Pada hari Kamis malam, 12 Maret 2015 bakda shalat Maghrib, kami(peserta PKU) mendapat kesempatan berharga bertemu dengan Kiai Pondok Pesantren Darus Salam Gontor. Pertama-tama, kami sowan kepada Kh. Hasan Abdullah Sahal. Ditemani dengan beberapa dosen(Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, Ust. Setiawan bin Lahuri Ma, Ust. Choirul Umam, Mec, dan Dr. Khalid Mushlih). Ust. Hamid mewakili segenap jajaran dosen dan PKU melaporkan kegiatan rihlah ilmiah PKU selama sebulan. Kh. Hasan pun menyambut dengan baik proses yang sudah berjalan selama sebulan lebih tiga hari ini. Beliau mengharap agar peserta PKU bersyukur karena tidak semua mendapat kesempatan seperti ini.
Dengan gaya khasnya yang berwibawah namun cair, beliau sempat berpesan sebagai berikut: Pertama, Jangan terkecoh dengan keilmiahan, title, dan pangkatmu(jangan gurur[terpedaya] dengan ilmumu). Sebuah nasihat yang sangat berkesan. Karena sifat ghurur ini rupanya adalah salah satu penyakit halus yang acap kali menggelincirkan para ulama. Ilmu, pangkat dan titel, semua itu diposisikan sebagai hal yang sekunder, yang terutama ialah amal dan selalu berendah hati. Ada tamtsil(analogi) menarik yang dibawakan beliau terkait masalah ini, beliau bertanya: “Seorang profesor doktor yang tidak bisa berenang dibandingkan dengan anak SD, jika diceburkan ke sungai, siapakah yang akan selamat?” sudah pasti jawabannya. Makanya, kita meskipun belum berpangkat jangan minder pada orang yang sudah berpangkat. Yang penting yang dibawa adalah kebenaran.
Kedua, Perlu melieu(lingkungan) yang baik untuk menegakkan takwa. Ada komunitas yang berbasis takwa, ada juga komunitas yang berbasis dhirar. Antara kedua komunitas ini, asas takwa dan dhirar selalu terjadi konflik. Maka tugas kita ialah berupaya sekuat tenaga untuk membina komunitas berdasarkan asas taqwa. Tujuannya jelas, yaitu: terciptanya lingkungan masyarakat yang baik. Lebih jauh dari itu –berkaca dari sejarah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam-, pendidikan bermula dari masjid kemudian universitas, bukan sebaliknya. Karena itulah segala hal yang terjadi di luar masjid –baik itu masalah pendidikan, sosial, ekonomi, politik dll- bisa dikontrol dan diketahui lewat masjid. Adapun sekarang kondisinya terbalik, dan cendrung sekularistik.
Ketiga, menyikapi pertanyaan-pertanyaan nyeleneh yang disodorkan mahasiswa yang teracuni virus liberal, dengan sangat sederhana beliau berujar: “Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang liberal adalah pertanyaan anak-anak SD. Jangan terlalu serius menjawab pertanyaan mereka. Ibaratnya seperti ini: Ada anak yang main bolanya di depan masjid di bawah pohon sawo, lalu dengan entengnya mengkritik permainan Maradona, Leonel Messi, dan Ronaldo. Kira-kira masuk ga?”. Beliau memberi contoh kecil, ketika ditanya oleh anak yang masih SMP: “Pak Yai, kenapa al-Qur`an tidak diturunkan sekaligus saja, kenapa mesti menunggu dua puluh tiga tahun, apa tidak kelamaan?” beliau pun menjawab dengan enteng, “Lha mau dicetak dimana? Di Lauhil Mahfudh tidak ada percetakan” jawabnya dengan senyum khasnya. Jadi, jangan terlalu serius lah menghadapi mereka, karena mereka itu adalah ustadz jaibi atau isilah lainnya aliran pocketisme. Melakukan sesuatu demi uang.
Keempat, bersyukurlah kalian karena telah diberi kesempatan untuk berkunjung di pondok pesantren dan para yai. Memang sekarang masih belum terasa, namun nanti ketika kalian pulang, kalian akan merasakan betapa berharganya pengalaman ini. Kalau ternyata pengalaman ini tidak berkesan bagi antum, maka ada masalah dengan hati dan akal antum, Persis seperti ayat: “dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”(Qs. Al-A`raf: 179).
Kelima, konsep pendidikan yang bagus ialah yang dipesantrenkan, jadi bisa dikontrol(melieunya bagus, ada dosen-masjid-perpus-kampus). Beliau memiliki bayangan jika seandainya ada pesantren ITB, UGM, UI dan lain sebagainya. Sebab, sistem universitas yang dipesantrenkan, merupakan sistem yang efektif dalam pendidikan. Gontor sudah membuktikannya. Menurut beliau, Kelebihan konsep pesantren-yang dalam hal ini Gontor- ialah orang lulus sekaligus mempunyai pengalaman untuk mengajar, lain halnya dengan orang yang belajar terus hingga jadi dosen, tanpa pernah punya pengalaman mengajar. Yang jelas sistem pesantren ini sangat bagus dan mendidik.
Demikianlah beberapa pesan berharga dari sowan yang sangat mengesankan bersama Kh. Hasan. Dari aura wajahnya tersimpan karisma. Ia bukan saja menunjukkan masalah, tapi memberi solusi. Meminjam istilah yai Gontor, ‘struman spiritualnya’ Yai Hasan begitu terasa dan mengena. Mudah-mudahan pertemuan ini membawa berkah, serta dapat diteladani dengan baik, bagi siapa saja yang mau mendirikan lembaga pendidikan, dan yang peduli terhadap urusan keumatan. Wallahu a`lam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !