Diskursus ‘pembaruan Islam’ di
era globalisasi semakin deras tak terbendung. Diskursus ini semakin santer
digemakan bukan saja karena adanya afirmasi
normatif dari doktrin agama yang secara eksplisit mengakui eksistensinya, ia juga
semakin santer didengungkan karena adanya tantangan globalisasi yang
menyediakan kompleksitas problematika umat manusia yang butuh segera dicarikan
solusinya. Mengapa secara khusus hanya dikaji mengenai ‘pembaruan Islam’,
sedangkan agama lain tidak diikutsertakan? Ini sangat logis mengingat hanya
Islam yang mengaku –melalui kedua sumber normatifnya- sebagai agama yang sempurna.
Bahkan ada jargon yang mengatakan: al-Islām Shālihun
likulli Makānin wa
Zamān(Islam
relevan dengan semua tempat dan waktu). Dari jargon tersebut, para ulama dan
cendekiawan Muslim berusaha mengejawantahkannya dalam bentuk konkret berupa
menggali dan mengurai ajaran agama sebagai spirit untuk mencari solusi bagi
masalah umat.
Dalam menghadapi tantangan
globalisasi, paling tidak ada beberapa kelompok yang berusaha memecahkan
masalah melalui cara pandang yang berbeda. Kelompok pertama adalah kolompok
yang memaknai pembaruan sebagai upaya untuk pemurnian kembali ajaran Islam. Untuk
mewujudkan kebangkitan umat, maka diperlukan usaha pembaruan Islam, dalam
pengertian kembali kepada rujukan yang murni yaitu al-Qur`an dan Sunnah. Bagi
kelompok ini, umat Islam terpuruk lantaran meninggalkan ajaran-ajaran yang
bersumber dari al-Qur`an dan Sunnah. Karena itulah jika ingin bangkit dan bisa
menjawab problematika zaman, maka umat harus kembali kepada ajarannya yang
orisinil. Kelompok kedua adalah kelompok yang mengartikan ‘pembaruan agama’
sebagai upaya untuk memahami agama dengan metodologi keilmuan Barat(modern-pasca
modern) agar ditemukan solusi setepat-tepatnya baik bagi umat Islam maupun
non-Islam. Karena pada realitanya tidak dapat dipungkiri bahwa Barat adalam
negara maju, segala sesuatu darinya patut ditiru.
Pada tulisan ini akan dianalisa
secara kritis mengenai konsep ‘pembaruan agama’ bagi kelompok kedua. Bagi
penulis, kelompok pertama tidak dibahas lantaran sudah sesuai dengan
doktrin-doktrin agama yang sudah mainstream. Adapun yang kedua terhitung
baru, dan sama sekali tidak ada akar sejarahnya dalam khazanah pemikiran Islam.
Nanti akan ketahuan, benarkah yang dilakukan oleh kelompok kedua adalah ‘pembaruan
agama’ untuk menjawab problematika, atau justru sebaliknya –baik sadar maupun
tidak sadar- malah merupakan ‘pembubaran agama’. Tapi sebelum menganalisa lebih
jauh seberapa tepat istilah ‘pembaruan agama’ yang dipakai, alangkah baiknya di
sini disebutkan beberapa unsur penting yang melandasi kajian. Unsur pertama
ialah tentang: tantangan yang dihadapi umat Islam kontemporer. Unsur Kedua:
nilai-nilai dan doktrin agama sebagai obyek justifikasi. Unsur ketiga:
Pisau analisa yang dipakai kelompok kedua untuk memahami dan mencari solusi
dari agama. Yang terakhir ialah: implikasi dari metode yang digunakan.
Lahirnya kelompok kedua –sebagaimana
kelompok pertama- sama-sama bertolak dari keinginan untuk menjawab problematika
yang sedang dihadapi umat di era kontemporer. Tantangan-tantangan itu meliputi:
Modernisme(ciri: rasionalisme, empirisme, sekularisme, desakralisasi,
non-metafisis, dikotomi, pragmatisme), Pascamodernisme(ciri: nihilisme,
relativisme, anti-otoritas, pluralisme, multikulturalisme, persamaan/equality,
feminisme/gender, liberalisme) Globalisasi,
Demokrasi, Toleransi, HAM, Pragmatisme, Positivisme(Semua berasal dari hegemoni
pemikiran dan filsafat Barat). Tantangan-tantangan yang ada ini, bagi kelompok
kedua tidak bisa diatasi dengan metodologi tradisional dan interpretasi ulama
klasik dalam memahami Islam. Zaman selalu berubah. Perubahan zaman menuntut
cendekiawan Muslim untuk menggunakan metode baru agar relevansi Islam bisa
dipertahankan dengan baik di setiap tempat dan waktu. Dari sinilah kelompok ini
menemukan urgensi metode Barat untuk digunakan agar tantangan-tantangan itu
bisa dijawab.
Pisau analisa yang biasa dipakai
oleh kelompok kedua ialah: Kontekstual(teks sudah tidak lagi menjadi rujukan
utama, karena dibalik lahirnya teks selalu ada konteks yang melatarinya,
sehingga dalam memahami taks al-Qur`an dan Sunnah harus digunakan pendekatan
kontekstual), Obyektif(kebenaran yang diterima adalah kebenaran yang obyektif,
sedangkan kebenaran yang dihasilkan ulama selama ini adalah kebenaran subyektif
karena itu harus dibuang untuk mendapat solusi yang obyektif), Reinterpretasi(teks-teks
keagamaan harus ditafsir ulang demi fleksibelitas agama dalam menjawab
problematika umat), Rekonstruksi(pemahaman-pemahaman klasik perlu dibangun
kembali agar sesuai dengan perkembangan zaman), Dekonstruksi(ajaran-ajaran
agama yang tidak sesuai dengan realitas perlu dibongkar), Desakralisasi(anti
kesakralan), Empirisme(kebenaran diperoleh melalui penelitian empiris), Ilmiah(berdasarkan
pendekatan saintifis), Rasional(sesuai dengan akal atau logika), Sosio-historis(didekati
dengan melihat faktor sosial dan sejarah), Dikotomis(prsinsip pemisahan yang
bisa disebut dengan dualisme), Anti-otoritas(sehingga semua ulama diragukan), Bebas
Nilai(mengakui kenetralan ilmu), Anti-metafisik(semua dipahami berdasarkan
fisik).
Pertanyaan mendasar yang harus
dijawab ialah benarkah untuk menghadapi masalah atau problematika yang
menyelimuti umat Islam kontemporer akan bisa terjawab dengan menggunakan pisau
analisa tadi? Kenyataannya tidak. Pembaruan agama yang diistilahkan Muhammad
Syahrur, Muhammed Arkoun, Abdullahi an-Na`im,
dan lain sebagainya yang notabene dianggap sebagai cendekiawan Muslim
sekaligus pembaru, justru membahayakan eksistensi ajaran Islam sendiri. Islam
mempunyai tradisi keilmuan tersendiri. Di dalamnya juga ada ajaran yang tsawābit(permanen) dan mutaghayyirāt(dinamis).Merupakan tindakan
yang fatal, jika metode-metode Barat digunakan untuk memahami Islam demi
menjawab tantangan kontemporer. Yang ada, ketika metode ini dipaksakan, maka
ajaran agama bisa bubar. Maunya ‘pembaruan agama’ kenyataannya malah ‘pembubaran
agama’. Ironisnya –meraka yang mengusung toleransi- tidak segan-segan melabeli
orang yang tidak sependapat denganny dengan istilah: Puritan, Fundamentalisme,
Radikalisme, Tekstual, Eksklusif, Revivalisme, Jumud, Intoleran, Teroris, Islamis.
Di sini menggambarkan betapa otoriternya mereka dalam memaksakan pendapat.
Untuk mengetahui implikasi dan
konsekuensi dari pendekatan mereka dalam memahami agama bisa dianalisa melalui
contoh berikut. Kalau al-Qur`an dan Sunnah dipandang sebagai produk manusia,
tidak diakui keotentisitasnya, dan harus didekati dengan pendekatan historis,
kontekstual dan hermeunitis, maka sesuatu yang jelas-jelas haram akan menjadi
halal lantaran disesuaikan dengan realitas yang ada. Ajaran-ajaran yang
mendasar mengenai akidah dan ibadah, bisa dicampakkan begitu saja ketika
bertentangan dengan problematika zaman. Kalau ajaran Islam diobok-obok
sedemikian rupa, maka fungsi agama tidak ada lagi. Babi yang haram bisa menjadi halal kalau
dipahami secara hermeneutis dan kontekstual. Secara teks memang babi halal,
tapi konteksnya dalam budaya Arab ketika itu jarang babi dan jarang air, jadi
ternak babi begitu mahal dan menyusahkan, sedangkan kalau di Indonesia, ternak
babi sangat murah dan didukung air yang melimpah, dengan demikian babi bisa
menjadi halal. Kalau pendekatan-pendekatan ala Barat seperti ini tetap
dipaksakan untuk memahami Islam yang sudah memiliki worldvew(pandangan
hidup) dan epistemologi keilmuan tersendiri, maka namanya bukan ‘pembaruan
agama’ tapi ‘pembubaran agama’.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !