Home » » Kaidah Ilmu Al-Qur`an: Dhamīr(Kata Ganti)

Kaidah Ilmu Al-Qur`an: Dhamīr(Kata Ganti)

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 07 Maret 2015 | 08.38

Pendahuluan
Dalam membahas Ilmu Al-Qur`an, ada beberapa kaidah yang perlu diperhatikan dengan baik, -agar penafsir tidak salah memahami makna Kalam Allah subhānahu wata`āla-, di antaranya: dhamīr(kata ganti), nakirah-ma`rifah(tidak tertentu-tertentu), mufrad-jama`(tunggal-plural), `athaf(kata penghubung), dan yang berkaitan dengannya. Pada pembahasan berikut, akan dikupas secara tersendiri mengenai kaidah yang berkaitan dengan dhamīr. Semoga tulisan ini bisa menjadi dasar pijak bagi siapa saja yang hendak mendalami Ilmu Tafsir.

Pengertian

Sebelum membahas lebih jauh mengenai kaidah Ilmu Al-Qur`an tentang dhamīr(kata ganti), maka di sini perlu disebutkan terlebih dahulu definisi secara ringkas dari kata tersebut. Secara bahasa, dhamīr berarti: yang tersembunyi, rahasia, dan perasaan. Sedangkan menurut istilah, dhamīr berarti: isim(kata benda) yang disebut sebagai ibarat (kata ganti) dari mutakallim(pembicara), mukhāthab(lawan bicara), dan ghāib(yang dibicarakan). Dalam bahasa Arab, dhamīr terbagi menjadi tujuh bagian: muttashil(bersambung), munfashil(terpisah), bāriz(tampak), mustatir(tersembunyi), marfū`, manshūb dan majrūr.

Tulisan Khusus terkait Tema
Salah seorang ulama yang secara khusus menulis dalam tema ini –sebagaimana penuturan Imam al-Suyuthi dala kitab al-Itqān- adalah Muhammad bin al-Qāsim bin Bassyār Abu Bakar al-Anbāri(271-328 H/884-940 M) dalam bukunya –sebanyak dua jilid- yang berjudul: bayānu al-dhmāir al-wāqi`ah fi al-Qur`ān(penjelasan tentang dhamīr-dhamīr yang ada dalam al-Qur`an). Beliau adalah salah satu ulama yang diakui kepakarannya dalam bidang Ilmu al-Qur`an.

Faidah
            Ada beberapa faidah(manfaat) yang dapat diperoleh dari kaidah ini, di antara manfaatnya ialah sebagai berikut: menjaga mufassir(penafsir) dari kesalahan memaknai al-Qur`an; menghindarkan diri dari kesalahan linguistik; dan bisa memaknai al-Qur`an secara proporsional dan mendalam.

Kaidah-kaidah
            Ada beberapa kaidah yang perlu dicermati dengan baik ketika membahas tentang dhamīr(kata ganti), di antaranya sebagai berikut:
Pertama, pada dasarnya dhamīr dibuat untuk meringkas kata. Sebagai contoh Surah Al-Ahzab: 35 yang berbunyi:
{إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا} [الأحزاب: 35]
Dhamīr hum’ pada ayat tersebut menggantikan dua puluh kata sebelumnya. Dengan kata ganti ini, ada 20 kata yang bisa diringkas sehingga tidak diulang-ulang dan tanpa  merusak makna.
            Kedua, mendahulukan mufassar(kata yang digantikan) bagi dhamīr ghāib(kata ganti untuk pihak ketiga. Seperti: هُوَ هُمَا هُمْ). Kaidah ini didasarkan pada kondisi yang berbeda antara dhamīr ghāib, mutakallim dan mukhāthab. Kalau dhamīr mutakallim dan mukhāthab dapat dijelaskan melalu realitas(kata) yang ada, lain halnya dengan ghāib yang tidak ada penjelasnya, sehingga memerlukan penjelas sebelumnya. Dari kaidah ini, maka ada larangan mengembalikan dhamīr ghāib pada kata yang sesudahnya baik secara lafal maupun urutan, kecuali dengan dalil.
            Dengan demikian, marji`(tempat kembali) dhamīr ghāibah ada dua macam yaitu: malfūdz(tersurat) seperti: وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ [Qs. Hud: 42] (kata ‘hu’ pada ayat ini kembali pada kata ‘nūh’) dan malhūdh(tersirat) seperti: اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى [Qs. Al-Maidah: 8](kata “huwa” di sini kembali kepada kata yang tersirat dari kata perintah i`dilu[berbuat adillah] yaitu kata ‘adil’.
            Ketiga, terkadang marji`(tempat kembali) dhamīr ghaib pada kata yang terletak sesudahnya dan berurutan sebelumnya. Seperti: فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَى[Qs. Thaha: 67]. Kata “musa” terletak setelah dhamīr ghaib “hi”, sedangkan secara urutan terletak sebelum dhamīr ghaib. Ada juga yang kembali pada kata sesudahnya baik secara lafadz maupun urutan sebagaimana yang terjadi pada dhamīr sya`ni(kata ganti yang menunjukkan hal atau perkara)sebagaimana contoh berikut: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ [Qs. Al-Ikhlash: 1] kata “huwa” di sini merupakan dhamir sya`n yang kembali pada kata sesudahnya baik secara lafadz maupun urutan.
            Ada pula yang kembali pada kata akhir yang menunjukkan pada kata yang digantikan. Seperti: فَلَوْلا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ [Qs. Al-Waqi`ah: 83] dhamīr rafa` mudhmar yang kembali pada kata “hulqūm”, menunjukkan pada kata “ruh”. Terkadang ada pula yang bisa dipahami melalui konteks kalimat seperti: كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ[Qs. Ar-Rahman: 26], kata “hā” di sini berdasarkan konteks ayat, kembali pada kata “al-ardhu(bumi)”. Terkadang dhamīr kembali pada lafadz, bukan makna seperti:
وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّا فِي كِتَابٍ[Qs. Fathir: 11] dhamīr pada kata “`umrihi” kembali pada orang lain yang dipanjangkan umurnya.
            Keempat, adakalanya dhamīr hanya kembali pada makna kata, seperti: إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ [Qs. An-Nisa: 176] dhamīr pada kata “kānatā”, tidak ada kata mutsanna(menunjukkan dua)  yang kembali padanya, karena kata “kalālah” berlaku pada kata tunggal, dua, sekaligus jama`(plural). Pengembalian seperti ini adalah pengembalian secara makna. Kadang dhamīr diletakkan di awal kemudian dijelaskan dengan dengan kalimat sesudahnya, seperti:
إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا [Qs. Al-An`am: 29] kata “hiya” di sini kembali pada penjelasan kalimat sesudahnya. Adakalanya dhamīr menunjukkan pada dua hal, namun kembali pada salah satunya, seperti:
يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ [Qs. Ar-Rahman: 22] dhamīr huma pada kata “minhuma” kembali kepada air laut, karena mutiara berasal dari laut, bukan dari air tawar.
            Kelima, adakalanya dhamīr pada awalnya menjaga lafadz, kemudian selanjutnya memelihara makna, seperti: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ [Qs. Al-Baqarah: 8] dhamīr pada kata “yaqūlu” berbentuk tunggal karena kembali pada kata “man”, sedangkan dhamīrhum” pada kalimat terakhir berbentuk jama`(plural) karena kembali kepada makna(lantaran yang dimaksud maknanya tertuju pada banyak orang). Demikian  barangkali kaidah-kaidah dasar yang bisa diketahui terkait dengan masalah dhamīr. Bagi yang ingin membaca lebih mendalam terkait masalah ini dipersilahkan membaca buku-buku berikut: Al-Itqān fī `Ulūmi al-Qur`ān, karya: Imam al-Suyūthi. Mabāhits fī `Ulūmi al-Qur`ān, karya: Mannā` al-Qatthān.

Referensi
Jāmi` al-Durūs al-`Arabiyyah, karya: Syaikh Mushthafā al-Ghulāyaini
Al-Itqān fī `Ulūmi al-Qur`ān, karya: Imam al-Suyūthi

Mabāhits fī `Ulūmi al-Qur`ān, karya: Mannā` al-Qatthān

[Diterbitkan: Majalah Al-Muslimun Bangil. Edisi: Februari 2015].
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan