Home » » Seakan Agamis Padahal Sekularis

Seakan Agamis Padahal Sekularis

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 06 September 2014 | 19.05


            Pernahkah ada orang yang dandananya alim, penampilannya religius, auranya agamis, tiba-tiba dengan semangat luar biasa dia berkata: “Ini masjid, masjid bukan tempat untuk berbohong,  kalau mau bohong jangan di sini!”. Di lain kesempatan ada lagi omongan: “Mas ini masjid, bukan tempat untuk pacaran. Kalau mau pacaran, pergi saja ke alun-alun! Jangan kotori masjid!”. Pada waktu yang lain berkata: “Pak, jangan berpolitik di masjid! Kalau mau berpolitik, pergi sana ke kantor atau ke parlemen!”. Ada juga omongan: “Jangan pelajari bahasa orang-orang kafir! Jangan mempelajari ilmu-ilmu orang kafir! Kita harus mempelajari ilmu syari`at saja! Kita harus perdalam akidah! Jangan sampai iman kita dikotori oleh ilmu-ilmu asing!”. Mungkin juga anda tidak asing dengan ungkapan ini: “Ilmu itu dibagi menjadi dua: Ilmu agama dan Ilmu Dunia”.
            Sebaliknya apakah anda juga pernah melihat orang yang tampilannya intelek, KTP-nya Islam, bahkan dikenal sebagai cendikiawan muslim, kemudian ia kerap kali mengangkat, membela, menyatakan isu-isu yang agamis atas nama kemanusiaan, toleransi, HAM dan lain sebagainya, sehingga lahir ucapan-ucapan seperti berikut: “Sebagai penduduk yang sama-sama beragama, kita dilarang saling merasa benar sendiri, pada dasarnya masing-masing agama sama-sama mengandung kebaikan”. “Islam adalah agama yang adil dan penuh toleransi. Kekerasan atas nama agama harus dihilangkan. Keadilan agama membuat kita harus mendekonstruksi syariat dan penafsiran, agar agama Islam sesuai dengan semangat zaman, dan bisa menjadi solusi bagi permasalahan umat”. “Biarkanlah dia berganti kelamin. Itu urusan pribadinya sama Allah ta`ala. Akidah seseorang ga ada yang tau kecuali Allahta`ala jadi jangan sok menjadi Tuhan”.
            Masing-masing dari kedua paragraf yang ditulis di atas menggambarkan polarisasi sikap dan refleksi keberagamaan dari dua tipologi umat Islam yang memiliki pandangan sekularis baik disadari maupun tidak. Yang pertama secara penampilan terkesa agamis, padahal kerangka berpikir dan sikapnya sangat dikotomis dan sekularis. Yang kedua secara penampilan terlihat tak agamis, berpenampilan seperti orang-orang kebanyakan, mereka merasa pikiran-pikiran mereka sangat religius dan agamis. Mereka merasa berjuang atas nama Islam dengan menjungjung tinggi maqashid syari`ah(kehendak syariah), mengangkat nilai-nilai agama yang subtantif, seperti keadilan, toleransi, demi menjawab tantangan zaman supaya Islam benar-benar bisa merealisasikan rahmatan li al-`âlamîn(rahmat bagi seantero alam). Bedanya dengan yang pertama, tipelogi yang kedua merasa sangat agamis dalam bidang nilai yang menurut mereka subtansial dalam agama.
            Gaya pandang sekularis adalah gaya pandang yang suka mendikotomikan sesuatu. Memang tidak semua sesuatu yang dipisah mesti jelek, atau sebaliknya, akan tetapi yang menjadi masalah ketika ada pemisahan secara ekstrim, baik disadari atau tidak. Untuk jenis yang pertama, biasanya menimpa seorang yang terlalu terkukung pada simbolisme agama, sehingga tidak ada ruang baginya untuk memahami agama secara komperehensif. Agamis tidaknya penganut beragama –bagi yang pertama- dilihat dari seberapa disiplin ketika menjaga simbolisme agama. Bukan berarti bentuk yang dhahir tidak penting, tapi kita harus pandai memilah dan meilih mana yang kiranya termasuk dalam syari`at dan mana kiranya yang tidak masuk.

Caranya bagaimana? Tentu saja dengan ilmu yang memadai. Intinya tidak akan mungkin orang yang menjalankan agama dengan sebenarnya, melakukan pendikotomian seperti itu. Yang namanya pacaran, mencuri baik di luar maupun di dalam masjid itu haram. Tidak ada pemisahan. Politik tidak bisa dipisahkan dari agama sebagaimana negara. Adapun jenis yang kedua terlalu liar. Tipologi kedua ini mengarah pada aliran filsafat subtansialisme. Dalam khazanah kaum shufi ada istilah ma`rifat, syari`at dan hakikat. Pandangan kedua titik beratnya dalam masalah hakikat(subtansi) dan kerap kali mendekonstruksi dan mereinterpretasi syari`at supaya sesuai dengan zaman. Dipikir agama ini belum sempurna, dan berpotensi untuk berevolusi.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan