By: Mahmud Budi Setiawan (Amoe Hirata)
Supaya tidak salah paham dan
penasaran terhadap judul tulisan di atas, ada baiknya penulis menjelaskan
terlebih dahulu mengenai maksud dari ‘Jilbab Ketumbar’. Kalau kata ‘jilbab’ mungkin
sudah masyhur bagi para pembaca. Lalu bagaimana dengan kata ‘ketumbar’? Barangkali
yang terlintas dibenak pembaca ialah salah satu macam dari jenis bumbu masakan.
Kalau terbesit gambaran demikian, sangat wajar dan pembaca sama sekali tidak
salah. Tapi coba anda sandingkan kata ‘jilbab’ dengan ‘ketumbar’, kira-kira
berkaitan apa tidak? Tentu saja tidak dan pasti tidak nyambung. Karena
itulah, kata ‘ketumbar’ di sini tidak dimaksudkan sesuai dengan makna
denotatifnya.
Kata ‘ketumbar’ pada judul di atas, sebenarnya akronim (singkatan,
kependekan) -yang sengaja dibuat oleh penulis- untuk menyingkat judul yang
panjang. ‘Ketumbar’ singkatan dari: “Ketat Mengumbar Aurat”. Jadi sebenarnya
judul lengkap dari tulisan diatas ialah: “ ‘Jilbab Ketat Mengumbar Aurat’,
Tenar Tapi Tak Benar”. Maksudnya ialah menyoal peristiwa yang ‘fenomenal’
berkaitan dengan maraknya perempuan yang mengaku berjilbab, tapi pada
kenyataannya, jilbab yang dipakai sama sekali tidak sesuai dengan syari`at
Islam. Justru jilbab yang dipakai berdasarkan tren yang ada sehingga semakin
menjauhkan diri dari nilai syari`at. Pengguna jilbab merasa bahwa yang tren
adalah yang benar, sedangkan jilbab yang syar`i tak didengar. Bahkan ada
anggapan: “Hanya wanita yang mengikuti mode, yang akan terlihat oke”. Yang
cocok dengan syari`at pun, dianggap ketinggalan zaman dan katrok(red:
java).
Dalam buku yang berjudul: jilbâbu al-mar`ah al-muslimah fi al-kitâbi
wa al-sunnah, syaikh Nâsirudin al-Albani berdasarkan penelitiannya terhadap
al-Qur`an dan al-Sunnah, setelah menyebutkan bahwa: “jilbab adalah (baju)
selendang yang menutupi kepala hingga kaki[1]”,
lalu kemudian beliau menyebutkan setidaknya ada delapan syarat jilbab dikatakan
sebagai jilbab islami yaitu sebagai berikut: meliputi seluruh badan selain yang
dikecualikan[2],
bukan sebagai perhiasan[3],
kainnya tidak transparan[4],
harus longgar (tidak ketat) sehingga tidak dapat menggambarkan sesuatu dari
tubuhnya[5],
tidak diberi wewangian atau parfum[6],
tidak menyerupai pakaian laki-laki[7],
tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir[8],
bukan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas)[9].
Sekarang coba anda perhatikan! Dilihat
dari berkembang pesatnya pemakaian jilbab dewasa ini merupakan fenomena yang
patut disyukuri dan perlu diapresiasi dengan baik. Kalau dulu pada masa orde
baru pemakain jilbab sangat dibatasi perkembangannya, bahkan sampai berujung ke
ranah pengadilan, sekarang jilbab sudah menjadi umum dipakai oleh kebanyakan
kaum muslimin di Indonesia meskipun masih ada di daerah muslim minoritas
–seperti di Bali[10]-
yang berusaha melarang pemakain jilbab bagi muslimah yang bekerja di toko, tapi
itu tidak mengurangi kenyataan banyaknya orang berjilbab di Indonesia. Rasa
syukur itu pada waktu yang sama juga menyimpan sebuah ironi yang cukup
mendalam. Semaraknya perempuan muslim berjilbab tidak didukung dengan ilmu yang
memadai sehingga di sana-sini masih banyak yang salah persepsi berkaitan dengan
pengertian jilbab.
Terkadang yang sudah mengetahui ilmu berkaitan dengan jilbab syar`i pun
belum bisa mengamalkannya lantaran tergiur dengan fashion yang lagi
menjadi tren di masyarakat. Di sisi lain, kecanggihan media juga turut serta
dalam mengembangkan budaya jilbab non-syar`i ini. Memang benar seluruh tubuh
terbalut dengan kain, namun lekuk tubuh serta kain yang tipis yang tidak sesuai
dengan standar jilbab syar`i pada akhirnya bukan malah menjadi pelindung bagi
wanita muslimah, tapi akan menjadi fitnah bagi para perempuan muslimah. Tapi
apakah ini hanya terjadi di Indonesia? Ternyata tidak. Sewaktu penulis masih menjalankan
studi di Al-Azhar Mesir dulu, banyak juga didapati wanita muslimah yang
berjilbab ‘ketumbar’(Ketat Mengumbar Aurat), khususnya pada waktu musim panas.
Kemudian –lebih jauh lagi- ketika
kita amati perkembangan mode dan fashion(mode) dunia jilbab pada masa
sekarang ini, semakin menjauhkan jilbab dari makna aslinya. Makna jilbab yang
berupa: “(Baju) selendang longgar yang menutupi semua tubuh kecuali yang
nampak”, mengalami penyempitan makna yang begitu parah. Yang diambil dari makna
jilbab hanya secara fungsional dan parsial saja berupa: ‘penutup aurat’. Jadi,
asal menutup tubuh, asal menutup aurat, maka sah-sah saja menampakkan pesona
keindahan lekukan tubuh yang sejatinya mempunyai daya tarik yang sangat besar. Tak
mengherankan jika pada khalayak umum lahir istilah-istilah yang agak aneh tapi
nyata seperti: ‘jilbab gaul’, ‘kerudung gaul’, ‘busana muslimah’ dan lain
sebagainya yang pada paraktiknya sama sekali tidak sesuai dengan syari`at
Islam.
Dengan simplifikasi dan penyempitan seperti itu maka fungsi jilbab
semakin jauh dari nilai syari`at, bahkan menuju kepada kesalahan yang fatal
secara syar`i. Kenyataan ini bukan berdiri sendiri. Di belakangnya ada
penyokong-penyokong yang memodali tersebar-luasnya pemakaian ‘jilbab ketumbar’.
Agen-agen kapitalis dengan semangat pragmatisme yang super dahsyat sangat
mendukung fenomena semacam ini karena
logika ‘keuntungan’ yang dipakai, bukan subtansi syariat yang melatari ajaran
nilainya. Jilbab seolah-olah didukung dan disebarluaskan, padahal sejatinya
secara tidak sadar telah dihancurkan fungsinya. Sebuah cara yang sangat efektif
untuk membuat wanita muslimah menyimpang tanpa sadar bahwa telah menyimpang;
sebuah cara jitu untuk menjauhkan wanita muslimah dari nilai syari`at yang
bermutu.
Coba lihat melalui berbagai media!
Kebanyakan mode jilbab yang didesain justru malah semakin jauh dari ajaran
Islam. Kita mungkin tak asing melihat wanita memakai ‘jilbab modern’ semua
tertutup namun lekukan dan bodi tubuh amat transparan ditonjolkan sehingga ‘memasung’
fungsi jilbab yang sebenarnya sebagaimana firman Allah ta`ala:
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(الأحزاب: 59).
“Hai Nabi, Katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Qs. Al-Ahzab: 59). Fungsi
jilbab pada ayat ini ialah agar dikenal (sebagai orang merdeka bukan hamba
sahaya atau pelacur: sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir[11]),
dan juga supaya tidak diganggu. Bila ternyata berjilbab tapi masih diganggu,
maka perlu dievaluasi terlebih dahulu, barang kali jilbab yang dipakai adalah
‘jilbab ketumbar’.
Jilbab model ‘Ketat Mengumbar Aurat’ ini pada gilirannya memang justru
malah memancing syahwat dan membuat tergiur orang lewat; membuat para pria
terpesona untuk meggoda. Banyak yang tidak menyadarinya. Ukuran kebenaran sudah
mengalami kerancuan yang begitu dahsyat. Yang benar ialah yang populer; yang
benar ialah yang mengikut mode; yang benar ialah yang ngikut fashion.
Kondisi ini diperparah dengan melemahnya daya kritis dari masing-masing
individu dan semakin gencarnya publikasi-publikasi bisnis pemilik modal besar
yang menyuplai jilbab seperti ini. Banyak yang kepincut (tergiur dan
tertipu) dengan berbagai mode yang disajikan. Kenyataan yang ada menggiring kepada
semakin tergerusnya nilai-nilai orisinal syari`at Islam.
Meskipun banyak
sekali tokoh liberal –seperti Muhammad Sa’id al-`Asymâwi dari Mesir[12]-
yang mengatakan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab, Jilbab tidak wajib, ternyata
tidak mempengaruhi secara kuantitatif pengguna jilbab. Justru yang membuat
mereka jauh dari makna jilbab ialah penyimpangan secara terselubung. Jilbab
dikemas sedemikian rupa sehingga membuat masyarakat tertarik dan disebarkan
melalui jaringan media yang demikian luas, sehingga secara tidak sadar tertanam
dalam pikiran para perempuan muslimah bahwa model yang disebarkan medialah yang
perlu ditiru. Meminjam istilah KH. Zainudin MZ: “Tontonan menjadi tuntunan,
tuntunan menjadi tontonan”. Dengan cara blak-blakan mereka ditentang, dengan
cara halus (melalui penyebaran jilbab poopuler meski tak sesuai syar`i) akhirnya
banyak wanita muslimah yang meniru dan terbius.
Jangan heran jika kuantitas pemakai
jilbab di era modern ini tidak berbanding lurus dengan kualitas keamanan dan
keselamatan pemakainya. Bagaimana bisa dijamin keamanannya wong lekukan
tubuh begitu ditonjolkan lantaran jilbab yang ketat, tipis dan transparan.
‘Jilbab ketumbar’ bila ditelusuri dan ditelaah lebih jauh, malah lebih banyak
negatifnya daripada positifnya. Jilbab semacam ini sudah tidak ada bedanya
dengan fungsi pakaian selain jilbab. Bahkan pakaian yang bukan jilbab terkadang
ada yang lebih memuat esensi jilbab daripada ‘jilbab ketumbar’. Maksudnya dari
segi menutupi aurat dengan pakaian yang longgar, bukan ketat.
Tak mengherankan jika Nabi menyatakan bahwa kelak akan ada wanita yang
berpakaian tapi telanjang:
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ
يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ
رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ
يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا(رواه مسلم).
“Ada dua
golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: pertama, suatu kaum
yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan kedua, para
wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka
seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga
dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian
dan sekian (maksudnya jarak yang sangat jauh).” (Shahih Muslim, no. 2128).
Kata ‘Berpakaian tapi telanjang’ dijelaskan oleh imam al-Nawâwi[13]
ada beberapa makna diantaranya: sebagai baju tipis yang bisa menunjukkan bentuk
tubuhnya.
Jilbab yang sesungguhnya makin asing dan dianggap ketinggalan zaman,
sedangkan ‘jilbab ketumbar’ makin populer dan dianggap sangat relevan dengan
perkembangan zaman. Ada semacam anggapan: berjilbab tapi tetap modis, berjilbab
tapi tidak ketinggalan zaman, berkerudung tapi gaul dan banyak lagi
anggapan-anggapan yang sangat superfisial(tidak berbobot) dan sangat jauh dari
filosofi nilai disyariatkannya jilbab. Di Indonesia yang notabene penduduknya
beragama Islam ternyata sudah berkembang luas mode-mode ‘jilbab ketumbar’.
Sekarang periksa, teliti dengan saksama jilbab yang kebanyakan dipakai
masyarakat. Apakah sudah sesuai syari`at Islam apa malah ‘jilbab ketumbar’.
Maunya tetap modis tanpa meninggalkan perintah agama, namun kenyataannya malah
mengenyampingkan perintah agama dengan mereduksi ajarannya baik sadar maupun tak
sadar.
Jilbab adalah perintah Allah ta`ala yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad agar ditaati oleh pengikutnya dari kalangan wanita. Karena itu memakai
jilbab harus dilatari dengan kesadaran menjalankan ketaatan yang kâffah(total)
kepada Allah ta`ala. Berjilbab bukan karena tren atau mode yang sedang
berkembang. Berjilbab bukan supaya terlihat keren dan modis. Kebenaran dan
ketepatan jilbab tidak diukur dengan kuantitas wanita yang memakainya, tetapi
seberapa besar kualitasnya dalam
memenuhi standar syari`ah. Tentu saja ini tidak mudah. Perlu ada sosialisasi
dakwah yang sistematis dan masif mengenai jilbab syar`i. Kadang orang melakukan
sesuatu karena ikut-ikutan, merupakan sebuah keniscayaan bagi para da`i untuk
mengingatkan. Adapun yang sudah tahu kemudian membangkang, maka itu sudah bukan
tanggung jawab da`i. Tugas da`i hanya mengingatkan, masalah hasil diserahkan
pada Tuhan.
Wallahu a`lam
bi al-showâb
Asramah PKU,
Selasa 26 Agustus 2014/17:12
[1]
. Jilbâbu al-mar`ah al-muslimah fi al-kitâbi wa al-sunnah, hal: 84.
[2]
. ibid, hal: 39
[3]
. ibid, hal: 119
[4]
. ibid. Hal: 125
[5]
. ibid. Hal:131
[6]
. ibid. Hal: 136
[7]
. ibid. Hal: 140
[8]
. ibid. Hal: 161
[9]
. ibid. Hal: 213
[11]
. Tafsîru al-qurânu al-`adhîm, hal: 482, cet: Dâru Thoyyiba li
al-nasyri wa al-tauzî`. Karya: Ibnu Katsir.
[12]
. Haqîqotu al-hijâb wa hujjiyyatu al-hadits, Hal: 20. Karya: Muhammad
Sa`id al-`Asymâwi.
[13]
. Syarhu al-nawâwi `ala shohîh muslim, Juz: 14 hal: 110, Cet: Dâru
Ihyâ` al-Turôts al-`Arobi.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !