Home » » Pluralisme Agama Egoisme Wacana

Pluralisme Agama Egoisme Wacana

Written By Amoe Hirata on Kamis, 04 September 2014 | 23.16


            Wacana pluralisme yang menggema di belantika pemikiran kaum muslimin Indonesia sejak tahun duaribuan, sebenarnya bukan hal yang baru. Secara sosiologis sebenarnya makna pluralisme agama jika dimaknai sebagai keragaman agama antarpenduduk Indonesia sehingga mengharuskan toleransi kepada agama lain -tentunya dalam hal yang tidak menabrak prinsip agama masing-masing-,  tidak menjadi masalah, bahkan itu memang sunnatullah. Masalahnya kemudian ialah ketika pluralisme agama dimaknai dengan kesamaan agama-agama. Semua agama benar, masing-masing tidak boleh ada yang mengklaim bahwa agamanya paling benar. Semua agama relatif. Semua menuju Tuhan yang sama. Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib(Kafir Liberal), kalau memang yang dimaksud dengan pluralisme agama ialah semua agama sama, kenapa tidak memakai ‘singularisme agama’. Dari penggunaan kata saja sudah problematik. Pluralisme yang dalam bahasa Indonesia berarti: “keadaan masyarakat yg majemuk (bersangkutan dng sistem sosial dan politiknya)” kemudian pasangkan dengan kata agama dengan makna yang terkesan dipaksakan.
            Dr. Hamid Fahmi Zarkasy dalam bukunya, Miskat Dewsternisasi dan Deliberalisasi menyatakan bahwa istilah pluralisme agama sebenarnya lahir dari Barat. Melihat dari negara asalnya penggunaan kata pluralisme baik bermakna sosiologis maupun agama global atau transenden pada gilirannya mengarah pada makna penyamaan agama-agama. Fatwa haram MUI pada tahun 2005 mengenai SIPILIS(Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme), kaitannya dengan pluralisme agama, yang dimaksud dalam fatwa itu ialah pluralisme dalam pengertian yang menyamakan semua agama. Dalam salah satu rekaman mengenai Pluralisme agama, Dr. Adian Husaini menyatakan bahwa sebenarnya pengharaman pluralisme agama bukan hanya terjadi sejak fatwa MUI 2005. Dari agama-agama lain sebenarnya juga melarang keras paham ini. Kristen baik yang katolik maupun protestan sama-sama menolak paham ini, Hindu pun menolak. Boleh dikatakan bahwa pluralisme agama merupakan bencana serius yang harus dihadapi oleh seluruh agama. Agama dibiarkan ada, tapi dilarang mengklaim kebenaran.
            Pluralisme sejak awal mengalami kerancuan epistimologis. Ironisnya, kerancuan epistimologis ini tidak diterima secara kritis. Bagi banyak kalangan yang dikenal dengan cendekiawan muslim (seperti Islam Liberal dll) merasa pluralisme itu sebangun dengan toleransi. Yang aneh ialah secara riil toleransi yang ada kebanyakan kebablasan daripada proposional. Ajaran-ajaran agama yang sudah pakem dibongkar. Teks-teks agama ditafsirkan sedemikian rupa untuk memenuhi hasrat pihak tertentu atas nama toleransi agama. Ajaran-ajaran agama Islam yang sudah permanen, dirasa perlu direinterpretasi agar sesuai dengan semangat zaman. Diadopsilah tafsir hermeunitika yang berasal dari Kristen-Barat untuk melegalkan pemahaman melalui justifikasi yang dipaksakan untuk memahami teks agama Islam. Ini bisa dikatakan sebagai ‘pemerkosaan metodologis’. Konsekuensinya jelas, ketetapan al-Qur`an yang menyatakan agama Islam adalah agama yang paling benar dan diridhai Allah ta`ala, akan berubah menjadi semua agama memunyai potensi kebenaran yang sama. Merupakan egoisme wacana yang terlalu dipaksakan jika menjustifikasi pendapat terkait dengan ajaran agama dengan pendekatan-pendekatan yang sejatinya malah akan merusak agama.

            Islam sebagai agama mempunyai  framework(manhaj) dan worldview tersendiri. Merupakan tindakan yang ceroboh dan tidak ilmiah jika dipahami dengan metodologi ala ilmuan Barat yang jelas-jelas berbeda secara historis maupun metodologis. Biasanya kelompok-kelompok pejuang pluralisme agama memiliki ciri-ciri yang bisa dijadikan acuan dasar yaitu: membela kelompok-kelompok aliran sesat dan nyeleneh, selalu membuat kontroversi, mendekonstruksi doktrin agama yang sudah mapan, mereinterpretasi teks-teks agama dengan pemahaman kontekstual, mendesakralisasi teks-teks agama, dan lain sebagainya. Mereka pada umumnya beralasan menjunjung tinggi nilai keadilan, membela minoritas, menegakkan toleransi antarumat beragama dan lain sebagainya. Mereka tidak segan-segan menuduh orang yang tidak sepaham dengan tuduhan islam fundamentalis, islam ortodok, islam garis keras, islam jumud, islam konservativ dan lain sebagainya yang mendeskriditkan Islam. Tak jarang juga mereka mengatakan orang yang sepaham sebagai kaum tekstulais dan tak ilmiah. Mereka merasa memperjuangkan agama, padahal sejatinya membabat habis agama. Mereka memperjuangkan pluralisme agama padahal pada saat yang sama mereka –baik sadar maupun tak sadar- telah memperjuangkan egoisme wacana.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan