Terompah Surga

Written By Amoe Hirata on Senin, 18 Juni 2012 | 19.32

              Ada banyak hal dalam kehidupan di dunia ini yang dianggap orang sederhana namun memiliki nilai yang sangat berharga. Gejala demikian muncul pada komunitas yang menilai sesuatu itu hanya secara wadag materil. Penilaian demikian tentu sangat relatif dan subyektif. Pada gilirannya pihak yang berkuasalah yang menentukan standart penilaian materil. Misalnya: kulit putih dianggap sebagai kulit terbaik dan yang paling rendah ialah hitam; Yang dihormati dimasyarakat ialah yang kaya dan berkedudukan, sedangkan orang biasa dan miskin tidak dihormati; yang benar ialah pendapat subyektif manusia kaya, pendapat si miskin  dikesampingkan; pendapat orang terkenal diutamakan meski salah daripada orang biasa meski benar. Masih banyak lagi berbagai standar penilaian yang sangat wadag.
            Letak bernilai tidaknya sesuatu bukan semata terbatas pada lahiriah semata akan tetapi juga batiniah. Islam menetapkan standart  bernilainya sesuatu pada kualitas bukan kuantitas; menilai sesuatu bernilai berdasarkan etos kerja, ketakwaan, dan kinerja terbaik, bukan pada kehebohan dan keindahan fisik. Orang dianggap berharga bukan terpaku pada kekayaan, kedudukan, kegantengan, kecantikan, dan berbagai standar lahiriah lainnya, tapi yang dijadikan acuan ialah seberapa baik amal dan kinerjanya, dan seberapa besar ketakwaannya. Walaupun berkedudukan jika tak takwa maka percuma. Meskipun kaya jika tak baik amalnya maka percuma. Meski rupawan tapi jika tak takwa maka tiada gunanya.
            Pada zaman jahiliyah di mana Islam baru tumbuh berkembang, standart penilaian yang sangat wadag dan materil ini sangat mendominasi alam pikir dan idiologi mereka. Misal saja orang-orang kulit hitam dianggap sebagai orang kelas bawah, tak memiliki hak-hak seperti orang kulit putih, lebih dari itu kebanyakan dari mereka dijadikan budak. Hampir tak terdengar-kalau tak boleh dibilang sama sekali tidak- orang-orang kulit hitam yang menempati posisi penting. Mereka selalu dinomerduakan.
            Diantara orang hitam yang tinggal di Arab jahiliyah kala itu ialah Bilal bin Rabah. Sebagaimana yang lain, sebelum masuk Islam ia tak lebih hanya sebagai budak. Melayani dan membantu keperluan tuannya. Tuannya kala itu salah seorang pembesar Qurays bernama Umayyah bin Khalaf. Kehidupan Bilal yang sangat sederhana dan bersahaja di waktu Jahiliyah terhitung sangat biasa dan tak begitu diperhitungkan. Namun ketika cahaya Islam menyinari kegelapan hatinya, seorang Bilal yang dianggap hina ini seolah terlahir kembali. Dalam Islam dia dimuliakan, disetarakan, dihargai dan dihormati. Ia merasakan keteduhan dan kesejukan dari agama yang baru datang ini. Sekali dia dapat petunjuk agung ini, tak akan pernah dilepas meski harus mendapat tantangan berat. Lambat laun keislamannyapun bocor. Ketika tuannya tahu, maka Bilal disiksa sedemikian rupa di tengah terik mentari, ditindihi batu. Bilal tak gentar dan tetap teguh seraya berkata: Ahad Ahad Ahad. Sampai akhirnya Bilal dibebaskan oleh Abu Bakar as-Shidiq radhiyallahu `anhu.
            Nabi sangat menghormati Bilal. Ia tidak pernah membeda-bedakan setatus, karena yang terbaik adalah siapa yang paling takwa. Bilal dapat kemulian menjadi muadzin tetapi. Bilal tahu bahwa bakat dan potensinya adalah suara, maka dia berkontribusi melalui segi suara. Lebih dari itu, yang menjadikan Bilal penuh kemulian dan kehormatan ialah: Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wassallam pasca pulang dari perjalanan isra` wa mi`raj, beliau menceritakan bahwa ketika melihat surga ia mendengar suara terompah Bilal. Rasulullahpun penasaran sehingga menanyakan langsung kepada Bilal tentang amalan apa yang membuatnya mendapatkan kepastian masuk surga padahal dia masih hidup di dunia. Dengan sangat sederhana Bilal menjawab: Aku selalu menjaga kesucianku, dan setiap kali aku selesai bersuci aku shalat dua rakaat. Mungkin ini terkesan sederhana. Namun dibalik kesederhanaan ini menyimpan: kekontinyuan, kedawaman, ke-itqannan, dan keistiqamahan dalam beramal. Bukankah amal yang paling dicintai Allah ta`ala ialah meski sedikit tapi dawam dan istiqamah?Terompah Bilalpun mendahuluinya ke surga.

Ratapan Cinta Haramain

Tengah hari di Makkah al-Mukarramah hawa sahara lagi mencapai puncaknya, debu-debu bertebaran di hempas angin. Matahari berada pada titik tengah pas, menyajikan hawa panas yang siap menyengat kulit-kulit manusia. Dari kejauhan terlihat fatamorgana lagi menari-nari bagai penari perut di Mesir. Hawa mencapai 40 derajat celcius. Pada umumnya kebanyakan orang lebih memilih tinggal diam dirumah memanjakan diri dengan sejuknya AC.
Lain halnya dengan Aji Kurniawan. Kondisi yang sangat panas tidak membuatnya surut untuk keluar dari asramah. Hari ini ia ada janji dengan Doktor Pembimbingnya. Kemaren sore lewat hp keduanya telah mengadakan kesepakatan untuk bertemu di masjidil Haram guna membicarakan judul tesis yang akan di ajukan. Doktor itu bernama Aiman Abdul Mannan. Seorong Doktor karismatik yang sangat piawai dalam bidang studi Ilmu Hadist.
Aji sudah merencanakanya dengat sangat matang. Untuk mensiasati agar tidak terlambat ia berangkat setengah jam lebih awal dari perjanjian. Dengan penuh semangat dia memasuki masjidil Haram. Alhamdulillah akhirnya sampai dengan selamat. Belum jua ia mau siap-siap shalat Tahiyyatul Masjid rupanya ia melihat sesosok lelaki tua yang ia kenal sedang duduk ta`zim membaca al-Quran. Tak hanya itu dia juga meneteskan air mata. Hati Aji begitu terenyuh, ternyata lelai tua itu ialah Doktor Pembimbingnya.
Setelah menunaikan shalat Tahiyyatul Masjid Aji segera menghampiri Doktor itu. Asslamu`alaikum ya Duktur. Wa`alaikum salam ya ibni. Maaf, sejak kapan Doktor duduk disini? Bellia menjawab:" Sejak setengah jam yang lalu". MasyaAllah ya duktur.Bukankah janjian kita masih kurang setengah jam lagi?. Kamu benar. Saya memiliki kebiasaan rutin untuk mendatangi perjanjian satu jam lebih dulu. Saya sangat menghormati perjanjian. Sehingga saya selalu datang sebelum waktunya agar bisa melaksanakanya tepat waktu. Nah untuk menunggu biasanya saya gunakan untuk memuroja`ah(mengulang) hafalan al-Quran.
Aji sangat kagum mendengar jawabanya. Bukan main, seorang Doktor yang memiliki kesibukan luar biasa mampu mendatangi perjanjian satu jam lebih dahulu. Sungguh lurbiasa katanya. Aku saja yang masih muda datangnya masih setengah jam sebelum perjanjian. Andai saja banyak orang yang seperti Doktor maka amanah terhadap janji akan menjadi tradisi yang baik. Aji membatin:" Ya Allah anugerahkanlah pada Doktor pembimbingku ini kebaikan dan keberkahan, dan mudahkanlah diriku untuk bisa meneladani kebaikanya".
Berdialoglah kedua orang itu mengenai judul tesis. “Aji, kamu mau mengajukan judul apa?” Duktur bertanya. “Begini ya Syaikh, saya mau mengajukan judul, ‘Relevansi ilmu Hadist dalam metodologi ilmu modern’”. “Aji, saya kira judul yang kamu ajukan cukup bagus. Baiklah aku akan menyetujuinya. Jadi begini, bulan depan saya minta kamu menyerahkan synopsis tesismu ini. Perlu kamu ingat, waktuku sangat terbatas, jika waktu itu kamu tidak bisa datang tepat waktu maka terpaksa kamu harus mengulang tahun depan. Ini karena saya akan segera pergi menuju Inggris selama setahun untuk menjawab permintaan dakwah”.
“Baik syaikh, InsyaAllah saya akan datang tepat waktu”. Di tengah obrolanya terdengar kumandang adzan shalat Dzuhur. Dengan sigap, setelah mengadakan kesepakatan bersama keduanya menjawab adzan dan siap-siap menunaikan shalat. Selepas halat keduanya saling berpamitan untuk undur diri. “Terimakasih banyak ya Duktur atas waktu luangnya”. “Sama-sama nak semoga tesismu berjalan lancar”. “Assalamu`laikum….”. “Wa`alaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh” sahut Aji.
Sebulan kemudian Aji sudah siap-siap untuk mengajukan sinopsis tesisnya. Ia akan bertemu dengan Doktor Aiman bakda shalat Ashar di masjidil Haram. Ketika ia sudah siap mau berangkat, teman sekamarnya yang bernama Abdur Rahman Siregar jatuh terkapar sakit. Waktu itu, tidak ada seorangpun yang ada di asramah karena sedang menghadiri daurah. Abdur Rahman terkena penyakit serangan jantung. Ia membutuhkan pertolhongan segera. Bila terlambat maka nyawanya mungkin saja tidak terselamatkan.

Perasaan Aji berkecamuk bukan main. Waktu perjanjian tinggal lima belas menit lagi, sedang di depan matanya ada seorang teman yang membutuhkan bantuanya. Bila dia menolhong maka dia akan terlambat bertemu Doktor Pembimbingnya. Bila terlambat maka konsekwensinya dia akan mengulangnya pada tahun depan. Dengan demikian janjinya untuk menikahi Puspita Saripun akan tertunda setahun.  Ia sedang menghadapi posisi sulit antara menolhong teman yang ada di depan mata dengan segera menemui doktor pembimbing menyerahkan sinopsis tesisnya yang bila gagal tentu saja pernikahan dengan Puspita akan gagal.
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan