Ada
banyak hal dalam kehidupan di dunia ini yang dianggap orang sederhana namun
memiliki nilai yang sangat berharga. Gejala demikian muncul pada komunitas yang
menilai sesuatu itu hanya secara wadag materil. Penilaian demikian tentu sangat
relatif dan subyektif. Pada gilirannya pihak yang berkuasalah yang menentukan
standart penilaian materil. Misalnya: kulit putih dianggap sebagai kulit
terbaik dan yang paling rendah ialah hitam; Yang dihormati dimasyarakat ialah
yang kaya dan berkedudukan, sedangkan orang biasa dan miskin tidak dihormati;
yang benar ialah pendapat subyektif manusia kaya, pendapat si miskin dikesampingkan; pendapat orang terkenal
diutamakan meski salah daripada orang biasa meski benar. Masih banyak lagi
berbagai standar penilaian yang sangat wadag.
Letak
bernilai tidaknya sesuatu bukan semata terbatas pada lahiriah semata akan
tetapi juga batiniah. Islam menetapkan standart
bernilainya sesuatu pada kualitas bukan kuantitas; menilai sesuatu
bernilai berdasarkan etos kerja, ketakwaan, dan kinerja terbaik, bukan pada
kehebohan dan keindahan fisik. Orang dianggap berharga bukan terpaku pada
kekayaan, kedudukan, kegantengan, kecantikan, dan berbagai standar lahiriah
lainnya, tapi yang dijadikan acuan ialah seberapa baik amal dan kinerjanya, dan
seberapa besar ketakwaannya. Walaupun berkedudukan jika tak takwa maka percuma.
Meskipun kaya jika tak baik amalnya maka percuma. Meski rupawan tapi jika tak
takwa maka tiada gunanya.
Pada
zaman jahiliyah di mana Islam baru tumbuh berkembang, standart penilaian yang
sangat wadag dan materil ini sangat mendominasi alam pikir dan idiologi mereka.
Misal saja orang-orang kulit hitam dianggap sebagai orang kelas bawah, tak
memiliki hak-hak seperti orang kulit putih, lebih dari itu kebanyakan dari
mereka dijadikan budak. Hampir tak terdengar-kalau tak boleh dibilang sama
sekali tidak- orang-orang kulit hitam yang menempati posisi penting. Mereka
selalu dinomerduakan.
Diantara
orang hitam yang tinggal di Arab jahiliyah kala itu ialah Bilal bin Rabah.
Sebagaimana yang lain, sebelum masuk Islam ia tak lebih hanya sebagai budak.
Melayani dan membantu keperluan tuannya. Tuannya kala itu salah seorang
pembesar Qurays bernama Umayyah bin Khalaf. Kehidupan Bilal yang sangat
sederhana dan bersahaja di waktu Jahiliyah terhitung sangat biasa dan tak
begitu diperhitungkan. Namun ketika cahaya Islam menyinari kegelapan hatinya,
seorang Bilal yang dianggap hina ini seolah terlahir kembali. Dalam Islam dia
dimuliakan, disetarakan, dihargai dan dihormati. Ia merasakan keteduhan dan
kesejukan dari agama yang baru datang ini. Sekali dia dapat petunjuk agung ini,
tak akan pernah dilepas meski harus mendapat tantangan berat. Lambat laun
keislamannyapun bocor. Ketika tuannya tahu, maka Bilal disiksa sedemikian rupa di
tengah terik mentari, ditindihi batu. Bilal tak gentar dan tetap teguh seraya
berkata: Ahad Ahad Ahad. Sampai akhirnya Bilal dibebaskan oleh Abu Bakar
as-Shidiq radhiyallahu `anhu.
Nabi
sangat menghormati Bilal. Ia tidak pernah membeda-bedakan setatus, karena yang
terbaik adalah siapa yang paling takwa. Bilal dapat kemulian menjadi muadzin
tetapi. Bilal tahu bahwa bakat dan potensinya adalah suara, maka dia
berkontribusi melalui segi suara. Lebih dari itu, yang menjadikan Bilal penuh
kemulian dan kehormatan ialah: Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wassallam
pasca pulang dari perjalanan isra` wa mi`raj, beliau menceritakan bahwa
ketika melihat surga ia mendengar suara terompah Bilal. Rasulullahpun penasaran
sehingga menanyakan langsung kepada Bilal tentang amalan apa yang membuatnya
mendapatkan kepastian masuk surga padahal dia masih hidup di dunia. Dengan
sangat sederhana Bilal menjawab: Aku selalu menjaga kesucianku, dan setiap
kali aku selesai bersuci aku shalat dua rakaat. Mungkin ini terkesan
sederhana. Namun dibalik kesederhanaan ini menyimpan: kekontinyuan, kedawaman,
ke-itqannan, dan keistiqamahan dalam beramal. Bukankah amal yang paling
dicintai Allah ta`ala ialah meski sedikit tapi dawam dan istiqamah?Terompah
Bilalpun mendahuluinya ke surga.