Idealnya ilmu dan amal harus harmoni. Kitab Suci pun mengaffirmasi: “Apakah kalian
(suka) memerintah orang berbuat kebaikan, tapi melupakan diri sendiri”(Qs.
Al-Baqarah: 44). Artinya, mengetahui ilmu tentang kebaikan kemudian mengajak
orang lain untuk mengamalkan, tidaklah cukup sebelum diri sendiri beramal.
Dengan kata lain, ilmu dan amal syogyanya
berjalinkelindan. Faktanya, banyak terjadi kesenjangan antara ilmu dan
amal. Anda bisa
menjumpai orang yang sangat menonjol dalam keilmuan agama, tapi pada
saat yang sama ia tak mengamalkannya.
Apa ada yang salah dengan ilmu, demikian
pula amal? Nyatanya tidak. Karena, kerhamonisan keduanya sudah dicontohkan
dengan baik oleh generasi sahabat nabi dan generasi terbaik setelahnya. Semua
kembali kepada pribadi masing-masing.
Sebagai
contoh riil –tanpa bermaksud membatasi-, ada anjuran Alqur`an mengenai
kesabaran. Setiap Muslim mungkin sangat mudah ketika berposisi sebagai
penasihat bagi orang-orang yang terkena musibah. “Yang sabar ya. Allah bersama
orang-orang yang sabar.” Namun, bagaimana jika diri sendiri mengalaminya?
Kebanyakan, benar-benar konsekuen dengan keilmuannya, atau justru
mengabaikannya? Masing-masing dari kita bisa mengukurnya.
Pada
umumnya, kita adalah tipe manusia yang suka mengajak orang berbuat baik,
padahal diri sendiri menampik. Senang menyuruh-nyuruh beramal bajik, sedangkan
perbuatan sendiri terbalik. Hobi memerintah orang lain berbuat mulia, nyatanya
diri sendiri berbuat hina. Bila demikian, apa gunanya ilmu jika tak berbuah
amal?
Kita
ga mau `kan dibilang: OMDO(Omong Doang), ASBUN(Asal Bunyi), BEMU(Besar Mulut),
akibat hanya pandai omong tapi beramal kosong; pintar bicara namun tanpa
perbuatan nyata; cerdik beretorika, tapi berhenti pada teori belaka?
Kelak –di akhirat- akan dipamerkan seorang
laki-laki yang seisi perutnya keluar. Ia
berputar sebagaimana keledai berputar di penggilingan. Penduduk neraka pun
berkerumun, seraya bertanya: “Wahai Fulan! Mengapa keaadaanmu seperti ini,
bukankah engkau dahulu memerintahkan kami berbuat ma`ruf dan melarang kami
berbuat munkar?” Ia pun menjawab: “(Betul) aku menyuruh kalian berbuat ma`ruf,
tapi aku tidak mengerjakannya; aku larang kalian berbuat munkar, namun aku
sendiri yang melanggar.”(Hr. Bukhari, Muslim dan Ahmad). Riwayat tersebut
adalah salah satu konsekuensi akharat, ketika ilmu dan amal tak harmoni.
Bagaimana
agar ilmu dan amal bisa harmoni? Ada beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan
serta dikembangkan oleh masing-masing dari kita sesuai kapasitas pribadi. Pertama,
memperbaiki cara pandang terkait ilmu dan amal. Cara pandang yang benar ialah:
ilmu dan amal harus harmoni. Di antara keduanya tidak ada kesenjangan. Kalau
sejak awal cara pandang terhadap ilmu memakai cara pandang yang
dikotomis(bersifat memisahkan), maka sangat sukar untuk mengharmonikan
keduanya.
Kedua, mencari
ilmu diniati sejak awal untuk beramal. Ini penting karena niat laksana fondasi,
jika fondasi yang dibangun sejak awal tidak kuat, maka akan berpengaruh pada
bangunan amal. Niat juga laksana benih. Bisakah kita mengetam padi, jika yang
kita tanam sejak awal adalah jerami?
Ketiga, tidak menambah ilmu jika belum yakin bisa
mengamalkan. Abu Abdurrahman As-Silmi meriwayatkan: bahwa orang yang membacakan
pada kami al-Qur`an seperti Utsman, Abdullah bin Mas`ud dan lainnya, mereka
–punya kebiasaan- belajar sepuluh ayat Al-Qur`an. Tidak akan menambahnya sebelum
belajar ilmu dan amal. Mereka berujar, “Kami belajar al-Qur`an, ilmu dan amal
sekaligus”(R. Abdul Razzaq).
Adapun
yang selanjutnya, bisa anda eksplorasi sendiri. Sebagai penutup, ada pribahasa
Arab yang sangat relevan untuk diketengahkan di sini:
“Ilmu tanpa amal, bagai pohon tak berbuah.”
Bagaimana kita berhasil, jika ilmu yang dimiliki hanya dijadikan “fosil”. Haihata,
haihata, haihata(alangkah jauh). Menurut pribahasa Indonesia, perilaku
demikan adalah: “Jauh panggang dari api”(Tidak kena, tidak benar).
Wallahu a`lam bi al-Shawāb.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !