Home » » Kabinet Transisi apa Transaksi?

Kabinet Transisi apa Transaksi?

Written By Amoe Hirata on Rabu, 24 September 2014 | 21.00


            Ada seorang ibu paruh baya -ditemani oleh suaminya- sedang menuju ke rumah Sarikhuluk. Dandanannya terlihat rapi dan terkesan sebagai orang penting. Dari muka keduanya terlihat aura keriasauan dan kesedihan. Wanita itu bernama Siti Lasmini, sedangkan suaminya bernama Joko Sasmito. Sesampainya di rumah Sarikhuluk, keduanya hampir saja kecewa lantaran Sarikhuluk tidak ada di rumahnya. Biasanya jam tujuh pagi hingga menjelang Dzuhur, aktivitas Sarikhuluk ialah bercengkrama dengan sawah. Hampir saja kedua orang itu pulang dengan membawa kekecewaan, kalau saja tidak ada bu Ngatiyem(seorang nenek tetangga Sarikhuluk) yang menunjukkan keberadaan Sarikhuluk. Diantarlah mereka berdua ke sawah Sarikhuluk. Dari kejauhan Sarikhuluk terlihat sedang duduk istirahat di gubuk pinggir sawah buatannya.
            Betapa kagetnya Sarikhuluk-setelah diberi tahu-, ternyata yang datang adalah Si Mimin, kawan main kecilnya dulu. Masih segar dalam ingatan Sarikhuluk ketika dulu keduanya merupakan anak yang aktif dan kompak dalam menggerakkan teman-temannya, baik utuk urusan permainan maupun urusan sosial yang mungkin jarang didapati dari anak seusia mereka. Dulu Si Mimin(Lasmini) termasuk warga desa Jumeneng. Ketika lulus SD, ia harus keluar dari desa Jumeneng, lantaran ayah dan ibunya dipindahtugaskan ke ibu kota. Karuan saja sekarang Sarikhuluk merasa kaget dan aneh. Pasalnya anak ingusan yang dulu menjadi kawan akrabnya, sekarang sudah tumbuh menjadi wanita dewasa, cantik, dan menjadi pejabat terkenal. Dengan gaya khasnya Sarikhuluk langsung bergurau: “Waduh Min, kamu `kan dulu pernah janji akan nunggu aku. Lha sekarang kok sudah membawa suami”.
            Lasmini pun ga mau kalah, ia menimpali: “Kamu sih kurang gentel. Bertahun-tahun aku menunggumu, tapi kamu tak berani ke orang tuaku”. Tertawa renyah akhirnya menghiasi obrolan perdana mereka, setelah 30 tahun tidak bertemu. “Luk, kedatanganku kesini disamping aku inging banget shilaturrahim sama kamu, ada hal penting yang ingin aku diskusikan sama kamu. Suamiku juga aku ajak, karena dia penasaran dengan sosok Sarikhuluk. Aku banyak sekali cerita tentang kamu ke dia. Sosok genuine(otentik) pembelajar sejati meskipun tidak mengenyam pendidikan formal. Saking kagumnya dia dengan kamu, dia sampai membuat Novel –kebetulan dia adalah penulis novel- tentang tokoh imaginer yang menceritakan tentang sosok dirimu. Memang kita sudah 30 tahun tidak bertemu, namun kisah bersamamu ketika masih kecil  masing aku ingat dengan baik. Sepurane ya kalau aku baru bisa bertemu kamu kali ini” ungkap Lasmini dengan gaya omong khasnya yang masih belum berubah sejak kecil.
            “Ah Min, kamu ada-ada saja. Orang ga jelas kaya` aku begini pakai ditulis segala. Nantinya malah jadi virus bagi para pembaca” tanggap Sarikhuluk sambil senyum. “O iya, kamu itu laksana virus bagiku. Tapi virus positif tentunya, hehehe... oya kenalkan ini suamiku. Namanya Joko Sasmito, guru bahasa Indonesia dan penulis sastra. Kalau aku sekarang jadi pengamat politik dan pemerhati sosial. Kalau pekerjaan rutinku sih menjadi dosen dan mengurusi yayasan yang aku dirikan bersama suamiku” timpal Lasmini. Berkenalanlah mereka berdua, dan langsung terlihat akrab, karena Sarikhuluk selalu mampu mencairkan suasana. “Alah Min, apapun profesimu bagiku kamu adalah seperti Mimin yang dulu, walaupun sudah lama tak bertemu, nilai kemanusiaanmu masih saja otentik. Kamu sekarang juga sudah berjilbab. Masyallah ga kebayang banget. Hee...dulu kamu terkenal tomboi, tapi sekarang....sumpah....berubah tenan.....hehehe”.
            “Kamu juga ga berubah Luk, gayamu dari dulu kayak gitu. Aku heran saja sampai sekarang, orang sejenius kamu kenapa kok ga mau sekolah. Eman sekali, teman-teman kita sudah menjadi orang semua” sahut Lasmini. “Ow syukurlah kalau begitu. Aku ga sekolah saja belum lulus-lulus jadi orang, apalagi sekolah Min. Nampaknya kamu agak terpengaruh dengan lingkungan perkotaan. Maqomku memang seperti ini Min, ga sekolah saja sudah bikin orang gusar, apalagi sekolah” komentar Sarikhuluk. “Ah lupakan masalah itu Luk, kamu selalu saja bisa ngeles dan rendah hati. Kampung kita ini begitu banyak berhutang budi sama kamu. Asal kamu tahu, anak lelaki pertama kunamakan Muhammad Sarikhuluk Alam Syah. O ya kembali ke pokok permasalahan. Semakin hari aku merasa semaki bingung hidup di kota Luk. Sebagai pemerhati dan aktivis sosial, aku acapkali berjumpa dengan pejabat-pejabat tak bermoral. Mereka pandai bersilat lidah. Ketika belum jadi pejabat, mereka seolah merakyat, tapi ketika sudah jadi pejabat, rakyat ditinggal minggat” sambung Lasmini.
            “Pertama terimakasih banyak telah menamakan anak lelaki pertamamu dengan namaku. Hehe jadi buat aku GR saja. Untuk masalah pejabat, ga usah terlalu dipikir berat-berat. Anggap saja mereka angin lalu. Aku dulu sudah pernah berorasi akhir tahun di depan penduduk desa Jumeneng. Dalam orasi yang berjudul “Orde Kapal Pecah” sudah kuterangkan secara implisit, bahwa negara ini sudah batal menjadi negara. Ga pantas lagi negara ini disebut negara yang berdaulat. Lha gimana coba, dikatakan negara sebagai organisasi besar untuk mensejahterakan rakyat, kok malah menyengsarakan rakyat. Sebelum pemilu dikampanyekan visi-misi begitu melangit, tapi setelah jadi,  rakyat seolah diinjak pakai tumit. Sebelum pemilu bilang “tidak ada transaksi politik dan jabatan” eh setelah jadi malah ada “transaksi terselubung” kalau begini rakyat semakin bingung, baru akhirnya menyesal karena salah mendukung. Kita tinggal menunggu ‘kenduri kesengsarasaan nasional’ jika kondisi ini terus berjalan.” tanggap Sarikhuluk.
            “Lha masa` kita diam saja Luk. Lalu bagaimana nasib rakyat-rakyat kecil kalau kita diam saja. Aku, suamiku, dan beberpa komunitas sosial yang kubentuk merasa terenyuh sekaligus menderita melihat kondisi yang semakin hari semakin tak teratasi” sanggah Lasmini. “Diam di sini bukan berarti diam Min. Dalam setiap kehancuran pasti ada kebangkitan. Kita tidak akan dibebani oleh Allah di atas kemampuan kita. Negara ini terlalu besar untuk kita atasi. Kalau memang negara dengan para pejabatnya sudah tidak peduli dengan saran-saran kita, kita sudah tak ada tanggung jawab sedikit pun. Kalau pun akhirnya negara ini harus hancur, aku yakin dalam waktu yang sama ada kebangkitan. Kamu ingat kan kisah Nuh yang dulu sewaktu kecil pernah kita mainkan dalam drama di desa waktu acara agustusan? Artinya kita tetap berjuang, bergerak lebih intensif sesuai dengan kapasitas kita. Kalaulah manusia pada umumnya tidak mau dengan saranmu, ya minimal kamu membuat sampan-sampan kecil untuk bisa menyelamatkan dari ‘banjir besar peradaban’”.
            “Maksudmu sampan-sampan kecil apa Luk”.  “Maksudku, kamu harus tetap optimis. Sebagaimana optimisnya Nabi Nuh ketika hendak dilanda banjir besar. Dia kurang apa cobak? Berdakwah selama 950 tahun, yang beriman cuma sedikit. Ketika mau dihancurkan, Nabi Nuh `kan disuruh membuat kapal, meskipun banyak yang mengejek, tapi pada akhirnya Nuh dan pengikutnya lah yang menyongsong kebangkitan di tengah kehancuran kebanyakan kaumnya yang sombong dan pongah. Sampan di sini bisa berarti penyadaran sosial, pencerahan masyarakat, membina dan mendidik masyarakat, membuat kegiatan-kegiatan yang semakin membuat manusia dekat kepada Tuhan, intinya Min segala hal yang bermanfaat harus tetap kita lakukan. Syukur-syukur kalau ternyata kita nanti dipilih Tuhan menjadi faktor kebangkitan. Kalau ndak ya gapapa juga, barangkali nanti anak cucu kita yang akan menikmati kebangkitan”.
“Aku jadi ingat pesan kanjeng Nabi: “sebelum kiamat kalau kamu sempat menanam pohon, maka tanamlah”. Ini kan pesan yang sungguh dahsyat dan bersekala peradaban Min. Namanya orang berjuang ya berjuang Min sealam ada kesempatan, bisa jadi yang akan memanen perjuangan adalah generasi yang akan datang. Sejak tiga puluh tahun lalu, aku sudah tidak peduli dengan yang namanya negara. Karena menurutku tak layak disebut negara. Cocoknya ya disebut perusahan. Betapapun kecewanya aku, tapi aku ga pernah putus asa Min. Kamu lihat sendiri sekarang, desa kita yang dulu amat terbelakang dalam bidang pendidikan, sekarang mengalami perkembangan yang luar biasa. Menariknya tidak terkontaminasi dengan pengaruh dari luar. Di sini aku mencium aroma kebangkitan. Setiap kali aku melihat negara yang sudah diambang kehancuran ini, memang aku sungguh merasa sangat sedih. Namun setiap kali aku memandang mereka, aku yakin kebangkitan akan segera tiba. Kerjaanku sekarang hanya menanam, menanam dan menanam, masalah hasil kuserahkan Tuhan.” Tak terasa mereka telah ngobrol dua jam. Lasmini dan Joko seolah mendapat spirit baru. Mereka berdua berandai: “Jika ada sepuluh orang kayak Sarikhuluk di negara ini, pasti masalah negara ini akan selesai”.  Mereka berdua pun akhirnya pamit, karena esok hari ada kegiatan yang harus dikerjakan.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan