Amoe Hirata
Musibah
jatuhnya crane(alat derek) perluasan masjidil Haram beberapa waktu lalu
–yang memakan korban lebih dua ratus jama`ah haji ketika melaksanakan shalat
Maghrib- oleh umat Islam disikapi berbeda.
Sebagian memandangnya dengan
penuh optimis bahwa itu sudah menjadi takdir Allah, dan tentu saja mereka akan
mendapat pahala mati syahid karena mati dalam keadaan beribadah di tanah suci.
Tak jarang juga yang sinis mencari kambing hitam. Mereka berusaha menyalahkan
pihak kerajaan Saudi Arabia, karena dinilai ceroboh dalam menjaga stabilitas
keamanan dan kenyamanan bagi jama`ah haji.
Terlepas dari penyikapan pro
dan kontra seputar musibah duka tersebut, seyogyanya umat Islam menghadapinya
secara proporsional(sesuai dengan porsi; sebanding; seimbang). Karena pada
hakikatnya, semua musibah yang terjadi di bawah ketentuanNya.
Pada tulisan kali ini, akan
dibahas kajian tafsir yang berjudul: “Menghadapi Musibah Secara Proporsional”.
Semoga umat Islam dalam menghadapi setiap musibah yang terjadi bisa
meletakkannya secara proporsiaonal, dan tidak saling menyalahkan.
I.
Ayat Kajian : Qs. Al-Hadid(22-24)
مَآ
أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ
مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ ٢٢ لِّكَيۡلَا
تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ وَٱللَّهُ
لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٍ ٢٣ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ
وَيَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبُخۡلِۗ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ
ٱلۡحَمِيدُ ٢٤
II.
Arti Mufradat :
مِّن
قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ : Sebelum Kami menciptakannya
يَسِيرٞ : Mudah
تَأۡسَوۡاْ : Kalian berduka cita
عَلَىٰ
مَا فَاتَكُمۡ : Apa yang telah luput atasmu
وَلَا
تَفۡرَحُواْ : Kalian tidak bergembira
مُخۡتَالٖ
فَخُورٍ : Sombong, membanggakan diri
وَمَن
يَتَوَلَّ : Dan barangsiapa berpaling
III.
Arti Ayat :
Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah(22)
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri(23)
(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia
berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah)
maka sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji(24)
IV.
Tafsir Ayat :
Setelah ayat sebelumnya
membahas tentang anjuran bersegera menuju ampunan Allah dan surga yang seluas
langit dan bumi, pada ayat ini Allah
membicarakan masalah penting yang pasti dialami bumi dan manusia, yakni:
musibah(yang masuk dalam kategori qadla dan qadarNya). Allah berfirman: “Tiada suatu musibah pun
yang menimpa di bumi” seperti kekeringan. “dan
(tidak pula) pada dirimu sendiri” seperti sakit dll. Syaikh Abdurrahman
As-Sa`adi menjelaskan bahwa kata mushibah pada ayat ini bersifat umum(mencakup yang baik dan yang
buruk). Jadi, kurang tepat jika kata
musibah selalu diidentikkan dengan sesuatu yang buruk(sebagaimana anggapan
kebanyakan orang awam).
Semua yang menimpa manusia diterangkan olehNya: “melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” Artinya musibah yang masuk
dalam qadla dan qadarnya sudah tercatat dalam kitab bernama Lauhul Mahfuzh yang
berisi semua apa yang terjadi, sebelum penciptaannya. Nabi bersabda:
قدَّر الله المَقَادِيْرَ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ
أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah
telah menentukan takdir-takdir sebelum menciptakan langit dan bumi (selama)
lima puluh ribu tahun”(Hr. Ahmad)
“Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. Ya,
meskipun akal manusia tidak sampai, hal demikian sangat mudah bagi Allah.
Bukankah jika Ia berkehendak, maka tinggal mengucapkan kun fa yakun!(Jadilah!
Maka akan terjadi. Baca: Yasin:: 82). Membaca ayat ini, seyogyanya semakin
bertambah keimanan Mu`min, dan semakin tenang karena pada dasarnya segala yang
menimpa telah tertera. Tidak mungkin terjadi sesuatu tanpa kehendakNya.
Setelah mengetahui bahwa musibah(yang buruk maupun yang
baik) semua telah tercatat di Lauhil Mahfud, mungkin di antara kita akan
bertanya: Apa hikmah di balik penetapannya?
Allah ta`ala berfirman: “(Kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu.” Semua itu dijelaskan agar manusia dapat menghadapinya secara
proporsional. Ada sebuah riwayat:
مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ
لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ
“Apa saja yang menimpamu bukan untuk menyalahkanmu,
dan apa saja yang menyalahkanmu bukan untuk menimpamu”(Hr. Abu Daud).
Maksudnya, musibah adalah takdir Allah yang patut diterima, bukan dimaksudkan
untuk menyalahkan hamba.
Karena itu, seharusnya kita tidak terlalu berduka cita
ketika ditimpa keburukan, serta tidak terlalu berbangga diri ketika mendapat
kebaikan. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda terkait sikap
Mu`min menghadapi musibah:
عَجَبًا لِأَمْرِ
الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ
إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُصَبَرَ
فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Begitu mengagumkan keadaan orang beriman. Segala
kondisi baik baginya –dan itu tidak dimiliki seorang pun, melainkan orang
beriman- (yaitu) jika ia ditimpa kegembiraan, ia bersyukur, dan itu baik
baginya. Sedangkan ketika ditimpa bahaya(hal buruk), ia bersabar, maka itu baik
baginya”. Di sini, sabar dan syukur menjadi kunci yang proporsional dalam
menghadapi musibah yang terjadi.
Sikap yang berlebihan dalam menghadapi musibah hanya akan
mendapat kebencian Allah. Misalkan, ada orang yang diberih musibah(diuji)
dengan kesenangan, lantas ia sombong tak mau bersyukur, bahkan berbangga diri,
maka orang tersebut harus ingat: “Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
Masih segar dalam ingatan pembaca mengenai kisah
Qorun(Qs. Al-Qoshos: 78). Kesombongan dan kebanggaan dirinya mengenai harta
yang dimiliki(sampai menafikan pemberian Allah), pada akhirnya membuatnya
tenggelam di tanah.
Bagaimana misalnya agar kita selalu bersyukur, terutama dalam masalah
keduniaan? Jawabannya simpel tapi berat, yaitu: Tidak melihat pada orang yang
lebih mampu darinya, tetapi melihat orang yang dibawahnya adalah salah satu
cara jitu yang diajarkan nabi agar Muslim tetap bisa menjaga ritme syukur pada Allah ta`ala sebagaimana sabda
nabi: “Lihatlah orang di
bawah kalian, dan janganlah melihat orang yang di atas kalian. Yang demikian
itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah atas kalian”(Hr.
Muslim).
Siapakah
orang yang masuk dalam kategori sombong dan membanggakan diri? Allah ta`ala
menjelaskan: “(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir.”
Ada dua karakter penting yang menjelaskan kategori sombong dan berbangga
diri. Pertama, kekikiran. Pelit dan merasa berat tangan dalam memberi. Kedua,
menyuruh orang lain berbuat kikir. Ternyata tak cukup dengan dirinya sendiri,
malah memprovokasi orang lain untuk berbuat seperti yang ia lakukan.
Orang seperti ini –meminjam istilah Alquran- bukan saja sebagai orang yang fasid(rusak)
tapi juga mufsid(penebar kerusakan). Lihat! Betapa besar dampak
negatifnya, jika musibah kenikmatan malah hanya membuatnya sombong dan
berbangga diri.
Semua itu sejatinya adalah rambu-rambu dari Allah yang perlu ditaati: “Dan barangsiapa yang berpaling (dari
perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi
Maha Terpuji”. Pilihan ada pada diri kita. Jika berpaling, jangan pernah
berfikir bahwa Allah merasa rugi, atau hina. Justru orang yang berpalinglah
yang akan rugi dan hina.
Kita tentu ingat kisah-kisah orang-orang pongah di sepanjang sejara seperti
Fir`aun, Namrud dll. Mereka sombong dan berpaling dari peringatan para nabi,
akhirnya hidupnya berakhir dengan penderitaan abadi. Akhirnya, semoga kita bisa
mengambil ibrah dari ayat-ayat di atas.
V.
Pelajaran :
1. Ketetapan qadla dan
qadar Allah ta`ala
2. Keimanan pada qadla
dan qadar harus selalu ditanamkan
3. Kepastian adanya
Lauhil Mahfudz
4. Penjelasan tentang
hikmah qadla dan qadar: Tidak berduka dengan musibah buruk, dan tidak terlalu
bergembira dengan musibah baik
5. Anjuran menghadapi
musibah secara proporsional
6. Haramnya sifat:
a. sombong
b. berbangga diri
c. bakhil
d. menyuruh orang
berbuat bakhil
7. Tercelanya berpaling
dari perintah Allah
8. Allah Maha Kaya dan
Terpuji
VI.
Referensi :
1. Tafsir al-Qur`an
al-`Adzim, karya: Ibnu
Katsir
2. Aisar Tafāsīr, karya: Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi
3. Taisir Karim Rahman, karya: Syaikh
Abdurrahman As-Sa`adi
4. Tafsir wa Bayan
Mufradati al-Qur`an `ala mushhafi al-Tajwid, karya: Dr. Muhammad Hasan al-Himshi
5. Shahih Muslim, karya: Imam Muslim
6. Musnad Ahmad, karya: Imam Ahmad
7. Sunan Abu Daud, karya: Imam Abu Daud
8. `Aunu al-Ma`bud, karya: Syarfu al-Haq al-`Adhim Abadi
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !