Sebentar lagi Hari Raya Idul Adha akan kembali
hadir. Tentunya, masyarakat Muslim pada umumnya sudah menyiapkan sedemikian
rupa mengenai ritual tahunan khas Idul Adha, yaitu: penyembelihan hewan kurban.
Penyembilihan hewan kurban, berawal dari
kisah ‘Kekasih Allah’, Ibrahim yang dengan ikhlas mengurbankan puteranya demi
menaati titah Tuhan. Pengurbanannya tidak sia-sia. Bapak Para Nabi itu dibalas
dengan dua balasan sekaligus: Pertama. Puteranya selamat, tak jadi mati.
Kedua, diberi ganti lebih baik: kambing gemuk.
Merupakan
suatu pelajaran berharga bagi setiap Muslim, bahwa ketaatan membutuhkan bukti
totalitas pengurbanan.
Atas nama ketaatan, semua kepentingan
harus disembelih. Justru dengan cara demikian, keselamatan dan anugerah besar
akan didapatkan, selama dibangun dengan fondasi keikhlasan.
Peradaban besar apapun namanya tidak
pernah lepas dengan pengurbanan. Semakin besar pengurbanan, semakin besar
peluang untuk memajukannya.
Warga Jumeneng dengan diskusi bulanan di
Pendopo Al-Ikhlas, kali ini mencoba mengelaborasi makna yang terkandung dari
Idul Adha. Alasannya jelas: agar mereka tidak terkukung dalam pemahaman yang
terlalu ideal, tapi tidak sampai mencambuk kesadaran jiwa dan mental untuk
beramal.
Alangkah herannya mereka. Setelah diskusi
yang dimoderatori Markoden, dan dinarasumberi Markemol, justru Sarikhuluk lebih
menukik pada apa yang tidak begitu diperhatikan oleh kebanyakan orang pada
momen Idul Adha.
Pria yang dikenal dengan kearifannya itu
justru lebih tertarik mengangkat tema tentang Hari Tasyriq(11, 12, 13 Dzul
Hijjah).
“Berkurban dalam Idul Adha sudah terasa
sangat biasa. Filosofi nilainya sudah sangat mengakar pada batin umat.
Sayangnya tak sampai membangkitkan ghirah mereka untuk melakukan amalan-amalan
yang diilhami olehnya.” Begitulah Sarikhuluk memulai statemen dengan
seringai khasnya.
“Apa yang kalian pahami tentang Hari
Tasyriq?” Ia mulai menyambuk kesadaran peserta diskusi dengan pertanyaan
mencerahkan. “Apa ya?” “Tidak tauuuuuuuuuu,...” “Lho itu `kan hari tenggang
waktu untuk diperbolehkannya penyembelihan hewan kurban. Lha apa istimewanya?
Bukankah yang utama disembelih adalah pas pada waktu 10 Dzul Hijjah.” “Tasyriq
itu ya pesta makan daging Cak, hehehe” Begitulah pandangan variatif dari
peserta yang berusaha menjawab pertanyaan menukik dari Sarikhuluk.
“Ingat poro dolor(para saudara)!
Tidak mungkin Hari Tasyriq hanya dijadikan bagian sekunder dari Idul Adha.
Justru ia adalah bagian penting darinya. Ada beberapa nilai yang terkandung di
dalamnya. Tapi, sebelum aku menjelaskannya, ada beberapa makna dasar yang perlu
kalian ketahui,” Sarikhuluk mencoba menggiring diskusi lebih dalam.
“Kata ‘TASYRIQ’ berasal dari kata syarraqa-yusyarriqu-tasyrīqan, artinya
pencahayaan matahari dari timur. Orang Arab dulu memiliki kebiasaan membuat
dendeng daging dengan cara menjemur daging melalu cahaya matahari yang terbit
dari timur,” tambahnya.
“Lha terus maknanya apa Cak?” Tanya
Sarijan penasaran. “Kalau berbicara masalah tasyriq, usahakan jangan hanya
terpikir pada masalah wadag, artifisial(meskipun pada waktu itu kita dilarang
puasa dalam arti tak makan dan tak minum sebagaimana puasa biasanya). Ojo
mikir badokan(makanan) saja. Tapi lebih menelusup ke dalam filosofi
nilainya!”
“Ada yang perlu diurai di sini. Pertama,
kata syarqun(timur) sebagai landasan filosofi tasyriq. Matahari bangkit
itu dari barat apa timur?” “Yo timur lah Cak. Kaya` pertanyaan anak TK
saja,” gerutu Paiman.
“Ingat!ojo nesu dilek(jangan marah
duluh). Artinya, Timur mengandung arti KEBANGKITAN. Matahari terbit menunjukkan
awal pagi, manusia pada umumnya pada waktu pagi adalah waktu yang segar dan
semangatnya untuk bekerja. Pagi juga mengandung makna: vitalitas, fresh,
semangat, antusias, kehangatan dan kebangkitan. Jadi nilai yang bisa diambil
dari sini adalah: KEBANGKITAN.”
“Kedua, cahaya mentari. Orang
bangkit itu butuh cahaya murni. Sebagaimana cahaya matahari yang timbul dari
dirinya sendiri(bahasa fisika. Bukan bulan yang dapat cahaya dari matahari)
meskipun sejatinya ya berasal dari Allah. Artinya apa?” “Yo mboh Cak. Tambah
mumet aku” sahut Sukidi.
“Orang bangkit itu butuh cahaya nilai yang
melatari kebangkitannya. Nilai-nilai itu dibutuhkan sebagai kompas
kehidupannya. Lha gimana orang bisa sampa tujuan kalau tidak memiliki petunjuk
arah? Yang paling relevan dengan Idul Adha begini: Untuk menuai kebangkitan,
kita perlu CAHAYA PENGORBANAN, laiknya Ibrahim dan Ismail.”
“Ketiga, transformasi materi
menjadi ruhani. Daging yang disembelih, yang dijadikan dendeng atau apaun
namanya, pada intinya bukan berhenti pada ranah materil(pemuasan nafsu makan,
perut dll). Ia harus bisa ditransformasikan menjadi nilai ruhani, spiritual.
Penyembelihan dimaksudkan untuk kepedulian sosial, semangat untuk berbagi
dengan orang yang tidak mampu, sehingga, materi bisa bernilai rohani,”
“Dengan kata lain, tasyriq
mengandung nilai: pendendengan materi menjadi rohani. Maka tidak heran jika
Allah dawuh, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”(QS. Al-Haj: 37). Harta
kita perlu dikurbankan untuk kepentingan yang bernilai ruhani: TAQWA. Bila
tidak, kita hanya melakukan kesia-siaan dalam hidup.”
“Kalau manusia hanya berhenti
pada hal wadak, apa bedanya dengan badak? Jika manusia hanya berkutat pada
makan, apa bedanya dengan hewan? Manusia dikatakan manusia karena mempunyai
akal yang bisa menaikkan derajatnya dari taraf materi menuju ruhani. Dalam Idul
Adha –di balik makna tasyriq- terkandung filosofi seperti itu.”
“Sederhananya begini Rek, Hari Tasyriq mengandung pelajaran: Jika kamu mau
bangkit pada segenap level kehidupan, hendaknya kamu berani berkurban. Wujud
konkretnya ialah mengubah harta(apa saja materi yang kita punya) menjadi
bernilai ruhaniah. Maksudnya ruhaniah adalah untuk mengabdi pada Sang Pencipta.
Ini berarti, yang namanya orang ber-tasyriq adalah orang yang naik kelas
derajat dari materi menuju rohani. Hubungannya horisontal sesama manusia dan
makhluk lain oke, apalagi hubungan vertikal dengan Tuhan, jauh lebih oke. Ngunu
lo Rek. Tapi jangan langsung percaya. Kalian harus menggali lagi.”
Ada yang bertanya: “Cak peristiwa tasyriq ini apa sama dengan kisah
Narada yang menceburkan tubuh Tetuka(yang kemudian bernama Gatutkaca) ke dalam
Kawah Candradimuka? Yang kemudian menjadi sakti mandraguna (naik derajat dengan
penempaan luar biasa) sebagai jagoan para dewa?”
Ketika mau menjawab, ternyata Sarikhuluk ada tamu penting dari pemerintahan
yang ingin membahas tentang ASAP dan ROKET. Sarikhuluk pun undur diri, diskusi
diserahkan kembali pada Markoden.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !