Beberapa hari yang lalu, kampung
Jumeneng diramaikan dengan isu yang cukup menghebohkan. Mereka dapat informasi
dari anak mereka yang ikut orientasi mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat bahwa
pada sepanduk orientasi ada tulisan demikian: “TUHAN MEMBUSUK Re-konstruksi
Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan. ORIENTASI CINTA AKADEMIK DAN
ALMAMATER 14. Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel
Surabaya. 28-30 Agustus 2014”. Para orang tua yang resah pun akhirnya pergi
ke rumah Sarikhuluk malam-malam untuk diberi pencerahan. Kebetulan sewaktu
meminta pencerahan, di pendopo Sarikhuluk ada beberapa teman akrabnya (Paijo,
Paimen, Parman, dan Pardi) yang sedang mendiskusikan tema yang sama.
“Zaman semakin rusak. Masak di
universitas Islam masih ada saja kasus-kasus penistaan agama seperti itu. Dulu
ada yang menyatakan: ‘Area Bebas Tuhan’, ‘Anjinghu Akbar’, dan sekarang, ‘Tuhan
Membusuk’, edan tenan bocah-bocah itu. Lebih ironis lagi yang menulis
sepanduk itu ialah mahasiswa fakultas Ushuluddin. Bayangkan! Ushuluddin itu
`kan artinya dasar-dasar agama, puncak dari nilai agama `kan Tuhan, kalau Tuhan
dibilang membusuk, berarti dasar-dasar agama dihancurkan sedemikian rupa.
Gendeng arek-arek iku. Apa mereka ga mikir, coba misalkan bapak yang mereka
sayang dibilang ‘Bapak Membusuk’(padahal masih hidup) apa mereka ga marah?” ungkap
Parman dengan nada tinggi memulai diskusi.
“Aku setuju banget dengan pendapatmu
Man. Mereka harus segera ditindak. Emang kemana dekan dan rektornya? Kenapa hal
itu dibiarkan? Ini harus dibawa ke ranah hukum, biar penistaan agama tidak
terjadi lagi. Masak Florence Sihombing saja yang menghina Jogja sampai dibawa
ke penjara, apalagi ini yang jelas-jelas menghina Tuhan. Apa kita tidak marah
sebagai muslim bila Tuhan kita dicaci maki? Pecat saja dekan dan rektornya biar
kejadian ini tidak terulang.” Tambah Pardi. “Tapi aku kemaren dapat informasi,
penjelasan dekannya begini: sebenarnya kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk
menghina Tuhan. Maksud dari kata-kata itu ialah sebagai kritik atas tergerusnya
nilai agama dikalangan umat Islam. Tuhan hanya dijadikan tambal butuh,
mereka mungkin beragama tapi dalam waktu yang sama menginjak-injak nilai agama.”
Tambahan inforasi dari Paimen.
Paijo ga mau kalah. Ia pun
berkomentar: “Menurutku apologi dari dekan Ushuluddin itu tidak bisa diterima
dengan logis. Bahasanya sudah jelas dan tegas yaitu ‘Tuhan Membusuk’. Sesuatu
yang jelas seperti itu sudah tidak bisa lagi dijelaskan maksudnya. Justru upaya
untuk memaksa menjelaskan, bagiku tindakan yang fatal. Kenapa fatal? Coba kalau
ada mahasiswa yang membuat sepanduk dengan judul: ‘Dosen Menggila’. Kira-kira
apa dia tidak marah? Meski oleh muridnya dicarikan alasan yang seolah masuk
akal, bahwa yang dimaksud menggila adalah bahwa saking bagusnya kinerja
sang dosen sampai-sampai tidak bisa dinalar oleh kebanyakan orang. Jadi
kata-kata yang sudah jelas secara denotatif jangan dicarikan makna konotatifnya
yang justru merancukan makna”.
Sarikhuluk pun akhirnya menengahi: “Sebelumnya
begini teman-teman. Tolong dalam diskusi ini jangan sampai emosi mengalahkan
kejernihan hati dan pikiran kita. Kita akui dulu bahwa ini adalah sebuah dakta
yang memang perlu disikapi dengan lekas dan kritis, tapi kalau kita sampai
salah langkah, yang ada hanya tambah memperkeru masalah. Aku setuju dengan
pendapat kalian semua dari satu sisi, tapi aku tidak setuju pada sisi lain.
Setujunya seperti ini: kata-kata itu jelas menistakan agama. Fakultasnya ga
cocok lagi disebut Ushuluddin, seharusnya Uculuddin. Uculuddin itu
berasal dari bahasa jawa ‘ucul’ yang artinya terlepas. Seharusnya
Fakultas Ushuluddin adalah benteng untuk menjaga agama, malah dijadikan markas
untuk menista agama. Tindakan mereka menggambarkan bahwa mereka telah terlepas(ucul)
dari dasar-dasar agama. Lha ga terlepas gimana, wong Tuhan kok
dikatakan membusuk. Ini menggambarkan universitas Islam telah terkontaminasi
oleh paham-paham liberal. Paham-paham ini pada gilirannya akan melepaskan
keyakinan seseorang terhadap sakralitas agama”.
Sambil mempersilahkan para perwakilan
penduduk desa Jumeneng yang hadir di tempat diskusi untuk menyantap hidangan
yang ada, Sarikhuluk melanjutkan perkataannya: “Yang tidak aku setuju itu ialah
cara menanganinya. Kalau menghadapi kasus seperti itu dengan cara kekerasan dan
main hukum sendiri, maka bukan tambah menyelesaikan masalah. Kita harus bijak
dalam menyikapi. Kita harus mengkritisi, jangan-jangan mereka hanya korban dari
kurikulum atau para dosen yang mengajarkan ajaran yang liberal kepada mereka
sehingga membuat mereka tidak merasa tabu ketika membuat kata-kata itu. Perlu
ada usaha klarifikasi yang serius. Apa bisa kita menghujat dan menghukumi tikus
kecil yang memakan makanan kita, sedangkan tikus-tikus besar enak-enak saja
bersemayam di rumahnya tanpa ada teguran yang berarti. Kalau ada anak seperti
itu seharusnya kita dekati, dan kemudian diberi pencerahan. Adapun sistem dan
para dosen tidak cukup hanya kita hujat. Masalahnya kurikulum sudah ditetapkan,
dan untuk membantah pemikiran yang tidak benar, seharusnya dengan pemikiran
juga, baru kalau mereka masih ngeyel dan secara jelas menistakan agama, kita
serahkan ke pihak yang berwenang. Intinya diklarifikasi terlebih dahulu,
sebelum menghukumi sesuatu”.
Siman, 01 September 2014/22:26
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !