Emas tetaplah emas, meskipun
berada pada tempat sampah. Ia akan tetap berharga, bernilai, dan dicari-cari.
Namun betapapun berharganya emas, bila dibiarkan di tempat sampah, dan tak ada
yang berusaha mengambil, atau memanfaatkannya, maka tak akan berarti apa-apa.
Analogi ini berasal dari inspirasi hadits Rasulullah shallallahu `alaihi
wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Ia berkata: Rasulullah
shallahu`alaihi wasallam bersabda: “Orang yang terbaik di masa jahiliyah
(adalah) orang yang terbaik di (waktu) Islam, jika Ia paham(hukum-hukum
agama)”[H.r. Bukhari dan Muslim]. Artinya ada orang yang semasa zaman jahiliyah
–yang saya analogikan sebagai tempat sampah- termasuk golongan yang mulia,
penuh bakat dan potensi-yang saya ibaratkan sebagai emas-, maka ketika pada
masa Islam akan menjadi orang mulia pula, asalkan masuk dan paham tentang
hukum-hukum agama. Dengan demikian, bakat dan potensi kemuliaan diri -yang
diibaratkan emas- tidak cukup, jika tidak masuk Islam dan paham tentang hukum
Islam. Betapapun mulia dan hebatnya seseorang, jika Ia tak masuk Islam, serta
mengerti hukum-hukum Islam, maka kehebatannya hanya terhenti pada kata,
‘hebat’. Kehebatan yang dimiliki tak mampu mengantarkannya bertemu Allah di
akhirat. Jangankan bertemu, surga saja angkuh pada dirinya.
Bercermin pada sejarah emas sahabat Rasulullah shalallahu `alaihi
wasallam, ketika zaman jahiliyah, betapa banyak orang-orang hebat dan penuh
potensi. Tapi di antara mereka, ada yang kemudian masuk agama Islam, ada pula yang
tetap bersikukuh dengan agama nenek moyangnya. Pada tataran potensi, mereka
sama-sama berpotensi. Yang membedakan mereka ialah dalam hal: masuk Islam dan
paham hukum Islam. Siapa yang tak kenal Abu Thalib orang mulia pengganti Abdul
Muthallib yang selalu membela Nabi hingga akhir hayatnya; siapa yang tak kenal
al-Walid bin al-Mughirah, penyair ulung dan disegani di tanah Arab; siapa yang
tak kenal Abu Jahal, pemimpin klan mulia bani Makhzum, serta gembong masa
jahiliyah lainnya yang memilih tetap kafir meski dikaruniai kematangan
berfikir. Kehidupan akhir mereka sengsara, dan mati dalam kondisi hina. Siapa
juga yang tak kenal Umar bin Khathab, Khalid bin Walid, `Amru bin Ash, Ikrimah
bin Abi Jahal, yang merupakan salah satu dari orang-orang yang potensial di
masa jahiliyah; ketika mereka masuk Islam dan memahami dengan betul hukum
Islam, akhirnya kehebatannya semakin terasah, dan mampu mengusik dua peradaban
besar yang ketika itu di kuasai oleh Romawi dan Persia. Mereka adalah salah
satu contoh di antara sekian banyak contoh orang yang hebat, yang ketika masuk
Islam dan paham akan hukumnya, maka kehebatannya semakin melambung. Bukan
karena mereka mencari kehebatan, tetapi Islamlah yang mengasah potensi mereka
menjadi lebih tajam.
Pada kesempatan kali ini akan diceritakan secara singkat tentang kisah tentang
orang yang ketika masa jahiliyah memiliki potensi besar, dan ketika masuk Islam
Ia menjadi semakin bersinar. Ia berwajah tampan, sangat bisa dipercaya,
berprofesi sebagai pedagang, kaya, termasuk orang terpandang di Makkah, dan
lebih dari itu, Ia adalah suami dari Zainab binti Rasulullah Muhammad shallalahu
`alaihi wasallam. Dialah Abu al-Ash bin Rabi`, yang merupakan keponakan
Khadijah binti Khuwailid. Ibunya bernama Halah binti Khuwailid. Membaca kisah
Abu al-Ash bin Rabi` menggambarkan suatu harmoni antara cinta, janji dan
amanah. Ia merupakan tipikal cowok yang setia dan sangat mencintai Istrinya.
Ketika cahaya Islam sudah terbit di Makkah, keluarga Rasulullah masuk Islam,
sedang Ia masih bertahan memegang teguh agama nenek moyang. Namun, cintanya
pada Zainab tak pernah padam. Bahkan ketika ia ditawari untuk menceraikan
Zainab, dan akan dinikahkan dengan gadis lain yang lebih cantik, Ia tak mau
menerimanya, hatinya dipenuhi oleh cinta Zainab. Begitu juga Zainab, Ia juga
mencintai Abu al-Ash, cintanya yang tulus terbukti ketika Abu al-Ash menjadi
tawanan pada perang Badar, dengan tulus Zainab mau menebusnya dengan kalung
pemberian mendiang ibunya, Khadijah. Bahkan ketika kafilah dagangnya terkena
patroli pasukan sarriyah Rasulullah, -yang kemudian Ia bisa
lari di malam hari menemui Zainab-, Zainab pun rela memberikan suaka padanya.
Ini adalah suatu gambaran cinta tulus yang tak pernah hangus.
Abu al-Ash juga
dikenal sebagai orang yang memenuhi janji. Ketika dia dibebaskan dari tawanan
perang Badar, Rasulullah memberi syarat padanya agar sesampainya di Makkah, Ia
kirim Zainab ke Madinah. Ia pun berjanji untuk memenuhinya, janjinya pun
ditepati, meski sebenarnya berat meninggalkan istri tercinta, tapi janji
tetaplah janji, ada jurang yang memisah di antara keduanya, yaitu agama. Di
sisi lain ia juga merupakan orang yang amanah. Ketika semua harta dagang yang
Ia bawa dari negeri Syam dikembalikan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, ada
tawaran menarik dari sahabat Rasulullah. Tawaran itu ialah: anjuran pada Abu
al-Ash agar masuk Islam, ketika masuk Islam, nanti harta yang terkena patroli
akan diserahkan semua kepadanya. Namun dengan tegas Ia menolaknya. Memang benar
hatinya sudah tertari memeluk Islam, tetapi yang namanya amanah tetaplah
amanah. Sebelum dia masuk Islam dengan tenang, Ia harus mengembalikan amanah
dagangan yang diembankan orang Makkah padanya, setelah diserahkan kepada yang
mengamanahinya, baru setelah itu Ia masuk Islam. Tak mengherankan jika Ia, baik
di masa jahiliyah maupun Islam, menjadi orang terpercaya. Ibarat emas, Ia
tetaplah berharga meski pernah ditempat sampah. Ia menjadi lebih berharga
ketika mempunyai ‘daya manfaat’ ketika sudah masuk dan paham hukum Islam. Maka
tidaklah berlebihan jika kisahnya merupakan paduan harmoni antara cinta, setia,
janji dan amanah. Semua itu bisa ditemukan dalam lembaran sejarah emasnya. Bagi
siapa saja yang ingin belajar tentang arti cinta, setia, janji dan amanah, maka
alangkah baiknya menelaah riwayat hidupnya.
Tulisan antum selalu mencerahkan hati maupun pengetahuan setiap pembaca, semoga sya biasa mengikuti jejak langkah antum dalam menyebarkan kandungan hikmah hikmah hidup.
BalasHapus