Menuju Pengebirian Pers

Written By Amoe Hirata on Senin, 30 Maret 2015 | 20.43

Di era reformasi
Kebebasan dielu-elu
Media berpartisipasi
Menuju info bermutu


SEKARANG?

Kebebasan menjadi anomali
Ketika media Islam dibelenggu
Kemerdekaan pers dikebiri
Rezim otoriter kembali berlaku

Mati Syahid Vs Mati Sangit

           Sudarmono, warga desa Jumeneng yang beberapa bulan tidak kelihatan ‘batang hidungnya’, tiba-tiba muncul dengan pakaian ala orang Arab. Yang mengherankan warga sekitar sebenarnya bukan persoalan pakaian, tapi pikirannya yang sudah agak nyeleneh. Pertama kali datang ke desa Jumeneng, ia tidak langsung menjumpai ayah dan ibunya. Ia langsung pergi ke rumah Sarikhuluk. Waktu itu di pendopo Sarikhuluk, Al-Ikhlas,  sedang diadakan diskusi hangat mengenai fenomena ISIS(Islamic State of Iraq and Syria) yang sedang ramai di media. Judul diskusinya: “ISIS ASPAL(Asli yang diPalsu) atau Pengalihan Isu”. Sebenarnya masalah ISIS sudah pernah disinggung Sarikhuluk pada alamat blog berikut: http://amoehirata.blogspot.com/2014/08/isis-vs-sumer.html .
            Ketika diskusi sudah setengah berjalan, para peserta dikagetkan dengan suara Mono yang mengucapkan salam dengan lantang: “Assalamu`alaikum!”. “Wa`alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” jawab mereka serentak. “Cak, maaf sebelumnya kalau kedatanganku ujug-ujug dan mengagetkan suasana. Kedatanganku kemari ingin berbagi sekaligus menimba ilmu, dan ingin minta izin.”. Sarikhuluk yang begitu lapang hatinya, -setelah meminta izin pada para peserta- memberi kesempatan pada Mono untuk memaparkan tentang apa saja yang telah ia dapat selama berada di perantauan. Isu utama yang ia bawa ialah masalah ISIS, serta ajaran jihad dalam Islam. Bahkan secara khusus ia minta izin untuk pergi ke Irak dan Siria, untuk berjihad mebantu ISIS.
            Dengan sangat sabar dan telaten, Sarikhuluk dan peserta diskusi mendengar dengan baik penuturannya. Setelah selesai berbicara, baru kemudian para peserta diberi kesempatan untuk berdiskusi dengan Sudarmono.Untuk sementara, hanya diberikan satu pertanyaan, karena memang waktunya sangat singkat dan akan habis. Paijo pun mengacungkan tangan. Ia bertanya: “Dari penjelasanmu tadi, aku tertarik bertanya satu hal: apa yang dimaksud dengan kata ‘syahid’ dalam perspektif al-Qur`an dan Sunnah? Dari tadi kamu simplifikasian kata ‘syahid’ dengan gandengan kata ‘mati’. Bagaimana Islam memandang kata ‘syahid’ secara proporsional? Jangan-jangan malah bukan ‘syahid’ tapi ‘mati sangit(bau gosong)’?” tanyanya dengan mantap.
            “Kata ‘syahid’ adalah kata yang disematkan pada orang yang sudah berjihad sedimikian rupa di medan tempur, sehingga ia mendapat kematian(nilai paling berharganya). Bahkan kematian sejatinya adalah kehidupan abadi bagi mereka karena telah berjihad dengan tulus membela agamanya[Baca: Al-Baqarah, 154. Ali Imran, 169]” jawab Sudarmono meyakinkan. “Lalu bagaimana dengan orang yang mati melahirkan, mati tenggelam, mati dalam kondisi mencari ilmu? Bukankah menurut hadits Nabi-seingatku sih-, mereka juga syahid? Kalau pengertian kata ‘syahid’ dibatasi dengan batasan sesempit itu, maka sangat banyak sekali orang yang menyia-nyiakan potensinya, kalau tidak jihad di mendan tempur.” “Ya itu memang masuk kategori ‘syahid’. Tapi yang aku maksud adalah ‘syahid akbar’ yaitu mati di medan jihad”.
            “Oke. Sekarang aku lanjut bertanya: ‘syahid sendiri artinya apa?. Sejak kapan dibagi-bagi seperti itu?”. “Syahid secara etimologi artinya  menyaksikan. Sedangkan secara terminologi artinya orang yang gugur dalam perjuangan di jalan Allah. Derajat tertingginya ialah ketika dalam tataran mengorbankan nyawanya secara sadar dan sengaja untuk berjuang di medan jihad. Itulah puncak syahid. Dalam al-Qur`an begitu banyak ayat yang menganjurkan berperang dan memerangi orang kafir. Ganjarannya pun begitu luar biasa.” “Kamu belum menjawab pertanyaanku. Sejak kapan syahid itu identik dengan mati, bahkan puncaknya adalah gugur di medan jihad? Apakah dua kalimat syahadat itu identik dengan mati?”. “Aku sendiri kurang tau persis, tapi yang aku dapat selama aku ngansu ilmu beberapa bulan ini ya seperti itu”. “Bagaimana mungkin kamu bisa dengan mantap memperjuangakan kata ‘syahid’ sebagai buah dari jihad, jika kamu sendiri tidak menguasai kata ‘syahid’?” celetuk Paijo.
            Merasa dipojokkan serta gagap karena tak bisa jawab, akhirnya Sudarmono naik pitam, dan menantang Paijo untuk menyebutkan ayat dan hadits tentang jihad dan syahid yang telah dihafal. Paijo sendiri tidak hafal satupun al-Qur`an dan Hadits tentang jihad dan syahid. Ia hanya sering mendengar ceramah dan mengerti maknanya. Dengan enteng ia menjawab: “Ente salah orang kalau bertinya gituan padaku. Lha piye wong aku ngaji saja ora cetho apalagi suruh nyebutin ayat dan hadits. Tapi nalar dan analisisku hidup(tidak seperti kamu yang asal comot dan telan perkataan orang). Dan aku mendengar penjelasan-penjelasan mengenai jihad dan syahid dari orang yang kompeten di bidangnya.” Mendengar komentar Paijo, ia merasa terhina. Hampir-hampir saja terjadi perkelahian, jika saja tidak delerai oleh peserta diskusi. Kondisi mereda ketika keduanya dimarahi –tentunya dengan gaya mendidik- Sarikhuluk.
            “Bagaimana mungkin kalian dihitung berjihad dan akan mendapatkan syahid, jika kalian tidak mampu mengontrol diri sendiri. Padahal musuh terbesar sejatinya ialah diri sendiri.Aku tidak akan menyalahkan kalian berdua. Hanya saja, akan aku bagikan pada kalian beberapa wacana dari ulama kenamaan asal India, Wahidudin Khan terkait masalah syahid. Mudah-mudahan kalian mendapat pencerahan dan mau menggali dan meneliti lebih dalam mengenai jihad dan syahid. Dalam buku yang berjudul: al-Dīnu al-Kāmil(terjemahan dari buku Wahidudin Khan yang berbahasa India) hal.187-192, ada wacana menarik yang dibawakan oleh beliau. Poin-poinnya dapat disarikan sebagai berikut:
1.      Para sahabat berjuang dan berkorban sedemikian rupa hingga nyawanya terenggut, seperti Umar, Utsman, Ali dan lain sebagainya, akan tetapi tidak pernah digelari dengan kata ‘syahid’ di depan nama mereka. Para sejarawan Muslim pun tidak pernah menulis misalnya: Syahid Umar, Syahid Utsman, Syahid Ali dan lain sebagainya radhiyallahu `anhum.
2.      Pada masa sekarang ini ternyata kondisi berbalik. Banyak sekali yang dengan bangganya menulis gelar syahid. Misalnya: Syahid Sayyid Ismail, Syahid Sayyid Quthb. Perbedaan ini –yaitu apa yang terjadi di masa sahabat dengan yang terjadi sekarang ini- menunjukkan bahwa penggelaran kata ‘syahid’ adalah bid`ah yang dibuat-buat, bahkan menyimpang dari sunnah Rasul.
3.      Syahadat secara bahasa bermakna: menunjukkan kesaksian atau bukti di depan hakim atau lainnya.  Kata ‘syahida’ dalam al-Qur`an digunakan sekitar 150 kali. Semuanya bermakna menunjukkan kesaksian, atau yang dekat dengan makna tersebut. Seperti: Al-Munafiqun, 1. Fusshilat, 20. Al-Ahzab, 45. An-Nisa, 70. Para ulama tafsir mena`wilka kata ‘syahid’ di sini sebagai mengorbankan jiwa mereka di jalan agama. Akan tetapi, itu hanya hasil istinbat(kesimpulan hukum) mereka yang tidak didukung dengan dalil yang tegas.
4.      Kata syahid di era kontemporer dimaknai dengan: orang yang terbunuh(di medan jihad). Padahal penggunaan ini tidak sesuai dengan al-Qur`an. Al-Qur`an ketika mengungkap orang yang mengorbankan jiwanya, menggunakan kata ‘al-Qatlu’. Baca: Al-Baqarah, 154. An-Nisa, 74.
5.      Dalam beberapa hadits, kata ‘syahid’ bukan bermakna oranh yang mati terbunuh. Seperti: “Barangsiapa yang meminta syahadah dengan ketulusan hati, maka Allah akan menyampaikannya pada posisi orang-orang syahid meskipun ia mati di ranjang”(Hr. Muslim). Adapun hadits: “Barangsiapa yang terbunuh di jalan Allah, maka dia syahid. Dan barangsiapa yang terbunuh mempertahankan hartanya, maka dia syahid”. Meskipun kata ‘syahid’ di sini bermakna orang yang terbunuh, tapi ini adalah makna tersirat, bukan makna asli yang tersurat. Banyak sekali sahabat yang gugur di medan perang, namun tidak pernah disematkan pada mereka gelar syahid.
6.      Sesungguhnya penggunaan kata ‘syahid’ dengan makna mati terbunuh dan perang di jalan Allah, adalah bid`ah politis yang dibuat pada masa modern. Di samping itu, pemaknaan sempit tersebut bisa menutupi cakupan makna luas yang terkandung dalam kata ‘syahid’. Akibatnya, ‘syahid’ hanya berlaku pada seorang pahlawan Muslim yang mati di medan tempur.
7.      Sesungguhnya kata ‘syahid’ sebagaimana maksud al-Qur`an bermakana: Orang yang mencurahkan segenap tenaganya di jalan dakwah dan menunjuki manusia kepada agama Allah. Sedangkan yang tersebar sekarang ini bermakna: Orang yang mencurahkan segenap usahanya untuk berperang hingga gugur di jalan Allah. Penggunaan makna seperti ini, jelas sebagai ‘bid`ah politik’ yang tidak ada bedanya dengan bid`ah-bid`ah lainnya.
8.      Dalam al-Qur`an, Nabi disebut sebagai ‘syahid’. Lihat: An-Nisa, 40. An-Nahl, 89. Al-Haj, 78. Meskipun Nabi Muhammad tidak mati, sebagaimana pengertian syahid, seperti anggapan mereka. Namun tetap saja Nabi disebut al-Qur`an disebut ‘syahid’. Mengapa? Karena beliau syahid dengan makna: Pemberi kesaksian, di mana ia telah menyampaikan agama Allah ke seantero alam.
9.      Pada beberapa hadits Nabi, memang kata ‘syahid’ digunakan dengan makna orang yang terbunuh di jalan Allah. Tapi itu hanya penggunaan sekunder dari kata ‘syahid’. Bahkan perluasan makna al-Qur`an pada kata ‘syahid’.
10.  Tanggung jawab yang diemban kaum muslim ialah bagaimana menjadi syuhada` Allah. Sebagai saksi bahwa mereka telah menyampaikan dakwah kepada manusia.  Meskipun memang terkadang dalam dakwah perlu yang namanya pengorbanan, hingga nyawa taruhannya(yang juga bisa disebut syahid).  Jadi baik yang hidup dan mati yang berjuang di jalan Allah adalah sebagai ‘syahid’. Tidak ada unggul mengungguli. Sebab, kalau mati yang lebih unggul, maka Nabi pun akan syahid terbunuh. Padahal Nabi tidak syahid terbunuh. Ia mati wajar, dan disebut syahid juga.
11.  Merupakan kekeliruan (mendasar) orang yang menggunakan kata ‘syahid’ untuk orang yang membinasakan dirinya dalam perjuangan kancah politik atau kelompol tertentu. Juga merupakan kesalahan jika kata tersebut digunakan untuk orang dieksekusi mati oleh hakim dengan tuduhan upaya kudeta untuk melenyapkan kekuasaan. Yang dimaksud dengan ‘syahid’ ialah orang yang yang mengorbankan jiwanya di jalan dakwah menuju Allah.
12.  Bilapun kata ‘syahid’ digunakan untuk orang yang mati di jalan Allah, kita juga tidak bisa memastikannya karena kita tidak tahu niat orang trsebut. Yang tahu hanya Allah. Nabi pun tidak tahu kalau tidak diberitahu Allah. Karena itulah, Imam Bukhari membuat judul khusus: “Tidak (boleh) mengatakan si fulan Syahid”. Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari bahwa: “Tidak boleh menyebut si fulan syahid yaitu dengan memastikannya, melainkan dengan wahyu”. Ketika Utsman bin Madh`un meninggal, Ummu Ala` berkomentar: “Rahmat Allah menyertaimu wahai Abu Saib. Aku bersaksi bahwa engkau pasti dimuliakan Allah”. Mendengar pernyataan Ummu Ala`, Rasulullah berkata: “Dari mana kamu tahu bahwa Allah telah memuliakannya?”. Ia pun menjawab: “Demi Allah saya tidak tahu”. Rasulullah melanjutkan: “Adapun dia telah yakin pada Tuhan. Aku berharap semoga ia mendapat kebaikan”. Lihat, Rasulullah saja tidak berana memastikan tanpa pemberitahuan Tuhan. Ia berharap kebaikan. Yang beliau bisa hanya mendoakan, bukan memastikan, tanpa pemberitahuan Tuhan. Wallahu a`lam bis shawab.
Demikan penjelasan Sarikhuluk menegenai wacana yang didapat dari Syaikh Wahidudin Khan ulama berkebangsaan India yang dikenal dengan bukunya yang berjudul: Islām Yatahadda(Islam Menantang). Meski agak ragu, Sudarmono sudah mulai tercerahkan. Paling tidak, tanpa dilarang atau diperintah Sarikhuluk, dengan pikiran jernihnya ia mulai menimbang kembali keputusannya untuk pergi ke Irak dan Siria bergabung dengan ISIS. Dalam hatinya mulai timbul pertanyaan mendasar: “Bagaimana mungkin aku berjuang di jalan Allah, jika keilmuanku tentang jihad dan syahid masih problem? Jangan-jangan nantinya aku hanya melakukan kekerasan atas nama agama, bukan memperjuangkan agama. Ia pun undur diri, seraya berbisik pada Sarikhuluk: “Cak. Untuk sementara aku urungkan niatku. Tapi sampean harus janji, untuk menemaniku diskusi mencari kebenaran konsep jihad dan syahid”. Sarikhuluk menganggukkan kepala. Sudarmono pamit. Sebelum acara ditutup, Sarikhuluk berdoa: “SEMOGA KITA DIMASUKKAN DALAM BAGIAN HAMBA-NYA YANG MATI SYAHID, BUKAN HAMBANYA YANG MATI SANGIT(KONYOL), TENTU SAJA DENGAN BANGUNAN ILMU SYAR`I YANG MURNI DAN MUMPUNI”.

Rumah Surga

Written By Amoe Hirata on Kamis, 26 Maret 2015 | 11.18


Paino terlihat gulana. Ia tatap lamat-lamat rumah gubuknya. Oh, terlalu banyak kenangan tersimpan. Apa daya, untuk sementara harus merantau. Menelusuri berbagai kemungkinan, menuju kesuksesan. Bagai orang hendak mati, ia berwasiat dengan sepenuh hati. Bila pada akhirnya ia tak berjumpa, mudah-mudahan ini adalah bukti sejarah:

Di rumah ini
Sejarah dimulai
Dari kebersahajaan
Menuju kesuksesan

Dengan bekal cinta
Semua yang ada
Menjadi berkesan
Meski kadang menyakitkan

Rumahku adalah surga
Yang terbangun dengan kasih dan cinta
Memang tak seindah perumahan
Namun menyimpan keindahan

Saat sukses nanti berjumpa
Kami tetap setia
Berteman ketulusan
Beriring kesederhanaan

Menulis Berbasis Keikhlasan

Menjelang ashar, Sarikhuluk sedang menatar para calon penulis yang akan dikirim berdakwah di berbagai media. Pesannya berbentuk sajak. Tapi isinya membuat para peserta tersentak:

Duhai para 'calon penulis'
Kadang jiwaku meringis
Oleh perilaku sebagian kalian
Yang begitu menyebalkan

Kalau Islam sebagai basis
Dakwah para penulis
Maka, haruslah berasas keikhlasan
Bukan kejar setoran

Bila imbalan menjadi utama
Isi dakwah menjadi hampa
Nasihat terasa garing
Hati pun menjadi kering


Bila pujian menjadi segala
Latar dakwah bermula
Petuah terasa asing
Jiwa pun menjadi terdinding

Hikmah ilahi
Bagai samudera tak bertepi
Namun tanpa keikhlasan
Seperti orang haus meminum lautan

Ulama Abadi Dengan Tulisan

Bila ulama ibarat lenteraMaka, yang membuatnya bercahayaBukan hanya ilmu, iman, dan ihsanTapi juga tulisan
Walau jasad tlah tiadaTetap terasa adaKarena melalui tulisanNilai-nilai kan menjadi terabadikan

Tetap Shalihah di Ibu Kota

Kalau menjadi shalihah
Di pondok yang biasa terarah
Maka itu biasa
Karena belum tergoda

Namun ketika 
Anda tetap terjaga
Di ibu kota yang sarat masalah
Bagai pedang yang terasah

Emas di Keranjang Sampah

Siapa yang pernah mengira
Di zaman jahiliyah
Yang penuh dengan dosa
Lahir generasi Sang Pencerah

Melalui lentera
Islam yang begitu cerah
Kelam pun diterpa cahaya
Kezaliman dihempas hikmah

Di antara mereka
Dalam sejarah
Terdapat emas-emas berharga
Yang dicintai Allah

Saat Nabi Muhammad tiada
Mereka menjadi pencerah
Menebar cahaya
Pada dunia yang sakit parah

Ma`had Imam Bukhari

Di ma`had ini
Para santri berjejer rapi
Menyimak pelajaran ustadz
Dengan penuh khidmad

Suasana ini
Membuat jiwa kembali
Menyusuri masa sahabat
Yang dijuluki sebagai sebaik-baik umat

Dari halaqah keci seperti ini
Rasulullah dengan hati suci
Mendidik sahabat dengan semangat
Menjadi insan taat

Di kemudian hari
Tanpa pernah dimengerti
Bagaimana mereka menjadi
Soko guru bagi peradaban dunia yang hampir mati

(Ma`had Imam Bukhari, Solo. Kamis 26 Maret 2015. #AmoeHirata)

Kereta Sejarah

Written By Amoe Hirata on Rabu, 25 Maret 2015 | 08.58

Ibarat kereta api
Begitulah sejarah dimulai
Selalu berjalan ke depan
Menuju setasiun masa depan

Bukan berarti
Masa silam  telah pergi
Sehingga tak diperhatikan
Bahkan, dicampakkan

Bila diamati
Perjalanan berputar kembali
Pada stasiun-stasiun tujuan
Yang kembali diinginkan

Sejarah kan berulang kembali
Selama anasir peristiwa terjadi
Karenanya, ia bukanlah bualan
Tapi kompas masa depan



Senja Bersama KA Bangunkarta

Written By Amoe Hirata on Kamis, 19 Maret 2015 | 14.45

      Pada hari Kamis, 19 Maret 2015, jam 14:54, aku berangkat menuju Jakarta. Tujuannya jelas: menjemput calon bidadari. Hampir saja aku ketinggalan kereta, karena berangkat terlalu mepet(14:00). Syukur al-hamdulillah, lima menit sebelum kedatangan kereta, akhirnya aku sampai. Baru pertama kali aku ke Jakarta naik kereta (eksekutif lagi). Sebelumnya(2005) aku pernah naik kereta ke Bandung, ke rumah Iqbal Mukhlis. Tapi itu dulu.
      Sekarang kereta yang aku tumpangi ialah: BANGUNKARTA(Sing. jomBANG, madiUN, dan jaKARTA). Namanya juga eksekutif, jelas fasilitas lebih enak: kursi lebar, menghadap depan semua, full AC, TV, dan yang sangat penting adalah makhluk yang namanya colokan. Alhamdulillah perjalanan lancar. Dari Mojokerto sampai Jombang, aku hanya termangu seorang diri. Baru setelah di Jombang, -tepatnya di samping tempat dudukku- ada pasangan dari Jombang yang hendak mengunjungi anaknya di Jakarta.
      Terjadilah obrolan yang hangat antara aku dan beliau. Namanya Kholil. Aku memamggilnya Pak Kholil. Berasal dari Jombang Barat. Ada beberapa obrolan menarik antara aku dan beliau. Poin-poinnya bisa disederhanakan sebagai berikut: Pertama, dia punya anak yang "aneh". Satunya lulusan Filsafat UGM, tapi pekerjaannya jadi bagian yang mengurus mobil di Jakarta  Yang berikutnya (kakaknya), lulusan pondok salaf tapi bekerja di perusahaan minyak di luar jawa. Letak keanehannya ialah bwkerja bukan pada bidangnya(katanya).
       Kedua, pentingnya memberi bekal moral keagamaan bagi anak. Anak beliau sudah dipondokkan sejak keci. Jadi, kemandirian dapat, ilmu keagamaan dapat, sehingga keduniaannya bisa terkontrol. Suatu saat, anak yang jurusan filsafat ini mengajak dialog dengan beliau. Pertanyaannya satu: Pak agama samawi kan sama-sama agama dari langit, berarti semua agama benar dong?. Tebrjadilah dialog hangat bahkan panas hingga jam 4 dinihari menjelang Shubuh. Di akhir pembahasan, eh ternyata anaknya hanya mengetes beliau.
       Ketiga, di Indonesia ini banyak orang hebat, tapi susah mencari orang alim. Kalau aku sendiri membahasakannya sebagai: kelangkaan orang shalih. Kepintaran bila tak didukung dengan keshalihan, maka hasilnya adalah kerusakan. Betapa banyak orang-orang pintar di negeri ini, tapi banyak pula kerusakan timbul dari mereka. Bahkan, ada yang sengaja berbuat kerusakan, tapi berkedok keshalihan atau seolah-olah memperjuangkan kepentingan sosial. Keempat, al-hamdulillah kedua anak beliau suksek secara keduniaan dan mampu menjaga agama. Ini adalah buah dari pendidikan.
       Kelima, pendidikan agama jaman dahulu begitu kuat. Meski tidak resmi seperti sekarang(seperti:TPQ, TPA dll) hanya Sorogan, ngaji kitab, namun pengaruhnya demikian terasa. Lain halnya dengan sekarang. Anak-anak susah kalau disuruh hafalan juz Ammah. Yang ada malah suka main game di rumah uang dapat merusak pikiran mereka. Dari dialog ini, poin-poin pentingnya bisa diringkas sebagai berikut: ijazah tidak berpengaruh pada pekerjaan atau keprofesian seseorang; pentingnya menanamkan nilai agama sejak dini; kepintaran harus beriring keahalihan; kesuksesan adalah bagian dari buah pendidikan; yang terakhir, perbedaan melieu yang tajam terkait pendidikan agama tempo dulu. Anak-nak jaman sekarang dah menurun perhatiannya.Perhatiannya terpusat pada hal yang merusak pendidikan mereka.


Wallahu a'lam bi al-shawab.

Merasa “PD Masuk Surga” Tanpa Ujian Menimpa

Written By Amoe Hirata on Rabu, 18 Maret 2015 | 07.06

v  Ayat Kajian          : Al-Baqarah (214)
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ (214)
v Arti Mufradat       :

أَمْ حَسِبْتُمْ           : apa kalian mengira
وَلَمَّا يَأْتِكُمْ          : padahal belum datang pada kalian
خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ     : (yang) telah berlalu sebelum kalian
مَسَّتْهُمُ              : mereka telah ditimpa
الْبَأْسَاءُ              : malapetaka
وَالضَّرَّاءُ              : kesengsaraan
وَزُلْزِلُوا               : dan mereka telah digoncangkan


v  Arti Ayat               :
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.”(214)ز
v  Sababun Nuzul     :

قَوْلُهُ تَعَالَى( أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ) الآية قَالَ عَبْدُ الْرَزَّاقِ أَنْبَاَنَا مَعْمَرُ عَنْ قَتَادَة قَالَ نَزَلَتْ هذَهَ الآيَةُ فِي يَوْمِ الْأَحْزَابِ أَصَابَ النبي صلى الله عليه وسلم يَوْمَئِذٍ بَلَاء وَحَصَر
Artinya:
Firman Allah ta`ala: (Apakah kalian mengira akan masuk surga?...,) ayat(214). Abdul Razzāq berkata: Telah bercerita kepadaku, Ma`mar. Dari Qatādah, ia berkata, ‘ayat ini turun pada waktu perang Ahzab di mana Nabi Muhammad pada waktu itu ditimpa ujian dan pengepungan(baca: Lubābu al-Nuqūl fī Asbābi al-Nuzūl, Imam Suyuthi, 1/532).

v  Tafsir Ayat            :

Pada tahun kelima Hijriah, kaum muslimin sedang mengalami ujian dahsyat. Mereka sedang diuji dengan perang Ahzab yang begitu berat. Waktu itu, jumlah mereka hanya sekitar tiga ribu orang. Sedangkan musuh, berjumlah sepuluh ribu orang(baca: al-Sīrah al-Nabawiyah `aru Waqā`i` wa Tahlīlu Ahdāts, 3/317-319). Pada saat itu, keimanan benar-benar butuh pembuktian. Pada momen sulit inilah ayat ini turun.  Yang kemudian bisa dijadikan pelajaran bagi setiap orang yang beriman. Pada ayat ini, Allah mengajak dialog kaum Muslimin mengenai arti penting suatu ujian sebagai bukti kebenaran iman seseorang. Allah berfirman: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga?” Sebagaimana sebagian orang bani israil yang menganggap akan masuk surga tanpa diuji(baca: Tafsīr al-Sya`rāwi al-Khawāṭit al-Īmāniyah, 2/913). Sebuah pertanyaan yang menggelitik seseorang yang merasa PD(percaya diri) bahwa dirinya akan masuk surga. Padahal: “belum datang kepadamu (cobaan)”.
Pada ayat lain ‘Allah menyindir’ dengan lebih menukik: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (2) dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.(3)”(Qs. Al-Ankabut: 2-3). Pada sepanjang sejarah Islam, kita selalu menemukan bahwa ujian adalah faktor penting dalam membuktikan keimanan seseorang. Bagaimana mungkin ia akan mendapat surga, bila tidak beriman. Bagaimana mungkin dianggap beriman, jika tidak ada pembuktian. Maka ujian dalam berbagai macam jenisnya, menjadi semacam ‘alat ukur’ untuk mengetahui kualitas keimanan seseorang.
Ujian, “sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu”. Suatu saat, sahabat yang bernama Khabbāb bin al-Arat (yang mendapat penyiksaan yang sangat keji dari orang-orang kafir Qurays) mendatangi Rasulullah, seraya bertanya: “Mengapa anda tidak memohon pertolongan (Allah) untuk kita? Mengapa anda tidak berdoa untuk kebaikan kita?”. Rasul pun menjawab, ‘Sesungguhnya ada orang sebelum kalian yang digergaji hingga terbelah dua. Namun, itu tidak memalingkannya dari agama. Ia juga disisir dengan sisir besi sehingga membuat daging dan tulangnya terkelupas, tapi yang demikian itu tidak memalingkannya dari agama’. Kemudian belia melanjutkan, Demi Allah Allah pasti akan menyempurnakan perkara ini(agama Islam). Hingga (ada) pengendara berjalan dari Shan`a(Yaman) ke Hadhra Maaut(dengan aman) ia tidak takut, melainkan pada Allah, serta tidak khawatir kambing diterkam serigala. Tetapi kamu terburu-buru (Hr. Bukhari, Abu Daud dan Nasa`i).[Baca: Tafsīr al-Qur`ān al-`Aḍīm, Ibnu Katsir, 1/571)
Orang yang beriman pasti diuji sebagaimana umat-umat terdahulu. Allah berfirman: “Mereka ditimpa oleh al-ba`sā`(menurut Ibnu Mas`ud: Kefaqiran) dan al-arrā`(menurut Ibnu Abbas: sakit), serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan.). Namun, salah satu virus mematikan yang dapat menggagalkan orang dalam menjalani ujian ialah sifat terburu-buru dan tidak sabar. Sebagaimana yang disampaikan Rasulullah kepada Khabbāb bin al-Arat. Dalam kondisi yang sangat mencekam, di mana kaum Muslimin sudah berada pada titik puncak pengorbanan, barulah pertolongan Allah hadir. Allah berfirman: “Sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.”. Dekatnya pertolongan, atau lulusnya seorang hamba menjalani ujian, ialah ketika dia sudah berusaha secara maksimal dalam menjalani ujian. Pada perang Ahzab, kaum Muslimin sudah mengerahkan segenap jerih payahnya. Secara materil, mereka jauh dibandingkan orang-orang kafir. Namun, pada akhirnya mereka ditolong Allah ta`ala.
Bagi kita –umat Islam. Khususnya di Indonesia- seyognyanya bercermin pada ayat ini. Ternyata, mengaku islam dan iman saja tidak cukup untuk mendapat ‘tiket surga’. Jadi, jangan terlalu PD(percaya diri) dengan keislaman dan keimanan kita, sebelum benar-benar dibuktikan dengan perjuangan dan pengorbanan. Sebagai contoh sederhana, kalau kita memang sudah merasa Islam, sudahkah kita mengamalkan hadits: “Muslim adalah orang yang menyelamatkan semua orang muslim dari dari lisan dan tangannya”(Hr. Bukhari). Kalau ternyata kita masih suka menyakiti hati orang lain dengan lisan, maupun tangan, bagaimana mungkin kita bisa masuk surga. Jika kita merasa telah beriman, sudahkah kita mengamalkan hadits: “Orang mukmin adalah orang yang mana manusia merasa aman terhadapnya atas darah dan hartanya”(Hr. Nasai, Turmudzi, Ahmad, Hakim, dan Ibnu Hibban). Kalau keberadaan kita membuat orang lain meresa tidak aman, lantaran terancam nyawa dan hartanya, maka masihkah kita percaya diri untuk masuk ke dalam surga?. Sebagai penutup ada baiknya kita simak baik-baik firman Allah subhanahu wata`ala: “dan Itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.”(Qs. Az-Zuhruf: 72).
v  Pelajaran Penting :

1.      Jangan terlalu PD masuk surga sebelum ada ujian dan bukti
2.      Surga diliputi dengan ujian, bukan khayalan
3.      Surga adalah tempat para pejuang sejati, bukan tempat para pemimpi
4.      Semakin tinggi ujian menimpa, kemudian kita berhasil sabar dan ikhlas, maka semakin besar pahala yang akan digapai
5.      Hendaknya kita sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan
6.      Kunci kemenangan ialah ketika segenap usaha secara maksimal dikerahkan, kemudian diserahkan pada Allah
7.      Pentingnya mempelajari kisah-kisah umat terdahulu sebagai peneguh iman
8.      Kesabaran akan berbuah kebahagiaan
9.      Pentingnya bergerak dalam komunitas yang mendakwahkan kebaikan
10.  Pertolongan Allah pasti dekat bagi mereka yang memiliki kesabaran dan iman yang kuat
Wallahu a`lam bi al-Shawāb

v  Sumber Bacaan    :
1.      Lubābu al-Nuqūl fī Asbābi al-Nuzūl, Imam Suyuthi
2.      al-Sīrah al-Nabawiyah `aru Waqā`i` wa Tahlīlu Ahdāts,Muhammad Shallabi
3.      Tafsīr al-Sya`rāwi al-Khawāṭit al-Īmāniyah, Syaikh Mutawalli al-Syarawi
4.      Tafsīr al-Qur`ān al-`Aḍīm, Ibnu Katsir
5.      Shahih Bukhari, Imam Bukhari
6.      Sunan Abi Daud, Imam Abu Daud
7.      Sunan Nasai, Imam Nasa`i
8.      Musnad Ahmad, Imam Ahmad bin Hanbal
9.      Mustadrak al-Hāhim, Imam Hakim
10.  Ṣahīh Ibnu Hibbān, Imam Ibnu Hibbān

[Diterbitkan di Majajah Al-Muslimun Bangil. Edisi Maret 2015].

Kado dari Pak Kiai

Malam itu begitu hening. Jamaah pengajian sudah pada siap menanti kehadiran Sang Kiai. Begitu mobil phanter datang, mereka merasa tenang karena kiai sudah tiba. Semua mata tertuju pada mobil phanter itu. Mereka sudah tidak sabar lagi mendengarkan petuah-petuahnya. Di luar dugaan, ternyata yang keluar dari mobil bukanlah Sang Kiai. Sesosok pria paruh baya berambut panjang, berkumis tebal, tidak berjenggot dan yang lebih aneh lagi ialah bercelana Jeans.

Suasana yang hening itu tiba-tiba terpecah oleh suara gaduh dan gemuruh para jamaah. Siapa gerangan pria yang keluar dari mobil Phanter itu? Kok ga berjenggot? Ga pakai sorban? dan ga pakai sarung? Semua bertanya-tanya dan tertegun heran. Melihat suasana demikian, pak Jamal sebagai panitia tetap pengurus pengajian segera mengambil inisiatif untuk menanyakan perihal kedatangan pria tadi.

"Assalamualaikum…….maaf, bapak ini siapa ya? Kok memakai mobil kiai?". "Wa`alaikum salam ustadz….maaf juga kalau kedatangan saya mengagetkan para jamaah..begini malam ini pak kiai tidak bisa hadir, beliau sedang berhalangan, makanya beliau mengutus saya untuk menggantikan pengajian". Sontak ketika itu juga Jamal mengernyitkan keningnya, dalam hati ia berkata: "masak tampang preman kaya gini suruh ganti yai, yang bener aja".

Tapi mau bagaimana lagi, dia memang betul-betul utusan Kiai. "ya sudah la kalau begitu…bismillah…semoga saja tidak jadi bencana" keluh hatinya. Naiklah pria gondrong itu ke depan panggung menuju mimbar pengajian. Dari potongannya memang terkesan preman, tapi wajahnya menggambarkan bahwa dia adalah orang penting dan tidak patut diremehkan.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…….." "waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh…..". "Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian yang saya hormati, sebelumnya saya minta maaf kalau kehadiran saya di sini mengusik kenyamanan anda dan membuat anda su`udzan pada saya. Demi Allah saya tidak bermaksud demikian, saya hanya mengikuti pesan Pak Kiai yang memberikan amanah kepada saya, sebagai murid tentu saja saya tidak bisa menolak amanahnya".

"Bapak-bapak dan ibu sekalian….saya hanya mengingatkan bahwa ada hadits yang artinya:” Sesungguhnya Allah tidak melihat melihat kepada rupa dan bentuk tubuhmu tapi Allah melihat kepada hati dan amalmu”. Memang potongan dan gaya berpakain saya tidak seperti yai, Cuma sekarang saya Tanya kepada bapak dan ibu sekalian, adakah pakaian saya ini menyalahi syariat?""....tidaaaaaaaaaaaak" jawab jamaah. "Baiklah saya akan melanjutkan pengajian ini".

Sudah hampir dua jam pria itu mengisi pengajian, para jamaah dibuat kagum olehnya, mereka keasyikan mendengarkan ceramahnya yang mengalir dan enak didengar, sampai-sampai mulutnya terngangah. Pria itu tidak saja menjelaskan ilmu-ilmu syar`i dari tafsir, hadits, bahasa Arab sampai ushul fiqh saja, rupanya ia mengetahui banyak tentang ilmu-ilmu modern sehingga ia kaitkan dengan ilmu-ilmu tadi. Hasilnya, para jamaah mulai percaya bahwa orang yang sedang berceramah ini adalah orang penting dan tidak patut diremehkan. Mereka telah salah menilai. Selama ini mereka menilai orang alim hanya dari rupa dan pakaiannya, sehingga ketika pertama kali melihat pria tadi mereka sudah berburuk sangka.

Sejenak mereka berpikir: "Mungkin ini kado pelajaran yang sengaja diberikan yai kepada kita, supaya kita sadar bahwa jangan sekali memandang sesuatu dari hal-hal eksternal saja, karena bisa jadi itu hanyalah kamuflase belaka, sekarang ini banyak berandal-berandal bersorban yang mengaku alim padahal sejatinya adalah pandir, alim tidaknya seseorang sekali lagi jangan dilihat dari baju dan rupanya".

Setelah selesai pengajain, para jamaah berbondong-bondong menyalami dan memeluknya, sampai-sampai ada yang bilang bahwa dia harus dikasih jadwal tetap untuk mengisi, karena secara jujur gaya dia menyampaikan lebih menarik dari Sang Kiai, pria itu hanya senyum dan tidak mengiyakanya. Ia hanya berkata: "Ini adalah kado dari pak yai". Hanya sepatah kata itu saja yang ia ucapkan, kemudian ia pamit.

Testimonium Program Kaderisasi Ulama VIII

Written By Amoe Hirata on Senin, 16 Maret 2015 | 23.30

            Aku mulai tulisan ini dengan bismillah. Semoga menjadi bermanfaat dan penuh berkah. Berawal dari keresahan pribadi, mengenai kondisi umat mayoritas yang tak bertaji. Mayoritas, tapi tertindas. Banyak, tapi terinjak. Melimpah, tapi tak terarah. Membuat hati bertanya-tanya: “Apa gerangan sebab di balik realita?”. Perenungan yang dalam, mengantarku pada titik-terang yang sebelumnya buram: “Kelangkaan Ulama”.
            Ya. Kelangkaan ulama, menjadi sebab fundamental bagi kemerosotan yang sedang melanda. Problem besar manusia, pada segenap aspeknya –meminjam pandangan al-Attas- ialah problem keilmuan. Kalau ulama semakin langkah, maka ilmu pun semakin tak bertahta. Padahal segenap segmen kehidupan, berlatar keilmuan. Maka tidak heran, yang sedang terjadi adalah kemerosotan demi kemerosotan. Yang bodoh diangkat menjadi imam, yang alim dianggap masa silam.
            Adanya Program Kaderisasi Ulama –yang diprakarsai oleh Kh. Syukri Zarkasy- adalah semacam oase di tegah padang sahara. Umat ini seakan berada di tengah-tengah padang ‘sahara derita’. Dimainkan bangsa-bangsa. Apa yang disebut kemajuan selama ini, yang tak jarang digembor-gemborkan orang yang ‘mengaku Islam’ hanyalah fatamorgana. Padahal yang mereka butuhkan adalah ‘air petunjuk’ yang bisa membuat hati sejuk.
            Maka sangatlah beruntung. Aku diperjumpakan Allah dengan program yang sangat agung. Program Kaderisasi Ulama, adalah wahana strategis sekaligus efektif memproduksi ulama religius dan aplikatif. Bila lentera umat semakin redup, maka dengan proses kaderisasi, ‘lentera ulama’ kembali hidup. Aku tidak membanyangkan: “Bagaimana jika yang dominan adalah manusia-manusia  jahil bertopeng ulama?”. Niscaya yang terjadi, hidup dikontrol dengan kepentingan pribadi.
            Sebenarnya kata-kata masih mengalir deras. Namun dengan sajak, aku mencoba menjadikannya ringkas:
Tragedi besar ialah ketika
Ulama menjadi langka
Umat Islam menjadi tertutup
Dari petunjuk yang membuat hati hidup

Program Kaderisasi ulama
Hadir sebagai pemicu cahaya
Yang diharapkan sanggup

Menjadi ‘lentera ulama’ yang semakin redup

Mujahid Penulis Saatnya Bangkit

Written By Amoe Hirata on Minggu, 15 Maret 2015 | 04.00

Pada hari Ahad 15 Maret 2015, Jam 08.00-11.00 di kantor Bina Qolam Surabaya(Jln. Bengawan 2-A), diadakan KIIP(Kajian Islam Intensif Penulis) dengan tajuk, "Mujahid Penulis Saatnya Bangkit".
Yang didapuk menjadi pembicara pada kajian ini ialah Dr. Adian Husaini, Pemikir Muslim  Indonesia jebolan ISTAC Malaysia. Acara ini diikuti oleh anggota Penulis Bina Qolam. Jumlah peserta yang hadir pada kesempatan kali ini berjumlah sekitar 50.
Setelah dibuka oleh Oki Ariono selaku direktur Bina Qolam dan Ma'mun Affani selaku staf dan editor Bina Qolam, pada jam 08. 36, Ust. Adian Husaini dipersilahkan menyampaikan kajian atau motivasinya bagi para penulis.
Mengawali kajian, beliau berangkat dari ayat al Qur'an yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?(10)(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui(11)(Qs. As-Shaf: 10-11). Serta  hadits: "Apabila kamu melakukan jual beli dengan sistem 'iinah (seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan pembayaran di belakang, tetapi sebelum si pembeli membayarnya si penjual telah membelinya kembali dengan harga murah), menjadikan dirimu berada di belakang ekor sapi, ridha dengan cocok tanam dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menjadikan kamu dikuasai oleh kehinaan, Allah tidak akan mencabut kehinaan itu dari dirimu sebelum kamu rujuk (kembali) kepada dien kamu". [Hadist Shahih riwayat Abu Dawud].
Dengan ayat dan hadits tersebut Ustadz yang dikenal produktif dalam tulisan kolom Catatan Akhir Pekan ini, ingin menyampaikan pesan penting bahwa jihad sangat penting dan wajib bagi setiap Muslim. Dampak negatif dari pengabaian jihad ialah Allah akan menimpakan kehinaan pada umat Islam.
Menyitir pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah tentang pembagian jihad, beliau mengemukakan ada 4 pembagian jihad: Pertama, jihad melawan hawa nafsu. Kedua, jihad melawan setan. Ketiga, jihad melawan orang kafir. Keempat, jihad melawan orang munafik.
Di luar pembagian tersebut, ada bagian yang masuk pada bagian jihad, yaitu: jihad dalam bidang tulisan. Mengenai bagian ini, beliau mengutip hadits: " Jihadlah (melawan) orang-orang musyrik dengan harta, jiwa, dan lisan kalian"(Hr. Ahmad, Nasai, dan Hakim). Jihad tulisan adalah bagian dari jihad lisan.
Secara historis -menurut peneliti INSIST ini- Nabi Muhammad adalah satu-satunya orang yang mampu menjadikan kegiatan menulis sebagai tradisi hingga pada taraf peradaban. Beliau mampu mengubah tradisi jahiliah orang Arab yang dikenal buta huruf menjadi orang yang 'melek peradaban' melalui tulisan.
Sebagai contoh, kebijakan Rasul pasca perang Badar berupa: ‘membebaskan tawanan perang kaum kafir Qurays, dengan syarat mengajari anak-anak kaum muslimin baca-tulis’,  adalah sebuah kebijakan luar biasa yang mampu mentransformasi orang Arab pagan menjadi berperadaban. Di sisi lain, menurut penelitian Prof. Hamidullah, perjanjian tertulis yang disebut sebagai ‘Piagam Madinah, merupakan konstitusi tertulis pertama yang diprakarsai Rasulullah. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa beliau sebagai penghidup budaya tulis yang berskala peradaban.
Sejak zaman Nabi Muhammad, para sahabat sangat perhatian dalam bidang tulisan. Ibnu Mas'ud saja, -konon- kumpulan tulisannya mencapai seribu. Demikian juga dengan sahabat-sahabat lain yang mempunyai perhatian besar dalam bidang tulisan(pen: seperti Amru bin Ash, Ali bin Abi Thalib dll).  Sekarang ini berjihad melalui tulisan menemukan relevansinya, terlebih banyak sekali yang menyerang Islam melalui media tulis.
Di akhir pembahasan, beliau berpesan kepada para audiens tiga hal: Pertama, meluruskan niat dan mendasari tulisan dengan ruh jihad. Kedua, menegakkan amar makruf nahi munkar melalui tulisan. Ketiga, sabar. Karena penulis akan menghadapi banyak rintangan dan cobaan.

Pada pukul 10.36 -setelah sesi tanya jawab- Pak Adian Husaini undur diri karena akan mengisi kajian di Malang. Inti kajian pada kesempatan kali ini bisa disederhanakan dengan kata-kata berikut:"Menulis adalah bagian dari jihad. Orang yang meninggalkan jihad, akan menjadi umat hina". Semoga ini bisa menjadi motivasi bagi calon penulis maupun penulis agar menggalakkan kembali jihad dalam medan tulisan. Wallahu a'lam.
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan