Tidak seperti agama-agama yang lain,
Islam sebagai agama sudah sempurna. Kesempurnaan itu bisa dilihat dari sumber
hukum yang sudah jelas dan pasti, dan bangunan sistem keilmuan yang begitu kuat
tak tertandingi. Lain halnya dengan agama-agama lain yang ajaran-ajaran serta
sumber hukumnya tidak komplit, sehingga perlu upaya untuk menyesuaikan agama
dengan semangat zaman. Ketidakkomplitan ajaran-ajaran agama non-Islam
berimplikasi pada pendekonstruksian ajaran agama supaya selaras dengan
perkembangan masa.
Dalam Islam, meskipun ajarannya
sudah jelas dan sempurna, namun di dalamnya ada beberapa ajaran yang memberi
ruang untuk perubahan. Ajaran-ajaran yang sudah permanen disebut al-tsawabit,
ajaran yang sifatnya tidak tetap, disebut dengan al-mutaghoyyirat.
Konsep al-mutaghoyyirat dan al-Tsawabit ini semakin mengukuhkan
bahwa Islam adalah agama yang jelas dan komplit, serta akomodatif dengan
semangat zaman selama tidak menabrak yang sudah tetap.
Salah satu wacana yang santer dibicarakan
dan hingga kini terus berkembang ialah upaya dekonstruksi syari`ah. Upaya dekonstruksi ini sebenarnya masih dalam batas kewajaran jika digunakan untuk
mengatasi probelem keagamaan yang menghadapi agama-agama non-Islam. Upaya itu
dilakukan memang untuk mensinergikan antara ajaran agama dengan realitas yang
ada. Dalam Islam sendiri sebagaimana yang telah disebut ada ruang khusus yang
memungkinkan untuk diijtihadi agar sesuai dengan semangat zama asala tidak
bertentangan dengan syariat yang sudah tetap.
Pada realitanya, wacana dekonstruksi
yang begitu berkembang pesat ini, kemudian berjalan tanpa kendali, sehingga
sampai pada ranah syari`ah Islam. Kalau yang mendekonstruksi itu berasal dari
orang Barat Sekular, yang notabene memusuhi syari`at Islam, itu masih bisa
dipahami, ironisnya sekarang yang mengusung dan mempropagandakan ide itu justru
dari cendekiawan Muslim. Pada umumnya, mereka rata-rata menimba ilmu keislaman
dari Barat, sehingga world vew(pandangan hidup) yang dipakai untuk
memahami syari`at juga dengan pandangan hidup Barat.
Sebut saja misalkan Abdullahi Ahmad
al-Na`im(yang menganggap syari`at hanyalah interpretasi Muslim atas kitab suci
mereka), al-Asymawi(yang mengatakan bahwa jilbab adalah produk budaya), Ali
Abdul Raziq( yang menyatakan bahwa sistem pemerintahan dalam Islam itu tidak
ada), ada juga nama-nama lain dari kalangan Muslim yang memiliki gaya yang sama
dalam upaya mendekonstruksi syari`ah, misalkan: Muhammad Syahrur, Arkoun, Hasan
Hanafi, Abid Al-Jabiri, Nashr Hamid Abu Zaid dan lain sebagainya yang sangat
antusias dalam mereinterpretasi ajaran agama atau bahkan merombak nilai-nilai
agama yang bertentangangan denga semangat zaman.
Upaya dekonstruksi syari`ah dilihat
dari segi tujuannya memang bagus, yaitu menyajikan Islam sesuai dengan
perkembangan zaman. Pada saat yang sama konsekuensi dari upaya itu justru akan
merusak ajaran-ajaran Islam. Padahal dalam agama Islam ada ranah yang memang
sudah paten dan tidak bisa diganggugugat. Bila ide ini dipaksakan, maka
syari`ah akan bubar dan tidak mempunyai legitimasi lagi. Orang tanpa otoritas
keilmuan akhirnya bisa seenaknya sendiri untuk menafsirkan ajaran agama sesuai
dengan kemauannya.
Selama ide dekonstuksi syari`ah itu
dipraktikkan dalam agama non-Islam, itu wajar dan bisa dimaklumi, lantaran
ajaran-ajaran dalam agama mereka begitu pronlematik. Namun ide ini menjadi
salah ketika digunakan dalam memahami dan ‘memperbarui’ ajaran-ajaran agama
yang sudah tetap. Dalam tradisi keilmuan Islam, tidak sembarang orang yang
mempunyai otoritas berbicara pada ranah syari`ah. Hanya ulama-ulama yang
mumpuni, yang mempunyai otoritas dalam bidang itu. Ketika orang yang tidak
otoritatif dibiarkan untuk mengkaji dan memperbaharui syariat, yang ada bukan
kebenaran yang didapat, malah tambah sesat.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !