Home » » Menggapai Haji Mabrur

Menggapai Haji Mabrur

Written By Amoe Hirata on Minggu, 01 Maret 2015 | 07.57

Ayat Kajian   : Al-Hajj (26-30)

وَإِذْ بَوَّأْنا لِإِبْراهِيمَ مَكانَ الْبَيْتِ أَنْ لا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (26) وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (27) لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (28) ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ (29) ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ (30)
Arti Mufrodat           :
بَوَّأْنا                 :Kami telah menempatkan
رِجَالًا              :Dengan berjalan kaki
ضَامِرٍ             : Unta kurus
فَجٍّ عَمِيقٍ         :Penjuru (tempat) yang jauh
الْبَائِسَ            :Yang sengsara
تَفَثَهُمْ             : Kotoran (yang melekat pada badan) mereka
الْبَيْتِ الْعَتِيقِ      : Rumah yang klasik(tua)
حُرُمَاتِ اللَّهِ       : (apa-apa) yang terhormat di sisi Allah
الرِّجْسَ            : Kotoran
قَوْلَ الزُّورِ         : Perkataan dusta
Arti Ayat        :

Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud(26). dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh(27). Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir(28). Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)(29). Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. dan telah Dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta(30).

Sababun Nuzul          :

رَوَى الطَّبَرِيُّ مِنْ طَرِيق عُمَرَ بْن ذَرٍّ قَالَ : قَالَ مُجَاهِد كَانُوا لَا يَرْكَبُونَ فَأَنْزَلَ اللَّه ( يَأْتُوك رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ ) فَأَمَرَهُمْ بِالزَّادِ وَرَخَّصَ لَهُمْ فِي الرُّكُوب وَالْمَتْجَر .
Ibnu Jarir at-Thobari meriwayatkan dari jalur Umar bin Dzar, bersumber dari Mujahid, ia berkata: “(Dahulu) mereka tidak berkendara(ketika berangkat menunaikan haji), lalu Allah menurunkan ayat(niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki) lalu Ia memerintahkan mereka (membawa) bekal, dan meringankan mereka (dalam urusan) kendaraan dan perdagangan.


Tafsir Ayat    :

Berbicara mengenai masalah haji, pasti tak terlepas dari sosok penting yaitu Nabi Ibrahim A.s. beserta keluarganya(Hajar dan Ismail). Beliaulah yang disebut dalam al-Qur`an ketika membicarakan sejarah haji. Perjalanan kisahnya dengan Hajar dan Isma`il merupakan gambaran yang luar biasa tentang nilai perjuangan dan pengorbanan. Pada Surat al-Hajj ayat dua puluh enam ini, Allah mengingatkan pada Nabi Muhammad SAW.(beserta umatnya) peristiwa penting mengenai sejarah Ibrahim terkait masalah Baitullah(Ka`bah): “dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud”. Di sini ada pesan yang sangat penting untuk dijaga -ketika Ibrahim diamanahi Baitullah-, Pertama: Larangan berbuat syirik(menyekutukan Allah), Kedua: Mensucikan Baitullah bagi orang-orang yang thawaf, yang beribadah, ruku` dan sujud.

Kemusyrikan adalah pantangan ibadah. Bagi yang beribadah tetapi berlandaskan kesyirikan, pasti akan merusak amal dan akan menjadi orang yang rugi. Allah berfirman: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi(Az-Zumar: 65). Supaya tidak syirik, maka dalam beribadah setiap hamba harus ikhlas(lihat Surat Al-Bayyinah: 5). Disamping larangan syirik, Ibrahim juga diperintah untuk mensucikan Baitullah(Ka`bah). Dalam tafsirnya, Ibnu Abbas menjelaskan bahwa yang dimaksudkan ‘perintah mensucikan’ pada ayat ini ialah: “membersihkan Baitullah dari berhala”. Ini berarti larangan syirik kepada Allah ta`ala -ketika beribadah- tidak akan berjalan dengan baik jika tempat ibadah masih diliputi oleh berhala, atau hal-hal yang dapat menimbulkan kesyirikan. Contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana mungkin orang tua melarang anaknya berkata kotor, kalau di lingkungan keluarganya sendiri tidak bersih dari kata-kata kotor. Pelarangan terhadap sesuatu, harus diiringan dengan pembersihan segala sebab yang bisa membuatnya dilanggar.

Setelah larangan berbuat syirik dan perintah membersihkan Baitullah dari berhala, Nabi Ibrahim diperintah: “dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”. Nabi Ibrahim pun, menaatinya walau bisa jadi pada nalarnya ada pertanyaan, ‘bagaimana mungkin akan datang orang untuk menunaikan haji dari segenap penjuru (tempat) yang jauh, ke bumi yang tandus dan kering ini?’. Sebagai Nabi, perintah Allah segera ia taati, dan ia selalu berusaha berbakti. Ia pun berdakwah dan menyampaikan perintah haji. Lihat hasil dari ketaatan tanpa sarat, sebagaimana yang dijalankan Ibrahim! Beliau sebagai hamba-Nya hanya mampu menjalankan perintah dengan sebaik-baiknya, adapun hasilnya Allah ta`ala yang menentukannya. Berabad-abad setelahnya hingga sekarang  telah terbukti. Baitullah dikunjungi orang dari berbagai penjuru dunia. Pada masa sekarang empat juta lebih pada tiap tahunnya, Baitullah dikunjungi oleh orang-orang yang menunaikan haji. Belum lagi tambahan orang-orang yang datang di luar waktu haji, untuk umrah. Ketaatan membuahkan hasil mencengangkan, yang tidak diperhitungkan sebelumnya.

Lantas untuk apa sebenarnya haji? Allah ta`ala berfirman: Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” yaitu manfaat yang berkaitan dengan dunia dan akhirat. Manfaat dunia bisa dilihat dari bisnis dan perdagangan yang dihalalkan ketika di Baitullah. Manfaat akhirat bisa dilihat dari rangkaian ibadah yang ditunaikan ketika haji dalam rangka memenuhi menggapai keridhaan Allah ta`ala. Tidak hanya itu diantara tujuan lain ialah: “dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan” yaitu pada hari Tasyriq(11,12 dan 13 Dzul Hijjah). Pada dasarnya ibadah apapun jenisnya mengandung fungsi yang sama, yaitu mengingat Allah ta`ala. Dalam ayat ini untuk mengingat: rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak” untuk disembelih. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”. Di sini kepedulian muslim terhadap bidang sosial benar-benar diasah. Salah satu makna yang mendalam dari ibadah haji ialah peduli terhadap nasib orang-orang yang sengsara dan fakir. Kenikmatan yang dianugerahkan Allah, tidak hanya dinikmati sendiri, tetapi dibagikan juga untung orang-orang yang membutuhkan.

Ada beberapa amalan lagi yang perlu diperhatikan. Allah berfirman: “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka” yaitu berupa memangkas rambut, melempar jumrah, memotong kuku dan amalan lainnya untuk menyempurnakan manasik(ibadah) haji. Bagi yang telah bernadzar maka: “hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka” untuk memenuhi kewajiban merekan “dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)” sebagai kewajiban dalam ibadah haji. Pada dasarnya, semua amalan ini adalah untuk mendidik setiap muslim yang haji, untuk disiplin terhadap perintah-Nya, dan menjunjung tinggi nilai sebuah ketaatan. Maka dari itu, merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap orang yang haji, jauh-jauh hari sebelumnya harus menata niat dan bersungguh-sungguh untuk menegakkan kedisiplinan dan ketaatan. Tanpa itu, tidak mungkin akan mendapatkan haji yang mabrur. Betapa banyak orang yang haji yang salah niat, sehingga tak ada bedanya dengan orang yang sedang bertamasya. Berhaji laksana liburan, sedang nilai inti dari ajaran haji, tidak pernah dicapai.

Lalu pada ayat selanjutnya Allah ta`ala berkomentar pada orang yang menunaikan perintah-Nya dengan baik: “Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah” yaitu menjalankan dan menghormati dengan baik manasik(ibadah) haji. Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Amalan yang dilakukan dengan sebaik-baiknya –setelah ikhlas-, pasti akan menghasilkan hasil yang baik. Kemudian masih terkait dengan masalah ibadah haji Allah berfirman:dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya” artinya selama haji dibolehkan memakan sembelihan binatang ternak. Yang dilarang hanya beberapa makanan yang ditetapkan al-Qur`an seperti yang terdapat dalam Surat al-Maidah, ayat ketiga. Yang tidak kalah penting untuk diperhatikan ketika berhaji ialah firman Allah ta`ala: “ Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”. Jadi orang yang berhaji harus menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan kemusyrikan, kemaksiatan, dan perkataan-perkataan dusta. Ini bukan berarti setelah haji boleh melakukan perbuatan itu, tapi ini merupakan sebuah penekanan agar bagi orang yang haji harus mawas diri dan menjaganya agar tidak termasuk dari bagian orang yang dusta.

Dari beberapa ayat yang telah ditafsirkan tadi perlu kiranya diperhatikan dengan baik bagi orang yang belum, sedang, dan sudah haji. Melalui sejarah setiap muslim diingatkan dengan perjuangan Ibrahim beserta keluarganya dalam menjaga dan memperjuangakan dakwah Islam, khususnya dalam hali ini terkait masalah haji. Satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan ialah: haji itu harus dilandasi ikhlas kepada Allah. Niat yang benar dan baik harus mengawali amal. Nabi Muhammad bersabda:
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatan ) tergantung niatnya ). Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan”(Hr. Bukhari dan Muslim).

Merupakan sebuah ironi jika seorang muslim terjerembab pada jurang kesyirikan. Meski ikhlas merupakan sesuatu yang sangat mendasar, kita tidak akan bisa menjalankan haji dengan baik, sebelum kita mencontoh manasik haji Rasulullah:
خُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ (رواه البيهقي).
Hendaknya kalian ambil dariku (cara) manasik(ibadah haji) kalian”(Hr. Baihaqi). Ini artinya, disamping ikhlas, haji harus sesuai dengan contoh Rasulullah SAW. Penting juga diingat bahwa meskipun dalam ibadah haji ada beberapan manfaat dunia maupun akhirat, orang yang haji harus tetap disiplin dan mengindahkan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah. Ibadah haji bukan sekadar, ritual berupa kunjungan ke Baitullah saja, tapi di dalamnya ada nilai-nilai berharga, seperti ketaatan, kepedulian sosial dan lain sebagainya.

Yang terakhir ialah menjagai diri dari perkataan dusta. Banyak sekali orang yang telah berhaji namun pada hakikatnya masih belum haji, ini karena masih tidak bisa menjaga ucapan dari perkataan-perkataan dusta dan kotor. Orang yang bisa menjaganya, maka ketika pulang akan dibersihkan dari dosa, layaknya bayi yang baru dilahirkan:
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
"Barangsiapa berhaji krn Allah lalu tdk berbuat keji dan kefasikan niscaya dia pulang dari ibadah tersebut seperti di hari ketika dilahirkan oleh ibu”(Hr. Bukhari). Orang yang seperti ini sejatinya adalah orang yang memperoleh haji mabrur(suatu kondisi ketika setelah haji menjadi lebih baik dari sebelumnya). Ketika Rasulullah SAW. ditanya mengenai amalan yang paling utama, diantara jawaban Rasulullah ialah: “Haji mabrur”(Hr. Bukhari). Namun sangat disayangkan jika pada akhirnya haji hanya dijadikan untuk mengisi libur(yaitu suatu kondisi jika orang berhaji tapi tidak menjaga kesucian dan kedisiplinan sehingga hajinya tak berpengaruh positif pada dirinya sehingga kondisinya sama seperti sedia kala). Semoga kita dihindarkan dari perilaku negatif itu. Wallahu a`lam bi al-Showab.



Pelajaran-pelajaran  :

1.      Pentingnya mengingat sejarah Ibrahim untuk dijadikan sebagai pelajaran. Ini tercermin dari kata ‘idz’ yang berarti ingatlah. Karena salah satu fungsi sejarah ialah untuk dijadikan peringatan dan pelajaran.
2.      Mengikhlaskan niat sebelum haji
3.      Wajib memuliakan dan menyucikan Baitullah dari segala hal yang bisa mengganggu orang yang beribadah berupa kesyirikan, kemasksiatan dan segala macam dosa serta berbagai macam kotoran.
4.      Boleh berdagang ketika haji.
5.      Larangan menyekutukan Allah ta`ala.
6.      Wajib bersyukur dan mengingat Allah ta`ala.
7.      Boleh memakan daging kurban
8.      Wajib mencukur rambut setelah melempar jumrah.
9.      Wajib menunaikan nadzar syar`i(yang dibolehkan menurut syari`at Islam)
10.  Larangan berkata dusta.

Sumber Bacaan         :
1.      Ibn Katsir, Abu Fida, Tafsīru al-Qur`ānu al-`Ādhīmu, Penerbit: Dāru Thayyibah li al-Nasyri wa al-Tauzī`(Cet:  Kedua, 1999).
2.      Sya`rawi, Mutawalli, Tafsīru al-Sya`rōwi, Penerbit: Akhbāru al-Yaum (1991)
3.      al-Himshi, Muhammad Muhsin, Mufrodātu al-Qur`ān Tafsīr wa Bayān `Ala Mushafi al-Tajwīd, Penerbit: Muassasatu al-Īmān(Cet: Pertama, 1991)
4.      Fathu al-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqolâni
5.      Suyuthi, Imam, Lubâbu al-Nuqûl Fi Asbâbi al-Nuzûl.
6.      Jâbir al-Jazâiri, Abu Bakar, Aisar al-Tafâsîr
7.      Baihaqi, Imam, Sunan Baihaqi.
8.      Nashir bin Sa`adi, Abdurrahman, Taisīr al-Karīm Rahmān fi Tafsīri Kalāmi al-Mannān, Penerbit: Muassasah al-Risālah(Cet: Pertama, 2000)
9.      Bukhari, Imam, Jāmi` al-Shōhih al-Bukhōri
10.  Muslim, Imam, Jāmi` al-Shōhih Muslim


 [Diterbitkan Majalah Al-Muslimun. Edisi: Oktober 2014].
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan