Halal Plus Tayibah

Written By Amoe Hirata on Minggu, 28 September 2014 | 21.50


            Setiap muslim yang taat, pasti sangat perhatian dalam masalah makanan yang halal. Karena begitu pentingnya mengetahui kehalalan makanan, maka dalam tubuh umat Islam ada lembagi khusus yang ditugasi untuk mengecek kehalalan dan keharaman makanan. Di negara Indonesia ini ada lembaga khusus bernama MUI(Majlis Ulama Indonesia) yang diberi legitimasi memberikan label ‘halal’ untuk makanan dan minuman. Pertanyaannya kemudian ialah apa yang dimaksud dengan ‘halal’ dan ‘tayibah’? mengapa kadar perhatian orang Islam terhadap masalah ‘tayibah’ tidak begitu besar layaknya perhatian mereka kepada masalah ‘halal’?. Apakah tepat jika kedua kata itu diceraikan? Apa hikmah dibalik penggabungan kedua kata tersebut? Pada tulisan ini akan dianalisa jawaban yang tepat terkait masalah ini. Hal ini dimaksudkan agar tidak parsial dalam memahami ayat-ayat al-Qur`an, dan supaya manfaatnya lebih besar bagi umat Islam khususnya, dan umat manusia pada umumnya terkait masalah makan yang halal dan tayibah.
            Dalam al-Qur`an kata perintah makan selalu disandingkan dengan kata ‘tayibah’:  Pertama, Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi tayibah dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu(Qs. Al-Baqarah: 168). Kedua,  dan makanlah makanan yang halal lagi tayibah dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya(Qs. Al-Maidah: 88). Ketiga, Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi tayibah, dan bertakwalah kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(Al-Anfal: 69). Keempat, Maka makanlah yang halal lagi tayibah dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah(An-Nahl: 114).
             Dalam al-Qur`an kata tayibah ternyata tidak hanya disandingkan dengan kata makanan, tapi juga disandingkan dengan kata: al-baladu al-thayyib, negeri yang baik(Qs. Al-A`raf: 8), sha`idan thayyibah, debu yang baik(Qs. An-Nisa: 43), masakin thayyibah, tempat tinggal yang baik(Qs. At-Taubah: 72), rihin thayyibah, angin yang baik(Qs. Yunus: 22), kalimah thayyibah, kata yang baik(Qs. Ibrahim: 24), syajarah thayyibah, pohon yang baik(Qs. Ibrahim:: 24), hayah thayyibah, kehidupan yang baik(Qs. An-Nahl: 97). Adapun penggunaannya dalam hadits, kata 'halal tayibah' terdapat pada riwayat shahih Bukhari. Ketika Ibnu Abbas ditanya oleh Abu al-Juwairiyah mengenai hukum minuman badzak(perasan anggur yang dimasak), ibnu Abbas menjawab: "Muhammad telah menjelaskan bahwa setiap yang memabukkan itu haram. Minuman adalah yang halal dan tayib. Tidak ada sesudah minuman yang halal tayibah, melainkan yang haram khabits.
               Terkait dengan kata 'tayib' ada hadits yang artinya: Dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu anhu ia berkata: Rosulullah Shollallahu alaihi wa sallam bersabda: ” Sesungguhnya Allah Ta’ala itu tayib(baik) dan tidak menerima kecuali yang tayib(baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang orang yang beriman dengan sesuatau yang telah diperintahkan kepada para RosulNya. Maka Allah Ta’ala berfirman: "Wahai para Rosul makanlah kamu dari yang tayib(baik )dan berbuatlah kamu dengan beramal sholeh". Dan Allah Ta’ala berfirman [juga]: "Wahai orang orang yang beriman makanlah kamu dari yang baik yaitu dari apa yang Saya [Allah] rezekikan kepadamu". Kemidian Beliau menyebut seorang laki laki yang panjang perjalanannya berambut kusut lagi berdebu sambil menadahkan tangannya ke langit seraya berkata: ” Wahai Tuhan ! wahai Tuhan ! sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dikenyangkan dengan yang haram, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan [permohonannya] “. [HR Muslim]

Pengertian

               Pertama, kita akan membahas kata halal. Halal menurut bahasa berarti, terurai atau terlepas. Sedangkan menurut istilah berarti: sesuatu yang tidak diperintah juga tidak dilarang oleh Allah. Dalam bahasa lain: sesuatu yang bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa. Artinya, sesuatu dikatakan halal jika kita bebas memilih antara mengerjakan dan meninggalkan tanpa ada sanksi sedikit pun dari Allah subhanahu wata`ala. Jadi halal dalam khazah keilmuan Islam, khususnya dalam istilah fiqih, masuk dalam kategori hukum Islam yang lima yaitu: wajib sunnah, haram, makruh dan halal(mubah). Karena itulah bila disebut kata ‘halal’ berarti terkait masalah hukum.
            Kedua, kata ‘tayibah’, menurut bahasa berdasarkan kamus Lisanu al-`Arab, serta beberapa pengertian yang digunakan al-Qur`an itu ada beberapa makna: lawan dari kata khabits(buruk, jelek), bersih, baik, nyaman, enak, dan nikmat. Menurut istilah yang diilhami dari penyelidikan ayat-ayat al-Qur`an terkait dengan kata ‘tayibah’ dan kamus bahasa Arab dapat didefinisikan sebagai sifat yang menunjukkan pada sesuatu yang nyaman, nikmat, enak, baik, bersih, legal secara hukum dan tidak berbahaya. Kata kunci dari kata ‘tayibah’ itu ialah baik dan tidak buruk atau berbahaya jika dikonsumsi. Bahkan menurut Abdullah bin al-Mubarak, yang dimaksud dengan ‘thayib’(bila disandingkan dengan makanan) ialah sesuatu yang bisa dikonsumsi dan bisa menumbuhkan. Bila direnungi secara mendalam terkait dengan makna ‘tayibah’ baik di dalam al-Qur`an, maupun dari kamus bahasa Arab, ternyata maknanya sama sekali tidak bertentangan dan saling menguatkan. Dalam Islam, menurut ketentuan al-Qur`an –meskipun makan pada dasarnya hukumnya halal- jika orang mau makan maka hendaknya yang halal sekaligus tayibah. Halal terkait dengan hukum makanan. Kehalalan makanan menyangkut beberapa pertanyaan: apakah termasuk barang yang diharamkan? Apakah dihasilkan atau diambil dengan cara yang batil? Bila jawabannya: iya, maka makanan tersebut tidak halal.

Realitas Masyarakat

            Masalahnya kemudian apakah cukup memakan yang halal saja, tanpa mempertimbangkan faktor lain yang juga tidak kalah pentingnya yaitu: kelayakan konsumsi, kenikmatan, kebersihan, dan kesehatan? Kata halal dan tayibah yang digabungkan dalam ayat al-Qur`an, sungguh dahsyat dan dalam maknanya. Penggabungan itu mengingatkan kita pada hal penting terkait masalah makanan, bahwa untuk memakan sesuatu tidak cukup hanya mempertimbangkan faktor hukum saja, sebab banyak sesuatu dimuka bumi ini yang halal namun tidak bisa dikonsumsi. Salah satu contoh: batu itu halal tapi tidak tayibah untuk dikonsumsi, tanah itu halal tapi tidak layak untuk dimakan. Karena itulah dengan adanya kata ‘tayibah’ kita diingatkan kepada hal penting yaitu: betapapun kehalalan itu adalah hal asasi untuk diperhatikan dalam hal makanan, namun perlu deperhatikan apakah makanan itu layak dikonsumsi, menyehatkan, tidak membahayakan bagi badan, bergizi, dan baik untuk tubuh atau tidak? Bila tidak maka itu malah membahayakan. Namun coba perhatikan pada realitanya, sekarang ini –boleh juga selama ini- masyarakat benar-benar memperhatikan unsur halal-tayibah, atau hanya sekadar halal? Pada kenyataannya, kebanyakan orang hanya peduli kepada kehalalan, sehingga makanan-makanan yang diproduksi oleh pabrik-pabrik tidak dipedulikan apakah berbahaya bagi badan apa tidak?. MUI pun sejauh ini memang hanya bertugas sebagai lembaga yang memeriksa kehalalan saja, tidak sampai membicarakan masalah ‘tayibah’.
            Untuk lebih memperdalam terkait masalah makanan yang ‘tayibah’ perlu diuraikan beberapa kriteria makananan yang disebut tayibah. Kriteria ini diambil dari penyelidikan secara intensif terhadap ayat-ayat al-Qur`an mengenai kata ‘tayibah’ dan berdasarkan kamus bahasa Arab yang kalau diteliti sama sekali tidak menyalahi makna ‘tayibah’. Pertama: makanan harus halal. Tidak disebut ‘tayibah’ kalau makanan itu tidak halal. Kata ‘tayibah’ terkadang digunakan sebagai pengganti dari kata ‘halal’. Jadi, setiap yang tayib pasti halal, tetapi yang halal belum tentu tayib. Kedua: nikmat, nyaman dan lezat. Nikmat di sini bukan yang terutama terfokus pada rasa, tetapi pada sejauh mana tubuh bisa mengambil manfaat darinya. Tidak bisa dikatakan tayib walaupun lezat secara rasa, tapi ternyata tidak nyaman bagi tubuh. Ketiga: bersih atau bisa disebut juga dengan higienis. Kalau makanan yang dikonsumsi itu kotor atau tidak higienis, maka tidak layak disebut makanan yang halal tayibah. Karena makanan yang kotor, bila dimakan akan berdampak negatif pada badan manusia. Keempat: Tidak khabits(buruk, jelek). Ini berarti bahwa yang dikatakan makanan ‘tayibah’ ialah makanan yang tidak buruk dan jelek, artinya tidak berbahaya bagi kesehatan. Kelima: Layak dikonsumsi dan bergizi. Tidak dikatakan sebagai makanan ‘tayibah’ jika tidak layak dikonsumsi, apa lagi tidak bergizi.

Hikmah

            Kalau kita hubungkan dengan keempat ayat yang berkaitan dengan perintah makan makanan yang halal dan tayibah, sebagaimana diatas ternyata anjuran ini bersifat komprehensif, untuk semua manusia. Pada surat al-Baqarah ayat 168, yang dipanggil di situ adalah ya ayyuhannas(wahai manusia). Ini berarti makanan yang halal dan tayibah itu bukan saja penting bagi umat Islam, tetapi bagi umat manusia secara umum. Yang menarik lagi, ternyata halal dan tayibah bukan saja dalam soal makanan, jadi segala rezeki yang dianugerahkan oleh Allah harus memenuhi standar halal dan tayibah. Pada akhir ayat ada peringatan penting agar jangan mengikuti langkah-langkah setan, karena setan pasti mengajak kepada keburukan. Dan makanan dan rezeki yang halal dan tayibah harus melahirkan rasa syukur kepada Allah.

Seakan-akan ayat itu mengingatkan pada kita bahwa meskipun makan adalah perkara mubah, namun jangan sampai membuat kita lupa bersyukur pada Allah, karena dialah pada dasarnya yang telah menganugerahkan makanan yang tayibah. Ini berarti bahwa aktivitas makan dan minum pun harus melahirkan kesadaran internal untuk selalu ingat kepada Allah. Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis mengingatkan bahwa kita harus meningkatkan kesadaran kita terkait masalah makanan. Perhatian kita kepada makanan yang halal jangan sampai melupakan unsur tayibah. Keduanya tidak bisa dipisahkan dan saling mendukung. Kalau ini tidak diperhatikan dengan baik, maka jangan menyesal jika ada dampak negatif yang akan menimpa. Betapa banyak penyakit yang lahir disebabkan oleh makanan-makanan yang tidak ‘menyehatkan’. Sudah seharusnya sebagai muslim, kita membiasakan memakan makanan yang halal dan tayibah.

Dakwah Penuh Cinta

Written By Amoe Hirata on Kamis, 25 September 2014 | 17.26

Sudah menjadi maklum diketahui bagi setiap Muslim bahwa profesi dakwah adalah profesi terbaik dibandingkan profesi-profesi yang lain. Berdakwah adalah profesi para Nabi. Bagi mereka yang berdakwah berarti telah menapaktilasi jejak Nabi, karena itu sangatlah tidak berlebihan jika al-Qur`an mengatakan orang yang seperti ini adalah orang yang memiliki perkataan dan amalah paling baik, dibanding manusia pada umumnya. Allah berfirman: siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?(33) dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia(34)[Qs. Fusshilat: 33-34). Ayat ini disamping menjelaskan tentang kemuliaan dai`i, ia juga membicarakan bagaimana seharusnya dakwah disampaikan. Ketika menjumpai susuatu yang tidak mengenakkan dalam dakwah, maka harus dengan cara yang baik. Dalam ayat ini digambarkan seakan-akan menghadapi teman yang setia. Sebuah gambaran jelas bahwa dakwah meskipun mulia, tipi harus disampaikan dengan penuh cinta.
            Sebagai pijakan sejarah mengenai dakwah penuh cinta, pada tulisan kali ini akan ditulis sosok da`i yang tidak begitu masyhur di kalangan umat Islam Indonesia, namun peran dan kontribusinya begitu luar biasa. Ia berdakwah sama sekali tanpa menggunakan kekerasan. Ia menggunakan cara-cara persuasif dalam berdakwah. Dakwahnya dipenuhi dengan semangat cinta. Tak ayal lagi, dakwah yang dibawanya kemudian begitu berkah hinggi mengislamkan lebih dari dua puluh negara Afrika. Sosok karismatik dan berpengaruh itu dalam sejarah yang hidup pada abad keempat dikenal dengan nama Abdullah bin Yasin.
Kisah ini penulis ambil dari silsilah muhadharah Dr. Ragib al-Sirjani yang mempunyai judul besar: Qorōrun Jarī`un (keputusan fenomenal). Sebelum diajak berdakwah di klan Sonhaji  yang masih masuk dalam kategori wilaya Barbar, ia sebanarnya sudah memiliki majlis ta`lim sendiri. Muridnya begitu banyak. Namun menariknya, ketika Yahya bin Ibrahim al-Judali memohon kepada Abu Imran al-Fasyi, untuk didatangkan da`i di kabilahnya yang banyak terjadi kemakshiyatan dan pelanggaran keagamaan, akhirnya dimintalah Abdullah bin Yasin untuk berdakwah di tempat Yahya bin Ibrahim al-Judali, kepala suku dari klan Judali. Keputusan Abdullah bin Yasin untuk berdakwah di kabilah Judalah sudah sedemikian bulat, sehingga ia rela menginggalkan keluarga dan murid-muridnya.
            Berdakwalah Abdullah bin Yasin di kabilah Judalah. Kabilah Judalah meskipun beragama Islam, namun kemungkaran acap kali terjadi. Setelah dulu daulah Fathimiyah pernah menguasai wilayah Afrika Utara, banyak sekali pemahaman-pemahaman menyimpang yang menyebar luas di kalangan penduduk Afrika, akibatnya Islam yang benar lambat laun semakin memudar. Penduduk kabilah Judalah sudah terbiasa meminum khamr, nikah lebih dari empat, kemaksiatan dilakukan dengan secara terbuka tanpa ada satupun yang menegur mereka, Inilah yang membuat Yahya bin Ibrahim al-Judali meminta seorang da`i yang hanif untuk mengingatkan mereka.
Dakwah Abdullah bin Yasin tak berjalan mulus. Para pemuka kaum dan penduduk yang sudah terbiasa berbuat makshiat, merasa terancam dengan kehadiran Abdullah bin Yasin. Pada puncaknya, akhirnya Abdullah bin Yasin dan Yahya bin Ibrahim al-Judali diusir dari kampung itu. Keluarlah Abdullah bin Yasin dengan kesedihan yang luar biasa. Dalam perjalanan, Abdullah bin Yasin berhenti sejenak, ia berfikir tidak boleh menyerah dengan kondisi yang ia hadapi. Kalau kembali lagi ke daerah asalnya, maka kabilah Judalah dan Lamtunah akan semakin jauh dari pemahaman Islam yang benar. Ia tidak mau itu terjadi. Bagaimana iakan mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan Allah, ketika membiarkan mereka berada dalam kondisi kemaksiatan.
            Akhirnya ia membuat keputusan penting, yeng kemudian menempatkanya dalam posisi agung sebagai da`i teladan. Menghadapi penentangan keras dari kabilah Judalah tidak membuat hatinya ciut, semangatnya tak pernah surut. Menariknya sikap kasar yang diperolehnya dari kabilah Judalah tidak membuatnya bersikap reaksioner dengan cara mendatangkan para murid dan rekan-rekannya dari daerah asalnya untuk menaklukkan kabilah Judalah dengan kekerasan. Ia sama sekali tidak menggunakan kesempatan itu, meskipun sebenarnya ia mempunyainya. Ia justru memilih dakwah penuh cinta. Keputusan terakhirnya ia pergi ke daerah pedalaman di selatan Muritania, dan di situ ia membuat tenda. Dari tenda itu ia mengirim surat kepada orang-orang yang menerima dakwahnya di kabilah Judalah. Akhirnya merekapun bergabung dengan Abdullah bin Yasin. Dalam tenda itulah dimulai sepak tejang monumental dakwahnya. Selama tiga belas tahun ia berdakwah akhirnya sampai mendapat seribu orang pengikut.
            Tak puas hanya sampai di situ, akhirnya kepala suku Lamtunah, yang masih termasuk cabang dari klan Shonhaji, ia ajak untuk bergabung dengannya. Kepala Suku Lamtunah yang bernama Yahya bin Umar al-Lamtuni sangat tertarik dengan dakwah Abdullah bin Yasin yang begitu santun dan penuh cinta. Dalam waktu semalam akhirnya mengajak kabilahnya untuk mengikuti dakwah Abdullah bin Yasin. Dalam waktu semalam sekitar enam ribu penduduk Lamtunah, akhirnya mengikuti dakwab Abdullah bin Yasin. Sekarang jumlahnya menjadi tujuh ribu. Mereka pun menyebarluaskan dakwah Islam hingga Islam tersebar luas bukan hanya di daerah Judalah dan Lamtunah, tapi meliputi wilaya Tunis, Maroko dan alJazair dan dua puluh lebih daerah Afrika.
Ketika akhirnya Abdullah bin Yasin meninggal lantaran dibunuh oleh kaum pagan, dakwahnya kemudian diteruskan oleh Abu Bakar bin Umar al-Lamtuni(saudara dari Yahya bin Ibrahim al-Lamtuni). Bersama pamannya yang bernama Yusuf bin Tasyfin, akhirnya dakwah penuh cinta disebarluaskan kembali. Hasilnya sungguh luar biasa. Dalam waktu yang tidak sampai empat puluh tahun, wailayah Afrikan utara dan beberapa wilayah Afrika yang lain, kembali kepada jalan Islam yang hanif. Pada puncaknya, nanti berdirilah daulah Murobithun(diambil dari kata ribhat yang berarti tali kemah. Kata ini diambil dari kegiatan awal Abdullah bin Yasin yang memulai dakwahnya di tenda). Daulah Murobithun adalah termasuk daulah Islam yang fenomenal, dan mampu menyatukan daulah Islam di Spanyol. Berangkat dari dakwah seorang Abdullah bin Yasin yang mengutmakan cinta dan teladan yang baik, akhirnya berkembang menjadi sebuah daulah yang kuat. Kita bisa menemukan fenomena yang sama di Indonesia, ketika pada abad ke tiga belas, penduduk di seluruh pesisir Jawa bagian utara masuk Islam. Diantara penyebabnya ialah atas jasa Wali Songo yang berdakwah dengan penuh keteladanan dan cinta. Pada zaman sekarang, kita berharap semoga bermunculan da`i-da`i seperti itu, sehingga Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seantero alam. Wallahu a`lam bi al-shawab.

Siman, Kamis 25 Sepetember 2014/17:06

45 Menit Bersama Dr. Hamid

Written By Amoe Hirata on Rabu, 24 September 2014 | 21.15

PADA tanggl 24 November 2014, terjadi dialog kecil-kecilan di rumah Dr. Hamid Fahmi Zarkasy. Awalnya, ide dialog ini bermula dari obrolan ringan antar anggota PKU, menyoal konsep "ta`dib" Prof. Al-Attas. Sejauh mana proses inisiasi, relevansi, urgensi, validitas, dan perkembangan konsep ini di dunia pemikiran. Mengingat Dr. Hamid pernah belajar langsung kepada Al-Attas, maka kami bersepakat untuk ngangsu kaweruh kepada beliau.

Kabinet Transisi apa Transaksi?


            Ada seorang ibu paruh baya -ditemani oleh suaminya- sedang menuju ke rumah Sarikhuluk. Dandanannya terlihat rapi dan terkesan sebagai orang penting. Dari muka keduanya terlihat aura keriasauan dan kesedihan. Wanita itu bernama Siti Lasmini, sedangkan suaminya bernama Joko Sasmito. Sesampainya di rumah Sarikhuluk, keduanya hampir saja kecewa lantaran Sarikhuluk tidak ada di rumahnya. Biasanya jam tujuh pagi hingga menjelang Dzuhur, aktivitas Sarikhuluk ialah bercengkrama dengan sawah. Hampir saja kedua orang itu pulang dengan membawa kekecewaan, kalau saja tidak ada bu Ngatiyem(seorang nenek tetangga Sarikhuluk) yang menunjukkan keberadaan Sarikhuluk. Diantarlah mereka berdua ke sawah Sarikhuluk. Dari kejauhan Sarikhuluk terlihat sedang duduk istirahat di gubuk pinggir sawah buatannya.
            Betapa kagetnya Sarikhuluk-setelah diberi tahu-, ternyata yang datang adalah Si Mimin, kawan main kecilnya dulu. Masih segar dalam ingatan Sarikhuluk ketika dulu keduanya merupakan anak yang aktif dan kompak dalam menggerakkan teman-temannya, baik utuk urusan permainan maupun urusan sosial yang mungkin jarang didapati dari anak seusia mereka. Dulu Si Mimin(Lasmini) termasuk warga desa Jumeneng. Ketika lulus SD, ia harus keluar dari desa Jumeneng, lantaran ayah dan ibunya dipindahtugaskan ke ibu kota. Karuan saja sekarang Sarikhuluk merasa kaget dan aneh. Pasalnya anak ingusan yang dulu menjadi kawan akrabnya, sekarang sudah tumbuh menjadi wanita dewasa, cantik, dan menjadi pejabat terkenal. Dengan gaya khasnya Sarikhuluk langsung bergurau: “Waduh Min, kamu `kan dulu pernah janji akan nunggu aku. Lha sekarang kok sudah membawa suami”.
            Lasmini pun ga mau kalah, ia menimpali: “Kamu sih kurang gentel. Bertahun-tahun aku menunggumu, tapi kamu tak berani ke orang tuaku”. Tertawa renyah akhirnya menghiasi obrolan perdana mereka, setelah 30 tahun tidak bertemu. “Luk, kedatanganku kesini disamping aku inging banget shilaturrahim sama kamu, ada hal penting yang ingin aku diskusikan sama kamu. Suamiku juga aku ajak, karena dia penasaran dengan sosok Sarikhuluk. Aku banyak sekali cerita tentang kamu ke dia. Sosok genuine(otentik) pembelajar sejati meskipun tidak mengenyam pendidikan formal. Saking kagumnya dia dengan kamu, dia sampai membuat Novel –kebetulan dia adalah penulis novel- tentang tokoh imaginer yang menceritakan tentang sosok dirimu. Memang kita sudah 30 tahun tidak bertemu, namun kisah bersamamu ketika masih kecil  masing aku ingat dengan baik. Sepurane ya kalau aku baru bisa bertemu kamu kali ini” ungkap Lasmini dengan gaya omong khasnya yang masih belum berubah sejak kecil.
            “Ah Min, kamu ada-ada saja. Orang ga jelas kaya` aku begini pakai ditulis segala. Nantinya malah jadi virus bagi para pembaca” tanggap Sarikhuluk sambil senyum. “O iya, kamu itu laksana virus bagiku. Tapi virus positif tentunya, hehehe... oya kenalkan ini suamiku. Namanya Joko Sasmito, guru bahasa Indonesia dan penulis sastra. Kalau aku sekarang jadi pengamat politik dan pemerhati sosial. Kalau pekerjaan rutinku sih menjadi dosen dan mengurusi yayasan yang aku dirikan bersama suamiku” timpal Lasmini. Berkenalanlah mereka berdua, dan langsung terlihat akrab, karena Sarikhuluk selalu mampu mencairkan suasana. “Alah Min, apapun profesimu bagiku kamu adalah seperti Mimin yang dulu, walaupun sudah lama tak bertemu, nilai kemanusiaanmu masih saja otentik. Kamu sekarang juga sudah berjilbab. Masyallah ga kebayang banget. Hee...dulu kamu terkenal tomboi, tapi sekarang....sumpah....berubah tenan.....hehehe”.
            “Kamu juga ga berubah Luk, gayamu dari dulu kayak gitu. Aku heran saja sampai sekarang, orang sejenius kamu kenapa kok ga mau sekolah. Eman sekali, teman-teman kita sudah menjadi orang semua” sahut Lasmini. “Ow syukurlah kalau begitu. Aku ga sekolah saja belum lulus-lulus jadi orang, apalagi sekolah Min. Nampaknya kamu agak terpengaruh dengan lingkungan perkotaan. Maqomku memang seperti ini Min, ga sekolah saja sudah bikin orang gusar, apalagi sekolah” komentar Sarikhuluk. “Ah lupakan masalah itu Luk, kamu selalu saja bisa ngeles dan rendah hati. Kampung kita ini begitu banyak berhutang budi sama kamu. Asal kamu tahu, anak lelaki pertama kunamakan Muhammad Sarikhuluk Alam Syah. O ya kembali ke pokok permasalahan. Semakin hari aku merasa semaki bingung hidup di kota Luk. Sebagai pemerhati dan aktivis sosial, aku acapkali berjumpa dengan pejabat-pejabat tak bermoral. Mereka pandai bersilat lidah. Ketika belum jadi pejabat, mereka seolah merakyat, tapi ketika sudah jadi pejabat, rakyat ditinggal minggat” sambung Lasmini.
            “Pertama terimakasih banyak telah menamakan anak lelaki pertamamu dengan namaku. Hehe jadi buat aku GR saja. Untuk masalah pejabat, ga usah terlalu dipikir berat-berat. Anggap saja mereka angin lalu. Aku dulu sudah pernah berorasi akhir tahun di depan penduduk desa Jumeneng. Dalam orasi yang berjudul “Orde Kapal Pecah” sudah kuterangkan secara implisit, bahwa negara ini sudah batal menjadi negara. Ga pantas lagi negara ini disebut negara yang berdaulat. Lha gimana coba, dikatakan negara sebagai organisasi besar untuk mensejahterakan rakyat, kok malah menyengsarakan rakyat. Sebelum pemilu dikampanyekan visi-misi begitu melangit, tapi setelah jadi,  rakyat seolah diinjak pakai tumit. Sebelum pemilu bilang “tidak ada transaksi politik dan jabatan” eh setelah jadi malah ada “transaksi terselubung” kalau begini rakyat semakin bingung, baru akhirnya menyesal karena salah mendukung. Kita tinggal menunggu ‘kenduri kesengsarasaan nasional’ jika kondisi ini terus berjalan.” tanggap Sarikhuluk.
            “Lha masa` kita diam saja Luk. Lalu bagaimana nasib rakyat-rakyat kecil kalau kita diam saja. Aku, suamiku, dan beberpa komunitas sosial yang kubentuk merasa terenyuh sekaligus menderita melihat kondisi yang semakin hari semakin tak teratasi” sanggah Lasmini. “Diam di sini bukan berarti diam Min. Dalam setiap kehancuran pasti ada kebangkitan. Kita tidak akan dibebani oleh Allah di atas kemampuan kita. Negara ini terlalu besar untuk kita atasi. Kalau memang negara dengan para pejabatnya sudah tidak peduli dengan saran-saran kita, kita sudah tak ada tanggung jawab sedikit pun. Kalau pun akhirnya negara ini harus hancur, aku yakin dalam waktu yang sama ada kebangkitan. Kamu ingat kan kisah Nuh yang dulu sewaktu kecil pernah kita mainkan dalam drama di desa waktu acara agustusan? Artinya kita tetap berjuang, bergerak lebih intensif sesuai dengan kapasitas kita. Kalaulah manusia pada umumnya tidak mau dengan saranmu, ya minimal kamu membuat sampan-sampan kecil untuk bisa menyelamatkan dari ‘banjir besar peradaban’”.
            “Maksudmu sampan-sampan kecil apa Luk”.  “Maksudku, kamu harus tetap optimis. Sebagaimana optimisnya Nabi Nuh ketika hendak dilanda banjir besar. Dia kurang apa cobak? Berdakwah selama 950 tahun, yang beriman cuma sedikit. Ketika mau dihancurkan, Nabi Nuh `kan disuruh membuat kapal, meskipun banyak yang mengejek, tapi pada akhirnya Nuh dan pengikutnya lah yang menyongsong kebangkitan di tengah kehancuran kebanyakan kaumnya yang sombong dan pongah. Sampan di sini bisa berarti penyadaran sosial, pencerahan masyarakat, membina dan mendidik masyarakat, membuat kegiatan-kegiatan yang semakin membuat manusia dekat kepada Tuhan, intinya Min segala hal yang bermanfaat harus tetap kita lakukan. Syukur-syukur kalau ternyata kita nanti dipilih Tuhan menjadi faktor kebangkitan. Kalau ndak ya gapapa juga, barangkali nanti anak cucu kita yang akan menikmati kebangkitan”.
“Aku jadi ingat pesan kanjeng Nabi: “sebelum kiamat kalau kamu sempat menanam pohon, maka tanamlah”. Ini kan pesan yang sungguh dahsyat dan bersekala peradaban Min. Namanya orang berjuang ya berjuang Min sealam ada kesempatan, bisa jadi yang akan memanen perjuangan adalah generasi yang akan datang. Sejak tiga puluh tahun lalu, aku sudah tidak peduli dengan yang namanya negara. Karena menurutku tak layak disebut negara. Cocoknya ya disebut perusahan. Betapapun kecewanya aku, tapi aku ga pernah putus asa Min. Kamu lihat sendiri sekarang, desa kita yang dulu amat terbelakang dalam bidang pendidikan, sekarang mengalami perkembangan yang luar biasa. Menariknya tidak terkontaminasi dengan pengaruh dari luar. Di sini aku mencium aroma kebangkitan. Setiap kali aku melihat negara yang sudah diambang kehancuran ini, memang aku sungguh merasa sangat sedih. Namun setiap kali aku memandang mereka, aku yakin kebangkitan akan segera tiba. Kerjaanku sekarang hanya menanam, menanam dan menanam, masalah hasil kuserahkan Tuhan.” Tak terasa mereka telah ngobrol dua jam. Lasmini dan Joko seolah mendapat spirit baru. Mereka berdua berandai: “Jika ada sepuluh orang kayak Sarikhuluk di negara ini, pasti masalah negara ini akan selesai”.  Mereka berdua pun akhirnya pamit, karena esok hari ada kegiatan yang harus dikerjakan.

Pendidikan Profetik

Written By Amoe Hirata on Selasa, 23 September 2014 | 14.07

            Ketika peradaban Barat menghegemoni dunia, maka manusia dalam berbagai macam aspeknya (pendidikan, sosial, politik, kesehatan, agama, pemikiran, ideologi) akan terpengaruh dengan Barat, bahkan mengikutinya. Sudah menjadi watak pihak yang dikuasai –sebagaimana pendapat Ibnu Khaldun dalam magnum opusnya (al-Muqaddimah)-akan mengikuti pihak yang dikuasai .  Terkhusus dalam dunia pendidikan dewasa ini, pengaruh Barat tak diragukan lagi telah masuk ke berbagai jenjang pendidikan. Karakter pendidikan ala Barat yang lebih menonjolkan materi daripada rohani secara sadar atau tidak akan membentuk anak didik yang materialistik. Karakter Barat yang mendikotomi, juga melahirkan pendidikan yang dikotomis. Dampak yang paling nampak ialah ketika nilai-nilai agama terceraikan dari dunia pendidikan. Memang banyak anak didik yang pintar, namun pada saat yang sama tidak memiliki akhlak yang mulia. Tak mengherankan jika banyak diantara mereka yang terlibat tawuran, obat-obatan, minum keras, pergaulan bebas dan lain sebagainya, lantaran pendidikan hanya terpaku pada materi dan diceraikan dari nilai-nilai agama.
            Salah satu bentuk pendidikan yang bisa ditawarkan, untuk mengatasi problem tersebut ialah: pendidikan profetik(kenabian). Maksud pendidikan profetik ialah pendidikan ala Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wasallam. Pendidikan profetik mencakup beberapa unsur: tilāwah āyātillāh, al-tazkiyah, ta`līmu al-kitāb wa al-hikmah. Ketika Nabi Ibrahim selesai meninggikan bangunan Ka`bah, salah satu doa belia ialah sebagai berikut: Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana(Qs. Al-Baqarah: 129). Kemudian permohanan Ibrahim pun dikabulkan sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Baqarah: 151, Ali Imran: 164, dan al-Jumu`ah: 2. Namun ada perubahan hirarki. Kalau sebelumnya Nabi Ibrahim meletakkan kata ta`līmu al-kitāb wa al-hikmah sebelum al-tazkiyah, maka pada ketiga ayat ini sebaliknya, kata al-tazkiyah didahulukan dari kata ta`līmu al-kitāb wa al-hikmah.
            Setiap Muslim tentu mengetahui bahwa Nabi Muhammad diutus seabagai rahmat  bagi seluruh alam(Qs. Al-Anbiya: 107), karena itulah pendidikan profetik ala Nabi, juga bersifat universal dan komprehensif meliputi semua manusia. Unsur pendidikan profetik yang pertama ialah: tilāwah āyātillāh(membaca ayat-ayat Allah). Ayat-ayat Allah ada dua macam: Pertama, ayat tanzili yaitu al-Qur`an. Kedua, ayat kauni(yang terhampar di alam). Unsur pendidikan pertama sejak awan berbasis Tuhan. Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari Tuhan. Karena manusia tidak bisa melihat secara langsung kepada Tuhan, maka cara yang diajarkan ialah membaca ayat-ayat Tuhan, baik yang tanzili(al-Qur`an) maupun kauni(alam yang terhampar). Ini berarti, pendidikan profetik adalah pendidikan rabbani(bertolak, memulai, dan berorientasi ketuhanan) serta tidak ada dikotomi antara ilmu syar`i dan kauni. Materi pendidikan ada dua yaitu yang berasal dari ayat al-Qur`an dan ayat alam. Diantara nama Allah ialah Rabb, yang berarti Dzat Yang Maha Mendidik, darinyalah sumber ilmu pengetahuan. Ini sesuai dengan ayat yang pertama kali diturunkan kepada nabi Muhammad ayat 1-5 dari surat al-`Alaq.
            Unsur yang kedua ialah: al-tazkiyah(pembersihan, pengembangan, penyucian jiwa). Setelah jelas orientasi pendidikan dan materinya, maka unsur kedua yang harus terpenuhi ialah al-tazkiyah. Sebelum mengajarkan sesuatu, maka yang mau dididik harus ditazkiyah terlebih dahulu. Penyucian jiwa ini penting dan merupakan piranti keberuntungan. Allah berfirman: Sungguh beruntung orang yang mensucikanya(9) dan sungguh merugi orang yang mengotorinya(Qs. As-Syams: 9-10). Proses ini teramat penting karena, orang yang dididik ketika jiwanya tidak dibersihkan, maka niatnya akan salah. Dalam surah al-`Alaq ayat satu secara tegas dijelaskan bahwa yang namanya belajar itu harus bismi rabbik (karena Allah). Proses ini tidak akan berjalan jika tidak ada penyucian jiwa. Dalam proses tazkiyah ini disamping jiwa manusia dibersihkan, ada usaha untuk mengembangkan yang dididik. Salah satu arti tazkiyah sendiri diantaranya adalah mengembangkan atau menumbuhkan. Pendidika akan bisa mengembangkan dengan baik peserta didiknya jika ia mengetahui potensi yang dimiliki oleh peserta didiknya. Dalam proses tazkiyah ini bisa dieksplorasi dan diteliti terkait dengan bakat dan potensi peserta didik.
            Unsur yang ketiga ialah: ta`līmu al-kitāb wa al-hikmah(mengajarkan al-Kitab yaitu al-Qur`an dan hikmah). Setelah proses pensucian jiwa, baru kemudian diajarkanlah materi yang berupa al-Qur`an dan hikmah. Namun perlu diperhatikan di sini pengajaran di sini bukan sekadar pengajaran. Pengajaran di sini harus disertai tauladan yang baik serta bertujuan untuk diamalkan. Karena sejak awal orientasi pendidikan profetik ialah Allah ta`ala, maka apa yang dipelajari harus membuahkan amal dan dalam kerangka ibadah kepada Allah ta`ala. Yang dimaksud Kitab di sini ialah al-Qur`an, sedangkan al-Hikmah oleh kebanyakan mufassir diartikan dengan Sunnah. Bisa juga hikmah diartikan dengan kebijaksanaan atau sesuai hukum Allah. Al-Qur`an dan Sunnah merupakan sistem kehidupan. Karena keduanya merupakan sistem, maka harus dipelajari oleh setiap orang yang mau menggapai sukses dunia-akhirat. Tapi yang perlu diingat betul-betul, bahwa dalam mengajarkan al-Qur`an dan Sunnah, itu harus dengan hikma(kebijaksanaan). Salah satu bentuk kebijaksanaan ialah pengetahuan pendidik yang mendalam terkait potensi, kondisi peserta didik. Di samping itu juga, pengajaran al-Qur`an dan Sunnah, sama sekali tidak menafikan ilmu-ilmu lain yang sering orang sebut sebagai ilmu keduniaan. Selama ilmu itu baik, dan dipergunakan untuk mencari ridha Allah, maka ilmu tersebut bisa disebut ilmu Syar`i.
            Melalui sejarah Nabi Muhammad kita bisa membuktikannya.  Sebelum menjadi Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad adalah orang suci jiwanya. Ia adalah orang yang bersih lahir batin. Meskipun ayat al-Qur`an belum turun, tapi ia tidak pernah berhenti untuk membaca ayat-ayat kauniah. Tiga tahun sebelum diangkat menjadi Nabi, ia fokus mengasingkan diri untuk mencari ketenangan dan kebenaran. Ia sudah sedemikian resah dengan kondisi yang terjadi di masyarakat sekitarnya. Ketika beliau sudah menjadi Nabi, hal yang utama dilakukan beliau disamping berdakwah menyampaikan ayat-ayat Allah, ialah mentazkiyah para sahabat. Kitika diantara mereka sudah memeluk Islam, maka kegiatan tazkiyah(penyucian diri) itu terus berjalan secara intensif. Yang akan mereka pelajari dan amalkan adalah sistem kehidupan yang diturunkan Allah, maka sudah semestinya, untuk bisa mengerti dan mengamalkannya secara benar harus dimulai dari jiwa yang suci. Seteril dari berbagai kepentingan yang menjauhkan hamba dari Tuhannya. Proses ini terus berjalan dialanjutkan dengan pengajaran al-Qur`an dan Sunnah. Mengenai kondisi sahabat, Ibnu Mas`ud pernah berkata: “Mereka itu adalah sahabat Rasulullah, memiliki hati terbaik, berilmu banyak, dan paling jarang memaksakan diri di luar batas kemampuan”. Dalam proses pendidikan yang berkesinambungan sesuai dengan tahapan-tahapannya tadi, Rasulullah mampu mendidik sebaik-baik generasi.
            Bayangkan tiga puluh tahun sepeninggal Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, sahabat yang dulunya sama sekali tidak diperhitungkan dalam peta penguasa dunia kala itu, kemudian mampu menguasai dunia dengan peradaban yang tinggi. Kekaisaran Romawi dan Persia pun tak mampu mempertahankan kekuasaannya menghadapi umat Islam yang berkembang luar biasa. Dengan ilmu umat Islam mampu membangun peradaban yang tinggi. Ini tidak lain –disamping kehendak Allah- merupakan buah sukses dari pendidikan profetik. Suatu pendidikan yang berorientasi ketuhanan, pendidikan yang berdimensi dunia-akhirat, pendidikan komprehensif yang tak mengenal dikotomi ilmu umum dan ilmu agama, pendidikan yang sangat menekankan suri tauladan yang baik, pendidikan yang bukan sekadar mengajarkan sesuatu, tapi pendidikan yang mampu menggugah kesadaran dan membuahkan amal, pendidikan yang berusaha melahirkan manusia beradab dan berperadaban tinggi. Karena itulah, dalam pendidikan ini pesertanya tidak mengenal usia, sebagaimana Nabi mendidik manusia pada segenap level usianya. Dalam pendidikan profetik tidak ada kata tua dalam hal belajar. Pendidikan profetik selalu berjalan dari kelahiran hingga kematian. Kalau umat Islam mau bangkit dari keterpurukannya, maka pendidikan profetik merupakan sebuah keniscayaan.
     

Konsep Ngawur Muhammad Syahrur

Written By Amoe Hirata on Senin, 22 September 2014 | 16.32


            Berbekal pemahaman ilmu keagamaan yang tidak begitu mumpuni, tidak membuat Muhammad Syahrur berkecil hati untuk mendekontruksi pemahaman keislaman yang bertahan selama berabad-abad lamanya. Baginya yang membuat umat tidak maju ialah karena terbelenggu dengan tirani-tirani pemahaman produk ulama yang selama ini begitu disakralkan. Ia tidak jengah membongkar pengertian-pengertian yang sudah mapan dalam pemikiran Islam. Sumber hukum ia renovasi sedemikian rupa, banyak kata-kata al-Qur`an yang didefenisi ulang, demi tercipta pembaruan yang ia citakan. Dari kreativitas pemikirannya, tentu membuat lahir banyak istilah-istilah dan pemahaman-pemahaman nyeleneh yang tidak pernah dibuat oleh ulama-ulama Islam sebelumnya. Ia mendefinisikan ulang kata-kata kunci dalam al-Qur`an(seperti al-Kitāb, al-Hanīf, al-Nubuwwah, al-Risālah, ummu al-Kitāb dan lain-lain), tidak menerima tarōduf(sinonimitas), mengklaim kemakhlukan al-Qur`an, menolak Sunnah sebagai bagian dari wahyu, melabrak ajaran-ajaran yang sudah pakem, menolak Ijma` dan Qiyas, membuat teori hudūd(limit). Bahkan secara ekstrim, menurutnya ijtihad itu dinilai tepat jika hasilnya sesuai dengan realitas.
            Semuanya lahir tentu saja bukan karena konsistensinya terhadap metodologi istinbat hukum para ulama, semua itu lahir karena ia menggunakan metodologi Barat. Sebelum mengkaji ilmu keislaman, ia telah menimba ilmu di Moskow, Rusia. Pengaruh filsafat Marxisme dan Materialisme –baik yang dealektis maupu yang historis- sangat kentara dilihat dalam berbagai bukunya seperti: al-Kitāb wa al-Qur`an-Qirā`ah Mu`āshirah(1990), Dirāsāt Islāmiyyah Mu`āshirah fi al-Daulah wa al-Mujtama`(1994), al-Islām wa al-Īmān-Mandhūmah al-Qiyam(1996), Nahwa Ushūlin Jadīdah li al-Fiqhi al-Islāmi-Fiqhu al-Mar`ah(2000). Pemikir-pemikir Barat lain yang juga mempengaruhi pemikirannya seperti: Fukuyama, Charles Darwin, Isac Newton, Karl Marx. Adapun dalam bidang kebahasaan ia terpengaruh pada metode al-Farisi, Ibnu al-Jinni dan al-Jurjani. Keberaniannya dalam mendekonstruksi doktrin-doktri Islam yang telah mapan, menggambarkan bahwa Islam sudah tidak dijadikan sebagai keyakinan yang sakral. Islam diperlakukan layaknya agama lain yang harus dibongkar, ketika ingin mencari solusi dari problematika yang ada.
            Kreativitas yang dicapai oleh Syahrur sejatinya bukan bagian dari pembaruan agama, tetapi penghancuran agama. Sudah jelas dari kaca mata agama ia tidak memenuhi standar mujtahid, tapi malah memaksakan diri untuk memahami agama dengan metodologi yang diimpor dari Barat. Dari segi otoritas saja, ia sudah tidak layak untuk mengkaji al-Qur`an. Orang yang bukan ahlinya memaksa diri untuk mengkaji sesuatu yang tidak dikuasainya, hasilnya jelas rusak. Aturan-aturan dan tradisi keilmuan yang ada dalam Islam pun dilanggar sedemikian rupa. Untuk memenuhi standar ilmah pun, dari berbagai karya yang pernah ia tulis tentang keislaman, tidak memenuhi standar. Di samping rujukan yang sangat sedikit, ia cendrung memilih pandangan-pandangan ulama yang syadz(nyeleneh) dan tidak mainstream untuk menguatkan pendapatnya. Setiap agama memiliki worldvew(pandangan hidup) yang berbeda. Merupakan kecerobohan ilmiah jika memahami Islam dengan worldvew Barat yang jelas-jelas berbeda dengan Islam. Apa yang ditempuh Syahrur, itu tak jauh beda dengan pemikir-pemikir lain seperti an-Na`im, Arkoun, Nashr Hamid Abu Zaid dan lain sebagainya.
            Tela`ah kontemporer syahrur memang betul-betul mengawur. Satu contoh misalnya bisa dikemukakan di sini mengenai konsem hadd(limit) terkait dengan aurat wanita. Ia berpendapat bahwa batas maksimal aurat wanita ialah telapak tangan dan wajah, sedangkan batas minimalnya ialah dua lubang ketiak, payudara, kemaluan dan pantat. Ia bisa sampai pada kesimpulan seperti itu semata-mata karena menggunakan pendekatan lingustik-historis-ilmiah. Tidak ada satupun ulama yang mempunyai pandangan nyeleneh seperti ini. Walaupun dalam Islam ada ruang yang dinamis untuk yang memungkinkan untuk ijtihad, namun itu hanya khusus pada hal-hal yang sifatnya tidak permanen. Adapun Syahrur menembus batas-batas itu. Lucunya, meskipun ia telah membuat teori tentang batas, ternyata ia memiliki pandangan yang kontradiktif dengan pandangan batas minimal aurat wanita. Ia mempunyai pendapat bahwa kumpul kebu itu halal asalkan sesuai dengan kemauan. Ini jelas-jelas bertentangan dengan pendapat batasan aurat yang tak boleh disentuh(walaupun menurutnya tidak sampai dikatakan zina kalau menyentuh asal tidak bersetubuh). Kalau sampai kumpul kebo, itu bukan lagi sekadar menyentuh, tapi sudah melanggar batas terlalu jauh. Inilah bahayanya jika agama dipahami oleh yang bukan ahlinya. Rasulullah SAW. pernah bersabda: Bila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya(Hr. Bukhari).

‘Pembubaran Agama’ Berkedok ‘Pembaruan Agama’

Written By Amoe Hirata on Minggu, 21 September 2014 | 23.34


            Diskursus ‘pembaruan Islam’ di era globalisasi semakin deras tak terbendung. Diskursus ini semakin santer digemakan bukan saja karena adanya  afirmasi normatif dari doktrin agama yang secara eksplisit mengakui eksistensinya, ia juga semakin santer didengungkan karena adanya tantangan globalisasi yang menyediakan kompleksitas problematika umat manusia yang butuh segera dicarikan solusinya. Mengapa secara khusus hanya dikaji mengenai ‘pembaruan Islam’, sedangkan agama lain tidak diikutsertakan? Ini sangat logis mengingat hanya Islam yang mengaku –melalui kedua sumber normatifnya- sebagai agama yang sempurna. Bahkan ada jargon yang mengatakan: al-Islām Shālihun likulli Makānin wa Zamān(Islam relevan dengan semua tempat dan waktu). Dari jargon tersebut, para ulama dan cendekiawan Muslim berusaha mengejawantahkannya dalam bentuk konkret berupa menggali dan mengurai ajaran agama sebagai spirit untuk mencari solusi bagi masalah umat.
            Dalam menghadapi tantangan globalisasi, paling tidak ada beberapa kelompok yang berusaha memecahkan masalah melalui cara pandang yang berbeda. Kelompok pertama adalah kolompok yang memaknai pembaruan sebagai upaya untuk pemurnian kembali ajaran Islam. Untuk mewujudkan kebangkitan umat, maka diperlukan usaha pembaruan Islam, dalam pengertian kembali kepada rujukan yang murni yaitu al-Qur`an dan Sunnah. Bagi kelompok ini, umat Islam terpuruk lantaran meninggalkan ajaran-ajaran yang bersumber dari al-Qur`an dan Sunnah. Karena itulah jika ingin bangkit dan bisa menjawab problematika zaman, maka umat harus kembali kepada ajarannya yang orisinil. Kelompok kedua adalah kelompok yang mengartikan ‘pembaruan agama’ sebagai upaya untuk memahami agama dengan metodologi keilmuan Barat(modern-pasca modern) agar ditemukan solusi setepat-tepatnya baik bagi umat Islam maupun non-Islam. Karena pada realitanya tidak dapat dipungkiri bahwa Barat adalam negara maju, segala sesuatu darinya patut ditiru.
            Pada tulisan ini akan dianalisa secara kritis mengenai konsep ‘pembaruan agama’ bagi kelompok kedua. Bagi penulis, kelompok pertama tidak dibahas lantaran sudah sesuai dengan doktrin-doktrin agama yang sudah mainstream. Adapun yang kedua terhitung baru, dan sama sekali tidak ada akar sejarahnya dalam khazanah pemikiran Islam. Nanti akan ketahuan, benarkah yang dilakukan oleh kelompok kedua adalah ‘pembaruan agama’ untuk menjawab problematika, atau justru sebaliknya –baik sadar maupun tidak sadar- malah merupakan ‘pembubaran agama’. Tapi sebelum menganalisa lebih jauh seberapa tepat istilah ‘pembaruan agama’ yang dipakai, alangkah baiknya di sini disebutkan beberapa unsur penting yang melandasi kajian. Unsur pertama ialah tentang: tantangan yang dihadapi umat Islam kontemporer. Unsur Kedua: nilai-nilai dan doktrin agama sebagai obyek justifikasi. Unsur ketiga: Pisau analisa yang dipakai kelompok kedua untuk memahami dan mencari solusi dari agama. Yang terakhir ialah: implikasi dari metode yang digunakan.
            Lahirnya kelompok kedua –sebagaimana kelompok pertama- sama-sama bertolak dari keinginan untuk menjawab problematika yang sedang dihadapi umat di era kontemporer. Tantangan-tantangan itu meliputi: Modernisme(ciri: rasionalisme, empirisme, sekularisme, desakralisasi, non-metafisis, dikotomi, pragmatisme), Pascamodernisme(ciri: nihilisme, relativisme, anti-otoritas, pluralisme, multikulturalisme, persamaan/equality, feminisme/gender, liberalisme)  Globalisasi, Demokrasi, Toleransi, HAM, Pragmatisme, Positivisme(Semua berasal dari hegemoni pemikiran dan filsafat Barat). Tantangan-tantangan yang ada ini, bagi kelompok kedua tidak bisa diatasi dengan metodologi tradisional dan interpretasi ulama klasik dalam memahami Islam. Zaman selalu berubah. Perubahan zaman menuntut cendekiawan Muslim untuk menggunakan metode baru agar relevansi Islam bisa dipertahankan dengan baik di setiap tempat dan waktu. Dari sinilah kelompok ini menemukan urgensi metode Barat untuk digunakan agar tantangan-tantangan itu bisa dijawab.
            Pisau analisa yang biasa dipakai oleh kelompok kedua ialah: Kontekstual(teks sudah tidak lagi menjadi rujukan utama, karena dibalik lahirnya teks selalu ada konteks yang melatarinya, sehingga dalam memahami taks al-Qur`an dan Sunnah harus digunakan pendekatan kontekstual), Obyektif(kebenaran yang diterima adalah kebenaran yang obyektif, sedangkan kebenaran yang dihasilkan ulama selama ini adalah kebenaran subyektif karena itu harus dibuang untuk mendapat solusi yang obyektif), Reinterpretasi(teks-teks keagamaan harus ditafsir ulang demi fleksibelitas agama dalam menjawab problematika umat), Rekonstruksi(pemahaman-pemahaman klasik perlu dibangun kembali agar sesuai dengan perkembangan zaman), Dekonstruksi(ajaran-ajaran agama yang tidak sesuai dengan realitas perlu dibongkar), Desakralisasi(anti kesakralan), Empirisme(kebenaran diperoleh melalui penelitian empiris), Ilmiah(berdasarkan pendekatan saintifis), Rasional(sesuai dengan akal atau logika), Sosio-historis(didekati dengan melihat faktor sosial dan sejarah), Dikotomis(prsinsip pemisahan yang bisa disebut dengan dualisme), Anti-otoritas(sehingga semua ulama diragukan), Bebas Nilai(mengakui kenetralan ilmu), Anti-metafisik(semua dipahami berdasarkan fisik).
            Pertanyaan mendasar yang harus dijawab ialah benarkah untuk menghadapi masalah atau problematika yang menyelimuti umat Islam kontemporer akan bisa terjawab dengan menggunakan pisau analisa tadi? Kenyataannya tidak. Pembaruan agama yang diistilahkan Muhammad Syahrur, Muhammed Arkoun, Abdullahi an-Na`im,  dan lain sebagainya yang notabene dianggap sebagai cendekiawan Muslim sekaligus pembaru, justru membahayakan eksistensi ajaran Islam sendiri. Islam mempunyai tradisi keilmuan tersendiri. Di dalamnya juga ada ajaran yang tsawābit(permanen) dan mutaghayyirāt(dinamis).Merupakan tindakan yang fatal, jika metode-metode Barat digunakan untuk memahami Islam demi menjawab tantangan kontemporer. Yang ada, ketika metode ini dipaksakan, maka ajaran agama bisa bubar. Maunya ‘pembaruan agama’ kenyataannya malah ‘pembubaran agama’. Ironisnya –meraka yang mengusung toleransi- tidak segan-segan melabeli orang yang tidak sependapat denganny dengan istilah: Puritan, Fundamentalisme, Radikalisme, Tekstual, Eksklusif, Revivalisme, Jumud, Intoleran, Teroris, Islamis. Di sini menggambarkan betapa otoriternya mereka dalam memaksakan pendapat.
            Untuk mengetahui implikasi dan konsekuensi dari pendekatan mereka dalam memahami agama bisa dianalisa melalui contoh berikut. Kalau al-Qur`an dan Sunnah dipandang sebagai produk manusia, tidak diakui keotentisitasnya, dan harus didekati dengan pendekatan historis, kontekstual dan hermeunitis, maka sesuatu yang jelas-jelas haram akan menjadi halal lantaran disesuaikan dengan realitas yang ada. Ajaran-ajaran yang mendasar mengenai akidah dan ibadah, bisa dicampakkan begitu saja ketika bertentangan dengan problematika zaman. Kalau ajaran Islam diobok-obok sedemikian rupa, maka fungsi agama tidak ada lagi.  Babi yang haram bisa menjadi halal kalau dipahami secara hermeneutis dan kontekstual. Secara teks memang babi halal, tapi konteksnya dalam budaya Arab ketika itu jarang babi dan jarang air, jadi ternak babi begitu mahal dan menyusahkan, sedangkan kalau di Indonesia, ternak babi sangat murah dan didukung air yang melimpah, dengan demikian babi bisa menjadi halal. Kalau pendekatan-pendekatan ala Barat seperti ini tetap dipaksakan untuk memahami Islam yang sudah memiliki worldvew(pandangan hidup) dan epistemologi keilmuan tersendiri, maka namanya bukan ‘pembaruan agama’ tapi ‘pembubaran agama’.

Rekonstruksi Metodologi Ilmu Kalam

Written By Amoe Hirata on Kamis, 18 September 2014 | 23.09


(Refleksi dari Orasi Ilmiah Prof. Dr. Amal Fathullah Zarkasyi)

Merupakan kehormatan yang tiada kira, ketika pada hari ini aku dan teman-teman PKU menjadi tamu undangan untuk menghadiri pengukuhan gelar ‘profesor Akidah dan Filsafat Islam’, Dr. Amal Fathullah Zarkasyi, dan launching(peluncuran) peresmian UNIDA(Universitas Islam Darus Salam) yang sebelumnya bernama ISID(Institut Islam Darussalam) Gontor. Judul orasi ilmiah paka Amal ialah: “Nahwa `Ilmi al-Kalām al-Jadīd(Menuju Ilmu Kalam yang Baru)”. Diantara ide penting yang sempat penulis dengarkan, akan disampaikan dengan ringkas pada tulisan ini. Semoga tulisan ringkas ini bisa bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca sekalian. Di samping itu bisa memotivasi bagi para pakar Ilmu Kalam agar memberi perhatian lebih, khususnya dalam bidang tantangan pemikiran kontemporer yang dihadapi Ilmu Kalam Islam di masa kini.

Ilmu Kalam termasuk ilmu yang sangat urgen karena mengandung dua hal penting dalam Islam, yaitu: Menetapkan(membuktikan) Akidah Islam dan Membelanya dari serangan para pembuat kebatilan. Dulu ilmu ini sangat berperan besar dalam membentengi akidah, dari serangan dan syubhat orang-orang nyeleneh dan memusuhi Islam, baik dari kalangan filosof, mu`tazilah, dan lain sebagainya. Adapun sekarang yang dihadapi sama sekali berbeda baik dari segi logika, metode dan temanya. Karena itulah ilmu perlu kiranya menyusun Ilmu Kalam yang sesuai dengan tantangan zaman modern. Artinya, -tanpa mengurangi rasa hormat kepada kontibusi Ilmu Kalam masa lampau- sekarang diperlukan pembaharuan metodologi Ilmu Kalam, mengingat yang dihadapi sekarang sangat berbeda dengan yang dihadapi pada masa lalu. Perbedaan itu dari segi logika, metode, tema yang semuanya merupakan tantangan kontemporer.

Ada Ulama dari India yang mendefinisikan Ilmu Kalam secara komprehensif dan menarik, yaitu Syekh Wakhidudin Khan. Beliau mendefinisikan Ilmu Kalam: “Alat untuk membantu dakwah islamiah yang ditujukan untuk menyampaikan kebenaran agama dengan bahasa, istilah, yang dipakai oleh komunikan dakwah pada masanya”. Kata-kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan bahwa metodologi Ilmu Kalam –tanpa harus menghilangkan hal-hal yang sudah tetap- harus disesuaikan dengan tantangan yang dihadapi. Karena tantangan yang dihadapi pada suatu masa, akan berbeda dengan masa setelahnya. Sifat tantangan itu dinamis, maka diperlukan metodologi yang dinamis pula untuk menghadapinya.

Tantangan modern (seperti: modernisme, posmodernisme, relativisme, nihilisme, pragmatisisme, sekularisme, eksistensialisme, positivisme, marsisme, evolusi, darwinisme dll) membutuhkan Ilmu Kalam baru yang sesuai dengannya. Artinya apa? Kalau tantangan-tantangan itu dihadapi dengan senjata-senjata klasik ala pakar Ilmu Kalam pada tempo dulu, maka –disamping tidak sesuai zaman- ia tidak akan mempan untuk menghadapi gelombang tantangan pemikiran kontemporer. Disinilah letak signifikansi pembaharuan metodologi Ilmu Kalam. Makanya sekali lagi ulama ahli Kalam, dituntut untuk memperbaharui metodologi Ilmu Kalam agar bisa mengatasi tantangan pemikiran kontemporer.

Jadi, tema Ilmu Kalam yang baru ialah mengenai, tantangan pemikiran kontemporer. Untuk manhaj(metodelogi) yang dipakai bagi Ilmu Kalam Baru ialah dengan: Metodologi filosofis(pendekatan filsafat) dan metodologi ilmiah. Itu terkait dengan fungsi Ilmu Kalam sebagai difā`(pembela) bagi akidah Islam yang benar. Adapun Ilmu Kalam dalam hal Itsbati(pembuktian) itu harus bisa meyakinkan orang, menggerakkan perasaan, kemudian melahirkan amal. Membuat orang percaya dan yakin saja tidak cukup karena keyakinan harus menggugah perasaan, sedangkan perasaan harus melahirkan amal. Demikianlah ilmu dalam Islam, pada akhirnya harus membuahkan amal.

Manhaj baru dalam Ilmu Kalam ialah menggabungkan antara orisinalitas dan kontemporer, tsawābit(sesuatu yang sudah permanen dan final dalam agama) dan mutagoyyirōt(sesuatu yang dinamis dalam agama), klasik dan modern. Manhaj ini disebut dengan manhaj takamuli(integratif). Yang berlandaskan beberapa anatomi: 1. Berasaskan al-Qur`an 2. Sistematis 3. Kontemporer 4. Logis, intuitif  5. Berakhlak. Al-Qur`an –tentu saja juga Hadits-menjadi rujukan utama, dibangun dengan sistematika yang tinggi, disampaikan dengan bahasa dan cara kontemporer, bersifat logis dan mampu menggerakkan intuisi komunikan dakwah, dan yang terakhir harus bisa membuahkan akhlak mulia. Itulah barangkali beberapa poin penting yang sempat aku dengarkan langsung dari orasi ilmiah Prof. Dr. Amal Fathullah Zarkasyi.

Siman, Kamis 18 September 2014


Konsep Bermasalah ‘Dekonstruksi Syari`ah’

Written By Amoe Hirata on Rabu, 17 September 2014 | 19.41


            Tidak seperti agama-agama yang lain, Islam sebagai agama sudah sempurna. Kesempurnaan itu bisa dilihat dari sumber hukum yang sudah jelas dan pasti, dan bangunan sistem keilmuan yang begitu kuat tak tertandingi. Lain halnya dengan agama-agama lain yang ajaran-ajaran serta sumber hukumnya tidak komplit, sehingga perlu upaya untuk menyesuaikan agama dengan semangat zaman. Ketidakkomplitan ajaran-ajaran agama non-Islam berimplikasi pada pendekonstruksian ajaran agama supaya selaras dengan perkembangan masa.
            Dalam Islam, meskipun ajarannya sudah jelas dan sempurna, namun di dalamnya ada beberapa ajaran yang memberi ruang untuk perubahan. Ajaran-ajaran yang sudah permanen disebut al-tsawabit, ajaran yang sifatnya tidak tetap, disebut dengan al-mutaghoyyirat. Konsep al-mutaghoyyirat dan al-Tsawabit ini semakin mengukuhkan bahwa Islam adalah agama yang jelas dan komplit, serta akomodatif dengan semangat zaman selama tidak menabrak yang sudah tetap.
            Salah satu wacana yang santer dibicarakan dan hingga kini terus berkembang ialah upaya dekonstruksi syari`ah. Upaya dekonstruksi ini sebenarnya masih dalam batas kewajaran jika digunakan untuk mengatasi probelem keagamaan yang menghadapi agama-agama non-Islam. Upaya itu dilakukan memang untuk mensinergikan antara ajaran agama dengan realitas yang ada. Dalam Islam sendiri sebagaimana yang telah disebut ada ruang khusus yang memungkinkan untuk diijtihadi agar sesuai dengan semangat zama asala tidak bertentangan dengan syariat yang sudah tetap.
            Pada realitanya, wacana dekonstruksi yang begitu berkembang pesat ini, kemudian berjalan tanpa kendali, sehingga sampai pada ranah syari`ah Islam. Kalau yang mendekonstruksi itu berasal dari orang Barat Sekular, yang notabene memusuhi syari`at Islam, itu masih bisa dipahami, ironisnya sekarang yang mengusung dan mempropagandakan ide itu justru dari cendekiawan Muslim. Pada umumnya, mereka rata-rata menimba ilmu keislaman dari Barat, sehingga world vew(pandangan hidup) yang dipakai untuk memahami syari`at juga dengan pandangan hidup Barat.
            Sebut saja misalkan Abdullahi Ahmad al-Na`im(yang menganggap syari`at hanyalah interpretasi Muslim atas kitab suci mereka), al-Asymawi(yang mengatakan bahwa jilbab adalah produk budaya), Ali Abdul Raziq( yang menyatakan bahwa sistem pemerintahan dalam Islam itu tidak ada), ada juga nama-nama lain dari kalangan Muslim yang memiliki gaya yang sama dalam upaya mendekonstruksi syari`ah, misalkan: Muhammad Syahrur, Arkoun, Hasan Hanafi, Abid Al-Jabiri, Nashr Hamid Abu Zaid dan lain sebagainya yang sangat antusias dalam mereinterpretasi ajaran agama atau bahkan merombak nilai-nilai agama yang bertentangangan denga semangat zaman.
            Upaya dekonstruksi syari`ah dilihat dari segi tujuannya memang bagus, yaitu menyajikan Islam sesuai dengan perkembangan zaman. Pada saat yang sama konsekuensi dari upaya itu justru akan merusak ajaran-ajaran Islam. Padahal dalam agama Islam ada ranah yang memang sudah paten dan tidak bisa diganggugugat. Bila ide ini dipaksakan, maka syari`ah akan bubar dan tidak mempunyai legitimasi lagi. Orang tanpa otoritas keilmuan akhirnya bisa seenaknya sendiri untuk menafsirkan ajaran agama sesuai dengan kemauannya.
            Selama ide dekonstuksi syari`ah itu dipraktikkan dalam agama non-Islam, itu wajar dan bisa dimaklumi, lantaran ajaran-ajaran dalam agama mereka begitu pronlematik. Namun ide ini menjadi salah ketika digunakan dalam memahami dan ‘memperbarui’ ajaran-ajaran agama yang sudah tetap. Dalam tradisi keilmuan Islam, tidak sembarang orang yang mempunyai otoritas berbicara pada ranah syari`ah. Hanya ulama-ulama yang mumpuni, yang mempunyai otoritas dalam bidang itu. Ketika orang yang tidak otoritatif dibiarkan untuk mengkaji dan memperbaharui syariat, yang ada bukan kebenaran yang didapat, malah tambah sesat.

Kalahkan Dirimu!

Written By Amoe Hirata on Kamis, 11 September 2014 | 16.53

            Salah satu musuh besar yang bisa menghambat seorang pahlawan dalam meraih kepahlawanannya ialah ketika terakumulasi kesuksesan-kesuksesan kecil yang kemudian menumbuhkan virus yang berbahaya, yaitu `ujub(teramat kagum dengan potensi diri) dan ghurur(terlena dengan potensi diri). `Ujub dan ghurur adalah ujian terakhir di ambang pintu kesuksesan. Keduanya sangat tidak kentara, karena itulah banyak yang gagal melampauinya. Ini bisa menimpa orang pintar, ketika mereka terlalu kagum dan terlena kepada kepintarannya. Ini juga berlaku kepada setiap manusia yang sedang menghadapi ‘Ujian Akhir Kesuksesan’ sementaranya. Begitu halus dan lekatnya virus ini, maka setiap orang yang menginginkan kesuksesan harus mempunyai kesadaran berlipat untuk mengatasinya. Bila tidak maka mimpi dan cita-cita yang dibangun selama ini akan sirna begitu saja.
            Banyak orang tertipu bahwa setelah berhasil menghadapi tantangan-tantangan dari luar dirinya, lalu dia merasa ‘pensiun dini’ menikmati jerih payah yang selama ini dikerahkan, tanpa sadar bahwa yang namanya ujian internal berupa hawa nafsu secara konstan akan menjadi musuh tercanggih. Rupanya tanpa gangguan setan pun manusia diberi potensi yang namanya nafsu ammârotun bi al-sû`(yang secara intensif banyak menyuruh kepada kejelekan), itulah tadi yang disebut `ujub dan ghurur salah satu penyakit hati kronis yang perlu segera diatasi sebelum merusak hati seseorang. Karena itulah prestasi apapun yang didapat manusia, jangan sampai membuat dirinya kagum dan terlena karena keduanya –sepanjang sejarah kehidupan manusia- merupakan faktor yang membinasakan atau menghambat kesuksesan orang.
            Kenyataan itu memngantarkan kita pada pernyataan penting: “musuh terbesar –meskipun itu dahsyat- sebenarnya bukanlah yang berada di luar dirimu, tapi musuh terbesar adalah diri sendiri, karena itulah kalahkan dirimu sebelum menjemput kemenanganmu!”. Mungkin anda bisa menghadapi beratus rintangan yang sifatnya fisik di depan anda, namun rintangan hati sungguh tak kentara dan sangat licin, sehingga tak jarang dapat menggelincirkan seseorang. Bagaimana kita menghadapi musuh yang ada pada diri sendiri? Sebagaimana penyakit atau racun yang ada dalam badan manusia, maka perlu ada upaya detosifikasi(penawaran atau penetralan toksin di dalam tubuh). Toksin(racun) berupa ghurur dan `ujub yang melekat pada diri seseorang harus segera didetoksifikasi dengan akhlak tawadhlu`. Tawadhlu` merupakan merupakan penawar toksin ghurur dan `ujub yang mujarab.
            Kita tentu tahu ‘makhluk antagonis’ seperti iblis. Sebelum ia dilaknat oleh Allah ta`ala, ia adalah termasuk makhluk yang dimuliakan dan tinggal di surga. Faktor penting yang membuat mereka terusir disamping sombong ialah ia merasa kagum dengan potensi diri sehingga meremehkan Adam. Ketika disuru ‘sujud penghormatan’ mereka malah berkilah: “Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan ia engkau ciptakan dari tanah”. Pembangkangan Iblis lantaran sifat `ujub ini membuatnya terusir dan terlaknat. Kita juga tentu tahu kisah pasukan dari kaum muslimin yang sempat kalah dari musuh dalam pertempuran Hunain lantaran `ujub dengan jumlah pasukannya. Demikian juga dalam pertempuran lain seperti Las Navas de Tolosa(mauqi`ah iqôb) yang dipimpin oleh Nashir Li Dinillah. Mereka kalah karena dihinggapi virus `ujub.
            Demikian juga pertempuran Tours (balâth syuhadâ) yang dipimpin oleh Abdurrahman al-Ghôfiqi, para prajurit merasa bangga dengan jumlah, akhirnya mereka kalah. Menariknya, ini juga berlaku pada non-muslim. Ketika para prajurit sekutu kafir Qurays hendak melancarkan pertempuran Ahzab (khandaq), mereka merasa berbangga diri karena jumlah mereka sangat banyak dibandingkan dengan jumlah kaum muslimin sewaktu terjadi pengepungan di Madinah. Ternyata jumlah pasukan yang banyak tak otomatis membuat mereka memenangkan pertempuran. Mereka sudah kalah dan terlena terlebih dahulu dengan kehebatan diri, akhirnya mereka harus rela menelan hasil pahit berupa kekalahan. Beberapa kisah tersebut semakin mengukuhkan sebuah kenyataan penting: “musuh terbesar adalah terletak pada diri sendiri, kalahkan dirimu –dengan selalu tawadhlu` terhadap segenap potensi yang dimiliki-, kemudian jemputlah kesuksesanmu!”

Siman, Kamis 11 September 2014/16:41


Menikmati Kebaikan

            Islam adalah agama yang rahmat bagi seluruh alam. Rahmat itu bisa dilihat dari berbagai aspek kehidupan manusia serta alam yang melingkupinya. Nabi Muhammad sebagai ‘pembawa pesan’ dari Allah –di sepanjang hidupnya ketika diutus menjadi Nabi dan Rasul- telah berhasil mengejawantahkan  rahmat ini bagi seluruh alam. Rahmat itu bisa di lihat pada ranah kepemimpinan, hukum, sosial-kemasyarakatan, keluarga, politik, individu, umat beragama, negara, bahkan jin dan hewan pun tak luput dari realisasi Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi seantero alam. Ini senada dengan firman Allah ta`âla: dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam(Q.s. Al-Anbiyâ`: 107).
            Di antara sarana yang fundamental untuk mewujudkan rahmat Islam bagi seantero alam ialah dengan dakwah dengan berbagai macam variabelnya. Tentu saja dakwah di sini harus memenuhi beberapa prinsip yang telah dicanangkan Allah yang artinya sebagai berikut: serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk(Q.s. An-Nahl: 125). Di sini dengan sangat jelas dakwah harus memenuhi beberapa unsur, hikmah, nasihat yang baik, dan berdebat dengan cara terbaik. Jika dakwah ditanggalkan dari unsur tersebut, maka dakwah yang baik itu pada gilirannya akan menjadi keburukan.
            Setelah dakwah memenuhi tiga unsur tersebut, baru seorang da`i –sesuai dengan kapasitas dan otoritasnya- boleh mentransfer rahmat Islam bagi seluruh alam. Yang dimaksud dakwah di sini ialah dakwah khair(kebaikan) sebagaimana firman Allah ta`ala yang artinya: dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung(Q.s. Ali Imran: 104). Dalam Islam, tujuan yang baik harus dicapai dengan sarana yang baik pula. Dengan suritauladan yang baik, nasihat yang apik, dan diskusi yang simpatik dan mencerahkan, pada gilirannya rahmat Islam akan bisa dijelmakan pada seantero alam.  Ini merupakan tugas bagi para da`i dan butuh juga partisipasi bagi setiap umat Islam.
            Umat muslim tentu sepakat bahwa rahmat bagi seluruh alam itu baik, dakwah dengan ketiga unsur tadi juga merupakan kebaikan pula, dan keduanya sudah memenuhi tujuan dan cara yang baik dan benar sesuai dengan syari`at Islam; namun masalahnya kemudian ialah apakah yang perlu dilakukan terlebih dahulu secara prioritas, mengajak dan menyuruh orang berbuat kebaikan atau membuat orang merasa menikmati kebaikan sehingga tanpa disuruh pun mereka secara otomatis akan melakukan kebaikan? Tentu saja para da`i harus mampu meyakinkan orang yang didakwahi bahwa para da`i benar-benar percaya dan menikmati apa yang dibawanya. Kemudian setelah itu melalui uswah hasanah(contoh yang baik) dan pergaulan yang intensif dengan bertahap para da`i berusaha membuat mereka menikmati kebaikan yang mau disampaikan oleh da`i.
            Berkaca kepada sirah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam, sebelum mendakwahkan Islam, ia sudah dikenal sebagai orang yang berbudi luhur. Siapa saja mengakui keamanahan dan kebaikan dirinya. Ketika dakwah pertama dimulai, orang sekelas Khadijah, Ali, Abu Bakar, Bilal bin Rabbah, Utsman, Abdurrahman bin `Auf dan lain sebagainya dengan lekas memeluk Islam. Sebelum diajak mengikuti kebaikan Islam, mereka terlebih dahulu menikmati akhlak Rasulullah yang begitu luhur.
Kenikmatan itu membuat mereka percaya bahwa orang seperti beliau -yang tidak pernah bohong sekalipun seumur hidupnya-, tidak mungkin mengajak kepada kejelekan. Tauladan yang bai dari Rasul menjadikan mereka yakin bahwa apa yang diserukan olehnya pasti juga baik. Keteladanan yang baik membuat mereka menikmati kebaikan, bahkan mereka jatuh cinta pada Rasulullah shallalahu `alaihi wasallam. Ajak mereka menikmati kebaikan dengan uswah yang baik, untuk kemudian menuju Islam yang rahmatan lil `âlamîn.

 Siman, 11 September 2014/13:11

من دار الظلام إلى معهد دار السلام

Written By Amoe Hirata on Rabu, 10 September 2014 | 21.50


          في هذه الفرصة الثمينة أريد أن أكتب شيئا من تاريخ معهد دار السلام الحديث كونتور. الشيء الأول الذي يثير انتباه القارئ هو معنى كلمة "كنتور". اشتقّت هذه الكلمة من لغة الجاوة وهي تتكون من كلمتين: "كون" بمعنى "المكان" و"تور" بمعنى "موَسَّخْ" أو"مقذورة". والمراد بكونتور إذاً –كما قال كيايي الحاج سمش الهادي عبدان[1] في مجلة كونتور- المكان القذير أو الموسَّخ. ومعنى القذرة والوسخ ليس ضدّ النظافة بل يراد به المكان مليء بالمعاصي. قبل بناء معهد دار السلام كانت قرية كونتور مركز العاهرة والسارق وما يشابه ذلك. الكلمة المناسبة لتعبير تلك قرية في ذلك الزمان هي "دار الظلام".
          كيف تتغير هذه القرية التى ملئت باالمعاصي والظلام الي دار السلام الذي ملأ بالأنوار وفضائل الإسلام؟ البيان ذلك ما يأتي: أولا- الشيئ المهم الذي له دور فعال في تغيير المجتمع هو إخلاص النية والعمل. لقد كان المؤسس الثلاث(تريمورتي: أ. حسن سهل، أ. زين الدين فناني، أ. إمام زركشي) قد قاموا بدورهم الفعال في الدعوة إلى الله مسلحا بسلاح الإخلاص. بدون الإخلاص لا ينجح الداعي. ثانيا- لقد اهتم تريمورتي بمجال التربية الإسلامية اهتماما فائقا. التربية الإسلامية من أحد الوسائل الدعوية المهمة لإنجاح الدعوة. تتبلور فكرتهم عن التربية ببناء المعهد الإسلامي الحديث الذي اشتهر بعد ذلك باسم معهد دار السلام الحديث.

Dari Beradab Menuju Biadab

Written By Amoe Hirata on Senin, 08 September 2014 | 23.04


Kalau dulu Nietzsche berkata:
God is dead
“Tuhan telah mati”
Jangan kaget!
Dia memang tidak mengerti

Yang aneh ketika,
Ada ‘mahasiswa terkutuk’
Dari UIN berkata:
 “Tuhan Membusuk”
Tanpa merasa berdosa

Mungkin ada yang tidak terima:
“Maksud kami bukan Tuhan”
“Hanya nilainya”
Pembenaran dipertahankan
Padahal ‘Tuhan’ jelas dihina

Akhirnya,
Inilah gambaran
Jika ilmu tak beriring adab
Yang sakral diangga profan
Dari beradab menuju biadab
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan