Ada seorang ibu paruh baya -ditemani
oleh suaminya- sedang menuju ke rumah Sarikhuluk. Dandanannya terlihat rapi dan
terkesan sebagai orang penting. Dari muka keduanya terlihat aura keriasauan dan
kesedihan. Wanita itu bernama Siti Lasmini, sedangkan suaminya bernama Joko
Sasmito. Sesampainya di rumah Sarikhuluk, keduanya hampir saja kecewa lantaran
Sarikhuluk tidak ada di rumahnya. Biasanya jam tujuh pagi hingga menjelang Dzuhur,
aktivitas Sarikhuluk ialah bercengkrama dengan sawah. Hampir saja kedua orang
itu pulang dengan membawa kekecewaan, kalau saja tidak ada bu Ngatiyem(seorang
nenek tetangga Sarikhuluk) yang menunjukkan keberadaan Sarikhuluk. Diantarlah
mereka berdua ke sawah Sarikhuluk. Dari kejauhan Sarikhuluk terlihat sedang
duduk istirahat di gubuk pinggir sawah buatannya.
Betapa kagetnya Sarikhuluk-setelah
diberi tahu-, ternyata yang datang adalah Si Mimin, kawan main kecilnya dulu.
Masih segar dalam ingatan Sarikhuluk ketika dulu keduanya merupakan anak yang
aktif dan kompak dalam menggerakkan teman-temannya, baik utuk urusan permainan
maupun urusan sosial yang mungkin jarang didapati dari anak seusia mereka. Dulu
Si Mimin(Lasmini) termasuk warga desa Jumeneng. Ketika lulus SD, ia harus
keluar dari desa Jumeneng, lantaran ayah dan ibunya dipindahtugaskan ke ibu
kota. Karuan saja sekarang Sarikhuluk merasa kaget dan aneh. Pasalnya anak
ingusan yang dulu menjadi kawan akrabnya, sekarang sudah tumbuh menjadi wanita
dewasa, cantik, dan menjadi pejabat terkenal. Dengan gaya khasnya Sarikhuluk
langsung bergurau: “Waduh Min, kamu `kan dulu pernah janji akan nunggu aku. Lha
sekarang kok sudah membawa suami”.
Lasmini pun ga mau kalah, ia
menimpali: “Kamu sih kurang gentel. Bertahun-tahun aku menunggumu, tapi kamu
tak berani ke orang tuaku”. Tertawa renyah akhirnya menghiasi obrolan perdana
mereka, setelah 30 tahun tidak bertemu. “Luk, kedatanganku kesini disamping aku
inging banget shilaturrahim sama kamu, ada hal penting yang ingin aku
diskusikan sama kamu. Suamiku juga aku ajak, karena dia penasaran dengan sosok
Sarikhuluk. Aku banyak sekali cerita tentang kamu ke dia. Sosok genuine(otentik)
pembelajar sejati meskipun tidak mengenyam pendidikan formal. Saking kagumnya
dia dengan kamu, dia sampai membuat Novel –kebetulan dia adalah penulis novel-
tentang tokoh imaginer yang menceritakan tentang sosok dirimu. Memang
kita sudah 30 tahun tidak bertemu, namun kisah bersamamu ketika masih
kecil masing aku ingat dengan baik. Sepurane
ya kalau aku baru bisa bertemu kamu kali ini” ungkap Lasmini dengan gaya omong
khasnya yang masih belum berubah sejak kecil.
“Ah Min, kamu ada-ada saja. Orang ga
jelas kaya` aku begini pakai ditulis segala. Nantinya malah jadi virus bagi
para pembaca” tanggap Sarikhuluk sambil senyum. “O iya, kamu itu laksana virus
bagiku. Tapi virus positif tentunya, hehehe... oya kenalkan ini suamiku.
Namanya Joko Sasmito, guru bahasa Indonesia dan penulis sastra. Kalau aku
sekarang jadi pengamat politik dan pemerhati sosial. Kalau pekerjaan rutinku
sih menjadi dosen dan mengurusi yayasan yang aku dirikan bersama suamiku” timpal
Lasmini. Berkenalanlah mereka berdua, dan langsung terlihat akrab, karena
Sarikhuluk selalu mampu mencairkan suasana. “Alah Min, apapun profesimu bagiku
kamu adalah seperti Mimin yang dulu, walaupun sudah lama tak bertemu, nilai
kemanusiaanmu masih saja otentik. Kamu sekarang juga sudah berjilbab. Masyallah
ga kebayang banget. Hee...dulu kamu terkenal tomboi, tapi
sekarang....sumpah....berubah tenan.....hehehe”.
“Kamu juga ga berubah Luk, gayamu
dari dulu kayak gitu. Aku heran saja sampai sekarang, orang sejenius kamu
kenapa kok ga mau sekolah. Eman sekali, teman-teman kita sudah menjadi orang
semua” sahut Lasmini. “Ow syukurlah kalau begitu. Aku ga sekolah saja belum
lulus-lulus jadi orang, apalagi sekolah Min. Nampaknya kamu agak terpengaruh
dengan lingkungan perkotaan. Maqomku memang seperti ini Min, ga sekolah saja
sudah bikin orang gusar, apalagi sekolah” komentar Sarikhuluk. “Ah lupakan
masalah itu Luk, kamu selalu saja bisa ngeles dan rendah hati. Kampung kita ini
begitu banyak berhutang budi sama kamu. Asal kamu tahu, anak lelaki pertama
kunamakan Muhammad Sarikhuluk Alam Syah. O ya kembali ke pokok permasalahan.
Semakin hari aku merasa semaki bingung hidup di kota Luk. Sebagai pemerhati dan
aktivis sosial, aku acapkali berjumpa dengan pejabat-pejabat tak bermoral.
Mereka pandai bersilat lidah. Ketika belum jadi pejabat, mereka seolah
merakyat, tapi ketika sudah jadi pejabat, rakyat ditinggal minggat” sambung
Lasmini.
“Pertama terimakasih banyak telah
menamakan anak lelaki pertamamu dengan namaku. Hehe jadi buat aku GR saja.
Untuk masalah pejabat, ga usah terlalu dipikir berat-berat. Anggap saja mereka
angin lalu. Aku dulu sudah pernah berorasi akhir tahun di depan penduduk desa
Jumeneng. Dalam orasi yang berjudul “Orde Kapal Pecah” sudah kuterangkan secara
implisit, bahwa negara ini sudah batal menjadi negara. Ga pantas lagi negara
ini disebut negara yang berdaulat. Lha gimana coba, dikatakan negara
sebagai organisasi besar untuk mensejahterakan rakyat, kok malah menyengsarakan
rakyat. Sebelum pemilu dikampanyekan visi-misi begitu melangit, tapi setelah
jadi, rakyat seolah diinjak pakai tumit.
Sebelum pemilu bilang “tidak ada transaksi politik dan jabatan” eh setelah jadi
malah ada “transaksi terselubung” kalau begini rakyat semakin bingung, baru
akhirnya menyesal karena salah mendukung. Kita tinggal menunggu ‘kenduri kesengsarasaan
nasional’ jika kondisi ini terus berjalan.” tanggap Sarikhuluk.
“Lha masa` kita diam saja
Luk. Lalu bagaimana nasib rakyat-rakyat kecil kalau kita diam saja. Aku,
suamiku, dan beberpa komunitas sosial yang kubentuk merasa terenyuh sekaligus
menderita melihat kondisi yang semakin hari semakin tak teratasi” sanggah
Lasmini. “Diam di sini bukan berarti diam Min. Dalam setiap kehancuran pasti
ada kebangkitan. Kita tidak akan dibebani oleh Allah di atas kemampuan kita.
Negara ini terlalu besar untuk kita atasi. Kalau memang negara dengan para
pejabatnya sudah tidak peduli dengan saran-saran kita, kita sudah tak ada
tanggung jawab sedikit pun. Kalau pun akhirnya negara ini harus hancur, aku
yakin dalam waktu yang sama ada kebangkitan. Kamu ingat kan kisah Nuh yang dulu
sewaktu kecil pernah kita mainkan dalam drama di desa waktu acara agustusan?
Artinya kita tetap berjuang, bergerak lebih intensif sesuai dengan kapasitas
kita. Kalaulah manusia pada umumnya tidak mau dengan saranmu, ya minimal kamu
membuat sampan-sampan kecil untuk bisa menyelamatkan dari ‘banjir besar
peradaban’”.
“Maksudmu sampan-sampan kecil apa
Luk”. “Maksudku, kamu harus tetap
optimis. Sebagaimana optimisnya Nabi Nuh ketika hendak dilanda banjir besar.
Dia kurang apa cobak? Berdakwah selama 950 tahun, yang beriman cuma sedikit. Ketika
mau dihancurkan, Nabi Nuh `kan disuruh membuat kapal, meskipun banyak yang
mengejek, tapi pada akhirnya Nuh dan pengikutnya lah yang menyongsong
kebangkitan di tengah kehancuran kebanyakan kaumnya yang sombong dan pongah.
Sampan di sini bisa berarti penyadaran sosial, pencerahan masyarakat, membina
dan mendidik masyarakat, membuat kegiatan-kegiatan yang semakin membuat manusia
dekat kepada Tuhan, intinya Min segala hal yang bermanfaat harus tetap kita
lakukan. Syukur-syukur kalau ternyata kita nanti dipilih Tuhan menjadi faktor
kebangkitan. Kalau ndak ya gapapa juga, barangkali nanti anak cucu kita yang
akan menikmati kebangkitan”.
“Aku jadi ingat pesan kanjeng Nabi: “sebelum kiamat kalau kamu sempat
menanam pohon, maka tanamlah”. Ini kan pesan yang sungguh dahsyat dan bersekala
peradaban Min. Namanya orang berjuang ya berjuang Min sealam ada kesempatan,
bisa jadi yang akan memanen perjuangan adalah generasi yang akan datang. Sejak
tiga puluh tahun lalu, aku sudah tidak peduli dengan yang namanya negara.
Karena menurutku tak layak disebut negara. Cocoknya ya disebut perusahan.
Betapapun kecewanya aku, tapi aku ga pernah putus asa Min. Kamu lihat sendiri
sekarang, desa kita yang dulu amat terbelakang dalam bidang pendidikan,
sekarang mengalami perkembangan yang luar biasa. Menariknya tidak
terkontaminasi dengan pengaruh dari luar. Di sini aku mencium aroma
kebangkitan. Setiap kali aku melihat negara yang sudah diambang kehancuran ini,
memang aku sungguh merasa sangat sedih. Namun setiap kali aku memandang mereka,
aku yakin kebangkitan akan segera tiba. Kerjaanku sekarang hanya menanam,
menanam dan menanam, masalah hasil kuserahkan Tuhan.” Tak terasa mereka telah
ngobrol dua jam. Lasmini dan Joko seolah mendapat spirit baru. Mereka berdua
berandai: “Jika ada sepuluh orang kayak Sarikhuluk di negara ini, pasti masalah
negara ini akan selesai”. Mereka berdua
pun akhirnya pamit, karena esok hari ada kegiatan yang harus dikerjakan.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !