Home » » Ketika Fakultas Ushuluddin Menjadi ‘Uculuddin’

Ketika Fakultas Ushuluddin Menjadi ‘Uculuddin’

Written By Amoe Hirata on Senin, 01 September 2014 | 22.37


            Beberapa hari yang lalu, kampung Jumeneng diramaikan dengan isu yang cukup menghebohkan. Mereka dapat informasi dari anak mereka yang ikut orientasi mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat bahwa pada sepanduk orientasi ada tulisan demikian: “TUHAN MEMBUSUK Re-konstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan. ORIENTASI CINTA AKADEMIK DAN ALMAMATER 14. Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. 28-30 Agustus 2014”. Para orang tua yang resah pun akhirnya pergi ke rumah Sarikhuluk malam-malam untuk diberi pencerahan. Kebetulan sewaktu meminta pencerahan, di pendopo Sarikhuluk ada beberapa teman akrabnya (Paijo, Paimen, Parman, dan Pardi) yang sedang mendiskusikan tema yang sama.
            “Zaman semakin rusak. Masak di universitas Islam masih ada saja kasus-kasus penistaan agama seperti itu. Dulu ada yang menyatakan: ‘Area Bebas Tuhan’, ‘Anjinghu Akbar’, dan sekarang, ‘Tuhan Membusuk’, edan tenan bocah-bocah itu. Lebih ironis lagi yang menulis sepanduk itu ialah mahasiswa fakultas Ushuluddin. Bayangkan! Ushuluddin itu `kan artinya dasar-dasar agama, puncak dari nilai agama `kan Tuhan, kalau Tuhan dibilang membusuk, berarti dasar-dasar agama dihancurkan sedemikian rupa. Gendeng arek-arek iku. Apa mereka ga mikir, coba misalkan bapak yang mereka sayang dibilang ‘Bapak Membusuk’(padahal masih hidup) apa mereka ga marah?” ungkap Parman dengan nada tinggi memulai diskusi.
            “Aku setuju banget dengan pendapatmu Man. Mereka harus segera ditindak. Emang kemana dekan dan rektornya? Kenapa hal itu dibiarkan? Ini harus dibawa ke ranah hukum, biar penistaan agama tidak terjadi lagi. Masak Florence Sihombing saja yang menghina Jogja sampai dibawa ke penjara, apalagi ini yang jelas-jelas menghina Tuhan. Apa kita tidak marah sebagai muslim bila Tuhan kita dicaci maki? Pecat saja dekan dan rektornya biar kejadian ini tidak terulang.” Tambah Pardi. “Tapi aku kemaren dapat informasi, penjelasan dekannya begini: sebenarnya kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menghina Tuhan. Maksud dari kata-kata itu ialah sebagai kritik atas tergerusnya nilai agama dikalangan umat Islam. Tuhan hanya dijadikan tambal butuh, mereka mungkin beragama tapi dalam waktu yang sama menginjak-injak nilai agama.” Tambahan inforasi dari Paimen.
            Paijo ga mau kalah. Ia pun berkomentar: “Menurutku apologi dari dekan Ushuluddin itu tidak bisa diterima dengan logis. Bahasanya sudah jelas dan tegas yaitu ‘Tuhan Membusuk’. Sesuatu yang jelas seperti itu sudah tidak bisa lagi dijelaskan maksudnya. Justru upaya untuk memaksa menjelaskan, bagiku tindakan yang fatal. Kenapa fatal? Coba kalau ada mahasiswa yang membuat sepanduk dengan judul: ‘Dosen Menggila’. Kira-kira apa dia tidak marah? Meski oleh muridnya dicarikan alasan yang seolah masuk akal, bahwa yang dimaksud menggila adalah bahwa saking bagusnya kinerja sang dosen sampai-sampai tidak bisa dinalar oleh kebanyakan orang. Jadi kata-kata yang sudah jelas secara denotatif jangan dicarikan makna konotatifnya yang justru merancukan makna”.
            Sarikhuluk pun akhirnya menengahi: “Sebelumnya begini teman-teman. Tolong dalam diskusi ini jangan sampai emosi mengalahkan kejernihan hati dan pikiran kita. Kita akui dulu bahwa ini adalah sebuah dakta yang memang perlu disikapi dengan lekas dan kritis, tapi kalau kita sampai salah langkah, yang ada hanya tambah memperkeru masalah. Aku setuju dengan pendapat kalian semua dari satu sisi, tapi aku tidak setuju pada sisi lain. Setujunya seperti ini: kata-kata itu jelas menistakan agama. Fakultasnya ga cocok lagi disebut Ushuluddin, seharusnya Uculuddin. Uculuddin itu berasal dari bahasa jawa ‘ucul’ yang artinya terlepas. Seharusnya Fakultas Ushuluddin adalah benteng untuk menjaga agama, malah dijadikan markas untuk menista agama. Tindakan mereka menggambarkan bahwa mereka telah terlepas(ucul) dari dasar-dasar agama. Lha ga terlepas gimana, wong Tuhan kok dikatakan membusuk. Ini menggambarkan universitas Islam telah terkontaminasi oleh paham-paham liberal. Paham-paham ini pada gilirannya akan melepaskan keyakinan seseorang terhadap sakralitas agama”.
            Sambil mempersilahkan para perwakilan penduduk desa Jumeneng yang hadir di tempat diskusi untuk menyantap hidangan yang ada, Sarikhuluk melanjutkan perkataannya: “Yang tidak aku setuju itu ialah cara menanganinya. Kalau menghadapi kasus seperti itu dengan cara kekerasan dan main hukum sendiri, maka bukan tambah menyelesaikan masalah. Kita harus bijak dalam menyikapi. Kita harus mengkritisi, jangan-jangan mereka hanya korban dari kurikulum atau para dosen yang mengajarkan ajaran yang liberal kepada mereka sehingga membuat mereka tidak merasa tabu ketika membuat kata-kata itu. Perlu ada usaha klarifikasi yang serius. Apa bisa kita menghujat dan menghukumi tikus kecil yang memakan makanan kita, sedangkan tikus-tikus besar enak-enak saja bersemayam di rumahnya tanpa ada teguran yang berarti. Kalau ada anak seperti itu seharusnya kita dekati, dan kemudian diberi pencerahan. Adapun sistem dan para dosen tidak cukup hanya kita hujat. Masalahnya kurikulum sudah ditetapkan, dan untuk membantah pemikiran yang tidak benar, seharusnya dengan pemikiran juga, baru kalau mereka masih ngeyel dan secara jelas menistakan agama, kita serahkan ke pihak yang berwenang. Intinya diklarifikasi terlebih dahulu, sebelum menghukumi sesuatu”.


Siman, 01 September 2014/22:26
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan