Home » » 45 Menit Bersama Dr. Hamid

45 Menit Bersama Dr. Hamid

Written By Amoe Hirata on Rabu, 24 September 2014 | 21.15

PADA tanggl 24 November 2014, terjadi dialog kecil-kecilan di rumah Dr. Hamid Fahmi Zarkasy. Awalnya, ide dialog ini bermula dari obrolan ringan antar anggota PKU, menyoal konsep "ta`dib" Prof. Al-Attas. Sejauh mana proses inisiasi, relevansi, urgensi, validitas, dan perkembangan konsep ini di dunia pemikiran. Mengingat Dr. Hamid pernah belajar langsung kepada Al-Attas, maka kami bersepakat untuk ngangsu kaweruh kepada beliau.


Obrolan dimulai dengan pertanyaan Muriadi (teman sekamar dari Bojonegoro) mengenai konsep pendidikan ta`dīal-Attas. Pertanyaan secara spesifik fokus kepada sejauh mana perkembangan konsep ta`dīb al-Attas, apakah tidak ada pro dan kontra seputarnya. Dengan mantap diiringi senyuman khasnya beliau menjawab: memang terkait masalah konsep ta`dīb al-Attas memang terjadi kontroversi, dan masih dalam tataran wacana (pernah al-Attas dikritik ketika seminar oleh orang Iran, orang itu mengatakan bahwa kata tarbiyah bukan hanya terbatas pada pendidikan raga, buktinya akar kata Rabb itu juga bermakna mendidik dan memberi pengajaran). 

Menurut al-Attas konsep tarbiyah tidak cukup mewakili untuk istilah pendidikan jasmani dan ruhani. Selama ini pada realitanya terjadi pendikotomian antara ta`līm dan tarbiyah. Sehingga al-Attas berusa untuk memformulasikan kata yang pas untuk mewakilinya yaitu kata ta`dīb yang diderivasi dari kata adab. Ada beberapa hadits yang membicarakan tentang konsep adab seperti, addabani Rabbi fa`ahsana ta`dībah (pembicaraan sempat saya potong sejenak mengkritisi kelemahan hadits yang dipakai konsep ta`dīb. Dengan ringan belia menjawab: "Hadits dha`if selama tidak dipakai dalam ranah akidah tidak ada masalah. Kemudian mengenai ketiadaan kata ta`dīb dalam al-Qur`an, sama saja dengan kata tarbiyah  juga tidak ada. Jadi ketiadaan akar kata dalam al-Qur`an bukan berarti kita terlarang membuat konsep baru. Misal saja ilmu Fiqih, Nahwu, Sharaf apakah karena tidak ada di al-Qur`an lantas terlarang?").

Beberapa kisah menarik tentang dialog al-Attas (yang digambarkan oleh Dr. Hamid sebagai orang 'Ghazalian' yang berarti filsuf, sufi dan teolog) pernah suatu ketika dalam seminar ada orang Kristen yang berkata: “Agama yang paling penuh cinta adalah agama Kristen”. Al-Attas pun tak mau kalah dengan memberi pertanyaan dan analogi sebelum menjawab: “Berapa kali Anda menyebut Tuhan?”. Orang itu menjawab: “Seminggu sekali”. Al-Attas pun membalik argumen: “Agama mana yang lebih penuh cinta? Apakah Kristen yang menyebut Tuhannya hanya seminggu sekali, atau Islam yang menyebut Tuhanya setiap hari?”. 

Pernah juga setelah seminar, al-Attas ditantang dialog teologis oleh Sutan Takdir Alisjahbana, dengan memberi pertanyaan: “Aku mampu membunuh semut ini, lantas Tuhanmu bisa apa?”. Al-Attas tak kehabisan bahan, ia menjawab: “Tuhanku bukanlah pesuruh. Ia mempunyai kehendak di atas makhluknya. Dan Tuhanku –disamping mematikan- Ia juga mampu menghidupkan. Lha Tuhanmu bisa ga menghidupkan semut?”.

Dalam sufi ada istila fana. Maknanya bukan berarti tidak ingat apa-apa, tapi lebih kepada kondisi dimana orang shufi sangat dekat kepada Allah sehingga seolah-oleah dirinya tiada. Mengenai konsep wihdatu al-wujud Ibnu Arabi, menurut al-Attas banyak disalah pahami. Konsep itu dalam berasal dari ayat kullu sya`in hālikun illa wajhahu. Secara ontologis, wujud manusia itu relatif, sedangkan wujud Tuhan adalah absolut, abadi. Sehingga yang dimaksud dengan konsep kesatuan  di situ bukan penyatuan raga, karena dalam realitanya itu tidak mungkin. Jadi yang dimaksud yang ada hanya Allah, ialah hanya Dia yang keberadaannya absolut. Ibnu Taimiyah sendiri menurut penelitan mengikuti tariqah tashawwuf tertentu, cuma pembawaan Ibnu Taimiyah memang suka mengkritik, tidak menggunakan metode dakwah yang santun dan elegan. 

Mengenai orang liberal kata beliau juga emosional kalau berdiskusi dan kepepet. Tapi perlu diakui memang mereka bagus dalam bidang kepenulisan. Isu-isu orang liberal itu memang itu-itu aja, tapi tugas kita ialah bagaimana menjawabnya.


Mengenai pemikiran Barat, al-Attas pernah menasihatkan: “Kamu ga harus menguasai secara detil pemikiran Barat. Cukup kamu ketau garis besar petanya saja”. Ketika Abid Ihwan bertanya bagaimana memahami buku-buku liberal, Dr. Hamid menjawab: “Dalam membaca itu harus ada nalar kritis. Jangan mudah menerima pernyataan penulis. Kalau tidak mengerti istilahnya, lanjutkan saja membaca. Temukan yang tidak sesuai denganmu, kemudian kritisi”. 

Ketika ditanya tentang konsep kritik epistomologis-historis ala Arkoun, beliau menjawab: “Tidak jauh dari pendapat Nashr Hamid. Yang memanusiakan nash al-Qur`an”.  Di antara syubhatnya ialah bahwa al-Qur`an adalah muntaj tsaqafi (produk budaya) Arab, lha kalo memang budaya Arab kenapa orang Arab dulu menolak dakwah Nabi. Kalau al-Qur`an buatan Nabi, kenapa tidak ada orang Arab yang menentang, dan bahkan ada yang kagum dengan keindahan bahasanya. Nurcholis Madjid tidak sepenuhnya jelek. Dalam bidang tashawwuf dia bagus. Bahkan dalam bidang pluralisme pun sebenarnya ia tidak sepenuhnya meyakini. Buktinya dalam suratnya kepada anaknya, Nurcholis meminta anaknya agar mengislamkan suaminya.

Itulah beberapa poin diskusi singkat dengan Dr. Hamid. Semoga, tradisi keilmuan beliau bisa diteladani di tengah arus liberalisasi, globalisasi, deislamisasi yang sampai sekarang masih terus digencarkan.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan