Kudeta Umar bin Hafshun

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 23 Juli 2016 | 17.18

                 KUDETA. Di sepanjang sejarah selalu ada momentumnya. Adakalanya sukses, seringkali juga gagal. Dalam sejarah Islam pun, fenomena ini kerap terjadi dan memakan korban tidak sedikit. Kudeta di Turki baru-baru ini adalah bagian dari perulangan sejarah tentang kudeta. Tulisan berikut akan mengupas salah satu kudeta yang terjadi di masa Islam Andalusia. Kudeta yang dilakukan oleh Umar bin Hafshun (240-306H/855-919M).
             Umar bin Hafshun berasal dari kalangan muslim muwalladin (penduduk asli Andalusia). Huruf 'wau' dan 'nun' di akhir namanya adalah sebagai tanda bahwa dia adalah orang Andalusia asli (Qishshatu al-Andalus min al-Fathi ilâ al-Suqût, 182)
Umar bin Hafshun adalah orang yang dikenal sebagai tukang begal dari penduduk asli Andalusia. Dia memiliki fanatisme kuat terhadap ras keturunan. Bersamanya ada 40 orang pengikut.
Kebaradaannya semakin berbahaya tatkala kebanyakan umat Islam di Andalusia ketika itu mulai gandrung kepada dunia dan meninggalkan jihad di jalan Allah.
Pada tahun 267 Umar bin Hafshun menentang kekuasaan penguasa Andalusia, Muhammad bin Abdurrahman di tepian Rayya. Ketika Muhammad mengirim pasukan untuk menumpasnya, ternyata pasukan yang dipimpin Umar menang sehingga membuatnya semakin kuat dan dikenal (al-Kâmil fî al-Târikh, 6/390).
Kekuatannya bertambah pesat hingga ia menguasai semua wilayah Timur Andalusia.  Sebenarnya, dulunya dia beragama Islam. Hanya saja, demi memperkuat hegemoninya, di akhir masa kekuasaannya dia melakukan hal yang tidak akan terulang dalam sejarah Andalusia kecuali sedikit, ia murtad dari Islam dan mengganti agamanya menjadi orang Nashrani pada tahun 286 H. Ini berarti, setelah 22 tahun dari usahanya untuk mengkudeta sebagai muslim, kemudian ia murtad menjadi Nashrani. Bahkan dia mengubah namanya menjadi Samuel.
Lebih dari itu, dalam catatan sejarah, ia juga tak malu-malu meminta bantuan dari negeri Nashrani di Andalusia Utara.
Motif pengkudetaan ini: sepertinya dia ingin mengambil pengokohan kekuasaan dari kerajaan Lion Utara. Karena itu, ia akhirnya berubah menjadi Nashrani, akhirnya ditinggalkan oleh sebagian pengikutnya yang muslim. Tapi, pada akhirnya ia mendapatkan dukungan dari Raja Lion.
Kondisi ini begitu menguntungkan bagi Raja Lion karena pada waktu itu rakyatnya lagi lesuh perjuangannya. Dengan adanya Umar bin Hafshun ini, Raja Lion semakin berani melakukan penyerangan di batas-batas wilayah Islam.
Serbuan dimulai dari arah utara, sedangkan Umar bin Hafshun (Samuel) memulainya dari selatan. Ini mirip seperti yang dilakukan oleh Yahudi dan Amerika bersama John Garang de Mabior (1945-2005) seorang pemberontak di Sudan Selatan. Tujuan mereka jelas: menyuplai senjata kepada John Garang, menyiapkan planning, kebutuhan logistik, dan perbekalan lainnya dengan harapan bisa menghancurkan Sudan dari dalam.
Kalau Sudan disibukkan dengan konflik internal, maka akibatnya jelas yaitu akan melemahkan kekuatan internalnya. Pada gilirannya, kekuatan Islam bisa diberangus dari negeri Sudan bahkan sampai negeri Afrika Tengah.
Ini adalah cara klasik. Apa yang dilakukan Umar bin Hafshun bin Hafshun di Andalusia merupakan cara yang relatif sama. Orang-orang Nashrani menghasutnya agar pindah agama, sampai akhirnya ia murtad menjadi Nashrani dan mengubah namanya menjadi Samuel, untuk meruntuhkan Andalusia dari dalam.
Ternyata, kejadian serupa juga terjadi di zaman Rasulullah SAW.  Dimana ketika kaum kafir Qurays menyurati Abdullah bin Ubay bin Salul di Madinah (al-Rahîq al-Makhtûm, 175), mereka memprovokasinya untuk memerangi Rasulullah SAW, bahkan mengusir beliau dari Madinah, dan lain sebaginya.
Kudeta yang yang dilakukan oleh Umar bin Hafshun adalah di antara yang terkenal yang pernah terjadi di Andalusia Selatan. Ia membentuk semacam negara kecil di wilayah Andalusia, dan menguasai banyak benteng, bahkan benteng   ʼIstiǧǧa/Écija dan Ǧayyān/Jaén yang merupakan salah satu benteng terkuat di Andalusia secara mutlak. Granada pun akhirnya menjadi bagian kekuasaan Umar bin Hafshun. Ia pun membut ibu kota baru bagi negara kekuasaanya dengan nama Bobastro  di wilayah Selatan Andalusia di samping Al-Maria (ألمارية) di tepi pantai Laut Tengah.    
Tidak hanya dari kalangan Nashrani, Umar bin Hafshun juga didukung oleh Daulah Fathimiah/Ubaidillah. Negara yang baru berkembang ini, memasok kebutuhan logistik dan senjata kepada Samuel melalui jalur selat Gibraltar dari arah selatan. Ini tentu saja dimaksudkan untuk menyerang khilafah Umawiah yang sunni di Cordova. Dia juga dibantu oleh pengkudeta lain di Sevilla yaitu Ibnu Hajjaj ketika menyerang Cordova.
Kudeta yang dilakukan Samuel, pada akhirnya ada yang berusaha menggagalkannya. Setelah 2 bulan dilantik menjadi Khalifah, Abdurrahman An-Nashir membuat kebijakan strategis yaitu menumpas Umar bin Hafshun. Akhirnya ia bisa mengambil alih kembali kota ʼIstiǧǧa/Écija yang merupakan di antara benteng terkuat di Andalusia ketika itu.
Abdurrahman Nashir memimpin ekspedisi ini sendiri. Selama tiga bulan lamanya(Sya`ban, Ramadhan, Syawwal) pada tahun 300 H, ia bisa mengambil kembali Kota Ǧayyān/Jaén. Tak hanya itu, ia bahkan bisa mengambil kembali 70 benteng yang dikuasai Umar bin Hafshun.
Ada tiga kekuatan besar yang dihadapi Abdurrahman bin Nashir kala itu. Pertama, Umar bin Hafshun. Kedua, keturunan pemberontak Ibnu Hajjaj di Sevilla. Ketiga, kerajaan Nashrani dari utara Andalusia. Yang dilumpuhkan pertama kali pada tahun 301 H adalah Sevilla, dan ia berhasil merebutnya kembali. Baru kemudian setelah itu menumpas Umar bin Hafshun.
Karena penyokong dari Barat(Sevilla) bisa dilumpuhkan, akhirnya bantuan dari Barat otomatis tidak ada. Dengan demikian Abdurrahman An-Nashir bisa merebut Randa, Sidonia, dan Carmona. Ini semua merupakan kota di kawasan Selatan Andalusia.  Tak hanya itu, ia juga bahkan bisa meransek dan menguasai wilayah selatan, Gibraltar sehingga bisa memutus bantuan dari dari Daulah Fathimiyah dan Daulah Nashrani(karena mereka membantunya dari utara melalui samudra Atlantik kemudian ke selat Gibraltar, lalu Laut Tengah. Dengan demikian, segala bentuk bantuan dari berbagai Arah kepada Umar bin Hafshun bisa diputus.
Pada akhirnya Umar bin Hafshun meminta gencatan senjata dengan syarat Abdurrahman memberikan 162 benteng kepadanya, dan ia pun menyepakatinya.
Semangat jihad Abdurrahman An-Nashir ini pada akhirnya mendapat kemenangan gemilang pada ekspedisi tahun 304 H. Sepulangnya dari Cordova, akhirnya Zaragosta bergabung dengannya tanpa ada peperangan. Lebih dari itu, pada tahun 306 H, ada kejutan lain yaitu kematian Samuel bin Hafshun dalam kondisi murtad, pada usia 66 tahun.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh Abdurrahman An-Nashir dengan menghimpun seluruh wilayah tenggara ke dalam kekuasaannya. Ia pun memberi kesempatan bagi penduduk yang murtad ke Nashrani selama 3 hari, jika kembali ke Islam maka akan diterima menjadi tentaranya, jika tidak maka diekskusi. Di antara mereka adalah putri Samuel bin Hafshun yang dibunuh karena mendorong orang agar tidak meninggal agama Nashrani.
Di antara pelajaran yang bisa diambil dari kisah Samuel bin Hafshun ialah:
Pertama, kudeta terjadi ketika kondisi umat sangat lemah: di sana sini terjadi perpecahan, terlalu cinta dunia, dan terjadi krisis kepemimpinan.
Kedua, tabiat atau karakter pengkudeta penguasa Islam resmi, biasanya akan tidak segan melakukan segala cara demi mensukseskan keinginan: termasuk berkonspirasi dengan negara musuh Islam.
Ketiga, kudeta selalu memakan korban yang tidak sedikit.
Keempat, kudeta adalah di antara cara efektif yang diprovokasikan musuh Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Kelima, kudeta kepada pemimpin sah -kalau pun berhasil- pada akhirnya akan mengalami nasib yang sama. Kalau tidak jatuh hina, atau mati sengsara.
Keenam, untuk mengatasi kudeta, dibutuhkan pemimpin karismatik, mencintai dan dicintai rakyat, adail dan pemberani.
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan