Ketika Prof. Dr. Muhammad Naquib
al-Attâs diwawancarai oleh Hamzah Yusuf mengenai masalah besar yang sedang
dihadapi oleh dunia Islam saat ini, beliau menjawab: “Sebagaimana yang saya
tulis dibuku-buku karangan saya, masalah
besar itu ialah: kehilangan adab.” Kemudian secara ringkas beliau menjelaskan
bahwa : “Kata adab yang saya pakai itu sesuai dengan makna klasik. Adab
merupakan refleksi dari kata ‘hikmah’. Lebih jelas Dr. Adian Husaini dalam
sebuah diskusi mengenai pendidikan mendefinisikan adab –sesuai dengan al-Attâs-
sebagai: “Pengenalan dan pengakuan terhadap segala sesuatu sesuai dengan
harkat dan martabat yang telah ditentukan Allah ta`ala”. Dengan demikian
sangatlah tepat apa yang dinyatakan oleh al-Attâs di muka tadi, bahwa masalah
terbesar dan krusial yang dihadapi oleh dunia Islam saat ini ialah kehilangan
adab. Kehilangan adab tentu saja akan berimplikasi kepada kekacauan pada
segenap elemen kehidupan manusia.
Dalam sebuah artikel yang ditulis
oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud di Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam ISLAMIA(edisi Juli-September 2005), beliau membuat artikel yang
berjudul: “Konsep al-Attaâs tentang Ta`dîb”. Beliau secara lugas memaparkan
konsep pendidikan ala al-Attâs. Berbeda dengan kebanyakan pemikir dan ulama
Islam sebelumnya, al-Attâs lebih memilih kata ta`dib(yang merupakan
derivasi dari kata adab) dibanding kata ta`lîm dan tarbiyah.
Kata ‘talîm’ lebih bersifat kognitif, sedangkan kata ‘tarbiyah’
lebih kepada pengembangan fisikal dan emosi manusia. Karena itulah menurut
al-Attâs kata yang paling tepat untuk pendidikan ialah, ta`dîb. Untuk
mengatasi masalah pada zaman ini tentunya diperlukan usaha ta`dîb untuk
membina manusia beradab. Manusia beradab ialah: “individu yang sadar sepenuhnya
akan individualitasnya dan sadar akan hubungannya yang tepat dengan dirinya,
dengan Tuhannya, dengan masyarakatnya dan dengan alam yang nampak maupun yang
ghaib”. Ini artinya bahwa manusia yang beradab ialah manusia yang mampu
mengharmonikan antara diri, Tuhan, Masyarakat dan alam.
Diskursus mengenai konsep pendidikan
yang diformulasikan oleh al-Attâs memang terhitung baru dalam khazanah filsafat
pendidikan. Menurut Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud Syed Naquib al-Attas (L 1931)
pemikir kontemporer Muslim pertama yang mendefinisikan arti pendidikan secara
sistematis. Konsep ta`dîb yang dimaksudkan al-Attâs bukan saja
menyangkut masalah fisik, namun juga meta-fisik. Sebagai sebuah gambaran bagi
pendidikan insân kâmil(manusia sempurna) atau insân amtsal(manusia
ideal). Saat dunia dihegemoni oleh peradaban sekular-Barat peradaban mereka
kehilangan unsur penting berupa adab. Konsekuensinya jelas. Tanpa adab
peradaban hanya terbatas pada pemahaman materialistik. Terciptanya senjata
pemusnah masal, eksploitasi alam yang sedemikian parah, krisis spiritual yang
begitu tinggi mewarnai peradaban mereka. Peradaban mereka terlepas dari unsur
hikmah dan keadilan. Merupakan sesuatu yang sangat berbahaya jika kaum muslimin
kehilangan adab sebagaimana halnya mereka. Kehilangan adab berdampak negatif
bagi kelangsungan hidup umat Islam.
Yang menjadi pertanyaan besar –bagiku-
dari konsep ta`dîb Prof. Dr. Muhammad Naquib al-Attâs sebagai ganti dari
konsep pendidikan lain ialah, cara menentukan konsep baik secara epistimologis maupun
praktis. Kata ta`dîb jelas-jelas tak pernah disebut dalam al-Qur`an,
lain halnya dengan tarbiyah. Hadits-hadits yang dijadikan afirmasi bagi
bangunan argumentasinya mengenai adab juga lemah, bahkan ada yang sangat
lemah. Memang Ibnu Mandzur menyebutkan
bahwa ‘addaba’ juga berarti `allama’(mengajarkan). Namun, makna
asli dari kata adab ialah mengundang, atau mengajak. Di sisi lain, menurutku
kata tarbiyah sebagai mana makna aslinya jauh lebih luas daripada kata
adab yang kebanyakan diartikan sebagai kesustraan dan etika. Tarbiyah
disamping berarti tumbuh, berkembang, ia juga diderivasi dari kata rabb(Tuhan).
Rabb sendiri memiliki banyak arti seperti: mengasuh, memelihara,
menciptakan, mengayomi, menjaga dan lain sebagainya yang jauh lebih luas
maknanya daripada adab. Di al-Qur`an ada penyebutan kata rabbâniyyun
yaitu orang yang berorientasi kepada Tuhan. Tarbiyah dalam Islam
jelasnya berorientasi kepada Tuhan. Konsekuensinya tidak ada dikotomi antara
jasmani dan rohani, antara manusia dan alam, semua mengarah pada Tuhan dan
sangat universal-kosmopolitan. Namun ini hanya ‘keresahan intelektual pribadi’.
Tanpa mengurangi rasa hormatku kepada Beliau, konsep yang ditawarkan al-Attâs
mengenai filsafat pendidikan (melalui kata ta`dîb), sebagaimana di atas perlu
diapresiasi, sembari tetap dikritisi sampai menjadi terang. Seterang mentari di
siang hari. Wallahu a`lam bi al-showâb.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !