Di tengah hiruk
pikuk negara yang penduduknya mengimani idiologi demokrasi, fenomena kompetisi
jabatan tidak asing untuk diperbincangkan. Bukan karena menjabat sebagai suatu
tanggung jawab besar yang harus diemban, tetapi pada realitanya lebih kepada
kompetisi formal struktural dan fungsional yang bisa melonjakkan serta
meningkatkan level seseorang agar menjadi lebih terhormat, mulia dan disegani.
Di saat tertentu memang untuk meyakinkan orang, biasanya digunakan berbagai
cara yang persuasif-inovatif dengan mengusung tema besar mengenai kepentingan
orang banyak, mengenai isu-isu sosial, sebagai pijakan suksesi mendapatkan
jabatan. Jabatan kebanyakan sudah ditanggalkan dari ruh tanggung jawab; sudah
diceraikan dari spirit masuliyah(responsibilitas); sudah digugurkan dari
rahim tanggung jawab. Kalau kita mengenal istilah dunia dan akhirat, maka
jabatan secara umum sudah begitu sangat mendunia dan dijauhkan dari kepentingan
akhirat; jabatan sudah sedemekian mengental dengan orientasi duniawi hingga
unsur ukhrawinya luluh mencair meninggalkannya. Implikasi riil dari fenomena
ini jelas akan semakin mendikotomi manusia dari integritasnya sebagai manusia
yang secara transendental memiliki hubungan yang apik denga Sang Penciptanya.
Jabatan dalam fenomena ini tentu saja sangat meredusir subtansi manusia.
Manusia yang berorientasi jabatan, kebanyakan sudah begitu luntur
kemanusiaannya. Ia bukan lagi sebagai manusia seutuhnya. Dalam menilai orang
biasanya dengan standar fungsional-struktural dari jabatan yang sedang
dijalani. Orang akan dihormati jika memiliki jabatan tinggi. Orang yang
jabatannya rendah sama sekali tak diperhitungkan meski kemanusiannya lebih
natural, utuh dan orisinil daripada yang punya jabatan tinggi.
Dari
paradigma hukum Islam, jabatan memang tidak dilarang, asal sesuai dengan
prosedur syari`at. Tapi masalahnya kemudian ialah bahwa secara etis sebagaimana
yang diwejangkan Nabi, bahwa hubungan atau korelasi antara manusia dengan jabatan
itu seyogianya ‘diminta’ bukan ‘meminta’; ‘diajukan’ bukan ‘mengajukan’;
‘dicalonkan’ bukan ‘mencalonkan’; ‘diangkat’ bukan ‘mengangkat’. Suatu saat
Rasul bersabada yang intinya: “Barangsiapa meminta jabatan, maka akan
diserahkan (bebannya) pada dirinya sendiri, sedangkan orang yang diminta
menjabat akan ditolong oleh Allah. Lihat perbedaan fundamental dari dua
kata tersebut. Allah akan menolong orang yang diminta menjabat dan membiarkan
orang yang meminta jabatan menanggung beban jabatan tanpa pertolongan-Nya.
Mekanisme demikian memang kurang subur di tanah demokrasi. Ini hanya bernilai
mitos bagi kebanyakan orang. Semua mekanisme untuk memperoleh jabatan memang
mengarah pada ‘me’ daripada ‘di’. Sebenarnya meski secara teknis iklim
demokrasi mengaharuskan demikian, di sisi lain ada sela-sela yang secara kualitatif-subtansial
bisa diakomodir untuk menghasilkan output yang positif baik untuk
individu maupun sosial. Namun sekali lagi usaha inipun sudah sedemikian langkah
dan biasanya tumbuh-berkembang pada manusia-manusia yang secara sosio-kultural
termarjinalkan dari berbagai pernak-pernik fungsional jabatan. Kondisi ini
secara sadar maupun tidak sadar, memang dimeriahkan dengan kecanggihan media
yang dimiliki oleh pihak-pihak yang multi kepentingan individual. Sehingga
karena saking terbiasanya, atmosfir kompetisi jabatan semacam tadi sudah
bukan hal yang tabu, tetapi sudah menjadi hal yang layak untuk diperlombakan,
dan dikompetisikan demi meraih keuntungan pribadi.
Berkaitan
dengan tema: “Takut Jabatan”, ada baiknya kita segarkan kembali ingatan kita
dengan sejarah emas sahabat-sahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi
wasallam. Pernahkah anda mendengar atau ingatkah pada sosok yang bernama
Miqdad bin `Amru? Beliau adalah sahabat yang pemberani, komandan pasukan
berkuda di perang Badar, dermawan, penuh hikmah, sangat cinta Nabi, antusias
dalam berjihad dan sangat anti pada kedzaliman. Mengenai kemuliaan dan
sepakterjangnya dalanm dunia perjuangan dan perjuangan tidak perlu diragukan
lagi. Banyak sekali pengalaman-pengalaman berharga yang dia alami bersama Rasulullah.
Salah satu pengalamannya bersama Rasulullah yang berkaitan dengan jabatan ialah
bahwa suatu ketika Rasulullah menjadikannya sebagai wali(gubernur), ia
mendapatkan jabatan gubernur dari Rasulullah. Ketika sudah menyelesaikan
tanggung jawabnya sebagai gubernur, Rasulullah bertanya padanya: Apa yang kamu
dapati dari jabatan gubernur(kepemimpinan)? Miqdad menjawab: Wahai Rasulallah,
(ketika aku menjabat) aku mennyangka(menganggap) bahwa semua manusia adalah sebagai pelayan
atau budakku. Demi Allah, aku tidak akan menjabat apapun selama aku masih
hidup. Dalam kitab rijal haular rasul kisah Miqdad mengenai jabatan yang
senada dengan cerita diatas digambarkan demikian: Pada suatu hari ia diangkat
oleh Rasulullah sebagai amir disuatu daerah. Tatkala ia kembali dari tugasnya,
Nabi bertanya: “Bagaimanakah pendapatmu
menjadi amir?” Maka dengan penuh kejujuran dijawabnya: “Anda telah
menjadikan daku menganggap diri diatas semua manusia sedang mereka semua
dibawahku….Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, semenjak saat ini
saya tak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk
selama-lamanya.
Miqdad
bukan berarti tak kapabel dan kompeten dalam menanggung jabatan yang
diamanahkan padanya. Kita mengetahui bahwa dia bisa diandalkan. Ia sama sekali
tak meminta jabatan, tapi diminta. Namun pengalaman pribadinya dalam
menjalankan roda kepemimpinan jabatan yang ditanggungnya memercikkan suatu
hikmah yang luar biasa, sehingga bernilai filosofis dan penuh hikmah. Bahwa
jabatan cendrung menggiring seseorang untuk memandang manusia lain lebih rendah
dari dirinya; lebih cendrung mendorong seseorang memandang manusia lain sebagai
pelayan, budak dan anak buahnya. Kesadaran itu membuatnya berkomitmen untuk
takut jabatan semasa hidupnya. Coba banyangkan, ini ketika jabatan dipegang
oleh orang amanah dan sanggup menanggung serta bukan meminta jabatan tapi
diminta, mengalami pengalaman semacam ini. Lalu bagaimana dengan atmosfir
demokrasi yang melahirkan sistem-sistem yang membuat orang harus meminta jabatan
padahal kadang-kadang bahkan sangat banyak sekali yang kemampuanya tidak
paralel dengan jabatan yang diemban. Apakah bukan malah membuat sengsara orang
lain dan hanya mementingkan kepentingan pribadinya? Jawabanya ada pada
pengalaman dan relung hati anda.