5 Tips Menjadi Penulis Andal Ala Al-Qur`an

Written By Amoe Hirata on Rabu, 14 September 2016 | 13.40


AL-QUR`AN -sejak lebih dari empat belas abad silam- yang dijamin “tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya” (QS. Al-Baqarah [2] : 2), ternyata juga mengandung inspirasi bagi dunia kepenulisan. Perhatikan dengan seksama wahyu yang pertama kali turun berikut:
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١  خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢  ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣  ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah 3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5).
            Dari ayat di atas, paling tidak ada lima unsur yang sangat penting dalam dunia kepenulisan ala al-Qur`an: perintah membaca, motif membaca, bacaan, qalam (media penulisan) dan guru.
Pertama, perintah membaca. Kenapa perintah membaca disebutkan lebih banyak dari qalam (pena) ?, menurut pikiran saya karena: orang tidak akan bisa melahirkan tulisan yang baik jika tak rajin membaca. Karenanya, “Perbanyaklah membaca jika ingin menjadi penulis yang bagus!”
Dalam al-Qur’an ada dua kosa kata unik terkait membaca. 1. Qiraah. Kalau dilihat dari akar katanya berasal dari kata qar`u yang berarti mengumpulkan. Jadi, di situ ada proses untuk berpikir. Karena berpikir adalah proses mengumpulkan realitas untuk mendapatkan klonkusi terbaik. Dengan kata lain, fungsi iqra  di sini adalah bacaan yang diiringi proses berpikir, nalar intelektual. 2. Tilawah. Berasal dari akar kata tala-yatlu-tilawah-tali, artinya berikut. Artinya, bacaan yang disertai aksi atau amal praktis.
Kedua, motif membaca. Setelah obyek tidak dirinci, motifnya pun disebutkah harus jelas: yaitu karena  atau dimulai dengan nama Allah subhanahu wata’ala.
Ternyata, tidak cukup sekadar membaca. Bacaan harus disertai bismi rabbik, dengan nama atau karena Rabb semata. Jadi, membaca harus jelas niatnya dari awal. Orang membaca itu tujuannya hanya karena Allah, bukan karena siapa pun.
Tidak mengherankan jika tulisan-tulisan ulama di masa lampau bisa sampai kepada kita, lantaran motivasi mereka menulis adalah karena Allah subahanahu wata’ala. Bayangkan, Imam Bukhari, untuk menulis hadits shahihnya, harus melakukan shalat 2 rakaat terlebih dahulu supaya menjaga niat daalam penulisan.
Ketiga, obyek bacaan. Uniknya, perintah membaca –sebagaimana surah al-`Alaq- seharusnya ada yang harus dibaca. Tapi pada ayat ini obyek bacaannya tidak disebut. Ini mengindikasikan bahwa sumber bacaan sangatlah luas. Bisa ayat kauniyah (alam) maupun quraniyah (al-Qur`an).
Ada beberapa idiom yang digunakan untuk menjelaskan obyek bacaan. Di ayat lain misalnya disebutkan:
{فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ} [المزمل: 20]
Bacalah apa yang mudah dari al-Qur`an!” (QS. Al-Muzammil [73] : 20). Obyek qiraah  di sini adalah al-Qur`an. Di ayat lain disebtkan:
{اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا} [الإسراء: 14]
Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” (QS. Al-Isra [17] : 14). Di ayat ini obyek qiraah adalah kitab. Dikuatkan dengan ayat lain:
{فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ } [الحاقة: 19]
Adapun orang yang diberikan kitabnya di tangan kanannya, maka ia berkata, “bacalah kitab ini!” (QS. Al-Haqqah [69] : 19). Dari ayat ini, obyek yang dibaca adalah kitab.
            Sedangkan tilawah obyek bacaannya bisa berupa ayat-ayat al-Qur`an maupun ayat kauniyah dan diri manusia sendiri. Sebagaimana ayat berikut:
{ سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ} [فصلت: 53]
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu.” (QS. Al-Fushshilat [41] : 53).
            Yang menarik dari kata perintah tilawah dalam al-Qur`an diiringi dengan ungkapan naba (berita besar) dan ada pula yang wahyu. Coba dilihat ayat-ayat berikut: QS. Al-Ma`idah [5]: 27, Al-A'Raf [7] : 175, Yunus [10] : 71, Al-Kahfi [18] : 27 dan QS. Asy-Syu'ara [26] : 69. Artinya, obyek bacaan seharusnya berkualitas, bukan bacaan yang tak bermutu.
            Keempat,  al-qalam (pena). Adapun pena, adalah simbol bagi alat penulisan. Betapa pun aktivitas membaca, motif dan obyek bacaan sangat penting, ketiganya akan lenyap begitu saja tanpa ada yang mengabadikannya. Dengan qalam (menulis),  ide-ide besar yang didapat dari membaca akan ada jejaknya sehingga pesannya bisa dinikmati oleh generasi berikutnya.
Kata qalam dalam al-Qur`an disebut sebanya tiga kali: di Surah Luqman, al-Qalam, dan al-`Alaq. Fungsi pena sendiri, di dalam al-Qur`an dijelaskan:
{ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ} [القلم: 1]
Nun. Demi qalam dan apa yang ditulis.” (QS. Al-Qalam [68] : 1). Pena adalah simbol untuk alat kepenulisan. Karenanya di ayat lain ada ungkapan kitab mastur yaitu kitab yang tertulis (QS. Ath-Thur [52] : 2).
Di ayat lain ada narasi yang sangat indah diungkapkan al-Qur`an:
{وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ} [لقمان: 27]
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Luqman [31] : 27). Yang dijelaskan dengan ayat lain yang semakna:
{قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا} [الكهف: 109]
Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al-Kahfi [18] : 109). Begitu luasnya kalimat Allah sehingga jika semua hutan di bumi menjadi pena dan lautan menjadi tintanya, maka akan habas sebelum selesai menuliskannya.
            Jadi, qalam atau pena ini adalah inspirasi dari al-Qur`an mengenai pentingnya kepenulisan. Kitab di  Lauhil Mahfudh (QS. Al-Buruj [85] : 22) adalah bukti adanya proses kepenulisan. Begitu detailnya catatan yang tersimpan di dalamnya, sampai-sampai al-Qur`an menggambarkan:
{وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ} [الأنعام: 59]
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am [6] : 59). Bahkan, Allah subhanahu wata’ala menugaskan malaikat khusus Raqib dan Atid untuk mencatat amalan hambanya (QS. Qaf [50] : 18).
            Intinya, menulis butuh media. Alat seperti qalam berfungsi sebagai media untuk menulis, demikian juga misalnya lauh, shuhuf (lembaran-lebaran) dan kertas (QS. Al-An’am [6] : 7)  adalah bagian dari media menulis.
            Kelima, mu`allim, guru. Fungsi guru adalah mengajarkan kita ilmu agar terhindar dari kesalahan dan mendapat kualitas tulisan yang baik sehingga pesan yang disampaikan bisa sampai kepada pembaca. Tanpa adanya guru pembimbing, besar kemungkinan bacaan dan penulisan seseorang mengalami kesalahan.
Dalam al-Qur’an guru utama adalah Allah subhanahu wata’ala. Allah telah mengajarkan manusia melalui perantara qalam dari yang tidak tahu menjadi tahu (QS. Al-‘Alaq [96] : 4, 5). Allah pulalah yang mengajarkan al-Qur’an dan mengajarkan artikulasinya (QS. Ar-Rahman [55] : 2 dan 4). Bahkan, Nabi Adam pun, sejak awal diajari asma (nama-nama) semuanya (QS. Al-Baqarah [2] : 31).
            Allahlah mu’allim sejati. Dari-Nya lahir banyak inspirasi. Adanya Nabi, serta ulama-ulama sepeninggal nabi, serta orang-orang yang ahli di dalam bidanhnya, juga berperan sebagai guru yang bisa mengarahkan dan membimbing bacaan dan kepenulisan sesuai petunjuk Allah subhanahu wata’ala.

            Sebagai penutup, dapat disimpulkan: Jika ingin menjadi penulis muslim yang bagus sesuai petunjuk al-Qur’an, maka: motifnya harus karena Allah subhanahu wata’ala, sering membaca, bacaannya luas dan berkualitas, rajin menulis, dan memiliki guru atau pembimbing. Wallahu a’lam.
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan