Home » » Menyongsong Hari Tasyriq

Menyongsong Hari Tasyriq

Written By Amoe Hirata on Senin, 21 September 2015 | 11.29

           Sebentar lagi Hari Raya Idul Adha akan kembali hadir. Tentunya, masyarakat Muslim pada umumnya sudah menyiapkan sedemikian rupa mengenai ritual tahunan khas Idul Adha, yaitu: penyembelihan hewan kurban.
 Penyembilihan hewan kurban, berawal dari kisah ‘Kekasih Allah’, Ibrahim yang dengan ikhlas mengurbankan puteranya demi menaati titah Tuhan. Pengurbanannya tidak sia-sia. Bapak Para Nabi itu dibalas dengan dua balasan sekaligus: Pertama. Puteranya selamat, tak jadi mati. Kedua, diberi ganti lebih baik: kambing gemuk.
            Merupakan suatu pelajaran berharga bagi setiap Muslim, bahwa ketaatan membutuhkan bukti totalitas pengurbanan.
Atas nama ketaatan, semua kepentingan harus disembelih. Justru dengan cara demikian, keselamatan dan anugerah besar akan didapatkan, selama dibangun dengan fondasi keikhlasan.
Peradaban besar apapun namanya tidak pernah lepas dengan pengurbanan. Semakin besar pengurbanan, semakin besar peluang untuk memajukannya.
Warga Jumeneng dengan diskusi bulanan di Pendopo Al-Ikhlas, kali ini mencoba mengelaborasi makna yang terkandung dari Idul Adha. Alasannya jelas: agar mereka tidak terkukung dalam pemahaman yang terlalu ideal, tapi tidak sampai mencambuk kesadaran jiwa dan mental untuk beramal.
Alangkah herannya mereka. Setelah diskusi yang dimoderatori Markoden, dan dinarasumberi Markemol, justru Sarikhuluk lebih menukik pada apa yang tidak begitu diperhatikan oleh kebanyakan orang pada momen Idul Adha.
Pria yang dikenal dengan kearifannya itu justru lebih tertarik mengangkat tema tentang Hari Tasyriq(11, 12, 13 Dzul Hijjah).
“Berkurban dalam Idul Adha sudah terasa sangat biasa. Filosofi nilainya sudah sangat mengakar pada batin umat. Sayangnya tak sampai membangkitkan ghirah mereka untuk melakukan amalan-amalan yang diilhami olehnya.” Begitulah Sarikhuluk memulai statemen dengan seringai khasnya.
“Apa yang kalian pahami tentang Hari Tasyriq?” Ia mulai menyambuk kesadaran peserta diskusi dengan pertanyaan mencerahkan. “Apa ya?” “Tidak tauuuuuuuuuu,...” “Lho itu `kan hari tenggang waktu untuk diperbolehkannya penyembelihan hewan kurban. Lha apa istimewanya? Bukankah yang utama disembelih adalah pas pada waktu 10 Dzul Hijjah.” “Tasyriq itu ya pesta makan daging Cak, hehehe” Begitulah pandangan variatif dari peserta yang berusaha menjawab pertanyaan menukik dari Sarikhuluk.
“Ingat poro dolor(para saudara)! Tidak mungkin Hari Tasyriq hanya dijadikan bagian sekunder dari Idul Adha. Justru ia adalah bagian penting darinya. Ada beberapa nilai yang terkandung di dalamnya. Tapi, sebelum aku menjelaskannya, ada beberapa makna dasar yang perlu kalian ketahui,” Sarikhuluk mencoba menggiring diskusi lebih dalam.
“Kata ‘TASYRIQ’ berasal dari kata syarraqa-yusyarriqu-tasyrīqan, artinya pencahayaan matahari dari timur. Orang Arab dulu memiliki kebiasaan membuat dendeng daging dengan cara menjemur daging melalu cahaya matahari yang terbit dari timur,” tambahnya.
“Lha terus maknanya apa Cak?” Tanya Sarijan penasaran. “Kalau berbicara masalah tasyriq, usahakan jangan hanya terpikir pada masalah wadag, artifisial(meskipun pada waktu itu kita dilarang puasa dalam arti tak makan dan tak minum sebagaimana puasa biasanya). Ojo mikir badokan(makanan) saja. Tapi lebih menelusup ke dalam filosofi nilainya!”
“Ada yang perlu diurai di sini. Pertama, kata syarqun(timur) sebagai landasan filosofi tasyriq. Matahari bangkit itu dari barat apa timur?” “Yo timur lah Cak. Kaya` pertanyaan anak TK saja,” gerutu Paiman.
“Ingat!ojo nesu dilek(jangan marah duluh). Artinya, Timur mengandung arti KEBANGKITAN. Matahari terbit menunjukkan awal pagi, manusia pada umumnya pada waktu pagi adalah waktu yang segar dan semangatnya untuk bekerja. Pagi juga mengandung makna: vitalitas, fresh, semangat, antusias, kehangatan dan kebangkitan. Jadi nilai yang bisa diambil dari sini adalah: KEBANGKITAN.”
Kedua, cahaya mentari. Orang bangkit itu butuh cahaya murni. Sebagaimana cahaya matahari yang timbul dari dirinya sendiri(bahasa fisika. Bukan bulan yang dapat cahaya dari matahari) meskipun sejatinya ya berasal dari Allah. Artinya apa?” “Yo mboh Cak. Tambah mumet aku” sahut Sukidi.
“Orang bangkit itu butuh cahaya nilai yang melatari kebangkitannya. Nilai-nilai itu dibutuhkan sebagai kompas kehidupannya. Lha gimana orang bisa sampa tujuan kalau tidak memiliki petunjuk arah? Yang paling relevan dengan Idul Adha begini: Untuk menuai kebangkitan, kita perlu CAHAYA PENGORBANAN, laiknya Ibrahim dan Ismail.”
Ketiga, transformasi materi menjadi ruhani. Daging yang disembelih, yang dijadikan dendeng atau apaun namanya, pada intinya bukan berhenti pada ranah materil(pemuasan nafsu makan, perut dll). Ia harus bisa ditransformasikan menjadi nilai ruhani, spiritual. Penyembelihan dimaksudkan untuk kepedulian sosial, semangat untuk berbagi dengan orang yang tidak mampu, sehingga, materi bisa bernilai rohani,”
“Dengan kata lain, tasyriq mengandung nilai: pendendengan materi menjadi rohani. Maka tidak heran jika Allah dawuh, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”(QS. Al-Haj: 37). Harta kita perlu dikurbankan untuk kepentingan yang bernilai ruhani: TAQWA. Bila tidak, kita hanya melakukan kesia-siaan dalam hidup.”
“Kalau manusia hanya berhenti pada hal wadak, apa bedanya dengan badak? Jika manusia hanya berkutat pada makan, apa bedanya dengan hewan? Manusia dikatakan manusia karena mempunyai akal yang bisa menaikkan derajatnya dari taraf materi menuju ruhani. Dalam Idul Adha –di balik makna tasyriq- terkandung filosofi seperti itu.”
“Sederhananya begini Rek, Hari Tasyriq mengandung pelajaran: Jika kamu mau bangkit pada segenap level kehidupan, hendaknya kamu berani berkurban. Wujud konkretnya ialah mengubah harta(apa saja materi yang kita punya) menjadi bernilai ruhaniah. Maksudnya ruhaniah adalah untuk mengabdi pada Sang Pencipta. Ini berarti, yang namanya orang ber-tasyriq adalah orang yang naik kelas derajat dari materi menuju rohani. Hubungannya horisontal sesama manusia dan makhluk lain oke, apalagi hubungan vertikal dengan Tuhan, jauh lebih oke. Ngunu lo Rek. Tapi jangan langsung percaya. Kalian harus menggali lagi.”
Ada yang bertanya: “Cak peristiwa tasyriq ini apa sama dengan kisah Narada yang menceburkan tubuh Tetuka(yang kemudian bernama Gatutkaca) ke dalam Kawah Candradimuka? Yang kemudian menjadi sakti mandraguna (naik derajat dengan penempaan luar biasa) sebagai jagoan para dewa?”

Ketika mau menjawab, ternyata Sarikhuluk ada tamu penting dari pemerintahan yang ingin membahas tentang ASAP dan ROKET. Sarikhuluk pun undur diri, diskusi diserahkan kembali pada Markoden.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan