Home » » Mati Syahid Vs Mati Sangit

Mati Syahid Vs Mati Sangit

Written By Amoe Hirata on Senin, 30 Maret 2015 | 06.57

           Sudarmono, warga desa Jumeneng yang beberapa bulan tidak kelihatan ‘batang hidungnya’, tiba-tiba muncul dengan pakaian ala orang Arab. Yang mengherankan warga sekitar sebenarnya bukan persoalan pakaian, tapi pikirannya yang sudah agak nyeleneh. Pertama kali datang ke desa Jumeneng, ia tidak langsung menjumpai ayah dan ibunya. Ia langsung pergi ke rumah Sarikhuluk. Waktu itu di pendopo Sarikhuluk, Al-Ikhlas,  sedang diadakan diskusi hangat mengenai fenomena ISIS(Islamic State of Iraq and Syria) yang sedang ramai di media. Judul diskusinya: “ISIS ASPAL(Asli yang diPalsu) atau Pengalihan Isu”. Sebenarnya masalah ISIS sudah pernah disinggung Sarikhuluk pada alamat blog berikut: http://amoehirata.blogspot.com/2014/08/isis-vs-sumer.html .
            Ketika diskusi sudah setengah berjalan, para peserta dikagetkan dengan suara Mono yang mengucapkan salam dengan lantang: “Assalamu`alaikum!”. “Wa`alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” jawab mereka serentak. “Cak, maaf sebelumnya kalau kedatanganku ujug-ujug dan mengagetkan suasana. Kedatanganku kemari ingin berbagi sekaligus menimba ilmu, dan ingin minta izin.”. Sarikhuluk yang begitu lapang hatinya, -setelah meminta izin pada para peserta- memberi kesempatan pada Mono untuk memaparkan tentang apa saja yang telah ia dapat selama berada di perantauan. Isu utama yang ia bawa ialah masalah ISIS, serta ajaran jihad dalam Islam. Bahkan secara khusus ia minta izin untuk pergi ke Irak dan Siria, untuk berjihad mebantu ISIS.
            Dengan sangat sabar dan telaten, Sarikhuluk dan peserta diskusi mendengar dengan baik penuturannya. Setelah selesai berbicara, baru kemudian para peserta diberi kesempatan untuk berdiskusi dengan Sudarmono.Untuk sementara, hanya diberikan satu pertanyaan, karena memang waktunya sangat singkat dan akan habis. Paijo pun mengacungkan tangan. Ia bertanya: “Dari penjelasanmu tadi, aku tertarik bertanya satu hal: apa yang dimaksud dengan kata ‘syahid’ dalam perspektif al-Qur`an dan Sunnah? Dari tadi kamu simplifikasian kata ‘syahid’ dengan gandengan kata ‘mati’. Bagaimana Islam memandang kata ‘syahid’ secara proporsional? Jangan-jangan malah bukan ‘syahid’ tapi ‘mati sangit(bau gosong)’?” tanyanya dengan mantap.
            “Kata ‘syahid’ adalah kata yang disematkan pada orang yang sudah berjihad sedimikian rupa di medan tempur, sehingga ia mendapat kematian(nilai paling berharganya). Bahkan kematian sejatinya adalah kehidupan abadi bagi mereka karena telah berjihad dengan tulus membela agamanya[Baca: Al-Baqarah, 154. Ali Imran, 169]” jawab Sudarmono meyakinkan. “Lalu bagaimana dengan orang yang mati melahirkan, mati tenggelam, mati dalam kondisi mencari ilmu? Bukankah menurut hadits Nabi-seingatku sih-, mereka juga syahid? Kalau pengertian kata ‘syahid’ dibatasi dengan batasan sesempit itu, maka sangat banyak sekali orang yang menyia-nyiakan potensinya, kalau tidak jihad di mendan tempur.” “Ya itu memang masuk kategori ‘syahid’. Tapi yang aku maksud adalah ‘syahid akbar’ yaitu mati di medan jihad”.
            “Oke. Sekarang aku lanjut bertanya: ‘syahid sendiri artinya apa?. Sejak kapan dibagi-bagi seperti itu?”. “Syahid secara etimologi artinya  menyaksikan. Sedangkan secara terminologi artinya orang yang gugur dalam perjuangan di jalan Allah. Derajat tertingginya ialah ketika dalam tataran mengorbankan nyawanya secara sadar dan sengaja untuk berjuang di medan jihad. Itulah puncak syahid. Dalam al-Qur`an begitu banyak ayat yang menganjurkan berperang dan memerangi orang kafir. Ganjarannya pun begitu luar biasa.” “Kamu belum menjawab pertanyaanku. Sejak kapan syahid itu identik dengan mati, bahkan puncaknya adalah gugur di medan jihad? Apakah dua kalimat syahadat itu identik dengan mati?”. “Aku sendiri kurang tau persis, tapi yang aku dapat selama aku ngansu ilmu beberapa bulan ini ya seperti itu”. “Bagaimana mungkin kamu bisa dengan mantap memperjuangakan kata ‘syahid’ sebagai buah dari jihad, jika kamu sendiri tidak menguasai kata ‘syahid’?” celetuk Paijo.
            Merasa dipojokkan serta gagap karena tak bisa jawab, akhirnya Sudarmono naik pitam, dan menantang Paijo untuk menyebutkan ayat dan hadits tentang jihad dan syahid yang telah dihafal. Paijo sendiri tidak hafal satupun al-Qur`an dan Hadits tentang jihad dan syahid. Ia hanya sering mendengar ceramah dan mengerti maknanya. Dengan enteng ia menjawab: “Ente salah orang kalau bertinya gituan padaku. Lha piye wong aku ngaji saja ora cetho apalagi suruh nyebutin ayat dan hadits. Tapi nalar dan analisisku hidup(tidak seperti kamu yang asal comot dan telan perkataan orang). Dan aku mendengar penjelasan-penjelasan mengenai jihad dan syahid dari orang yang kompeten di bidangnya.” Mendengar komentar Paijo, ia merasa terhina. Hampir-hampir saja terjadi perkelahian, jika saja tidak delerai oleh peserta diskusi. Kondisi mereda ketika keduanya dimarahi –tentunya dengan gaya mendidik- Sarikhuluk.
            “Bagaimana mungkin kalian dihitung berjihad dan akan mendapatkan syahid, jika kalian tidak mampu mengontrol diri sendiri. Padahal musuh terbesar sejatinya ialah diri sendiri.Aku tidak akan menyalahkan kalian berdua. Hanya saja, akan aku bagikan pada kalian beberapa wacana dari ulama kenamaan asal India, Wahidudin Khan terkait masalah syahid. Mudah-mudahan kalian mendapat pencerahan dan mau menggali dan meneliti lebih dalam mengenai jihad dan syahid. Dalam buku yang berjudul: al-Dīnu al-Kāmil(terjemahan dari buku Wahidudin Khan yang berbahasa India) hal.187-192, ada wacana menarik yang dibawakan oleh beliau. Poin-poinnya dapat disarikan sebagai berikut:
1.      Para sahabat berjuang dan berkorban sedemikian rupa hingga nyawanya terenggut, seperti Umar, Utsman, Ali dan lain sebagainya, akan tetapi tidak pernah digelari dengan kata ‘syahid’ di depan nama mereka. Para sejarawan Muslim pun tidak pernah menulis misalnya: Syahid Umar, Syahid Utsman, Syahid Ali dan lain sebagainya radhiyallahu `anhum.
2.      Pada masa sekarang ini ternyata kondisi berbalik. Banyak sekali yang dengan bangganya menulis gelar syahid. Misalnya: Syahid Sayyid Ismail, Syahid Sayyid Quthb. Perbedaan ini –yaitu apa yang terjadi di masa sahabat dengan yang terjadi sekarang ini- menunjukkan bahwa penggelaran kata ‘syahid’ adalah bid`ah yang dibuat-buat, bahkan menyimpang dari sunnah Rasul.
3.      Syahadat secara bahasa bermakna: menunjukkan kesaksian atau bukti di depan hakim atau lainnya.  Kata ‘syahida’ dalam al-Qur`an digunakan sekitar 150 kali. Semuanya bermakna menunjukkan kesaksian, atau yang dekat dengan makna tersebut. Seperti: Al-Munafiqun, 1. Fusshilat, 20. Al-Ahzab, 45. An-Nisa, 70. Para ulama tafsir mena`wilka kata ‘syahid’ di sini sebagai mengorbankan jiwa mereka di jalan agama. Akan tetapi, itu hanya hasil istinbat(kesimpulan hukum) mereka yang tidak didukung dengan dalil yang tegas.
4.      Kata syahid di era kontemporer dimaknai dengan: orang yang terbunuh(di medan jihad). Padahal penggunaan ini tidak sesuai dengan al-Qur`an. Al-Qur`an ketika mengungkap orang yang mengorbankan jiwanya, menggunakan kata ‘al-Qatlu’. Baca: Al-Baqarah, 154. An-Nisa, 74.
5.      Dalam beberapa hadits, kata ‘syahid’ bukan bermakna oranh yang mati terbunuh. Seperti: “Barangsiapa yang meminta syahadah dengan ketulusan hati, maka Allah akan menyampaikannya pada posisi orang-orang syahid meskipun ia mati di ranjang”(Hr. Muslim). Adapun hadits: “Barangsiapa yang terbunuh di jalan Allah, maka dia syahid. Dan barangsiapa yang terbunuh mempertahankan hartanya, maka dia syahid”. Meskipun kata ‘syahid’ di sini bermakna orang yang terbunuh, tapi ini adalah makna tersirat, bukan makna asli yang tersurat. Banyak sekali sahabat yang gugur di medan perang, namun tidak pernah disematkan pada mereka gelar syahid.
6.      Sesungguhnya penggunaan kata ‘syahid’ dengan makna mati terbunuh dan perang di jalan Allah, adalah bid`ah politis yang dibuat pada masa modern. Di samping itu, pemaknaan sempit tersebut bisa menutupi cakupan makna luas yang terkandung dalam kata ‘syahid’. Akibatnya, ‘syahid’ hanya berlaku pada seorang pahlawan Muslim yang mati di medan tempur.
7.      Sesungguhnya kata ‘syahid’ sebagaimana maksud al-Qur`an bermakana: Orang yang mencurahkan segenap tenaganya di jalan dakwah dan menunjuki manusia kepada agama Allah. Sedangkan yang tersebar sekarang ini bermakna: Orang yang mencurahkan segenap usahanya untuk berperang hingga gugur di jalan Allah. Penggunaan makna seperti ini, jelas sebagai ‘bid`ah politik’ yang tidak ada bedanya dengan bid`ah-bid`ah lainnya.
8.      Dalam al-Qur`an, Nabi disebut sebagai ‘syahid’. Lihat: An-Nisa, 40. An-Nahl, 89. Al-Haj, 78. Meskipun Nabi Muhammad tidak mati, sebagaimana pengertian syahid, seperti anggapan mereka. Namun tetap saja Nabi disebut al-Qur`an disebut ‘syahid’. Mengapa? Karena beliau syahid dengan makna: Pemberi kesaksian, di mana ia telah menyampaikan agama Allah ke seantero alam.
9.      Pada beberapa hadits Nabi, memang kata ‘syahid’ digunakan dengan makna orang yang terbunuh di jalan Allah. Tapi itu hanya penggunaan sekunder dari kata ‘syahid’. Bahkan perluasan makna al-Qur`an pada kata ‘syahid’.
10.  Tanggung jawab yang diemban kaum muslim ialah bagaimana menjadi syuhada` Allah. Sebagai saksi bahwa mereka telah menyampaikan dakwah kepada manusia.  Meskipun memang terkadang dalam dakwah perlu yang namanya pengorbanan, hingga nyawa taruhannya(yang juga bisa disebut syahid).  Jadi baik yang hidup dan mati yang berjuang di jalan Allah adalah sebagai ‘syahid’. Tidak ada unggul mengungguli. Sebab, kalau mati yang lebih unggul, maka Nabi pun akan syahid terbunuh. Padahal Nabi tidak syahid terbunuh. Ia mati wajar, dan disebut syahid juga.
11.  Merupakan kekeliruan (mendasar) orang yang menggunakan kata ‘syahid’ untuk orang yang membinasakan dirinya dalam perjuangan kancah politik atau kelompol tertentu. Juga merupakan kesalahan jika kata tersebut digunakan untuk orang dieksekusi mati oleh hakim dengan tuduhan upaya kudeta untuk melenyapkan kekuasaan. Yang dimaksud dengan ‘syahid’ ialah orang yang yang mengorbankan jiwanya di jalan dakwah menuju Allah.
12.  Bilapun kata ‘syahid’ digunakan untuk orang yang mati di jalan Allah, kita juga tidak bisa memastikannya karena kita tidak tahu niat orang trsebut. Yang tahu hanya Allah. Nabi pun tidak tahu kalau tidak diberitahu Allah. Karena itulah, Imam Bukhari membuat judul khusus: “Tidak (boleh) mengatakan si fulan Syahid”. Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari bahwa: “Tidak boleh menyebut si fulan syahid yaitu dengan memastikannya, melainkan dengan wahyu”. Ketika Utsman bin Madh`un meninggal, Ummu Ala` berkomentar: “Rahmat Allah menyertaimu wahai Abu Saib. Aku bersaksi bahwa engkau pasti dimuliakan Allah”. Mendengar pernyataan Ummu Ala`, Rasulullah berkata: “Dari mana kamu tahu bahwa Allah telah memuliakannya?”. Ia pun menjawab: “Demi Allah saya tidak tahu”. Rasulullah melanjutkan: “Adapun dia telah yakin pada Tuhan. Aku berharap semoga ia mendapat kebaikan”. Lihat, Rasulullah saja tidak berana memastikan tanpa pemberitahuan Tuhan. Ia berharap kebaikan. Yang beliau bisa hanya mendoakan, bukan memastikan, tanpa pemberitahuan Tuhan. Wallahu a`lam bis shawab.
Demikan penjelasan Sarikhuluk menegenai wacana yang didapat dari Syaikh Wahidudin Khan ulama berkebangsaan India yang dikenal dengan bukunya yang berjudul: Islām Yatahadda(Islam Menantang). Meski agak ragu, Sudarmono sudah mulai tercerahkan. Paling tidak, tanpa dilarang atau diperintah Sarikhuluk, dengan pikiran jernihnya ia mulai menimbang kembali keputusannya untuk pergi ke Irak dan Siria bergabung dengan ISIS. Dalam hatinya mulai timbul pertanyaan mendasar: “Bagaimana mungkin aku berjuang di jalan Allah, jika keilmuanku tentang jihad dan syahid masih problem? Jangan-jangan nantinya aku hanya melakukan kekerasan atas nama agama, bukan memperjuangkan agama. Ia pun undur diri, seraya berbisik pada Sarikhuluk: “Cak. Untuk sementara aku urungkan niatku. Tapi sampean harus janji, untuk menemaniku diskusi mencari kebenaran konsep jihad dan syahid”. Sarikhuluk menganggukkan kepala. Sudarmono pamit. Sebelum acara ditutup, Sarikhuluk berdoa: “SEMOGA KITA DIMASUKKAN DALAM BAGIAN HAMBA-NYA YANG MATI SYAHID, BUKAN HAMBANYA YANG MATI SANGIT(KONYOL), TENTU SAJA DENGAN BANGUNAN ILMU SYAR`I YANG MURNI DAN MUMPUNI”.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan