(Refleksi dari Orasi Ilmiah Prof.
Dr. Amal Fathullah Zarkasyi)
Merupakan
kehormatan yang tiada kira, ketika pada hari ini aku dan teman-teman PKU
menjadi tamu undangan untuk menghadiri pengukuhan gelar ‘profesor Akidah dan
Filsafat Islam’, Dr. Amal Fathullah Zarkasyi, dan launching(peluncuran)
peresmian UNIDA(Universitas Islam Darus Salam) yang sebelumnya bernama
ISID(Institut Islam Darussalam) Gontor. Judul orasi ilmiah paka Amal ialah: “Nahwa
`Ilmi al-Kalām al-Jadīd(Menuju Ilmu Kalam yang
Baru)”. Diantara ide penting yang sempat penulis dengarkan, akan disampaikan
dengan ringkas pada tulisan ini. Semoga tulisan ringkas ini bisa bermanfaat
baik bagi penulis maupun pembaca sekalian. Di samping itu bisa memotivasi bagi
para pakar Ilmu Kalam agar memberi perhatian lebih, khususnya dalam bidang
tantangan pemikiran kontemporer yang dihadapi Ilmu Kalam Islam di masa kini.
Ilmu Kalam termasuk ilmu yang sangat urgen
karena mengandung dua hal penting dalam Islam, yaitu: Menetapkan(membuktikan)
Akidah Islam dan Membelanya dari serangan para pembuat kebatilan. Dulu ilmu ini
sangat berperan besar dalam membentengi akidah, dari serangan dan syubhat
orang-orang nyeleneh dan memusuhi Islam, baik dari kalangan filosof,
mu`tazilah, dan lain sebagainya. Adapun sekarang yang dihadapi sama sekali
berbeda baik dari segi logika, metode dan temanya. Karena itulah ilmu perlu kiranya
menyusun Ilmu Kalam yang sesuai dengan tantangan zaman modern. Artinya, -tanpa
mengurangi rasa hormat kepada kontibusi Ilmu Kalam masa lampau- sekarang
diperlukan pembaharuan metodologi Ilmu Kalam, mengingat yang dihadapi sekarang
sangat berbeda dengan yang dihadapi pada masa lalu. Perbedaan itu dari segi
logika, metode, tema yang semuanya merupakan tantangan kontemporer.
Ada Ulama dari
India yang mendefinisikan Ilmu Kalam secara komprehensif dan menarik, yaitu
Syekh Wakhidudin Khan. Beliau mendefinisikan Ilmu Kalam: “Alat untuk membantu
dakwah islamiah yang ditujukan untuk menyampaikan kebenaran agama dengan
bahasa, istilah, yang dipakai oleh komunikan dakwah pada masanya”.
Kata-kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan bahwa metodologi Ilmu Kalam –tanpa
harus menghilangkan hal-hal yang sudah tetap- harus disesuaikan dengan
tantangan yang dihadapi. Karena tantangan yang dihadapi pada suatu masa, akan
berbeda dengan masa setelahnya. Sifat tantangan itu dinamis, maka diperlukan
metodologi yang dinamis pula untuk menghadapinya.
Tantangan modern
(seperti: modernisme, posmodernisme, relativisme, nihilisme, pragmatisisme,
sekularisme, eksistensialisme, positivisme, marsisme, evolusi, darwinisme dll)
membutuhkan Ilmu Kalam baru yang sesuai dengannya. Artinya apa? Kalau tantangan-tantangan
itu dihadapi dengan senjata-senjata klasik ala pakar Ilmu Kalam pada tempo
dulu, maka –disamping tidak sesuai zaman- ia tidak akan mempan untuk menghadapi
gelombang tantangan pemikiran kontemporer. Disinilah letak signifikansi
pembaharuan metodologi Ilmu Kalam. Makanya sekali lagi ulama ahli Kalam,
dituntut untuk memperbaharui metodologi Ilmu Kalam agar bisa mengatasi
tantangan pemikiran kontemporer.
Jadi, tema Ilmu
Kalam yang baru ialah mengenai, tantangan pemikiran kontemporer. Untuk manhaj(metodelogi)
yang dipakai bagi Ilmu Kalam Baru ialah dengan: Metodologi filosofis(pendekatan
filsafat) dan metodologi ilmiah. Itu terkait dengan fungsi Ilmu Kalam sebagai difā`(pembela) bagi akidah Islam
yang benar. Adapun Ilmu Kalam dalam hal Itsbati(pembuktian) itu harus
bisa meyakinkan orang, menggerakkan perasaan, kemudian melahirkan amal. Membuat
orang percaya dan yakin saja tidak cukup karena keyakinan harus menggugah
perasaan, sedangkan perasaan harus melahirkan amal. Demikianlah ilmu dalam
Islam, pada akhirnya harus membuahkan amal.
Manhaj baru
dalam Ilmu Kalam ialah menggabungkan antara orisinalitas dan kontemporer, tsawābit(sesuatu yang sudah
permanen dan final dalam agama) dan mutagoyyirōt(sesuatu yang dinamis dalam agama), klasik dan
modern. Manhaj ini disebut dengan manhaj takamuli(integratif). Yang
berlandaskan beberapa anatomi: 1. Berasaskan al-Qur`an 2. Sistematis 3.
Kontemporer 4. Logis, intuitif 5.
Berakhlak. Al-Qur`an –tentu saja juga Hadits-menjadi rujukan utama, dibangun
dengan sistematika yang tinggi, disampaikan dengan bahasa dan cara kontemporer,
bersifat logis dan mampu menggerakkan intuisi komunikan dakwah, dan yang
terakhir harus bisa membuahkan akhlak mulia. Itulah barangkali beberapa poin
penting yang sempat aku dengarkan langsung dari orasi ilmiah Prof. Dr. Amal
Fathullah Zarkasyi.
Siman, Kamis
18 September 2014
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !