Home » » Halal Plus Tayibah

Halal Plus Tayibah

Written By Amoe Hirata on Minggu, 28 September 2014 | 21.50


            Setiap muslim yang taat, pasti sangat perhatian dalam masalah makanan yang halal. Karena begitu pentingnya mengetahui kehalalan makanan, maka dalam tubuh umat Islam ada lembagi khusus yang ditugasi untuk mengecek kehalalan dan keharaman makanan. Di negara Indonesia ini ada lembaga khusus bernama MUI(Majlis Ulama Indonesia) yang diberi legitimasi memberikan label ‘halal’ untuk makanan dan minuman. Pertanyaannya kemudian ialah apa yang dimaksud dengan ‘halal’ dan ‘tayibah’? mengapa kadar perhatian orang Islam terhadap masalah ‘tayibah’ tidak begitu besar layaknya perhatian mereka kepada masalah ‘halal’?. Apakah tepat jika kedua kata itu diceraikan? Apa hikmah dibalik penggabungan kedua kata tersebut? Pada tulisan ini akan dianalisa jawaban yang tepat terkait masalah ini. Hal ini dimaksudkan agar tidak parsial dalam memahami ayat-ayat al-Qur`an, dan supaya manfaatnya lebih besar bagi umat Islam khususnya, dan umat manusia pada umumnya terkait masalah makan yang halal dan tayibah.
            Dalam al-Qur`an kata perintah makan selalu disandingkan dengan kata ‘tayibah’:  Pertama, Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi tayibah dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu(Qs. Al-Baqarah: 168). Kedua,  dan makanlah makanan yang halal lagi tayibah dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya(Qs. Al-Maidah: 88). Ketiga, Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi tayibah, dan bertakwalah kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(Al-Anfal: 69). Keempat, Maka makanlah yang halal lagi tayibah dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah(An-Nahl: 114).
             Dalam al-Qur`an kata tayibah ternyata tidak hanya disandingkan dengan kata makanan, tapi juga disandingkan dengan kata: al-baladu al-thayyib, negeri yang baik(Qs. Al-A`raf: 8), sha`idan thayyibah, debu yang baik(Qs. An-Nisa: 43), masakin thayyibah, tempat tinggal yang baik(Qs. At-Taubah: 72), rihin thayyibah, angin yang baik(Qs. Yunus: 22), kalimah thayyibah, kata yang baik(Qs. Ibrahim: 24), syajarah thayyibah, pohon yang baik(Qs. Ibrahim:: 24), hayah thayyibah, kehidupan yang baik(Qs. An-Nahl: 97). Adapun penggunaannya dalam hadits, kata 'halal tayibah' terdapat pada riwayat shahih Bukhari. Ketika Ibnu Abbas ditanya oleh Abu al-Juwairiyah mengenai hukum minuman badzak(perasan anggur yang dimasak), ibnu Abbas menjawab: "Muhammad telah menjelaskan bahwa setiap yang memabukkan itu haram. Minuman adalah yang halal dan tayib. Tidak ada sesudah minuman yang halal tayibah, melainkan yang haram khabits.
               Terkait dengan kata 'tayib' ada hadits yang artinya: Dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu anhu ia berkata: Rosulullah Shollallahu alaihi wa sallam bersabda: ” Sesungguhnya Allah Ta’ala itu tayib(baik) dan tidak menerima kecuali yang tayib(baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang orang yang beriman dengan sesuatau yang telah diperintahkan kepada para RosulNya. Maka Allah Ta’ala berfirman: "Wahai para Rosul makanlah kamu dari yang tayib(baik )dan berbuatlah kamu dengan beramal sholeh". Dan Allah Ta’ala berfirman [juga]: "Wahai orang orang yang beriman makanlah kamu dari yang baik yaitu dari apa yang Saya [Allah] rezekikan kepadamu". Kemidian Beliau menyebut seorang laki laki yang panjang perjalanannya berambut kusut lagi berdebu sambil menadahkan tangannya ke langit seraya berkata: ” Wahai Tuhan ! wahai Tuhan ! sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dikenyangkan dengan yang haram, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan [permohonannya] “. [HR Muslim]

Pengertian

               Pertama, kita akan membahas kata halal. Halal menurut bahasa berarti, terurai atau terlepas. Sedangkan menurut istilah berarti: sesuatu yang tidak diperintah juga tidak dilarang oleh Allah. Dalam bahasa lain: sesuatu yang bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa. Artinya, sesuatu dikatakan halal jika kita bebas memilih antara mengerjakan dan meninggalkan tanpa ada sanksi sedikit pun dari Allah subhanahu wata`ala. Jadi halal dalam khazah keilmuan Islam, khususnya dalam istilah fiqih, masuk dalam kategori hukum Islam yang lima yaitu: wajib sunnah, haram, makruh dan halal(mubah). Karena itulah bila disebut kata ‘halal’ berarti terkait masalah hukum.
            Kedua, kata ‘tayibah’, menurut bahasa berdasarkan kamus Lisanu al-`Arab, serta beberapa pengertian yang digunakan al-Qur`an itu ada beberapa makna: lawan dari kata khabits(buruk, jelek), bersih, baik, nyaman, enak, dan nikmat. Menurut istilah yang diilhami dari penyelidikan ayat-ayat al-Qur`an terkait dengan kata ‘tayibah’ dan kamus bahasa Arab dapat didefinisikan sebagai sifat yang menunjukkan pada sesuatu yang nyaman, nikmat, enak, baik, bersih, legal secara hukum dan tidak berbahaya. Kata kunci dari kata ‘tayibah’ itu ialah baik dan tidak buruk atau berbahaya jika dikonsumsi. Bahkan menurut Abdullah bin al-Mubarak, yang dimaksud dengan ‘thayib’(bila disandingkan dengan makanan) ialah sesuatu yang bisa dikonsumsi dan bisa menumbuhkan. Bila direnungi secara mendalam terkait dengan makna ‘tayibah’ baik di dalam al-Qur`an, maupun dari kamus bahasa Arab, ternyata maknanya sama sekali tidak bertentangan dan saling menguatkan. Dalam Islam, menurut ketentuan al-Qur`an –meskipun makan pada dasarnya hukumnya halal- jika orang mau makan maka hendaknya yang halal sekaligus tayibah. Halal terkait dengan hukum makanan. Kehalalan makanan menyangkut beberapa pertanyaan: apakah termasuk barang yang diharamkan? Apakah dihasilkan atau diambil dengan cara yang batil? Bila jawabannya: iya, maka makanan tersebut tidak halal.

Realitas Masyarakat

            Masalahnya kemudian apakah cukup memakan yang halal saja, tanpa mempertimbangkan faktor lain yang juga tidak kalah pentingnya yaitu: kelayakan konsumsi, kenikmatan, kebersihan, dan kesehatan? Kata halal dan tayibah yang digabungkan dalam ayat al-Qur`an, sungguh dahsyat dan dalam maknanya. Penggabungan itu mengingatkan kita pada hal penting terkait masalah makanan, bahwa untuk memakan sesuatu tidak cukup hanya mempertimbangkan faktor hukum saja, sebab banyak sesuatu dimuka bumi ini yang halal namun tidak bisa dikonsumsi. Salah satu contoh: batu itu halal tapi tidak tayibah untuk dikonsumsi, tanah itu halal tapi tidak layak untuk dimakan. Karena itulah dengan adanya kata ‘tayibah’ kita diingatkan kepada hal penting yaitu: betapapun kehalalan itu adalah hal asasi untuk diperhatikan dalam hal makanan, namun perlu deperhatikan apakah makanan itu layak dikonsumsi, menyehatkan, tidak membahayakan bagi badan, bergizi, dan baik untuk tubuh atau tidak? Bila tidak maka itu malah membahayakan. Namun coba perhatikan pada realitanya, sekarang ini –boleh juga selama ini- masyarakat benar-benar memperhatikan unsur halal-tayibah, atau hanya sekadar halal? Pada kenyataannya, kebanyakan orang hanya peduli kepada kehalalan, sehingga makanan-makanan yang diproduksi oleh pabrik-pabrik tidak dipedulikan apakah berbahaya bagi badan apa tidak?. MUI pun sejauh ini memang hanya bertugas sebagai lembaga yang memeriksa kehalalan saja, tidak sampai membicarakan masalah ‘tayibah’.
            Untuk lebih memperdalam terkait masalah makanan yang ‘tayibah’ perlu diuraikan beberapa kriteria makananan yang disebut tayibah. Kriteria ini diambil dari penyelidikan secara intensif terhadap ayat-ayat al-Qur`an mengenai kata ‘tayibah’ dan berdasarkan kamus bahasa Arab yang kalau diteliti sama sekali tidak menyalahi makna ‘tayibah’. Pertama: makanan harus halal. Tidak disebut ‘tayibah’ kalau makanan itu tidak halal. Kata ‘tayibah’ terkadang digunakan sebagai pengganti dari kata ‘halal’. Jadi, setiap yang tayib pasti halal, tetapi yang halal belum tentu tayib. Kedua: nikmat, nyaman dan lezat. Nikmat di sini bukan yang terutama terfokus pada rasa, tetapi pada sejauh mana tubuh bisa mengambil manfaat darinya. Tidak bisa dikatakan tayib walaupun lezat secara rasa, tapi ternyata tidak nyaman bagi tubuh. Ketiga: bersih atau bisa disebut juga dengan higienis. Kalau makanan yang dikonsumsi itu kotor atau tidak higienis, maka tidak layak disebut makanan yang halal tayibah. Karena makanan yang kotor, bila dimakan akan berdampak negatif pada badan manusia. Keempat: Tidak khabits(buruk, jelek). Ini berarti bahwa yang dikatakan makanan ‘tayibah’ ialah makanan yang tidak buruk dan jelek, artinya tidak berbahaya bagi kesehatan. Kelima: Layak dikonsumsi dan bergizi. Tidak dikatakan sebagai makanan ‘tayibah’ jika tidak layak dikonsumsi, apa lagi tidak bergizi.

Hikmah

            Kalau kita hubungkan dengan keempat ayat yang berkaitan dengan perintah makan makanan yang halal dan tayibah, sebagaimana diatas ternyata anjuran ini bersifat komprehensif, untuk semua manusia. Pada surat al-Baqarah ayat 168, yang dipanggil di situ adalah ya ayyuhannas(wahai manusia). Ini berarti makanan yang halal dan tayibah itu bukan saja penting bagi umat Islam, tetapi bagi umat manusia secara umum. Yang menarik lagi, ternyata halal dan tayibah bukan saja dalam soal makanan, jadi segala rezeki yang dianugerahkan oleh Allah harus memenuhi standar halal dan tayibah. Pada akhir ayat ada peringatan penting agar jangan mengikuti langkah-langkah setan, karena setan pasti mengajak kepada keburukan. Dan makanan dan rezeki yang halal dan tayibah harus melahirkan rasa syukur kepada Allah.

Seakan-akan ayat itu mengingatkan pada kita bahwa meskipun makan adalah perkara mubah, namun jangan sampai membuat kita lupa bersyukur pada Allah, karena dialah pada dasarnya yang telah menganugerahkan makanan yang tayibah. Ini berarti bahwa aktivitas makan dan minum pun harus melahirkan kesadaran internal untuk selalu ingat kepada Allah. Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis mengingatkan bahwa kita harus meningkatkan kesadaran kita terkait masalah makanan. Perhatian kita kepada makanan yang halal jangan sampai melupakan unsur tayibah. Keduanya tidak bisa dipisahkan dan saling mendukung. Kalau ini tidak diperhatikan dengan baik, maka jangan menyesal jika ada dampak negatif yang akan menimpa. Betapa banyak penyakit yang lahir disebabkan oleh makanan-makanan yang tidak ‘menyehatkan’. Sudah seharusnya sebagai muslim, kita membiasakan memakan makanan yang halal dan tayibah.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan