Home » » ‘Pembubaran Agama’ Berkedok ‘Pembaruan Agama’

‘Pembubaran Agama’ Berkedok ‘Pembaruan Agama’

Written By Amoe Hirata on Minggu, 21 September 2014 | 23.34


            Diskursus ‘pembaruan Islam’ di era globalisasi semakin deras tak terbendung. Diskursus ini semakin santer digemakan bukan saja karena adanya  afirmasi normatif dari doktrin agama yang secara eksplisit mengakui eksistensinya, ia juga semakin santer didengungkan karena adanya tantangan globalisasi yang menyediakan kompleksitas problematika umat manusia yang butuh segera dicarikan solusinya. Mengapa secara khusus hanya dikaji mengenai ‘pembaruan Islam’, sedangkan agama lain tidak diikutsertakan? Ini sangat logis mengingat hanya Islam yang mengaku –melalui kedua sumber normatifnya- sebagai agama yang sempurna. Bahkan ada jargon yang mengatakan: al-Islām Shālihun likulli Makānin wa Zamān(Islam relevan dengan semua tempat dan waktu). Dari jargon tersebut, para ulama dan cendekiawan Muslim berusaha mengejawantahkannya dalam bentuk konkret berupa menggali dan mengurai ajaran agama sebagai spirit untuk mencari solusi bagi masalah umat.
            Dalam menghadapi tantangan globalisasi, paling tidak ada beberapa kelompok yang berusaha memecahkan masalah melalui cara pandang yang berbeda. Kelompok pertama adalah kolompok yang memaknai pembaruan sebagai upaya untuk pemurnian kembali ajaran Islam. Untuk mewujudkan kebangkitan umat, maka diperlukan usaha pembaruan Islam, dalam pengertian kembali kepada rujukan yang murni yaitu al-Qur`an dan Sunnah. Bagi kelompok ini, umat Islam terpuruk lantaran meninggalkan ajaran-ajaran yang bersumber dari al-Qur`an dan Sunnah. Karena itulah jika ingin bangkit dan bisa menjawab problematika zaman, maka umat harus kembali kepada ajarannya yang orisinil. Kelompok kedua adalah kelompok yang mengartikan ‘pembaruan agama’ sebagai upaya untuk memahami agama dengan metodologi keilmuan Barat(modern-pasca modern) agar ditemukan solusi setepat-tepatnya baik bagi umat Islam maupun non-Islam. Karena pada realitanya tidak dapat dipungkiri bahwa Barat adalam negara maju, segala sesuatu darinya patut ditiru.
            Pada tulisan ini akan dianalisa secara kritis mengenai konsep ‘pembaruan agama’ bagi kelompok kedua. Bagi penulis, kelompok pertama tidak dibahas lantaran sudah sesuai dengan doktrin-doktrin agama yang sudah mainstream. Adapun yang kedua terhitung baru, dan sama sekali tidak ada akar sejarahnya dalam khazanah pemikiran Islam. Nanti akan ketahuan, benarkah yang dilakukan oleh kelompok kedua adalah ‘pembaruan agama’ untuk menjawab problematika, atau justru sebaliknya –baik sadar maupun tidak sadar- malah merupakan ‘pembubaran agama’. Tapi sebelum menganalisa lebih jauh seberapa tepat istilah ‘pembaruan agama’ yang dipakai, alangkah baiknya di sini disebutkan beberapa unsur penting yang melandasi kajian. Unsur pertama ialah tentang: tantangan yang dihadapi umat Islam kontemporer. Unsur Kedua: nilai-nilai dan doktrin agama sebagai obyek justifikasi. Unsur ketiga: Pisau analisa yang dipakai kelompok kedua untuk memahami dan mencari solusi dari agama. Yang terakhir ialah: implikasi dari metode yang digunakan.
            Lahirnya kelompok kedua –sebagaimana kelompok pertama- sama-sama bertolak dari keinginan untuk menjawab problematika yang sedang dihadapi umat di era kontemporer. Tantangan-tantangan itu meliputi: Modernisme(ciri: rasionalisme, empirisme, sekularisme, desakralisasi, non-metafisis, dikotomi, pragmatisme), Pascamodernisme(ciri: nihilisme, relativisme, anti-otoritas, pluralisme, multikulturalisme, persamaan/equality, feminisme/gender, liberalisme)  Globalisasi, Demokrasi, Toleransi, HAM, Pragmatisme, Positivisme(Semua berasal dari hegemoni pemikiran dan filsafat Barat). Tantangan-tantangan yang ada ini, bagi kelompok kedua tidak bisa diatasi dengan metodologi tradisional dan interpretasi ulama klasik dalam memahami Islam. Zaman selalu berubah. Perubahan zaman menuntut cendekiawan Muslim untuk menggunakan metode baru agar relevansi Islam bisa dipertahankan dengan baik di setiap tempat dan waktu. Dari sinilah kelompok ini menemukan urgensi metode Barat untuk digunakan agar tantangan-tantangan itu bisa dijawab.
            Pisau analisa yang biasa dipakai oleh kelompok kedua ialah: Kontekstual(teks sudah tidak lagi menjadi rujukan utama, karena dibalik lahirnya teks selalu ada konteks yang melatarinya, sehingga dalam memahami taks al-Qur`an dan Sunnah harus digunakan pendekatan kontekstual), Obyektif(kebenaran yang diterima adalah kebenaran yang obyektif, sedangkan kebenaran yang dihasilkan ulama selama ini adalah kebenaran subyektif karena itu harus dibuang untuk mendapat solusi yang obyektif), Reinterpretasi(teks-teks keagamaan harus ditafsir ulang demi fleksibelitas agama dalam menjawab problematika umat), Rekonstruksi(pemahaman-pemahaman klasik perlu dibangun kembali agar sesuai dengan perkembangan zaman), Dekonstruksi(ajaran-ajaran agama yang tidak sesuai dengan realitas perlu dibongkar), Desakralisasi(anti kesakralan), Empirisme(kebenaran diperoleh melalui penelitian empiris), Ilmiah(berdasarkan pendekatan saintifis), Rasional(sesuai dengan akal atau logika), Sosio-historis(didekati dengan melihat faktor sosial dan sejarah), Dikotomis(prsinsip pemisahan yang bisa disebut dengan dualisme), Anti-otoritas(sehingga semua ulama diragukan), Bebas Nilai(mengakui kenetralan ilmu), Anti-metafisik(semua dipahami berdasarkan fisik).
            Pertanyaan mendasar yang harus dijawab ialah benarkah untuk menghadapi masalah atau problematika yang menyelimuti umat Islam kontemporer akan bisa terjawab dengan menggunakan pisau analisa tadi? Kenyataannya tidak. Pembaruan agama yang diistilahkan Muhammad Syahrur, Muhammed Arkoun, Abdullahi an-Na`im,  dan lain sebagainya yang notabene dianggap sebagai cendekiawan Muslim sekaligus pembaru, justru membahayakan eksistensi ajaran Islam sendiri. Islam mempunyai tradisi keilmuan tersendiri. Di dalamnya juga ada ajaran yang tsawābit(permanen) dan mutaghayyirāt(dinamis).Merupakan tindakan yang fatal, jika metode-metode Barat digunakan untuk memahami Islam demi menjawab tantangan kontemporer. Yang ada, ketika metode ini dipaksakan, maka ajaran agama bisa bubar. Maunya ‘pembaruan agama’ kenyataannya malah ‘pembubaran agama’. Ironisnya –meraka yang mengusung toleransi- tidak segan-segan melabeli orang yang tidak sependapat denganny dengan istilah: Puritan, Fundamentalisme, Radikalisme, Tekstual, Eksklusif, Revivalisme, Jumud, Intoleran, Teroris, Islamis. Di sini menggambarkan betapa otoriternya mereka dalam memaksakan pendapat.
            Untuk mengetahui implikasi dan konsekuensi dari pendekatan mereka dalam memahami agama bisa dianalisa melalui contoh berikut. Kalau al-Qur`an dan Sunnah dipandang sebagai produk manusia, tidak diakui keotentisitasnya, dan harus didekati dengan pendekatan historis, kontekstual dan hermeunitis, maka sesuatu yang jelas-jelas haram akan menjadi halal lantaran disesuaikan dengan realitas yang ada. Ajaran-ajaran yang mendasar mengenai akidah dan ibadah, bisa dicampakkan begitu saja ketika bertentangan dengan problematika zaman. Kalau ajaran Islam diobok-obok sedemikian rupa, maka fungsi agama tidak ada lagi.  Babi yang haram bisa menjadi halal kalau dipahami secara hermeneutis dan kontekstual. Secara teks memang babi halal, tapi konteksnya dalam budaya Arab ketika itu jarang babi dan jarang air, jadi ternak babi begitu mahal dan menyusahkan, sedangkan kalau di Indonesia, ternak babi sangat murah dan didukung air yang melimpah, dengan demikian babi bisa menjadi halal. Kalau pendekatan-pendekatan ala Barat seperti ini tetap dipaksakan untuk memahami Islam yang sudah memiliki worldvew(pandangan hidup) dan epistemologi keilmuan tersendiri, maka namanya bukan ‘pembaruan agama’ tapi ‘pembubaran agama’.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan