku ialah ingin segera ketemu sampean, ya minimal curhat lah,
syukur-syukur bisa mendapat solusi”. Tukas Markoden.
“Emang kamu lagi kena masalah apa sampai
segitunya, biasanya kamu kalau ke sini malah guyoni dan menghibur aku, lha
sekarang malah aneh gini”. “Aku serius iki Cak, aku benar-benar
pingin mencari solusi terbaik. Masalahku ialah: Aku kan jelek-jelek gini punya
perguruan silat kecil-kecilan. Sebenarnya sih bukan aku yang mendirikan. Cuman
aku diberi amanah guruku untuk mengurusi perguruan silat itu. Beberapa tahun
aku memegang amanah, kok aku merasa perguruan yang kupimpin semakin
menurun. Aku paling sebel kalau temen-temen seperguruanku ngrecoki atau
menjadi sok pintar ketika mengingatkanku, padahal yang mendapat amanah
kan aku”. “Tunggu dulu. Emang mereka ngrecoki gimana?”. “Anu Cak, aku
berusaha mati-matian mengembangkan jurus-jurus yang diajarkan guru, kok ada murid
yang tingkatannya baru seusia jagung mengingatkan aku bahwa apa yang
kusampaikan salah, padahal aku hafal betul apa yang disampaikan Guru”.
“Minum
dulu kopi Luwaknya Mar! Ni baru dibikinkan sama istriku, wenak tenan lho”
. “O suwon(terima kasih) Cak, iya dari tadi aku begitu tegang. Padahal
biasanya aku sering guyon”. “Gini ya Mar, aku bukannya sok tahu atau
ingin mengajari kamu, wong kamu bisa mendayagunakan pikiranmu kok. Kalau
masalahnya itu adalah mengenai jurus yang diajarkan gurumu, kan kamu tinggal tabayyun,
nge-cek, atau musyawarah sama teman-teman seperguruanmu. Setiap manusia
berpeluang salah. Kamu pun demikian. Kalau ternyata setelah musyawarah kamu
benar sesuai dengan yang diajarkan guru, ya sampaikan dengan baik dan bijak.
Kalau ternyata memang salah, ya kamu harus berlapang dada, untuk mengakui
kesalahanmu. Aku dengar bahwa gurumu yang bernama Padhang Serngege itu orangnya
sangat jembar hati, dan berlapang dada” saran Sarikhuluk kepada
Markoden.
“Aku sudah kroscek sama temen-temen seperguruan,
tapi mereka terbelah dua, ada yang mendukungku dan ada juga yang setuju dengan
pandangan murid yang seusia jagung itu. Kan aku menjadi semakin bingung.
Padahal aku sudah haqqul yaqin(benar-benar yakin) bahwa jurusku sudah
pasti benar. Sebenarnya aku juga agak gengsi kalau ternyata murid seusia jagung
itu yang benar. Mau ditaruh mana nanti mukaku” tukas Markoden. “Mar sebelum aku
melanjutkan omongan, tolong tenangkan dirimu dulu, jangan sampai ‘dikejar-kejar
emosi’ bicaramu begitu meluap-luap sampai ngatain murid yang
bersebrangan denganmu dengan istilah ‘seusia jagung’. Ingat Mar, kebenaran
bukan terletak pada senioritas, walaupun masih junior kalau yang disampaikan
itu benar, ya tetap benar adanya. Tapi memang sangat sulit jika sifat gengsi
sudah menguasai hati”. “Iya sih Cak, coba sampean kasih aku pencerahan dari
kisah kanjeng Nabi mengenai hal yang serupa dengan apa yang aku alami biar
hatiku adem dan bisa bercermin darinya’ pinta Markoden.
“Baiklah
kalau kamu memang menginginkan itu. Sebenarnya kisah ini tidak sama persis tapi
kamu bisa mengambil pelajaran betapa Nabi itu sangat berlapang dada, dan
menghormati pendapat sahabat-sahabatnya. Dengan mendengar kisah ini minimal
kamu nanti bisa menyikapi permasalahanmu dengan sikap yang lebih dingin dan
bijak. Ada sahabat Nabi yang bernama Al-Hubaab bin Al-Mundzir, sewaktu perang
Badar, Nabi Muhammad memutuskan untuk bermukim di tempat yang jauh dari lembah
Badar. Namun Al-Hubaab bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, apa ini murni
pendapatmu, apa langsung turun dari Allah, sehingga aku sama sekali tak boleh
berpendapat?” Nabi menjawab: “Ini hanya pendapatku, kamu boleh berpendapat”.
“Kalau demikian, aku berpendapat lain, aku lebih setuju untuk bermukim di dekat
Badar, kita kuras dan simpan airnya untuk kita, sehingga musuh nanti mengalami
kelangkaan air”. Dengan senang hati Nabi menyetujui sara Al-Hubab dan pada
akhirnya memang pendapat Al-Hubaab sangat brilian dan berguna dalam perang
Badar”.
“Lihat Mar,
orang sekelas Nabi saja tidak semena-mena dalam berpendapat, beliau masih mau
Musyawarah selama itu bukan Allah yang memerintahkan, dan Beliau tidak
ragu-ragu menerima pendapat sahabatnya jika memang pendapat sahabatnya itu
sangat bijak. Bahkan pada perang Uhud sebenarnya Beliau punya pendapat lebih baik
perang di dalam Madinah, tapi ada sahabat yang tak ikut serta perang Badar
merasa antusias untuk jihad perang di Uhud bertemu langsung dengan Musuh, Rasul
pun menyetujui pendapat mereka. Pikirkan sekali lagi Mar, katanya kamu ngaku
ngimani Rasul serta ajarannya, rasa-rasanya seharusnya kamu bisa ngambil
pelajaran dari kisah Rasul yang kuceritakan tadi. Kalau kamu memang benar dalam
hal yang kamu ceritakan ke aku, ya selesaikan dengan baik dan bijak, jangan
meremehkan orang sedikitpun walaupun itu lebih rendah keilmuannya, atau
meskipun kamu lebih senior dari dia. Lha kalau yang salah kamu, ya kamu
harus berlapang dada menerimanya, bukannya kamu sering mengingatkanku untuk watawashau
bilhaq, watawashau bis shabri(Saling mengingatkan dengan kebenaran dan kesabaran),
buang jauh-jauh gengsimu, kamu ini kan pemimpin perguruan silat seharusnya kamu
terdepan dalam memberikan contoh. Kalau salah yang kamu harus mau diindatkan”.
“Jangan sampai
kamu masuk seperti ungkapan peribahasa: Buruk muka cermin dibelah( karena
aib sendiri, menyalahkan orang lain) orang seperti ini sudah jelas salah, tak
mau diingatkan, malah nyalahin orang lain. Aku rasa orang sepertimu yang punya
selera humor tinggi bisa mengatasinya dengan baik. Atau lebih parah lagi aku
ingatkan kamu, jangan sampai masuk pada peribahasa: Anak yang tak pandai
berdandan dikatakan cermin yang kabur(Orang yang menyalahkan orang lain,
padahal dirinya sendiri yang mencontoh perilaku orang tersebut). Menghancurkan
itu lebih gampang daripada membangun dan menjaga keharmonisan Mar, jangan
sampai gara-gara gengsi kamu menjadi naik pitam sehingga menutupi potensi
kebanaran yang ada dalam jiwamu” cerocos Sarikhuluk, laksana Penasihat Kawakan.
“Astaghfirullah Cak, suwon ge sampean sudah mengingatkan aku.
Kadang-kadang memang ketika mengurusi perguruan silat aku lebih cendrung
mementingkan ke-akuanku daripada orang lain. Sehingga ketika memandang orang
lain, selalu aku pandang dengan sudut pandang subyektifku, tanpa mempedulikan
orang lain secara obyektif, meski sekecil apa pun orangnya. Sekali lagi terima
kasih cak”. Dialog antara keduanya terus berlanjut dengan guyonan-guyonan segar
hingga menjelang Dzuhur, Markoden pun berpamitan pulang, di hatinya ia berujar:
“Al-Hamdulillah sedikit banyak aku sudah tercerahkan, ga rugi aku datang pada
sahabatku yang rada aneh tapi nyata itu...heee”.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !