Logika Alif Lam Mim

Written By Amoe Hirata on Selasa, 29 September 2015 | 05.03

Alif Lam Mim merupakan bagian dari huruf muqothtoah yang ada dalam ayat al-Quran. Kita akan membahas kandungan huruf muqottoah itu secara logis. Pada kesempatan kali ini hanya akan dibahas Alif Lam Mim saja karena sudah teranggap mewakili dari kesekian huruf muqatta`ah yang ada.

Alif Lam Mim merupakan nama huruf dari notasi suara Aa, La dan Ma. Perlu diketahui bahwa pengetahuan tentang bunyi huruf itu sama-sama diketahui oleh masing-masing orang, baik yang buta huruf maupun yang tidak buta huruf. 

Pertanyaanya sekarang ialah: "Selama ini nabi dikenal ummi(tidak bisa baca tulis), lalu kenapa dalam huruf-huruf muqottoah beliau membaca dengan nama-nama huruf, sedangkan pengetahuan tentang nama-nama huruf hanya diketahui oleh orang yang belajar?." 

Jadi logikanya, jika nabi seorang ummi dan mampu melakukan kemampuan orang yang bukan ummi berarti ia telah mendengar kata itu dari Allah langsung, ini juga menegaskan kemu`jizatan al-Quran.  



Penalaran matematisnya demikian:


Kenal huruf+Bisa menyebut nama huruf= Biasa
Buta huruf+Bisa menyebut nama huruf= Luar Biasa

Konklusi= Yang bisa membuat orang biasa  menjadi luar biasa hanyalah zat yang maha luar biasa(Allah). Ini mengindikasikan bahwa al-Quran yang dibawa Muhammad adalah benar-benar wahyu dari Allah ta`ala.



wallahu a`lam

QURBAN: Sebagai Stabilitas Sosial

Written By Amoe Hirata on Kamis, 24 September 2015 | 11.17

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.(Qs:al-Haj, 37)
Sebelum Islam, ketika masyarakat Arab jahiliyah melakukan penyembelihan untuk berhala-berhala. Darah-darah yang mengalir dari sembelihan itu dilumurkan pada berhala-berhala itu. Seakan-akan mereka berkata: “Kami telah menyembelih untukmu, inilah darah sembelihan”. Perbuatan ini menunjukkan kepandiran dan kebodohan mereka. Mengapa demikian? Mereka berpendapat jika berhala-berhala itu tidak dilumuri darah maka mereka tidak akan tahu kalau sembelihan itu hanya diperuntukkan berhala.
Disini Allah memperingatkan pada permasalahan tadi:(”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah....). Artinya Allah tidak akan mengambilnya sedikitpun karena pada dasarnya Dia sangat mampu memberikan kaum faqir --yang kau disuruh memberi kepada mereka -- dan Dia juga mampu menjadikan mereka bukan faqir sepertimu.
Allah hanya menginginkan terjadi keseimbangan pada masyarakat yang notabene berbeda dalam status kaya dan miskin. Masyarakat bukanlah alat mekanik yang berjalan hanya pada satu irama. Ia merupakan kehidupan manusia. Maka seharusnya berdiri berlandaskan keperluan dan saling menyempurnakan.
Fenomena ini mengharuskan terjadinya tingkatan dan perbedaan diantara manusia, kemudian ‘syariat langit’ ikut serta, lalu diambilah harta dari orang yang kuat untuk orang lemah, dari orang kaya untuk orang miskin,,,,Dengan demikian disaat itu juga kita telah melenyapkan perasaan dengki, penyimpangan, kebencian dan pemberontakan.
Ketika orang kuat memberi orang lemah dari kekuatanya maka orang lemah itu tidak akan dengki kepadanya, dan akan selalu didoakan tetap langgeng olehnya, karena kebaikan yang diperoleh orang kuat akan dikembalika pada orang lemah. Ketika si kaya mendermakan hartanya pada orang fakir maka hal itu akan mendamaikan hatinya dan itu dapat memberangus sifat iri dan dengki seraya berdoa:” semoga Allah melanggenglan nikmat yang diberikan pada si kaya”.
Perbedaan tingkat ini seharusnya sebagai perwujudan dari sabda rasulullah shallallhu alaihi wassalam: “Orang mukmin yang satu dengan yang lain bagaikan bangunan yang kokoh, yang satu sama lain saling menguatkan”(Muttafaqun `alaih).
Karena itulah kita melihat jika orang kaya yang biasa berderma ditimpa bencana orang-orang lain akan ikut bersedih dan merasa sakit atas bencana yang menimpa hartanya, ini karena harta dan kebaikannya terlimpah pada mereka. Penduduk desa hingga saat ini ada kebiasaan dimana seorang yang memiliki sapi atau kerbau memerah susunya untuk dibagi-bagikan kepada para tetangga dan orang yang sedang memerlukanya. Maka tak heran jika mereka mendoakan untuknya agar hartanya senantiasa diberkati Allah. Jika pemberi itu ditimpa kejelekan maka secara spontan mereka akan bersedih karenanya.
Jadi: Jika engkau mendermakan nikmat Allah yang diberikan untukmu pada orang yang tidak mampu maka hal itu akan menjaga dirimu dari banyaknya rasa iri dan dengki. Jika engkau tidak melakukan hal itu maka akan terjadi musykilah pada dirimu.
Allah berfirman:(”tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya...) Bertakwa kepada Allah berarti mengikuti manhaj-Nya. Ketaatan pada Allah itu diraih dengan mengikuti manhaj dan tidak bermaksiat, berdzikir tidak lupa, bersyukur tidak kufur.
Cara taat itu dengan jalan mengikuti manhaj:” lakukan(perintah)” dan “jangan lakukan(larangan)” kemudian ia mengingat dan tidak melupakanya; ini karena terkadang ada hamba yang taat pada Allah dan melaksanakan manhaj-Nya, tapi nikmat yang diberikan Allah malah menyibukkan dirinya dari mengingat Allah. Sedangkan manhaj mengajakmu selalu ingat bahwa setiap nikmat yang telah diberikan oleh-Nya. Jangan sekali-kali kau melupakan nikmat Sang Pemberi nikmat.

Kemudian Allah berfirman:”( Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-muhsinin(orang yang berbuat baik”.) Maksudnya ialah supaya engkau mengingat dan bersyukur atas segala taufiq yang diberikan oleh-Nya berupa menjalankan ketaatan hanya untuk-Nya. Maka berilah kabar gembira pada orang-orang muhsin. 
Muhsinin merupakan bentuk plural dari kata muhsin, sedangkan ihsaan merupakan martabat keimanan yang tertinggi. Ihsan itu ialah hendaknya engkau berbuat baik melebihi apa yang telah diwajibkan Allah padamu. Jadi intinya kebaikan yang dilakukan bukan hanya kewajiban tetapi lebih dari kewajiban dan tetap dalam bingkai manhaj Allah(Disarikan dari Tafsir Sya`rawi).

Menyongsong Hari Tasyriq

Written By Amoe Hirata on Senin, 21 September 2015 | 11.29

           Sebentar lagi Hari Raya Idul Adha akan kembali hadir. Tentunya, masyarakat Muslim pada umumnya sudah menyiapkan sedemikian rupa mengenai ritual tahunan khas Idul Adha, yaitu: penyembelihan hewan kurban.
 Penyembilihan hewan kurban, berawal dari kisah ‘Kekasih Allah’, Ibrahim yang dengan ikhlas mengurbankan puteranya demi menaati titah Tuhan. Pengurbanannya tidak sia-sia. Bapak Para Nabi itu dibalas dengan dua balasan sekaligus: Pertama. Puteranya selamat, tak jadi mati. Kedua, diberi ganti lebih baik: kambing gemuk.
            Merupakan suatu pelajaran berharga bagi setiap Muslim, bahwa ketaatan membutuhkan bukti totalitas pengurbanan.
Atas nama ketaatan, semua kepentingan harus disembelih. Justru dengan cara demikian, keselamatan dan anugerah besar akan didapatkan, selama dibangun dengan fondasi keikhlasan.
Peradaban besar apapun namanya tidak pernah lepas dengan pengurbanan. Semakin besar pengurbanan, semakin besar peluang untuk memajukannya.
Warga Jumeneng dengan diskusi bulanan di Pendopo Al-Ikhlas, kali ini mencoba mengelaborasi makna yang terkandung dari Idul Adha. Alasannya jelas: agar mereka tidak terkukung dalam pemahaman yang terlalu ideal, tapi tidak sampai mencambuk kesadaran jiwa dan mental untuk beramal.
Alangkah herannya mereka. Setelah diskusi yang dimoderatori Markoden, dan dinarasumberi Markemol, justru Sarikhuluk lebih menukik pada apa yang tidak begitu diperhatikan oleh kebanyakan orang pada momen Idul Adha.
Pria yang dikenal dengan kearifannya itu justru lebih tertarik mengangkat tema tentang Hari Tasyriq(11, 12, 13 Dzul Hijjah).
“Berkurban dalam Idul Adha sudah terasa sangat biasa. Filosofi nilainya sudah sangat mengakar pada batin umat. Sayangnya tak sampai membangkitkan ghirah mereka untuk melakukan amalan-amalan yang diilhami olehnya.” Begitulah Sarikhuluk memulai statemen dengan seringai khasnya.
“Apa yang kalian pahami tentang Hari Tasyriq?” Ia mulai menyambuk kesadaran peserta diskusi dengan pertanyaan mencerahkan. “Apa ya?” “Tidak tauuuuuuuuuu,...” “Lho itu `kan hari tenggang waktu untuk diperbolehkannya penyembelihan hewan kurban. Lha apa istimewanya? Bukankah yang utama disembelih adalah pas pada waktu 10 Dzul Hijjah.” “Tasyriq itu ya pesta makan daging Cak, hehehe” Begitulah pandangan variatif dari peserta yang berusaha menjawab pertanyaan menukik dari Sarikhuluk.
“Ingat poro dolor(para saudara)! Tidak mungkin Hari Tasyriq hanya dijadikan bagian sekunder dari Idul Adha. Justru ia adalah bagian penting darinya. Ada beberapa nilai yang terkandung di dalamnya. Tapi, sebelum aku menjelaskannya, ada beberapa makna dasar yang perlu kalian ketahui,” Sarikhuluk mencoba menggiring diskusi lebih dalam.
“Kata ‘TASYRIQ’ berasal dari kata syarraqa-yusyarriqu-tasyrīqan, artinya pencahayaan matahari dari timur. Orang Arab dulu memiliki kebiasaan membuat dendeng daging dengan cara menjemur daging melalu cahaya matahari yang terbit dari timur,” tambahnya.
“Lha terus maknanya apa Cak?” Tanya Sarijan penasaran. “Kalau berbicara masalah tasyriq, usahakan jangan hanya terpikir pada masalah wadag, artifisial(meskipun pada waktu itu kita dilarang puasa dalam arti tak makan dan tak minum sebagaimana puasa biasanya). Ojo mikir badokan(makanan) saja. Tapi lebih menelusup ke dalam filosofi nilainya!”
“Ada yang perlu diurai di sini. Pertama, kata syarqun(timur) sebagai landasan filosofi tasyriq. Matahari bangkit itu dari barat apa timur?” “Yo timur lah Cak. Kaya` pertanyaan anak TK saja,” gerutu Paiman.
“Ingat!ojo nesu dilek(jangan marah duluh). Artinya, Timur mengandung arti KEBANGKITAN. Matahari terbit menunjukkan awal pagi, manusia pada umumnya pada waktu pagi adalah waktu yang segar dan semangatnya untuk bekerja. Pagi juga mengandung makna: vitalitas, fresh, semangat, antusias, kehangatan dan kebangkitan. Jadi nilai yang bisa diambil dari sini adalah: KEBANGKITAN.”
Kedua, cahaya mentari. Orang bangkit itu butuh cahaya murni. Sebagaimana cahaya matahari yang timbul dari dirinya sendiri(bahasa fisika. Bukan bulan yang dapat cahaya dari matahari) meskipun sejatinya ya berasal dari Allah. Artinya apa?” “Yo mboh Cak. Tambah mumet aku” sahut Sukidi.
“Orang bangkit itu butuh cahaya nilai yang melatari kebangkitannya. Nilai-nilai itu dibutuhkan sebagai kompas kehidupannya. Lha gimana orang bisa sampa tujuan kalau tidak memiliki petunjuk arah? Yang paling relevan dengan Idul Adha begini: Untuk menuai kebangkitan, kita perlu CAHAYA PENGORBANAN, laiknya Ibrahim dan Ismail.”
Ketiga, transformasi materi menjadi ruhani. Daging yang disembelih, yang dijadikan dendeng atau apaun namanya, pada intinya bukan berhenti pada ranah materil(pemuasan nafsu makan, perut dll). Ia harus bisa ditransformasikan menjadi nilai ruhani, spiritual. Penyembelihan dimaksudkan untuk kepedulian sosial, semangat untuk berbagi dengan orang yang tidak mampu, sehingga, materi bisa bernilai rohani,”
“Dengan kata lain, tasyriq mengandung nilai: pendendengan materi menjadi rohani. Maka tidak heran jika Allah dawuh, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”(QS. Al-Haj: 37). Harta kita perlu dikurbankan untuk kepentingan yang bernilai ruhani: TAQWA. Bila tidak, kita hanya melakukan kesia-siaan dalam hidup.”
“Kalau manusia hanya berhenti pada hal wadak, apa bedanya dengan badak? Jika manusia hanya berkutat pada makan, apa bedanya dengan hewan? Manusia dikatakan manusia karena mempunyai akal yang bisa menaikkan derajatnya dari taraf materi menuju ruhani. Dalam Idul Adha –di balik makna tasyriq- terkandung filosofi seperti itu.”
“Sederhananya begini Rek, Hari Tasyriq mengandung pelajaran: Jika kamu mau bangkit pada segenap level kehidupan, hendaknya kamu berani berkurban. Wujud konkretnya ialah mengubah harta(apa saja materi yang kita punya) menjadi bernilai ruhaniah. Maksudnya ruhaniah adalah untuk mengabdi pada Sang Pencipta. Ini berarti, yang namanya orang ber-tasyriq adalah orang yang naik kelas derajat dari materi menuju rohani. Hubungannya horisontal sesama manusia dan makhluk lain oke, apalagi hubungan vertikal dengan Tuhan, jauh lebih oke. Ngunu lo Rek. Tapi jangan langsung percaya. Kalian harus menggali lagi.”
Ada yang bertanya: “Cak peristiwa tasyriq ini apa sama dengan kisah Narada yang menceburkan tubuh Tetuka(yang kemudian bernama Gatutkaca) ke dalam Kawah Candradimuka? Yang kemudian menjadi sakti mandraguna (naik derajat dengan penempaan luar biasa) sebagai jagoan para dewa?”

Ketika mau menjawab, ternyata Sarikhuluk ada tamu penting dari pemerintahan yang ingin membahas tentang ASAP dan ROKET. Sarikhuluk pun undur diri, diskusi diserahkan kembali pada Markoden.

Menyikapi Bencana Secara Proporsional

Written By Amoe Hirata on Selasa, 15 September 2015 | 04.45

Amoe Hirata
            Musibah jatuhnya crane(alat derek)  perluasan masjidil Haram beberapa waktu lalu –yang memakan korban lebih dua ratus jama`ah haji ketika melaksanakan shalat Maghrib- oleh umat Islam disikapi berbeda.
Sebagian memandangnya dengan penuh optimis bahwa itu sudah menjadi takdir Allah, dan tentu saja mereka akan mendapat pahala mati syahid karena mati dalam keadaan beribadah di tanah suci. Tak jarang juga yang sinis mencari kambing hitam. Mereka berusaha menyalahkan pihak kerajaan Saudi Arabia, karena dinilai ceroboh dalam menjaga stabilitas keamanan dan kenyamanan bagi jama`ah haji.
Terlepas dari penyikapan pro dan kontra seputar musibah duka tersebut, seyogyanya umat Islam menghadapinya secara proporsional(sesuai dengan porsi; sebanding; seimbang). Karena pada hakikatnya, semua musibah yang terjadi di bawah ketentuanNya.
Pada tulisan kali ini, akan dibahas kajian tafsir yang berjudul: “Menghadapi Musibah Secara Proporsional”. Semoga umat Islam dalam menghadapi setiap musibah yang terjadi bisa meletakkannya secara proporsiaonal, dan tidak saling menyalahkan.
I.                   Ayat Kajian                     : Qs. Al-Hadid(22-24)

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ ٢٢ لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٍ ٢٣ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ وَيَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبُخۡلِۗ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ ٢٤

II.                Arti Mufradat                 :
مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ        : Sebelum Kami menciptakannya
يَسِيرٞ                           : Mudah
تَأۡسَوۡاْ                          : Kalian berduka cita
عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ             : Apa yang telah luput atasmu
وَلَا تَفۡرَحُواْ                  : Kalian tidak bergembira
مُخۡتَالٖ فَخُورٍ                : Sombong, membanggakan diri
وَمَن يَتَوَلَّ                    Dan barangsiapa berpaling

III.             Arti Ayat                          :
Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah(22)
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri(23)
(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji(24)

IV.             Tafsir Ayat                      :
Setelah ayat sebelumnya membahas tentang anjuran bersegera menuju ampunan Allah dan surga yang seluas langit dan bumi, pada ayat  ini Allah membicarakan masalah penting yang pasti dialami bumi dan manusia, yakni: musibah(yang masuk dalam kategori qadla dan qadarNya). Allah berfirman: “Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi” seperti kekeringan.  dan (tidak pula) pada dirimu sendiri” seperti sakit dll. Syaikh Abdurrahman As-Sa`adi menjelaskan bahwa kata mushibah pada ayat ini  bersifat umum(mencakup yang baik dan yang buruk).  Jadi, kurang tepat jika kata musibah selalu diidentikkan dengan sesuatu yang buruk(sebagaimana anggapan kebanyakan orang awam).
Semua yang menimpa manusia diterangkan olehNya:  melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” Artinya musibah yang masuk dalam qadla dan qadarnya sudah tercatat dalam kitab bernama Lauhul Mahfuzh yang berisi semua apa yang terjadi, sebelum penciptaannya. Nabi bersabda:
قدَّر الله المَقَادِيْرَ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Allah telah menentukan takdir-takdir sebelum menciptakan langit dan bumi (selama) lima puluh ribu tahun”(Hr. Ahmad)
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. Ya, meskipun akal manusia tidak sampai, hal demikian sangat mudah bagi Allah. Bukankah jika Ia berkehendak, maka tinggal mengucapkan kun fa yakun!(Jadilah! Maka akan terjadi. Baca: Yasin:: 82). Membaca ayat ini, seyogyanya semakin bertambah keimanan Mu`min, dan semakin tenang karena pada dasarnya segala yang menimpa telah tertera. Tidak mungkin terjadi sesuatu tanpa kehendakNya.
Setelah mengetahui bahwa musibah(yang buruk maupun yang baik) semua telah tercatat di Lauhil Mahfud, mungkin di antara kita akan bertanya: Apa hikmah di balik penetapannya?
Allah ta`ala berfirman: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” Semua itu dijelaskan agar manusia dapat menghadapinya secara proporsional. Ada sebuah riwayat:
مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ
Apa saja yang menimpamu bukan untuk menyalahkanmu, dan apa saja yang menyalahkanmu bukan untuk menimpamu”(Hr. Abu Daud). Maksudnya, musibah adalah takdir Allah yang patut diterima, bukan dimaksudkan untuk menyalahkan hamba.
Karena itu, seharusnya kita tidak terlalu berduka cita ketika ditimpa keburukan, serta tidak terlalu berbangga diri ketika mendapat kebaikan. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda terkait sikap Mu`min menghadapi musibah:
           
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُصَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Begitu mengagumkan keadaan orang beriman. Segala kondisi baik baginya –dan itu tidak dimiliki seorang pun, melainkan orang beriman- (yaitu) jika ia ditimpa kegembiraan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Sedangkan ketika ditimpa bahaya(hal buruk), ia bersabar, maka itu baik baginya”. Di sini, sabar dan syukur menjadi kunci yang proporsional dalam menghadapi musibah yang terjadi.
Sikap yang berlebihan dalam menghadapi musibah hanya akan mendapat kebencian Allah. Misalkan, ada orang yang diberih musibah(diuji) dengan kesenangan, lantas ia sombong tak mau bersyukur, bahkan berbangga diri, maka orang tersebut harus ingat: Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
Masih segar dalam ingatan pembaca mengenai kisah Qorun(Qs. Al-Qoshos: 78). Kesombongan dan kebanggaan dirinya mengenai harta yang dimiliki(sampai menafikan pemberian Allah), pada akhirnya membuatnya tenggelam di tanah.
Bagaimana misalnya agar kita selalu bersyukur, terutama dalam masalah keduniaan? Jawabannya simpel tapi berat, yaitu: Tidak melihat pada orang yang lebih mampu darinya, tetapi melihat orang yang dibawahnya adalah salah satu cara jitu yang diajarkan nabi agar Muslim tetap bisa menjaga ritme syukur  pada Allah ta`ala sebagaimana sabda nabi: Lihatlah orang di bawah kalian, dan janganlah melihat orang yang di atas kalian. Yang demikian itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah atas kalian”(Hr. Muslim).
Siapakah orang yang masuk dalam kategori sombong dan membanggakan diri? Allah ta`ala menjelaskan: “(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir.
Ada dua karakter penting yang menjelaskan kategori sombong dan berbangga diri. Pertama, kekikiran. Pelit dan merasa berat tangan dalam memberi. Kedua, menyuruh orang lain berbuat kikir. Ternyata tak cukup dengan dirinya sendiri, malah memprovokasi orang lain untuk berbuat seperti yang ia lakukan.
Orang seperti ini –meminjam istilah Alquran- bukan saja sebagai orang yang fasid(rusak) tapi juga mufsid(penebar kerusakan). Lihat! Betapa besar dampak negatifnya, jika musibah kenikmatan malah hanya membuatnya sombong dan berbangga diri.
Semua itu sejatinya adalah rambu-rambu dari Allah yang perlu ditaati:  Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. Pilihan ada pada diri kita. Jika berpaling, jangan pernah berfikir bahwa Allah merasa rugi, atau hina. Justru orang yang berpalinglah yang akan rugi dan hina.
Kita tentu ingat kisah-kisah orang-orang pongah di sepanjang sejara seperti Fir`aun, Namrud dll. Mereka sombong dan berpaling dari peringatan para nabi, akhirnya hidupnya berakhir dengan penderitaan abadi. Akhirnya, semoga kita bisa mengambil ibrah dari ayat-ayat di atas.

V.                Pelajaran              :
1.      Ketetapan qadla dan qadar Allah ta`ala
2.      Keimanan pada qadla dan qadar harus selalu ditanamkan
3.      Kepastian adanya Lauhil Mahfudz
4.      Penjelasan tentang hikmah qadla dan qadar: Tidak berduka dengan musibah buruk, dan tidak terlalu bergembira dengan musibah baik
5.      Anjuran menghadapi musibah secara proporsional
6.      Haramnya sifat:
a.       sombong
b.      berbangga diri
c.       bakhil
d.      menyuruh orang berbuat bakhil
7.      Tercelanya berpaling dari perintah Allah
8.      Allah Maha Kaya dan Terpuji


VI.              Referensi              :
1.      Tafsir al-Qur`an al-`Adzim, karya: Ibnu Katsir
2.      Aisar Tafāsīr, karya: Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi
3.       Taisir Karim Rahman, karya: Syaikh Abdurrahman As-Sa`adi
4.      Tafsir wa Bayan Mufradati al-Qur`an `ala mushhafi al-Tajwid, karya: Dr. Muhammad Hasan al-Himshi
5.      Shahih Muslim, karya: Imam Muslim
6.      Musnad Ahmad, karya: Imam Ahmad
7.      Sunan Abu Daud, karya: Imam Abu Daud

8.      `Aunu al-Ma`bud, karya: Syarfu al-Haq al-`Adhim Abadi

Memburu Kebaikan Allah

Written By Amoe Hirata on Jumat, 11 September 2015 | 14.48

                SIAPA dalam hidupnya yang tidak mau dikehendaki Allah mendapat kebaikan? Kalau anda Muslim –apa pun jabatan dan strata sosial anda- pasti menginginkannya. Hanya saja, kebaikan dari Allah, yang bahasa Arabnya: khoirullah, bukan untuk ditunggu, tapi diburu.
Bagaimana anda mau mendapatkan emas, jika bermental malas? Bagaimana mau mengetam, jika tak mau menanam? Ga mungkin `kan Sob?
            Dalam hadits ada beberapa kriteria yang disebutkan Nabi Muhammad agar setiap Muslim mendapat kebaikan dari Allah.
            Pertama, faqih(paham) agama. Nabi bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
Artinya: “Barangsiapa dikehendaki Allah (mendapat) kebaikan, maka akan dipahamkan ia dalam (masalah) agama”(Hr. Bukhar). Ingat! Kriteria pertama harusnya PAHAM agama, bukan TAHU agama. Beragama berdasarkan ilmu, bukan asal tahu.
            Orang yang PAHAM agama, sejatinya tak akan bersenjang dengan AMAL NYATA. Mereka ini biasanya disebut ULAMA. Ulama sendiri menurut al-Qur`an mempunyai khasyah(takut plus ta`dzim) tinggi(Qs. Fathir: 28) dan pasti akan diangkat derajatnya(Qs. Al-Mujadilah: 11).
            Kedua, menghadapi ujian hidup. Nabi bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
Artinya: “Barangsiapa dikehendaki Allah (mendapat) kebaikan, maka ia akan diuji”((Hr. Bukhari).  Kalau mendapat ujian banyak dalam kehidupan jangan pernah risau dan su`udzan pada Allah Sob. Ujian itu untuk dihadapi, bukan diratapi.
Selama kita berada pada riil yang benar, ketika masih mendapat ujian, maka itu tak lain karena Allah ingin menghendaki kita menjadi baik.
            Dalam sekolah saja ada ujian, apalagi kehidupan? Semakin diuji orang akan berderajat tinggi. Akan diketahui mana loyang mana emas, melalui ujian.
Dalam al-Qur`an kita `kan akan diuji dengan rasa takut, lapar, harta berkurang, dll. Yang akan sukses dalam ujian hanyalah orang-orang yang sabar(Qs. 155). Allah menciptakan kematian dan kehidupan untuk mengetahui siapa yang terbaik amalnya(Qs. Al-Mulk: 2). Jadi, untuk mendapat kebaikan, bersiaplah untuk menghadapi ujian. Semakin banyak ujian, semakin banyak kebaikan. Tentu saja, jika mampu SABAR.
            Ketiga, memohon taufiq Allah agar konsisten beramal shalih hingga ajal menjemput. Nabi bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ " قَالُوا: يَا رَسْوْلُ اللهِ، مَا اسْتَعْمَالُهُ ؟ قَالَ: " يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ مَوْتِهِ
Artinya: “Barangsiapa dihendaki Allah (mendapat) kebaikan, maka ia akan dipergunakan”. Sahabat bertanya, “Wahai Rasulallah! Apa (maksud) pergunaannya?”. Beliau menjawab: “Akan dianugerahi taufiq oleh Allah untuk beramal shalih sebelum kematiannya.”(Hr. Ahmad).
            Nasib orang tiada yang tau akan berakhir seperti apa. Mati juga misteri ilahi. Maka yang bisa kita lakukan ialah selalu memohon kepadanya agar senantiasa diberi taufiq. Taufiq untuk senantiasa konsisten beramal hingga ajal tiba.
            Dalam hadits ada kisah menarik tentang takdir. Ada orang yang dari kecil berbuat baik hingga besar hingga jarak antara surga dan dirinya hanya satu hasta. Namun, karena sudah ditakdir jelek, kemudian pada akhir hayatnya, ia melakukan kejelekan dan ia pun masuk neraka. Ada pula yang sebaliknya(Hr. Muslim).
            Keempat, beramal sebagaimana generasi terbaik(sahabat, ulama salaf). Suatu saat nabi ditanya oleh seorang Arab Badui, “ Apa Islam ada akhirnya?”. Beliau menjawab:
نَعَمْ مْنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً مِنْ عَرَبٍ وَعَجَمٍ أَدْخَلَهُ عَلَيْهِمْ
Artinya: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah (mendapat) kebaikan, baik orang Arab maupun non-Arab, maka akan dimasukkan dalam golongan mereka”(Hr. Ibnu Hibban). Ini sangat beralasan sebab, kata beliau setelah masa terbaik pada akhirnya ada masa fitnah. Orang yang bisa selamat dari fitnah adalah orang yang konsisten beramal sesuai dengan amalan mereka, yang menjadi orang terdepan dalam meneladani Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam.
            Kelima, berakhlak mulia. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً يَجْعَلْ خُلُقَهُ حسناً
Artinya: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah (mendapat) kebaikan,  maka akhlaknya akan dibuat mulia”(Hr. Al-Qudha`i). Siapa sih yang ga suka pada orang yang berakhlak mulia? Dan ingat, mereka yang berakhlak mulia bukan saja mendapat kebaikan, tetapi sebagai representasi insan yang beriman sempurna. Sedangkan hal itu, sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam.
            Intinya Sob, jika mau mendapat kebaikan dari Allah setidaknya kita memantaskan diri dengan memburu 5 Kriteria tadi: PAHAM AGAMA, MENGHADAPI UJIAN, KONSISTEN BERAMAL HINGGA BERAKHIR AJAL, MENELADANI GENERASI TERBAIK, dan BERAKHLAK MULIA.

            Sudah pantaskah Aku, Kamu, Mereka dan semuanya yang merasa Muslim mendapatkan KHOIRULLAH(kebaikan dari Allah)?

Jangan Su`udzan Pada Tuhan!

Written By Amoe Hirata on Jumat, 04 September 2015 | 15.22

            Di Kebun Binatang Surabaya Markemul mendapat pengalaman berharga. Tanpa direncanakan jauh-jauh hari, ia bisa bertemu sosok yang selama ini dicari, yaitu: Sarikhuluk yang selalu membuatnya terinspirasi.
Ceritanya, ketika ia sedang dirundung kesedihan, ia didatangi kawan lamanya, Matsol(nama aslinya: Muhammad Sholih). Ia pun curhat masalah pribadi. Tanpa dinyana, ia diajak Matsol janjian di hari Ahad. Di bangunan bertingkat, yang Matsol sebut: MENARA.
            Di tempat janjian, Markemul melihat sosok misterius. Dalam hati ia berseloroh, “Mungkin ini Sarikhuluk.” Tapi, batang hidung Matsol belum jua kelihatan. Ia pun memberanikan diri untuk memulai: “Kenalkan saya Markemul!” sapanya pada sosok asing dihadapannya. “Kalau njenenengan sendiri siapa?” tanyanya kembali. “Saya adalah misi diutusnya Nabi Muhammad.” Jawab orang itu. Markemul pun tambah puyeng kepalanya. Baru kali ini ia menjumpai orang rada aneh macam itu. Ditanya nama, kok jawabnya ga to the point. Malah ngalor-ngidul.
“Lho maksudnya apa Pak?” “Lha, kamu ini gimana, tugas diutusnya nabi Muhammad itu apa Mul?” “Emmmm, untuk menyempurnakan akhlak.” Jawab Markemul tambah bingung. “Tepat! Namaku ‘sedarah’ dengan akhlak. Namaku: SARIKHULUK.” Kagetlah Markemul, rupanya yang sedang dihadapannya adalah orang yang selama ini ia cari.
Masyaallah La Quwwata Illa Billah, Oalah Cak Cak, sampean toh ini. Aku ga nyangka bisa dipertemukan dalam momen seindah ini.” Komentar Markemul menunjukkan mimik bahagia.  “Kata siapa indah? Apa yang kamu maksud dengan keindahan? Apa kamu pikir aku sedang dalam sikond indah?” Markemul tambah bingung. Setiap ngomong kayaknya salah. “Tidak ada yang namanya momen indah atau buruk. Yang membuat indah atau buruk adalah cara pandangmu. Keburukan akan menjadi indah kalau kamu memandang bahwa itu ujian kelulusan dari Allah. Keindahan justru akan menjadi keburukan jika melenakanmu dari mengingat Allah.”
“Aduh, kenak lagi!” Markemul melenguh dalam hati. Belum sempat ia bertanya sesuatu ia pun diberondong banyak nasihat-nasihat menusuk ke jantung pertahanannya. “Mul, kamu ini sudah beribada bertahun-tahun. Tapi kok belum naik kelas ya?” “Maksudnya apa Cak?” “Lho, masih nanya lagi. Kamu ga sadar kalau setiap hari kamu beribadah, tapi berkualitas sampah.” “Lho, kok sampah. Kok tau? Emang sampean ini malaikat Cak?”
“Goblok!. Kalau aku malaikat pastinya sudah aku cabut nyawamu.” Mendengar itu Markemul agak ngeri. Ia mulai merenung: kok gambaran Sarikhuluk jadi sangar begitu. Belum selesai ia berfikir, dentuman kata-kata orang asing itu keluar bak air bah. “Mul, kamu ini apa. Percaya sama Sang Pencipta, tapi hobi buruk sangka; suka ibadah, tapi rajin berbuat salah; senang beramal, tapi suka membual.” “Aduh buyung. Tambah mumet kepalaku.” Keluhnya dalam hati.
“Tunggu, tunggu Cak maksud sampean apa?” “Lha kamu ga sadar ya. Selama ini kamu suudzan sama Tuhan. Wong suudzan sama manusia aja ga boleh apalagi sama Tuhan. Gara-gara belum dikasih momongan anak selama tujuh tahun nikah, diam-diam dalam hati kamu mulai ragu. Mempertanyakan, menyoal rahmat Tuhan. Kamu ingat ketika sendiri, kemudian nyeletuk: ‘Gimana ya, kadang aku heran. Teman-teman yang nakalnya bukan main, malah guampang punya anak. Lha aku, sudah shalat setiap hari kok gak punya-punya anak?’. Pernahklan kamu ngomong kayak gitu. Kamu pikir, masalah anak itu berkaitan dengan rajin atau tidaknya ibadah. Ingat blok, itu murni karunia Allah!”.
Markemul tambah kaget, dalam hati ia bertanya, “Darimana Cak Sarikhuluk tau. Gendeng tenan wong iki(orang ini).” “Heh, kamu ini dikasih tau mala ngatain aku gendeng!”. Kata-kata Sarikhuluk men-skak mati dirinya.  Ia menjadi lemas-kuyu. Ternyati orang itu mengetahui isi hatinya. Belum habis rasa lemasnya, ia kemudian diberondong lagi dengan beberapa pernyataan: “Kamu tahu, Nabi Zakariya? Sampai tua renta baru dikaruniai anak, ga sampek su`udzan sama Tuhan, lha kamu ini apa? Baru tujuh tahun, sudah kayak berkurun-kurun. Kamu tahu Ibrahim dan Sarah, berpuluh-puluh tahun ga dikaruniai anak, tapi ga pernah gugat Allah, tapi kamu ini malah buruk sangka!”
“Ingat! Allah tau yang terbaik buat kamu. Yang kamu inginkan belum tentu baik. Tapi yang Allah tentukan, pasti terbaik. Kamu ingat ga sih, kisah Khidir yang membunuh anak kecil? Dia dibunuh lantaran di masa depan ia akan menjadi anak durhaka. Lha, apa kamu mau, diberi anak kemudian nanti mencelakakanmu. Ingat Allah Maha Tau terhadap urusanmu. Tugasmu itu Cuma menanam, masalah panen urusan Tuhan. Mulai sekarang rubah cara pandangmu. Bahagia itu, ialah: ketika kehendakmu dan kehendak Tuhan berkelindan. Kamu dikasih susah kek, dikasih senang kek, tetap enjoy aja lantaran sudah keputusan Yang di Atas.”
“Kamu `kan hafal betul hadits qudsi, ‘Saya bersama persangkaan hambaku’. Kalau kamu su`udzan, pasti cerminan buruk akan memantul dalam kehidupanmu. Bersangka baik pada Allah akan menjadi energi positif yang mencahayai hatimu yang sedang gulita. Sedangkan berburuk sangka padaNya, akan menjadikannya energi negatif, yang bisa melenyapkan cahaya dari cakrawala hatimu!” Tanpa sadar, Markemul berkaca-kaca. Ia merasa bersalah. Apa yang dibilang Sarikhuluk mengenai dirinya 100 % benar adanya. Pingin rasanya ia lekas bersimpuh dihadapan Tuhan.

Dalam kondisi seperti itu, ada yang memanggilnya dari belakang, “Mul, Mul, Mul!” “Lho, kamu Matsol?” “Iya, udah lama tah di sini? Nih kenalkan: Sarikhuluk?” Tiba-tiba hati Markemul kaget, seolah detak jantungnya berhenti. Ia pun menoleh ke belakang. Ternyata tidak ada orang. Ia berujar, “Lha, tadi Cak Sarikhuluk mana ya? Jangan, jangaaan,,,,” hatinya pun menjadi dag dig dug der. “Kalau yang bersama Matsol adalah Sarikhuluk asli, lalu yang ngobrol tadi itu siapa. Apa KW Sarikhuluk dari bangsa jin?” dengusnya. Tapi, semua yang dikatakan Sarikhuluk KW misterius itu anehnya 100% benar adanya. Ia bingung, tapi beruntung. Bingung karena penasaran dengan sosok yang ngobrol dengannya. Beruntung karena mendapat nasihat yang tak disangka-sangka.

SAHABAT

Written By Amoe Hirata on Rabu, 02 September 2015 | 14.50

Ketika aku makmur
Teman terlihat akur
Semua seperti sahabat
Yang kan senantiasa rekat

Nyatanya,
Aku salah sangka
Yang ku sebut sahabat
Hanya kepentingan sesaat

Ketika ku berada
Mereka dekat seketika
Ketika ku papa
Mereka segan menyapa

Apa ini yg dinamai
Sahabat sejati
Laiknya para pengkhidmad
Menyerta Nabi Muhammad

Sahabat bagiku
Akan selalu membantu
Dalam lapang
Maupun malang

Apa aku terlalu berlebihan
Mendefinisi sahabat sarat kepentingan?
Kalau kau anggap 'IYA'
Bisakah gulita menatap surya?

HARMONI ILMU & AMAL

            Idealnya ilmu dan amal harus harmoni. Kitab Suci pun mengaffirmasi: “Apakah kalian (suka) memerintah orang berbuat kebaikan, tapi melupakan diri sendiri”(Qs. Al-Baqarah: 44). Artinya, mengetahui ilmu tentang kebaikan kemudian mengajak orang lain untuk mengamalkan, tidaklah cukup sebelum diri sendiri beramal.
Dengan kata lain, ilmu dan amal syogyanya berjalinkelindan. Faktanya, banyak terjadi kesenjangan antara ilmu dan amal. Anda bisa menjumpai orang yang sangat menonjol dalam keilmuan agama, tapi pada saat yang sama ia tak mengamalkannya.
Apa ada yang salah dengan ilmu, demikian pula amal? Nyatanya tidak. Karena, kerhamonisan keduanya sudah dicontohkan dengan baik oleh generasi sahabat nabi dan generasi terbaik setelahnya. Semua kembali kepada pribadi masing-masing.
            Sebagai contoh riil –tanpa bermaksud membatasi-, ada anjuran Alqur`an mengenai kesabaran. Setiap Muslim mungkin sangat mudah ketika berposisi sebagai penasihat bagi orang-orang yang terkena musibah. “Yang sabar ya. Allah bersama orang-orang yang sabar.” Namun, bagaimana jika diri sendiri mengalaminya? Kebanyakan, benar-benar konsekuen dengan keilmuannya, atau justru mengabaikannya? Masing-masing dari kita bisa mengukurnya.
            Pada umumnya, kita adalah tipe manusia yang suka mengajak orang berbuat baik, padahal diri sendiri menampik. Senang menyuruh-nyuruh beramal bajik, sedangkan perbuatan sendiri terbalik. Hobi memerintah orang lain berbuat mulia, nyatanya diri sendiri berbuat hina. Bila demikian, apa gunanya ilmu jika tak berbuah amal?
            Kita ga mau `kan dibilang: OMDO(Omong Doang), ASBUN(Asal Bunyi), BEMU(Besar Mulut), akibat hanya pandai omong tapi beramal kosong; pintar bicara namun tanpa perbuatan nyata; cerdik beretorika, tapi berhenti pada teori belaka?
Kelak –di akhirat- akan dipamerkan seorang laki-laki yang seisi perutnya keluar.  Ia berputar sebagaimana keledai berputar di penggilingan. Penduduk neraka pun berkerumun, seraya bertanya: “Wahai Fulan! Mengapa keaadaanmu seperti ini, bukankah engkau dahulu memerintahkan kami berbuat ma`ruf dan melarang kami berbuat munkar?” Ia pun menjawab: “(Betul) aku menyuruh kalian berbuat ma`ruf, tapi aku tidak mengerjakannya; aku larang kalian berbuat munkar, namun aku sendiri yang melanggar.”(Hr. Bukhari, Muslim dan Ahmad). Riwayat tersebut adalah salah satu konsekuensi akharat, ketika ilmu dan amal tak harmoni.
            Bagaimana agar ilmu dan amal bisa harmoni? Ada beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan serta dikembangkan oleh masing-masing dari kita sesuai kapasitas pribadi. Pertama, memperbaiki cara pandang terkait ilmu dan amal. Cara pandang yang benar ialah: ilmu dan amal harus harmoni. Di antara keduanya tidak ada kesenjangan. Kalau sejak awal cara pandang terhadap ilmu memakai cara pandang yang dikotomis(bersifat memisahkan), maka sangat sukar untuk mengharmonikan keduanya.
Kedua,  mencari ilmu diniati sejak awal untuk beramal. Ini penting karena niat laksana fondasi, jika fondasi yang dibangun sejak awal tidak kuat, maka akan berpengaruh pada bangunan amal. Niat juga laksana benih. Bisakah kita mengetam padi, jika yang kita tanam sejak awal adalah jerami?
Ketiga, tidak menambah ilmu jika belum yakin bisa mengamalkan. Abu Abdurrahman As-Silmi meriwayatkan: bahwa orang yang membacakan pada kami al-Qur`an seperti Utsman, Abdullah bin Mas`ud dan lainnya, mereka –punya kebiasaan- belajar sepuluh ayat Al-Qur`an. Tidak akan menambahnya sebelum belajar ilmu dan amal. Mereka berujar, “Kami belajar al-Qur`an, ilmu dan amal sekaligus”(R. Abdul Razzaq).
            Adapun yang selanjutnya, bisa anda eksplorasi sendiri. Sebagai penutup, ada pribahasa Arab yang sangat relevan untuk diketengahkan di sini:  “Ilmu tanpa amal, bagai pohon tak berbuah.” Bagaimana kita berhasil, jika ilmu yang dimiliki hanya dijadikan “fosil”. Haihata, haihata, haihata(alangkah jauh). Menurut pribahasa Indonesia, perilaku demikan adalah: “Jauh panggang dari api”(Tidak kena, tidak benar).

Wallahu a`lam bi al-Shawāb.
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan