Home » » Menyikapi Bencana Secara Proporsional

Menyikapi Bencana Secara Proporsional

Written By Amoe Hirata on Selasa, 15 September 2015 | 04.45

Amoe Hirata
            Musibah jatuhnya crane(alat derek)  perluasan masjidil Haram beberapa waktu lalu –yang memakan korban lebih dua ratus jama`ah haji ketika melaksanakan shalat Maghrib- oleh umat Islam disikapi berbeda.
Sebagian memandangnya dengan penuh optimis bahwa itu sudah menjadi takdir Allah, dan tentu saja mereka akan mendapat pahala mati syahid karena mati dalam keadaan beribadah di tanah suci. Tak jarang juga yang sinis mencari kambing hitam. Mereka berusaha menyalahkan pihak kerajaan Saudi Arabia, karena dinilai ceroboh dalam menjaga stabilitas keamanan dan kenyamanan bagi jama`ah haji.
Terlepas dari penyikapan pro dan kontra seputar musibah duka tersebut, seyogyanya umat Islam menghadapinya secara proporsional(sesuai dengan porsi; sebanding; seimbang). Karena pada hakikatnya, semua musibah yang terjadi di bawah ketentuanNya.
Pada tulisan kali ini, akan dibahas kajian tafsir yang berjudul: “Menghadapi Musibah Secara Proporsional”. Semoga umat Islam dalam menghadapi setiap musibah yang terjadi bisa meletakkannya secara proporsiaonal, dan tidak saling menyalahkan.
I.                   Ayat Kajian                     : Qs. Al-Hadid(22-24)

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ ٢٢ لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٍ ٢٣ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ وَيَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبُخۡلِۗ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ ٢٤

II.                Arti Mufradat                 :
مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ        : Sebelum Kami menciptakannya
يَسِيرٞ                           : Mudah
تَأۡسَوۡاْ                          : Kalian berduka cita
عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ             : Apa yang telah luput atasmu
وَلَا تَفۡرَحُواْ                  : Kalian tidak bergembira
مُخۡتَالٖ فَخُورٍ                : Sombong, membanggakan diri
وَمَن يَتَوَلَّ                    Dan barangsiapa berpaling

III.             Arti Ayat                          :
Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah(22)
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri(23)
(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji(24)

IV.             Tafsir Ayat                      :
Setelah ayat sebelumnya membahas tentang anjuran bersegera menuju ampunan Allah dan surga yang seluas langit dan bumi, pada ayat  ini Allah membicarakan masalah penting yang pasti dialami bumi dan manusia, yakni: musibah(yang masuk dalam kategori qadla dan qadarNya). Allah berfirman: “Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi” seperti kekeringan.  dan (tidak pula) pada dirimu sendiri” seperti sakit dll. Syaikh Abdurrahman As-Sa`adi menjelaskan bahwa kata mushibah pada ayat ini  bersifat umum(mencakup yang baik dan yang buruk).  Jadi, kurang tepat jika kata musibah selalu diidentikkan dengan sesuatu yang buruk(sebagaimana anggapan kebanyakan orang awam).
Semua yang menimpa manusia diterangkan olehNya:  melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” Artinya musibah yang masuk dalam qadla dan qadarnya sudah tercatat dalam kitab bernama Lauhul Mahfuzh yang berisi semua apa yang terjadi, sebelum penciptaannya. Nabi bersabda:
قدَّر الله المَقَادِيْرَ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Allah telah menentukan takdir-takdir sebelum menciptakan langit dan bumi (selama) lima puluh ribu tahun”(Hr. Ahmad)
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. Ya, meskipun akal manusia tidak sampai, hal demikian sangat mudah bagi Allah. Bukankah jika Ia berkehendak, maka tinggal mengucapkan kun fa yakun!(Jadilah! Maka akan terjadi. Baca: Yasin:: 82). Membaca ayat ini, seyogyanya semakin bertambah keimanan Mu`min, dan semakin tenang karena pada dasarnya segala yang menimpa telah tertera. Tidak mungkin terjadi sesuatu tanpa kehendakNya.
Setelah mengetahui bahwa musibah(yang buruk maupun yang baik) semua telah tercatat di Lauhil Mahfud, mungkin di antara kita akan bertanya: Apa hikmah di balik penetapannya?
Allah ta`ala berfirman: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” Semua itu dijelaskan agar manusia dapat menghadapinya secara proporsional. Ada sebuah riwayat:
مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ
Apa saja yang menimpamu bukan untuk menyalahkanmu, dan apa saja yang menyalahkanmu bukan untuk menimpamu”(Hr. Abu Daud). Maksudnya, musibah adalah takdir Allah yang patut diterima, bukan dimaksudkan untuk menyalahkan hamba.
Karena itu, seharusnya kita tidak terlalu berduka cita ketika ditimpa keburukan, serta tidak terlalu berbangga diri ketika mendapat kebaikan. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda terkait sikap Mu`min menghadapi musibah:
           
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُصَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Begitu mengagumkan keadaan orang beriman. Segala kondisi baik baginya –dan itu tidak dimiliki seorang pun, melainkan orang beriman- (yaitu) jika ia ditimpa kegembiraan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Sedangkan ketika ditimpa bahaya(hal buruk), ia bersabar, maka itu baik baginya”. Di sini, sabar dan syukur menjadi kunci yang proporsional dalam menghadapi musibah yang terjadi.
Sikap yang berlebihan dalam menghadapi musibah hanya akan mendapat kebencian Allah. Misalkan, ada orang yang diberih musibah(diuji) dengan kesenangan, lantas ia sombong tak mau bersyukur, bahkan berbangga diri, maka orang tersebut harus ingat: Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
Masih segar dalam ingatan pembaca mengenai kisah Qorun(Qs. Al-Qoshos: 78). Kesombongan dan kebanggaan dirinya mengenai harta yang dimiliki(sampai menafikan pemberian Allah), pada akhirnya membuatnya tenggelam di tanah.
Bagaimana misalnya agar kita selalu bersyukur, terutama dalam masalah keduniaan? Jawabannya simpel tapi berat, yaitu: Tidak melihat pada orang yang lebih mampu darinya, tetapi melihat orang yang dibawahnya adalah salah satu cara jitu yang diajarkan nabi agar Muslim tetap bisa menjaga ritme syukur  pada Allah ta`ala sebagaimana sabda nabi: Lihatlah orang di bawah kalian, dan janganlah melihat orang yang di atas kalian. Yang demikian itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah atas kalian”(Hr. Muslim).
Siapakah orang yang masuk dalam kategori sombong dan membanggakan diri? Allah ta`ala menjelaskan: “(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir.
Ada dua karakter penting yang menjelaskan kategori sombong dan berbangga diri. Pertama, kekikiran. Pelit dan merasa berat tangan dalam memberi. Kedua, menyuruh orang lain berbuat kikir. Ternyata tak cukup dengan dirinya sendiri, malah memprovokasi orang lain untuk berbuat seperti yang ia lakukan.
Orang seperti ini –meminjam istilah Alquran- bukan saja sebagai orang yang fasid(rusak) tapi juga mufsid(penebar kerusakan). Lihat! Betapa besar dampak negatifnya, jika musibah kenikmatan malah hanya membuatnya sombong dan berbangga diri.
Semua itu sejatinya adalah rambu-rambu dari Allah yang perlu ditaati:  Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. Pilihan ada pada diri kita. Jika berpaling, jangan pernah berfikir bahwa Allah merasa rugi, atau hina. Justru orang yang berpalinglah yang akan rugi dan hina.
Kita tentu ingat kisah-kisah orang-orang pongah di sepanjang sejara seperti Fir`aun, Namrud dll. Mereka sombong dan berpaling dari peringatan para nabi, akhirnya hidupnya berakhir dengan penderitaan abadi. Akhirnya, semoga kita bisa mengambil ibrah dari ayat-ayat di atas.

V.                Pelajaran              :
1.      Ketetapan qadla dan qadar Allah ta`ala
2.      Keimanan pada qadla dan qadar harus selalu ditanamkan
3.      Kepastian adanya Lauhil Mahfudz
4.      Penjelasan tentang hikmah qadla dan qadar: Tidak berduka dengan musibah buruk, dan tidak terlalu bergembira dengan musibah baik
5.      Anjuran menghadapi musibah secara proporsional
6.      Haramnya sifat:
a.       sombong
b.      berbangga diri
c.       bakhil
d.      menyuruh orang berbuat bakhil
7.      Tercelanya berpaling dari perintah Allah
8.      Allah Maha Kaya dan Terpuji


VI.              Referensi              :
1.      Tafsir al-Qur`an al-`Adzim, karya: Ibnu Katsir
2.      Aisar Tafāsīr, karya: Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi
3.       Taisir Karim Rahman, karya: Syaikh Abdurrahman As-Sa`adi
4.      Tafsir wa Bayan Mufradati al-Qur`an `ala mushhafi al-Tajwid, karya: Dr. Muhammad Hasan al-Himshi
5.      Shahih Muslim, karya: Imam Muslim
6.      Musnad Ahmad, karya: Imam Ahmad
7.      Sunan Abu Daud, karya: Imam Abu Daud

8.      `Aunu al-Ma`bud, karya: Syarfu al-Haq al-`Adhim Abadi
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan