Home » » Serial Cinta Dilematik Bag: XIV [Ranjau Cinta]

Serial Cinta Dilematik Bag: XIV [Ranjau Cinta]

Written By Amoe Hirata on Senin, 08 September 2014 | 13.59


            Sore hari di Masjid Baitul Arqom lantunan syahdu ayat-ayat al-Qur`an begitu menggema. Langit yang begitu cerah serta angin yang menghembus halus turut serta membuat suasana tambah ceria dan penuh sukacita. Anak-anak terlihat padu dan khusyu` belajar membaca al-Qur`an. Dari raut wajah mereka terpancar aura cahaya kejujuran. Hati-hati yang masih belum terjamah dosa. Jiwa mereka masih bersih dari berbagai macam khilaf dan dosa. Mereka ditemani oleh dua orang ustadzah cantik dan berwibawa. Yang satu bernama Fariha Kaila Ahzana, dan  yang satu lagi –yang sudah tak asing lagi bagi warga perumahan  Taman Asri- yaitu Ustadza Puspita Sari(Istri dari Dino al-Kindi).
            Keduanya dikenal sebagai guru yang mempunyai etos kerja yang tinggi. Semangat dakwah dari keduanya tak perlu diragukan lagi. Merupakan keberuntungan yang tak terkira bagi warga perumahan Taman Asri dianugerahi dua orang ustadzah yang hafal al-Qur`an serta berilmu luas. Dulu sebelum adanya kedua ustadza Kaila dan Puspita, warga perumahan jarang sekali terlihat ke masjid. Rata-rata beragama Islam, namun Islamnya hanya sebatas KTP. Kehadiran kedua ustadzah pada awalnya meresahkan hati mereka, karena mereka sudah terbiasa beragama hanya sekadar simbolis. Lebih dari itu mereka merasa susah kalau harus menjalankan Islam yang kâffah(secara menyeluruh). Dengan ketabahan hati dan semangat yang tiada henti dari kedua ustadzah tadi, mereka pun terketuk pintu hatinya. Hati yang dulunya tandus kering, kini telah menjadi basah dan sejuk oleh petunjuk ilahi.
            Tak seperti biasanya, sore ini Kaila terlihat sedih. Sejak awal mulai mengajar, Puspita Sari memperhatikan aura wajah yang sedikit aneh dari diri Kaila. Ia seakan menahan kepedihan, padahal Kaila yang ia kenal selalu terlihat riang gembira. Apa yang Puspita lihat sore ini berkaitan dengan Kaila, begitu membuat hatinya dipenuhi tanda tanya. Bukan hanya Puspita yang merasa aneh dengan kondisi Kaila. Para murid TPQ yang biasanya selalu terhibur setiap kali diajar Kaila merasa tegang. Sesekali memang Kaila berusaha mengurai senyum dan mencairkan kekakuannya, namun ia tak berhasil mencairkan suasana. Sampai-sampai ada salah satu murid yang bertanya: “Maaf Ustadzah, sampean lagi sakit ya?”. “Tidak anak-anak, ustadza baik-baik saja,” dengan datar ia menjawabnya.
            Karena penasaran dengan sikap Kailah yang agak aneh, sepulang ngajar Kaila diajak ke rumah Puspita. Puspita yakin Kaila sedang dilanda masalah serius. Sesampainya di rumah Puspita, dengan agak menahan kesedihan, akhirnya ia mencurahkan kesedihan hatinya. “Mbak, jujur aku merasa sedih dan malu. Sebenarnya aku juga tidak kuat untuk menceritakan masalah keluargaku. Tapi di lain sisi aku ingin mencurahkannya kepada orang yang aku percayai, supaya kesedihan di hati ini bisa sedikit terobati,” tutur Kaila memulai. “Iya Kaila, mbak tau kamu lagi sedih. Curahkan saja kesedihanmu, sebagai sesama saudari semuslim, aku akan berusaha membantu jika memang aku mampu, kalau aku tidak mampu, nanti aku minta bantuan kepada suamiku,” sambut Puspita Sari sembari menenangkan hati Kaila.
            “Sebagai anak perempuan, aku sangat sedih mbak. Sampean kenal ayahku `kan? Beliau tanpa sepengetahuan kami telah menikah lagi. Sebenarnya yang membuat kami sedih bukan terutama pada masalah nikah. Poligami sebaaimana yang kami ketahui memang dibolehkan asalkan bisa adil. Lha ayahku mbak, untuk mencukupi kebutuhan keluarga saja masih tersendat-sendat kok malah menikah lagi. Ibuku sangat benci dipoligami, meski dia tau kalau itu halal. Ibuku adalah tipe wanita setia. Baginya menikah hanya sekali dalam seumur hidup. Ia begitu menjaga erat cinta, meski terkadang caranya menjaga cinta bukan dengan bahasa lembut. Sekarang hatinya terluka begitu dalam. Ketika ditanya kenapa ayah menikah lagi, dengan enteng dia menjawab: “Aku ingin mencari istri yang bisa memberiku modal untuk berbisnis. Aku sudah tidak kuat hidup seperti ini”.
            Dua jam lebih Kaila bercerita mengenai masalah yang sedang menimpanya. Keharmonisan keluarga yang sudah seperempat abad terjalin, kini terancam hancur. Hati ibunya dipenuhi dilema. Ia punya prinsip: “Aku tidak mau di madu. Lebih baik aku diceriai, daripada aku dimadu”. Di sisi lain, ia juga masih cinta dan sayang pada suaminya. Kesedihan bertambah meningkat ketika terjadi perubahan yang sangat besar pada sikap ayahnya. Sudah beberapa bulan ia jarang ke rumah. Kaila, ibu beserta adik-adiknya merasa ayahnya sudah berubah. Perhatiannya tercurah kepada istri barunya. Rasa sesal selalu menghinggapi sanubari ibunya: “Kenapa aku dulu mau nikah dengan Mas Sufyan, padahal aku dulu sudah ada yang melamar. Kalau tau akan seperti ini jadinya, aku tak kan mau menikah dengannya” begitulah ia berbicara ketika puncak kesedihan tak bisa tertahankan.
            Sekarang ibunya semakin kurus. Dandanannya semakin tak terurus. Ia sudah jarang sekali makan. Nafsu makannya seolah dikalahkan oleh rasa sakitnya. Hari-harinya dipenuhi dengan lamunan. Banyang-bayang masa lalu dengan suaminya –meski tak selalu bahagia- begitu menyibukkan akal dan hatinya. Malam hari tidak bisa tidur. Pagi hari pikiran melayang kemana-mana ketika sedang sendiri. Mendengar penjelasan Kaila, seketika itu Puspita tak kuasa menahan air mata. Apa yang diceritakan oleh Kaila mengingatkannya kepada pamannya yang hobi nikah. Pamannya mempunyai empat istri. Puspita sebenarnya juga tidak mempermasalahkan hukum poligami, tapi yang dipermasalahkan ialah sikap dan perilaku pamannya yang tidak bisa adil. Jelas-jelas sudah tidak bisa menafkahi lahir dan batin, kok berani-beraninya menambah istri sampai empat. Akibatnya jelas, keluarganya berantakan dan tidak harmonis.
            “Kaila, untuk saat ini aku belum bisa membantu secara maksimal. Sejauh yang bisa kubantu, saat ini ialah membesarkan hatimu. Aku punya paman yang lebih parah dari ayahmu. Dulunya bibiku ga bisa menerima perlakuan seperti itu. Sampai-sampai badannya sangat kurus akibat sering memikirkan paman. Dari pengalaman bibiku mau belajar. Ia sadar bahwa mau diratapi bagaimanapun, semua telah terjadi. Akhirnya dia fokus kepada anak-anak dan cucunya. Dia sebenarnya berada dalam dilema juga seperti ibumu. Di satu sisi dia ga mau dimadu, di sisi lain ia juga tidak mau bercerai, karena masih sayang pada paman. Akhirnya apa? Ia biarkan saja pamanku apa adanya. Akhirnya lambat laun perasaan sedih dan sumpek sedikit demi sedikit bisa terkikis,” ungkap Puspita pada Kaila.
            “Terima kasih mbak atas pencerahannya. Sebagai seorang perempuan aku ga bisa langsung lupa mbak. Terlebih aku malu dengan warga sekitar. Aku bersama adik-adikku `kan dididik dipondok, dan meski bukan ustadz ayahku sangat peduli dalam pendidikan keagamaan. Nah yang membuatku malu ialah, kenapa dia yang mengerti agama bahkan menyekolahkan anaknya dalam pondok pesantren, malah tidak bisa memberi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Aku merasa malu, karena sekarang ayahku jadi bahan pergunjiangan dan menjadi buah bibir warga. Secara umum mereka berkomentar sinis: ‘Lha ya, wong ngerti agama kok kaya` gitu. Mendingan yang ga ngerti agama’. Aku merasa cinta ibu terpelosok pada ranjau derita. Dulu ia mengiri hubungan cinta dengan ayah akan baik-baik saja sampai mati, nyatanya cinta terciderai dengan adanya orang lain, layaknya ranjau yang siap mencelakakan dan menghancurkan orang yang terperangkap di dalamna” komentar Kaila sambil mengusap air matanya.
            “Sekarang begini ya dik, betapapun kesedihan meliputi hati keluargamu. Kamu harus tetap terlihat tegar. Ibu dan adik-adikmu sekarang butuh orang yang bisa membesarkan hatinya. Kesedihan itu bukan untuk disuburkan dengan kesedihan-kesedihan. Kesedihan perlu ditawarkan dengan kegembiraan. Caranya supaya tidak tambah parah ya seperti tadi, setiap kali kamu bertemu ibumu pasanglah wajah gembira, beri dia semangat, yakinkan bahwa dia tidak sendiri, kamu beserta adikmu akan kompak menjalankan hidup dengan penuh keyakinan untuk menyongsong masa depan yang cemerlang. Jangan lupa banyak-banyak berdo`a kepada-Nya. Kamu jangan larut dalam kesedihan. Sebenarnya aku juga ingin memberitahumu sesuatu, tapi aku rasa belum tepat untuk diomongkan saat ini” timpal Puspita.
            Tiba-tiba Kaila menjadi penasaran mendengar kata-kata terakhir dari Puspita: “Mbak sampean ngomong saja ga papa. Jangan bikin Kaila penasarang, pleas pleas ya kak sampaikan saja yah,” pinta kaila dengan wajah memohon. “Begini Kaila, usiamu `kan sudah dua puluh tahun. Kamu sudah hafal al-Qur`an. Ilmumu juga lumayan luas, kenapa kamu tidak menyempurnakan agamamu” sahut Puspita. “Maksud mbak gimana nih? Nikah maksud mbak? Kayaknya belum kepikir sampai ke situ mbak. Apalagi sekarang ibu lagi ditimpa masalah, aku tidak bisa bahagia ketika ibuku sedang merasakan kesedihan” komentar Kaila. “Anak dari kiai pondokku sedang mencari pasangan hidup. Dia menginginkan istri yang shalihah dan hafal al-Qur`an. Usianya sekitar 27 tahun. Kehidupannya juga sudah mapan. Barangkali siapa tahu Allah melapangkan jalan untuk membantu beban orang tuamu. Anaknya sholih banget Kaila. Dia walaupun anak kiai yang kaya dan terkenal, tapi perilakunya sangat sederhana dan begitu berwibawa. Namun sekali lagi aku tidak maksa, semua keputusan berada di tanganmu” jawab Puspita.
            Setelah satu jam berbicara dengan Puspita, akhirnya tibalah saatnya Kaila undur diri. Ia mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada puspita yang membesarkan hatinya, dan mau meluangkan waktu untuk mendengarkan curahan hatinya. Di sepanjang perjalanan, dia kepikiran dengan tawaran Puspita. Sudah layakkah dirinya menikah? Dirinya sekarang diliputi kebingungan. Di satu sisi ia begitu tidak tega dengan kesedihan yang dialami ibunya, di sisi lain hatinya terketuk –sebagai seorang perempuan yang sudah baligh- untuk menyempurnakan separuh agamanya. Apa lagi yang diberitahukan Puspita adalah laki-laki sholih dan mapan. Keshalihan adalah sebaik-baik bekal bagi terbinanya keluarga sakinah mawaddah wa rahmah(tenang, cinta dan sayang). Dan salah satu yang membuat keluarga menjadi kokoh ialah kemapanan materi. Siapa yang tidak menginginkan laki-laki mapan secara materi?. Hatinya begitu berkecamuk. Semalaman ia tak mengantuk. Tak lupa ia memohon petunjuk, kepada Allah agar ditunjukkan jalan terbaik, untuk diri dan keluarganya. Ia tak mau terjebak dalam ranjau cinta sebagaimana ibunya.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan