Home » » ‘JILBAB KETUMBAR’, Tenar Tapi Tak Benar

‘JILBAB KETUMBAR’, Tenar Tapi Tak Benar

Written By Amoe Hirata on Selasa, 02 September 2014 | 22.57

By: Mahmud Budi Setiawan (Amoe Hirata)

            Supaya tidak salah paham dan penasaran terhadap judul tulisan di atas, ada baiknya penulis menjelaskan terlebih dahulu mengenai maksud dari ‘Jilbab Ketumbar’. Kalau kata ‘jilbab’ mungkin sudah masyhur bagi para pembaca. Lalu bagaimana dengan kata ‘ketumbar’? Barangkali yang terlintas dibenak pembaca ialah salah satu macam dari jenis bumbu masakan. Kalau terbesit gambaran demikian, sangat wajar dan pembaca sama sekali tidak salah. Tapi coba anda sandingkan kata ‘jilbab’ dengan ‘ketumbar’, kira-kira berkaitan apa tidak? Tentu saja tidak dan pasti tidak nyambung. Karena itulah, kata ‘ketumbar’ di sini tidak dimaksudkan sesuai dengan makna denotatifnya.
Kata ‘ketumbar’ pada judul di atas, sebenarnya akronim (singkatan, kependekan) -yang sengaja dibuat oleh penulis- untuk menyingkat judul yang panjang. ‘Ketumbar’ singkatan dari: “Ketat Mengumbar Aurat”. Jadi sebenarnya judul lengkap dari tulisan diatas ialah: “ ‘Jilbab Ketat Mengumbar Aurat’, Tenar Tapi Tak Benar”. Maksudnya ialah menyoal peristiwa yang ‘fenomenal’ berkaitan dengan maraknya perempuan yang mengaku berjilbab, tapi pada kenyataannya, jilbab yang dipakai sama sekali tidak sesuai dengan syari`at Islam. Justru jilbab yang dipakai berdasarkan tren yang ada sehingga semakin menjauhkan diri dari nilai syari`at. Pengguna jilbab merasa bahwa yang tren adalah yang benar, sedangkan jilbab yang syar`i tak didengar. Bahkan ada anggapan: “Hanya wanita yang mengikuti mode, yang akan terlihat oke”. Yang cocok dengan syari`at pun, dianggap ketinggalan zaman dan katrok(red: java).
Dalam buku yang berjudul: jilbâbu al-mar`ah al-muslimah fi al-kitâbi wa al-sunnah, syaikh Nâsirudin al-Albani berdasarkan penelitiannya terhadap al-Qur`an dan al-Sunnah, setelah menyebutkan bahwa: “jilbab adalah (baju) selendang yang menutupi kepala hingga kaki[1]”, lalu kemudian beliau menyebutkan setidaknya ada delapan syarat jilbab dikatakan sebagai jilbab islami yaitu sebagai berikut: meliputi seluruh badan selain yang dikecualikan[2], bukan sebagai perhiasan[3], kainnya tidak transparan[4], harus longgar (tidak ketat) sehingga tidak dapat menggambarkan sesuatu dari tubuhnya[5], tidak diberi wewangian atau parfum[6], tidak menyerupai pakaian laki-laki[7], tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir[8], bukan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas)[9].
            Sekarang coba anda perhatikan! Dilihat dari berkembang pesatnya pemakaian jilbab dewasa ini merupakan fenomena yang patut disyukuri dan perlu diapresiasi dengan baik. Kalau dulu pada masa orde baru pemakain jilbab sangat dibatasi perkembangannya, bahkan sampai berujung ke ranah pengadilan, sekarang jilbab sudah menjadi umum dipakai oleh kebanyakan kaum muslimin di Indonesia meskipun masih ada di daerah muslim minoritas –seperti di Bali[10]- yang berusaha melarang pemakain jilbab bagi muslimah yang bekerja di toko, tapi itu tidak mengurangi kenyataan banyaknya orang berjilbab di Indonesia. Rasa syukur itu pada waktu yang sama juga menyimpan sebuah ironi yang cukup mendalam. Semaraknya perempuan muslim berjilbab tidak didukung dengan ilmu yang memadai sehingga di sana-sini masih banyak yang salah persepsi berkaitan dengan pengertian jilbab.
Terkadang yang sudah mengetahui ilmu berkaitan dengan jilbab syar`i pun belum bisa mengamalkannya lantaran tergiur dengan fashion yang lagi menjadi tren di masyarakat. Di sisi lain, kecanggihan media juga turut serta dalam mengembangkan budaya jilbab non-syar`i ini. Memang benar seluruh tubuh terbalut dengan kain, namun lekuk tubuh serta kain yang tipis yang tidak sesuai dengan standar jilbab syar`i pada akhirnya bukan malah menjadi pelindung bagi wanita muslimah, tapi akan menjadi fitnah bagi para perempuan muslimah. Tapi apakah ini hanya terjadi di Indonesia? Ternyata tidak. Sewaktu penulis masih menjalankan studi di Al-Azhar Mesir dulu, banyak juga didapati wanita muslimah yang berjilbab ‘ketumbar’(Ketat Mengumbar Aurat), khususnya pada waktu musim panas.
            Kemudian –lebih jauh lagi- ketika kita amati perkembangan mode dan fashion(mode) dunia jilbab pada masa sekarang ini, semakin menjauhkan jilbab dari makna aslinya. Makna jilbab yang berupa: “(Baju) selendang longgar yang menutupi semua tubuh kecuali yang nampak”, mengalami penyempitan makna yang begitu parah. Yang diambil dari makna jilbab hanya secara fungsional dan parsial saja berupa: ‘penutup aurat’. Jadi, asal menutup tubuh, asal menutup aurat, maka sah-sah saja menampakkan pesona keindahan lekukan tubuh yang sejatinya mempunyai daya tarik yang sangat besar. Tak mengherankan jika pada khalayak umum lahir istilah-istilah yang agak aneh tapi nyata seperti: ‘jilbab gaul’, ‘kerudung gaul’, ‘busana muslimah’ dan lain sebagainya yang pada paraktiknya sama sekali tidak sesuai dengan syari`at Islam.
Dengan simplifikasi dan penyempitan seperti itu maka fungsi jilbab semakin jauh dari nilai syari`at, bahkan menuju kepada kesalahan yang fatal secara syar`i. Kenyataan ini bukan berdiri sendiri. Di belakangnya ada penyokong-penyokong yang memodali tersebar-luasnya pemakaian ‘jilbab ketumbar’. Agen-agen kapitalis dengan semangat pragmatisme yang super dahsyat sangat mendukung fenomena  semacam ini karena logika ‘keuntungan’ yang dipakai, bukan subtansi syariat yang melatari ajaran nilainya. Jilbab seolah-olah didukung dan disebarluaskan, padahal sejatinya secara tidak sadar telah dihancurkan fungsinya. Sebuah cara yang sangat efektif untuk membuat wanita muslimah menyimpang tanpa sadar bahwa telah menyimpang; sebuah cara jitu untuk menjauhkan wanita muslimah dari nilai syari`at yang bermutu.
            Coba lihat melalui berbagai media! Kebanyakan mode jilbab yang didesain justru malah semakin jauh dari ajaran Islam. Kita mungkin tak asing melihat wanita memakai ‘jilbab modern’ semua tertutup namun lekukan dan bodi tubuh amat transparan ditonjolkan sehingga ‘memasung’ fungsi jilbab yang sebenarnya sebagaimana firman Allah ta`ala:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(الأحزاب: 59).
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Qs. Al-Ahzab: 59). Fungsi jilbab pada ayat ini ialah agar dikenal (sebagai orang merdeka bukan hamba sahaya atau pelacur: sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir[11]), dan juga supaya tidak diganggu. Bila ternyata berjilbab tapi masih diganggu, maka perlu dievaluasi terlebih dahulu, barang kali jilbab yang dipakai adalah ‘jilbab ketumbar’.
Jilbab model ‘Ketat Mengumbar Aurat’ ini pada gilirannya memang justru malah memancing syahwat dan membuat tergiur orang lewat; membuat para pria terpesona untuk meggoda. Banyak yang tidak menyadarinya. Ukuran kebenaran sudah mengalami kerancuan yang begitu dahsyat. Yang benar ialah yang populer; yang benar ialah yang mengikut mode; yang benar ialah yang ngikut fashion. Kondisi ini diperparah dengan melemahnya daya kritis dari masing-masing individu dan semakin gencarnya publikasi-publikasi bisnis pemilik modal besar yang menyuplai jilbab seperti ini. Banyak yang kepincut (tergiur dan tertipu) dengan berbagai mode yang disajikan. Kenyataan yang ada menggiring kepada semakin tergerusnya nilai-nilai orisinal syari`at Islam.
Meskipun banyak sekali tokoh liberal –seperti Muhammad Sa’id al-`Asymâwi dari Mesir[12]- yang mengatakan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab, Jilbab tidak wajib, ternyata tidak mempengaruhi secara kuantitatif pengguna jilbab. Justru yang membuat mereka jauh dari makna jilbab ialah penyimpangan secara terselubung. Jilbab dikemas sedemikian rupa sehingga membuat masyarakat tertarik dan disebarkan melalui jaringan media yang demikian luas, sehingga secara tidak sadar tertanam dalam pikiran para perempuan muslimah bahwa model yang disebarkan medialah yang perlu ditiru. Meminjam istilah KH. Zainudin MZ: “Tontonan menjadi tuntunan, tuntunan menjadi tontonan”. Dengan cara blak-blakan mereka ditentang, dengan cara halus (melalui penyebaran jilbab poopuler meski tak sesuai syar`i) akhirnya banyak wanita muslimah yang meniru dan terbius.
            Jangan heran jika kuantitas pemakai jilbab di era modern ini tidak berbanding lurus dengan kualitas keamanan dan keselamatan pemakainya. Bagaimana bisa dijamin keamanannya wong lekukan tubuh begitu ditonjolkan lantaran jilbab yang ketat, tipis dan transparan. ‘Jilbab ketumbar’ bila ditelusuri dan ditelaah lebih jauh, malah lebih banyak negatifnya daripada positifnya. Jilbab semacam ini sudah tidak ada bedanya dengan fungsi pakaian selain jilbab. Bahkan pakaian yang bukan jilbab terkadang ada yang lebih memuat esensi jilbab daripada ‘jilbab ketumbar’. Maksudnya dari segi menutupi aurat dengan pakaian yang longgar, bukan ketat.
Tak mengherankan jika Nabi menyatakan bahwa kelak akan ada wanita yang berpakaian tapi telanjang:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا(رواه مسلم).
Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: pertama, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan kedua, para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian (maksudnya jarak yang sangat jauh).” (Shahih Muslim, no. 2128). Kata ‘Berpakaian tapi telanjang’ dijelaskan oleh imam al-Nawâwi[13] ada beberapa makna diantaranya: sebagai baju tipis yang bisa menunjukkan bentuk tubuhnya.
Jilbab yang sesungguhnya makin asing dan dianggap ketinggalan zaman, sedangkan ‘jilbab ketumbar’ makin populer dan dianggap sangat relevan dengan perkembangan zaman. Ada semacam anggapan: berjilbab tapi tetap modis, berjilbab tapi tidak ketinggalan zaman, berkerudung tapi gaul dan banyak lagi anggapan-anggapan yang sangat superfisial(tidak berbobot) dan sangat jauh dari filosofi nilai disyariatkannya jilbab. Di Indonesia yang notabene penduduknya beragama Islam ternyata sudah berkembang luas mode-mode ‘jilbab ketumbar’. Sekarang periksa, teliti dengan saksama jilbab yang kebanyakan dipakai masyarakat. Apakah sudah sesuai syari`at Islam apa malah ‘jilbab ketumbar’. Maunya tetap modis tanpa meninggalkan perintah agama, namun kenyataannya malah mengenyampingkan perintah agama dengan mereduksi ajarannya baik sadar maupun tak sadar.
Jilbab adalah perintah Allah ta`ala yang disampaikan kepada Nabi Muhammad agar ditaati oleh pengikutnya dari kalangan wanita. Karena itu memakai jilbab harus dilatari dengan kesadaran menjalankan ketaatan yang kâffah(total) kepada Allah ta`ala. Berjilbab bukan karena tren atau mode yang sedang berkembang. Berjilbab bukan supaya terlihat keren dan modis. Kebenaran dan ketepatan jilbab tidak diukur dengan kuantitas wanita yang memakainya, tetapi seberapa  besar kualitasnya dalam memenuhi standar syari`ah. Tentu saja ini tidak mudah. Perlu ada sosialisasi dakwah yang sistematis dan masif mengenai jilbab syar`i. Kadang orang melakukan sesuatu karena ikut-ikutan, merupakan sebuah keniscayaan bagi para da`i untuk mengingatkan. Adapun yang sudah tahu kemudian membangkang, maka itu sudah bukan tanggung jawab da`i. Tugas da`i hanya mengingatkan, masalah hasil diserahkan pada Tuhan.
Wallahu a`lam bi al-showâb
Asramah PKU, Selasa 26 Agustus 2014/17:12



[1] . Jilbâbu al-mar`ah al-muslimah fi al-kitâbi wa al-sunnah, hal: 84.
[2] . ibid, hal: 39
[3] . ibid, hal: 119
[4] . ibid. Hal: 125
[5] . ibid. Hal:131
[6] . ibid. Hal: 136
[7] . ibid. Hal: 140
[8] . ibid. Hal: 161
[9] . ibid. Hal: 213
[11] . Tafsîru al-qurânu al-`adhîm, hal: 482, cet: Dâru Thoyyiba li al-nasyri wa al-tauzî`. Karya: Ibnu Katsir.
[12] . Haqîqotu al-hijâb wa hujjiyyatu al-hadits, Hal: 20. Karya: Muhammad Sa`id al-`Asymâwi.
[13] . Syarhu al-nawâwi `ala shohîh muslim, Juz: 14 hal: 110, Cet: Dâru Ihyâ` al-Turôts al-`Arobi.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan