Setiap muslim yang taat, pasti sangat perhatian dalam
masalah makanan yang halal. Karena begitu pentingnya mengetahui kehalalan makanan, maka dalam tubuh umat Islam ada lembagi khusus yang ditugasi untuk mengecek kehalalan dan keharaman makanan. Di negara Indonesia ini ada lembaga
khusus bernama MUI(Majlis Ulama Indonesia) yang diberi legitimasi memberikan
label ‘halal’ untuk makanan dan minuman. Pertanyaannya kemudian ialah apa yang
dimaksud dengan ‘halal’ dan ‘tayibah’? mengapa kadar perhatian orang Islam
terhadap masalah ‘tayibah’ tidak begitu besar layaknya perhatian mereka kepada
masalah ‘halal’?. Apakah tepat jika kedua kata itu diceraikan? Apa hikmah
dibalik penggabungan kedua kata tersebut? Pada tulisan ini akan dianalisa
jawaban yang tepat terkait masalah ini. Hal ini dimaksudkan agar tidak parsial dalam memahami ayat-ayat al-Qur`an, dan supaya manfaatnya lebih besar bagi umat Islam khususnya, dan umat manusia pada umumnya terkait masalah makan yang halal dan tayibah.
Dalam al-Qur`an kata perintah makan
selalu disandingkan dengan kata ‘tayibah’: Pertama, Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi tayibah dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu(Qs. Al-Baqarah: 168). Kedua, dan makanlah makanan yang halal lagi tayibah dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya(Qs. Al-Maidah: 88).
Ketiga, Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil
itu, sebagai makanan yang halal lagi tayibah, dan bertakwalah kepada Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(Al-Anfal: 69).
Keempat, Maka makanlah yang halal lagi tayibah dari rezki yang telah
diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya
kepada-Nya saja menyembah(An-Nahl: 114).
Dalam al-Qur`an kata tayibah ternyata tidak hanya disandingkan dengan kata makanan, tapi juga disandingkan dengan kata: al-baladu al-thayyib, negeri yang baik(Qs. Al-A`raf: 8), sha`idan thayyibah, debu yang baik(Qs. An-Nisa: 43), masakin thayyibah, tempat tinggal yang baik(Qs. At-Taubah: 72), rihin thayyibah, angin yang baik(Qs. Yunus: 22), kalimah thayyibah, kata yang baik(Qs. Ibrahim: 24), syajarah thayyibah, pohon yang baik(Qs. Ibrahim:: 24), hayah thayyibah, kehidupan yang baik(Qs. An-Nahl: 97). Adapun penggunaannya dalam hadits, kata 'halal tayibah' terdapat pada riwayat shahih Bukhari. Ketika Ibnu Abbas ditanya oleh Abu al-Juwairiyah mengenai hukum minuman badzak(perasan anggur yang dimasak), ibnu Abbas menjawab: "Muhammad telah menjelaskan bahwa setiap yang memabukkan itu haram. Minuman adalah yang halal dan tayib. Tidak ada sesudah minuman yang halal tayibah, melainkan yang haram khabits.
Terkait dengan kata 'tayib' ada hadits yang artinya: Dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu anhu ia berkata: Rosulullah Shollallahu alaihi wa sallam bersabda: ” Sesungguhnya Allah Ta’ala itu tayib(baik) dan tidak menerima kecuali yang tayib(baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang orang yang beriman dengan sesuatau yang telah diperintahkan kepada para RosulNya. Maka Allah Ta’ala berfirman: "Wahai para Rosul makanlah kamu dari yang tayib(baik )dan berbuatlah kamu dengan beramal sholeh". Dan Allah Ta’ala berfirman [juga]: "Wahai orang orang yang beriman makanlah kamu dari yang baik yaitu dari apa yang Saya [Allah] rezekikan kepadamu". Kemidian Beliau menyebut seorang laki laki yang panjang perjalanannya berambut kusut lagi berdebu sambil menadahkan tangannya ke langit seraya berkata: ” Wahai Tuhan ! wahai Tuhan ! sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dikenyangkan dengan yang haram, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan [permohonannya] “. [HR Muslim]
Pengertian
Pertama, kita akan membahas kata
halal. Halal menurut bahasa berarti, terurai atau terlepas. Sedangkan menurut
istilah berarti: sesuatu yang tidak diperintah juga tidak dilarang oleh Allah. Dalam
bahasa lain: sesuatu yang bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa.
Artinya, sesuatu dikatakan halal jika kita bebas memilih antara mengerjakan dan
meninggalkan tanpa ada sanksi sedikit pun dari Allah subhanahu wata`ala.
Jadi halal dalam khazah keilmuan Islam, khususnya dalam istilah fiqih, masuk
dalam kategori hukum Islam yang lima yaitu: wajib sunnah, haram, makruh dan
halal(mubah). Karena itulah bila disebut kata ‘halal’ berarti terkait masalah
hukum.
Kedua, kata ‘tayibah’, menurut bahasa berdasarkan kamus
Lisanu al-`Arab, serta beberapa pengertian yang digunakan al-Qur`an itu
ada beberapa makna: lawan dari kata khabits(buruk, jelek), bersih, baik,
nyaman, enak, dan nikmat. Menurut istilah yang diilhami dari penyelidikan
ayat-ayat al-Qur`an terkait dengan kata ‘tayibah’ dan kamus bahasa Arab dapat
didefinisikan sebagai sifat yang menunjukkan pada sesuatu yang nyaman, nikmat,
enak, baik, bersih, legal secara hukum dan tidak berbahaya. Kata kunci dari
kata ‘tayibah’ itu ialah baik dan tidak buruk atau berbahaya jika dikonsumsi.
Bahkan menurut Abdullah bin al-Mubarak, yang dimaksud dengan ‘thayib’(bila
disandingkan dengan makanan) ialah sesuatu yang bisa dikonsumsi dan bisa
menumbuhkan. Bila direnungi secara mendalam terkait dengan makna ‘tayibah’ baik
di dalam al-Qur`an, maupun dari kamus bahasa Arab, ternyata maknanya sama
sekali tidak bertentangan dan saling menguatkan. Dalam Islam, menurut ketentuan
al-Qur`an –meskipun makan pada dasarnya hukumnya halal- jika orang mau makan
maka hendaknya yang halal sekaligus tayibah. Halal terkait dengan hukum
makanan. Kehalalan makanan menyangkut beberapa pertanyaan: apakah termasuk barang
yang diharamkan? Apakah dihasilkan atau diambil dengan cara yang batil? Bila jawabannya:
iya, maka makanan tersebut tidak halal.
Realitas Masyarakat
Masalahnya kemudian apakah cukup memakan yang halal saja,
tanpa mempertimbangkan faktor lain yang juga tidak kalah pentingnya yaitu:
kelayakan konsumsi, kenikmatan, kebersihan, dan kesehatan? Kata halal dan
tayibah yang digabungkan dalam ayat al-Qur`an, sungguh dahsyat dan dalam
maknanya. Penggabungan itu mengingatkan kita pada hal penting terkait masalah
makanan, bahwa untuk memakan sesuatu tidak cukup hanya mempertimbangkan faktor
hukum saja, sebab banyak sesuatu dimuka bumi ini yang halal namun tidak bisa
dikonsumsi. Salah satu contoh: batu itu halal tapi tidak tayibah untuk
dikonsumsi, tanah itu halal tapi tidak layak untuk dimakan. Karena itulah
dengan adanya kata ‘tayibah’ kita diingatkan kepada hal penting yaitu:
betapapun kehalalan itu adalah hal asasi untuk diperhatikan dalam hal makanan,
namun perlu deperhatikan apakah makanan itu layak dikonsumsi, menyehatkan,
tidak membahayakan bagi badan, bergizi, dan baik untuk tubuh atau tidak? Bila tidak
maka itu malah membahayakan. Namun coba perhatikan pada realitanya, sekarang
ini –boleh juga selama ini- masyarakat benar-benar memperhatikan unsur halal-tayibah,
atau hanya sekadar halal? Pada kenyataannya, kebanyakan orang hanya peduli
kepada kehalalan, sehingga makanan-makanan yang diproduksi oleh pabrik-pabrik
tidak dipedulikan apakah berbahaya bagi badan apa tidak?. MUI pun sejauh ini memang
hanya bertugas sebagai lembaga yang memeriksa kehalalan saja, tidak sampai
membicarakan masalah ‘tayibah’.
Untuk lebih memperdalam terkait masalah makanan yang ‘tayibah’
perlu diuraikan beberapa kriteria makananan yang disebut tayibah. Kriteria ini
diambil dari penyelidikan secara intensif terhadap ayat-ayat al-Qur`an mengenai
kata ‘tayibah’ dan berdasarkan kamus bahasa Arab yang kalau diteliti sama
sekali tidak menyalahi makna ‘tayibah’. Pertama: makanan harus halal.
Tidak disebut ‘tayibah’ kalau makanan itu tidak halal. Kata ‘tayibah’ terkadang
digunakan sebagai pengganti dari kata ‘halal’. Jadi, setiap yang tayib pasti
halal, tetapi yang halal belum tentu tayib. Kedua: nikmat, nyaman dan
lezat. Nikmat di sini bukan yang terutama terfokus pada rasa, tetapi pada
sejauh mana tubuh bisa mengambil manfaat darinya. Tidak bisa dikatakan tayib
walaupun lezat secara rasa, tapi ternyata tidak nyaman bagi tubuh. Ketiga:
bersih atau bisa disebut juga dengan higienis. Kalau makanan yang dikonsumsi
itu kotor atau tidak higienis, maka tidak layak disebut makanan yang halal
tayibah. Karena makanan yang kotor, bila dimakan akan berdampak negatif pada
badan manusia. Keempat: Tidak khabits(buruk, jelek). Ini berarti
bahwa yang dikatakan makanan ‘tayibah’ ialah makanan yang tidak buruk dan
jelek, artinya tidak berbahaya bagi kesehatan. Kelima: Layak dikonsumsi
dan bergizi. Tidak dikatakan sebagai makanan ‘tayibah’ jika tidak layak
dikonsumsi, apa lagi tidak bergizi.
Hikmah
Kalau kita hubungkan dengan keempat ayat yang berkaitan
dengan perintah makan makanan yang halal dan tayibah, sebagaimana diatas
ternyata anjuran ini bersifat komprehensif, untuk semua manusia. Pada surat al-Baqarah
ayat 168, yang dipanggil di situ adalah ya ayyuhannas(wahai manusia).
Ini berarti makanan yang halal dan tayibah itu bukan saja penting bagi umat
Islam, tetapi bagi umat manusia secara umum. Yang menarik lagi, ternyata halal
dan tayibah bukan saja dalam soal makanan, jadi segala rezeki yang
dianugerahkan oleh Allah harus memenuhi standar halal dan tayibah. Pada akhir
ayat ada peringatan penting agar jangan mengikuti langkah-langkah setan, karena
setan pasti mengajak kepada keburukan. Dan makanan dan rezeki yang halal dan
tayibah harus melahirkan rasa syukur kepada Allah.
Seakan-akan ayat
itu mengingatkan pada kita bahwa meskipun makan adalah perkara mubah, namun jangan
sampai membuat kita lupa bersyukur pada Allah, karena dialah pada dasarnya yang
telah menganugerahkan makanan yang tayibah. Ini berarti bahwa aktivitas makan
dan minum pun harus melahirkan kesadaran internal untuk selalu ingat kepada
Allah. Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis mengingatkan bahwa kita harus
meningkatkan kesadaran kita terkait masalah makanan. Perhatian kita kepada
makanan yang halal jangan sampai melupakan unsur tayibah. Keduanya tidak bisa
dipisahkan dan saling mendukung. Kalau ini tidak diperhatikan dengan baik, maka
jangan menyesal jika ada dampak negatif yang akan menimpa. Betapa banyak
penyakit yang lahir disebabkan oleh makanan-makanan yang tidak ‘menyehatkan’.
Sudah seharusnya sebagai muslim, kita membiasakan memakan makanan yang halal
dan tayibah.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !