Menjadi mulia merupakan impian banyak orang, sedangkan
menjadi hina merupakan momok banyak orang. Namun dalam mempersepsikan kemuliaan
masing-masing orang berbeda-beda pendapat. Kemuliaan didefinisikan menurut
idiologi atau world view (pandangan hidup) yang mendominasi
alam pikirnya. Orang beridiologi kapitalis materialistis akan memandang bahwa
orang dikatakan mulia ialah yang memiliki fisik yang indah, memiliki harta
banyak, kedudukan tinggi dan berbagai atribut penilaian materil lainnya. Adapun
Islam sebagai agama kamil(sempurna)
dan mutakaamil(paripurna)
memandang bahwa kemulian itu bukan terutama terletak pada materi tapi pada
kontribusi; terutama pada amal bukan omel; terutama pada kerja, bukan sekedar
kata; terutama pada karya bukan sekedar retorika; terutama pada takwa bukan
pada harta ataupu tahta. Maka generasi yang ingin dibentuk Islam ialah generasi
yang pengamal bukan pengomel, pekerja bukan pengata, pejuang bukan pemberang. Allah
menyatakan: Yang telah
menjadikan kematian dan kehidupan untuk menguji siapakah di antara kalian yang
terbaik amalnya(Al-Mulk: 2). Pada kesempatan lain Allah berfirman: sesungguhnya yang paling mulia di
antara kalian ialah yang paling bertakwa(Al-Hujurat: 13). Jadi
sekali lagi standar kemulian bukan terutama pada kuantitas materil tapi pada
kulitas maknawi berupa ketakwaan.
Coba kita menyusuri sejarah emas sahabat-sahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam.
Pernahkah anda mendengar sahabat yang bernama Julaibib yang berasal dari kaum
Anshar. Mungkin anda sekalian merasa asing dan hampir-hampir tak mengenalnya.
Julaibib adalah sahabat mulia yang syahid dan dapat kemuliaan pernyataan
dari Nabi: Julaibib (bagian)
dariku dan aku bagian darinya. Bayangkan
bila anda hidup semasa Nabi dan diberi pernyataan dan ungkapan semacam itu.
Anda tentu merasa syukur dan gembira. Lebih dari itu mungkin anda membayangkan,
kenyataan bahwa Julaibib mendapat kemulian semacam itu berbanding lurus dengan
bentuk fisiknya. Kesan pertama ketika anda melihatnya hanya dari ukuran fisik
mungkin anda tidak akan bersimpati atau bahkan lari. Gambaran fisiknya:
wajahnya sangat jelek dan berbadan pendek. Tidak ada satupun yang menarik dari fisiknya.
Bahkan ketika Rasulullah menawarkannya nikah pada orang lain banyak sekali yang
menolaknya, meski pada akhirnya ada yang mau, namun sekali lagi bukan karena
keindahan fisik. Pernah juga ia menyatakan pada Rasulullah sewaktu ditawari
nikah: kalau begitu engkau
akan mendapatiku tidak akan laku. Rasulullah
membesarkan hatinya dengan ungkapan: hanya
saja engkau di mata Allah bukanlah orang yang tak laku. Julaibib secara realistis mengakui
dan tahu diri, mana mungkin ada wanita yang mau sama dirinya, hingga menilai
dirinya sebagai barang tak laku. Namun Rasulullah memberi pelajaran penting
padanya bahwa yang menjadikan orang bernilai dan laku itu bukan karena fisik
tapi kinerja. Pada akhirnya, Julaibib mendapatkan takdir kemuliaannya dan
syahid di jalan Allah. Itu semua karena amal dan kontribusi tulusnya dalam
memperjuangkan nilai-nilai Islam.
Kenyataan lain yang senada dengan yang di atas ialah: bahwa Bilal bin Rabbah
meski hitam dan jelek namun karena konsistensi dan kedawaman amalnya, ia mendapat
kemulian berupa suara terompahnya sudah terdengar di surga meski pada waktu itu
dia masih di dunia; bahwa ibnu Mas`ud yang memiliki fisik kecil dan pincang
mendapat kesaksian Nabi: kaki ibnu Mas`ud bila ditimbang lebih berat ketimbang
gunung Uhud; bahwa Zaid bin Haritsah yang memiliki fisik kurang menarik namun
karena kerja dan amalnya beliau mendapat kemulian menjadi hibbu an-nabi(kesayangan Nabi);
bahwa `Amru bin al-Jamuh meski pincang dan tua renta tak menghalanginya
mandapat kemulian syahid di pertempuran Uhud. Kesemuanya memberikan arti
penting pada kita bahwa generasi yang dibentuk dan dikader oleh Rasulullah
ialah generasi yang berbingkai takwa. Mereka lebih mengutamakan amalan terbaik
ketimbang sibuk terhadap urusan materil dan fisik. Mereka lebih mengutamakan
kinerja dan kontribusi daripada sekedar retorika. Mereka lebih mengutamakan
penilaian hakiki Tuhan daripada penilaian relatif orang. Dengan demikian
sangatlah layak dan pantas ketika Rasulullah menyatakan: sebaik-baik generasi ialah generasiku,
kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya. Karena yang
dibangun Rasul bukanlah genarasi yang banyak omong tapi banyak berjuang; banyak
amal bukan banyak omel. Dengan demikian orang yang pingin melahirkan generasi
seperti mereka, sudah barang tentu harus menapaktilasi jejak dan meneladani
mereka.
Bagi siapa saja yang merasa mulia hanya sebatas kemuliaan fisik berupa harta,
tahta, dan rupa, ketahuilah semua itu bakal sirna dan tiada. Ukuran kemuliaan
secara materi akan lenyap seiring dengan bergulirnya roda waktu kehidupan. Maka
dari itu semua itu bukan yang utama meski kita butuh juga dalam perjuangan.
Kuncinya bukan terpaku dan berhenti pada materi dan fisik. Lebih dari itu
bagaimana kita mampu mentransformasikan materi bernilai rohani. Materi
dipergunakan sedemikian rupa untuk perjuang menuju ridha Allah ta`ala. Sebagaimana Abu Bakar,
Umar, Utsman, Abdur Rahman bin `Auf dan sahabat-sahabat lainnya. Mereka
bernilai bukan semata karena fisik, harta dan kedudukan yang mereka
miliki. Mereka bernilai dan mulia karena mampu mengubahnya menjadi kontribusi
ketaatan dan ketakwaan. Maka jangan heran jika orang yang secara fisik tidak
begitu menarik, mampu mengungguli kemulian orang yang fisiknya menarik. Sekali
lagi yang dapat menjelaskan rahasia di balik semua itu ialah: TAQWA. Dari kata
“taqwa” ini kita menemukan konsep Nabi dalam membina sahabat-sahabatnya. Dengan
konsep “taqwa” Rasulullah mampu melahirkan generasi yang mampui menciptikan
kontribusi besar, bukan hanya untuk sesamanya tetapi kontribusi yang melampaui
sekalian alam. Bahkan melampaui batas ruang dan waktu. Mereka adalah generasi
yang dibina dan dibesarkan bukan karena banyak omel tapi banyak amal.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !