Diantara
sekian banyak paham yang menyebar luas di era kontemporer ialah tentang masalah
feminisme. Ada beberapa kata yang bisa dikatakan sebagai ‘saudara kandung’ dari
kata feminis yang berasal dari Barat seperti: kesetaraan gender, dan emansipasi
wanita.Sebenarnya di Barat sendiri dilihat secara historis paham-paham yang
sedang tren ini timbul tidak lepas dari ‘rasa trauma’ para wanita Barat yang
diperlakukan secara tidak manusiawi baik oleh penguasa maupun pemuka agama di
gereja melalui inkuisisi dan lain sebagainya. ‘Trauma sejarah’ yang dirasakan
oleh kebanyakan wanita Barat pada abad kegelapan(dark ages) dan abad
pertengahan(middle ages) inilah yang pada masa baik modern maupun
post-modern berusah disebarluaskan kesegenap negara yang ada di dunia.
Yang menjadi
masalah kemudian, paham yang diimpor dari Barat ini, rupanya mewabah di
kalangan umat Islam. Ramailah dialog-dialog yang berkaitan dengan tema
feminisme yang obyek utamanya adalah wanita. Banyak para intelektual muslim
yang turut serta meramaikan dialog itu dengan cara menulis di media masa atau
dengan menulis buku secara khusus. Banyak pula wanita muslimah yang terbujuk
hingga rela memperjuangkannya dalam bentuk gerakan. Mereka secara berani menggugat
ajaran-ajaran agama yang sifatnya permanen, dengan argumentasi-argumentasi yang
disesuaikan dengan konteks yang ada sesuai dengan sosio-kultural. Wacana yang
diangkat terdengar menarik, tetapi ketika diteliti ternyata tidak otentik.
Seolah-olah memperjuangkan wanita, sejatinya memasung kodratnya.
Syubhat
yang diperjuangkan oleh kaum feminis –yang menurut mereka bertentangan dengan
doktrin agama Islam- biasanya mengenai masalah: pembagian waris antara pria dan
wanita yang dinilai tidak adil lantaran satu banding dua, adanya ayat dan
hadits misoginis(yang membenci wanita) seperti mengenai derajat wanita lebih
rendah dari laki-laki, laknat malaikat terhadap istri yang tidak mau
melayani(berhubungan intim)suami,
kekerasan rumah tangga (dalam hal ini legalitas pemukulan) yang diilhami oleh
ayat tentang nusyûz(Qs. An-Nisa: 34), kepemimpinan wanita dan lain
sebagainya. Menurut logika yang mereka pegang segala ajaran dalam Islam yang
menyalahi kepentingan wanita –tentu saja sesuai dengan versi cara pandang
mereka-, maka ayat itu harus ditafsirkan secara kontekstual atau kalau tidak
bisa maka ditolak sama sekali dan diragukan keotentikannya sebagai dalil. Atas
dasar logika yang rancu ini, mereka melatari segenap perjuangan mereka. Akibat
yang paling fatal ialah doktrin agama yang sudah tegas, ditolak dengan ganas.
Dalil-dalil yang sudah qath`i(tetap), diplintir sesuka hati.
Ide
feminisme lahir tentu saja berasal dari logika yang dilatari kenyataan sejarah.
Untuk mengetahui letak kerancuan logika yang probelematis itu -ketika dipaksakan
dalam memahami teks agama Islam-, kita perlu mengambil salah satu syubhat yang
didengungkan kemudian menakar dan menimbang apakah argumen yang dibangun
berdasarkan logika yang jelas, atau malah problematis. Misal saja kita
mengambil syubhat tentang penyamaan antara laki-laki dan perempuan dalam segala
aspeknya, yang berimplikasi pada penolakan ayat tentang hak waris. Untuk
menimbang kekuatan dari statemen itu kita perlu menanyakan lebih dalam
mengenai kekuatan argumen yang melandasinya. Bila ternyata argumennya dibangun
berdasarkan pada dalil yang tidak ilmiah dan logis, bahkan memaksakan sesuatu
sesuai dengan kemauan pribadi tanpa mengindahkan asas berpikir ilmiah, berarti
idenya problematis, dan tentunya tidak bisa diterima.
Kalau memang
wanita dan laki-laki sama, lalu mengapa secara biologis –sejak awal- berbeda?
Kalau mau menafsirkan teks agama, apa bisa disebut logis dan ilmiah jika
menggunakan metodologi tafsir yang ternyata bertentangan dengan agama? Bisakah
panduan mesin pesawat digunakan untuk menjalankan dan merawat mesik kapal?
Kalau kita marah pada seseorang, apakah kita dibenarkan melampiaskan kemarahan
pada orang yang tidak salah? Ditambah lagi dengan fakta di lapangan yang
menjelaskan bahwa ternyata persamaan yang diperjuangkan hanya menyangkut sesuatu
yang menguntungkan menurut mereka. Ayat dicomot sedemikian rupa, dengan merubah
interpretasi dan makna aslinya. Bila demi kepentingan kemudian dengan sengaja
memanipulasi interpretasi dalil, apakah ini bisa dibenarkan? Dari sini kita bisa
menilai betapa problematisnya logika berpikir yang diterapkan oleh pejuang
feminis.
Bila
kita mau jujur memperlakukan teks agama Islam –yang dalam hal ini yang diserang
adalah al-Qur`an mengenai hak waris-, maka untuk menafsirkannya tentunya dengan
menggunakan metodologi ahli tafsir yang mempunyai otoritas di dalamnya.
Merupakan tindakan yang tidak ilmiah jika memaksa memaknai teks agama dengan
metodologi yang sama sekali berbeda dan bertentangan dengan agama. Kalau memang
pembagian hak waris itu dianggap tidak adil lantaran satu banding dua, yang
perlu diselesaikan terlebih dahulu ialah definisi adil. Apakah adil meski sama
rata? Apakah bisa disebut adil jika menyamakan uang saku anak kuliah dengan
uang saku anak TK? Justru pembagian satu banding dua itu menggambarkan keadilan
yang sudah benar dan tidak perlu diperdebatkan lagi kalau benar-benar memahami
pesan yang terkandung di dalamnya. Logikanya laki-laki dapat dua, tapi dia
masih mempunyai tanggungan untuk menafkahi istri; sedangkan perempuan dapat satu
tapi nanti ia mendapat nafkah dari suami, apakah pembagian seperti ini masih
dikatakan sebagai pembagian yang tidak adil?.
Bila sejak
awal logika yang menjadi asas berpikir sudah problematis, maka kesimpulan yang
didapat juga akan problematis. Mereka berjuang atas kepentingan hawa, kemudian
marasionalisasikan asumsi dengan merusak tafsir agama. Mereka adalah orang yang rugi, sebagaimana
surat al-Kahfi ayat 103-104: “Katakanlah:
"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya?(103)Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya(104)”. Di sini Allah ta`ala memberitahukan
orang yang paling rugi. Kata kuncinya ialah: mereka merasa beramal, berjuang,
tetapi amalannya sia-sia, parahnya dengan PD-nya merasa bahwa apa yang
diperjuangkan adalah perbuatan yang baik, dan demi kepentingan bersama.
Siman, ISID 01 September 2014/12:10
teori adil 50/50 sendiri sebenarnya banyak dikritik orang bule .. E. Wolgast, John Rawls dkk,, di bukunya bu Ratna Megawangi pak,, hehe..
BalasHapusok banget pak, :)
Hapusthanks pak :)
BalasHapus