Wacana
pluralisme yang menggema di belantika pemikiran kaum muslimin Indonesia sejak
tahun duaribuan, sebenarnya bukan hal yang baru. Secara sosiologis sebenarnya
makna pluralisme agama jika dimaknai sebagai keragaman agama antarpenduduk
Indonesia sehingga mengharuskan toleransi kepada agama lain -tentunya dalam hal
yang tidak menabrak prinsip agama masing-masing-, tidak menjadi masalah, bahkan itu memang sunnatullah.
Masalahnya kemudian ialah ketika pluralisme agama dimaknai dengan kesamaan
agama-agama. Semua agama benar, masing-masing tidak boleh ada yang mengklaim
bahwa agamanya paling benar. Semua agama relatif. Semua menuju Tuhan yang sama.
Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib(Kafir Liberal), kalau memang yang dimaksud
dengan pluralisme agama ialah semua agama sama, kenapa tidak memakai ‘singularisme
agama’. Dari penggunaan kata saja sudah problematik. Pluralisme yang dalam
bahasa Indonesia berarti: “keadaan masyarakat yg majemuk (bersangkutan dng
sistem sosial dan politiknya)” kemudian pasangkan dengan kata agama dengan
makna yang terkesan dipaksakan.
Dr.
Hamid Fahmi Zarkasy dalam bukunya, Miskat Dewsternisasi dan Deliberalisasi menyatakan
bahwa istilah pluralisme agama sebenarnya lahir dari Barat. Melihat dari negara
asalnya penggunaan kata pluralisme baik bermakna sosiologis maupun agama global
atau transenden pada gilirannya mengarah pada makna penyamaan agama-agama.
Fatwa haram MUI pada tahun 2005 mengenai SIPILIS(Sekularisme, Pluralisme, dan
Liberalisme), kaitannya dengan pluralisme agama, yang dimaksud dalam fatwa itu
ialah pluralisme dalam pengertian yang menyamakan semua agama. Dalam salah satu
rekaman mengenai Pluralisme agama, Dr. Adian Husaini menyatakan bahwa
sebenarnya pengharaman pluralisme agama bukan hanya terjadi sejak fatwa MUI
2005. Dari agama-agama lain sebenarnya juga melarang keras paham ini. Kristen
baik yang katolik maupun protestan sama-sama menolak paham ini, Hindu pun
menolak. Boleh dikatakan bahwa pluralisme agama merupakan bencana serius yang
harus dihadapi oleh seluruh agama. Agama dibiarkan ada, tapi dilarang mengklaim
kebenaran.
Pluralisme
sejak awal mengalami kerancuan epistimologis. Ironisnya, kerancuan
epistimologis ini tidak diterima secara kritis. Bagi banyak kalangan yang
dikenal dengan cendekiawan muslim (seperti Islam Liberal dll) merasa pluralisme
itu sebangun dengan toleransi. Yang aneh ialah secara riil toleransi yang ada
kebanyakan kebablasan daripada proposional. Ajaran-ajaran agama yang sudah pakem
dibongkar. Teks-teks agama ditafsirkan sedemikian rupa untuk memenuhi hasrat
pihak tertentu atas nama toleransi agama. Ajaran-ajaran agama Islam yang sudah
permanen, dirasa perlu direinterpretasi agar sesuai dengan semangat zaman.
Diadopsilah tafsir hermeunitika yang berasal dari Kristen-Barat untuk
melegalkan pemahaman melalui justifikasi yang dipaksakan untuk memahami teks
agama Islam. Ini bisa dikatakan sebagai ‘pemerkosaan metodologis’. Konsekuensinya
jelas, ketetapan al-Qur`an yang menyatakan agama Islam adalah agama yang paling
benar dan diridhai Allah ta`ala, akan berubah menjadi semua agama
memunyai potensi kebenaran yang sama. Merupakan egoisme wacana yang terlalu
dipaksakan jika menjustifikasi pendapat terkait dengan ajaran agama dengan
pendekatan-pendekatan yang sejatinya malah akan merusak agama.
Islam
sebagai agama mempunyai framework(manhaj)
dan worldview tersendiri. Merupakan tindakan yang ceroboh dan tidak
ilmiah jika dipahami dengan metodologi ala ilmuan Barat yang jelas-jelas
berbeda secara historis maupun metodologis. Biasanya kelompok-kelompok pejuang
pluralisme agama memiliki ciri-ciri yang bisa dijadikan acuan dasar yaitu:
membela kelompok-kelompok aliran sesat dan nyeleneh, selalu membuat
kontroversi, mendekonstruksi doktrin agama yang sudah mapan, mereinterpretasi
teks-teks agama dengan pemahaman kontekstual, mendesakralisasi teks-teks agama,
dan lain sebagainya. Mereka pada umumnya beralasan menjunjung tinggi nilai keadilan,
membela minoritas, menegakkan toleransi antarumat beragama dan lain sebagainya.
Mereka tidak segan-segan menuduh orang yang tidak sepaham dengan tuduhan islam
fundamentalis, islam ortodok, islam garis keras, islam jumud, islam konservativ
dan lain sebagainya yang mendeskriditkan Islam. Tak jarang juga mereka mengatakan
orang yang sepaham sebagai kaum tekstulais dan tak ilmiah. Mereka merasa
memperjuangkan agama, padahal sejatinya membabat habis agama. Mereka
memperjuangkan pluralisme agama padahal pada saat yang sama mereka –baik sadar
maupun tak sadar- telah memperjuangkan egoisme wacana.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !