Sore hari di Masjid Baitul Arqom
lantunan syahdu ayat-ayat al-Qur`an begitu menggema. Langit yang begitu cerah serta angin yang menghembus halus turut serta membuat suasana tambah ceria dan
penuh sukacita. Anak-anak terlihat padu dan khusyu` belajar membaca al-Qur`an.
Dari raut wajah mereka terpancar aura cahaya kejujuran. Hati-hati yang masih
belum terjamah dosa. Jiwa mereka masih bersih dari berbagai macam khilaf dan dosa.
Mereka ditemani oleh dua orang ustadzah cantik dan berwibawa. Yang satu bernama
Fariha Kaila Ahzana, dan yang satu lagi –yang
sudah tak asing lagi bagi warga perumahan Taman Asri- yaitu Ustadza Puspita Sari(Istri
dari Dino al-Kindi).
Keduanya dikenal sebagai guru yang
mempunyai etos kerja yang tinggi. Semangat dakwah dari keduanya tak perlu
diragukan lagi. Merupakan keberuntungan yang tak terkira bagi warga perumahan
Taman Asri dianugerahi dua orang ustadzah yang hafal al-Qur`an serta berilmu
luas. Dulu sebelum adanya kedua ustadza Kaila dan Puspita, warga perumahan
jarang sekali terlihat ke masjid. Rata-rata beragama Islam, namun Islamnya
hanya sebatas KTP. Kehadiran kedua ustadzah pada awalnya meresahkan hati
mereka, karena mereka sudah terbiasa beragama hanya sekadar simbolis. Lebih
dari itu mereka merasa susah kalau harus menjalankan Islam yang kâffah(secara
menyeluruh). Dengan ketabahan hati dan semangat yang tiada henti dari kedua
ustadzah tadi, mereka pun terketuk pintu hatinya. Hati yang dulunya tandus
kering, kini telah menjadi basah dan sejuk oleh petunjuk ilahi.
Tak seperti biasanya, sore ini Kaila
terlihat sedih. Sejak awal mulai mengajar, Puspita Sari memperhatikan aura
wajah yang sedikit aneh dari diri Kaila. Ia seakan menahan kepedihan, padahal
Kaila yang ia kenal selalu terlihat riang gembira. Apa yang Puspita lihat sore
ini berkaitan dengan Kaila, begitu membuat hatinya dipenuhi tanda tanya. Bukan
hanya Puspita yang merasa aneh dengan kondisi Kaila. Para murid TPQ yang
biasanya selalu terhibur setiap kali diajar Kaila merasa tegang. Sesekali
memang Kaila berusaha mengurai senyum dan mencairkan kekakuannya, namun ia tak
berhasil mencairkan suasana. Sampai-sampai ada salah satu murid yang bertanya: “Maaf
Ustadzah, sampean lagi sakit ya?”. “Tidak anak-anak, ustadza baik-baik
saja,” dengan datar ia menjawabnya.
Karena penasaran dengan sikap Kailah
yang agak aneh, sepulang ngajar Kaila diajak ke rumah Puspita. Puspita yakin
Kaila sedang dilanda masalah serius. Sesampainya di rumah Puspita, dengan agak
menahan kesedihan, akhirnya ia mencurahkan kesedihan hatinya. “Mbak, jujur aku
merasa sedih dan malu. Sebenarnya aku juga tidak kuat untuk menceritakan
masalah keluargaku. Tapi di lain sisi aku ingin mencurahkannya kepada orang yang
aku percayai, supaya kesedihan di hati ini bisa sedikit terobati,” tutur Kaila
memulai. “Iya Kaila, mbak tau kamu lagi sedih. Curahkan saja kesedihanmu,
sebagai sesama saudari semuslim, aku akan berusaha membantu jika memang aku
mampu, kalau aku tidak mampu, nanti aku minta bantuan kepada suamiku,” sambut
Puspita Sari sembari menenangkan hati Kaila.
“Sebagai anak perempuan, aku sangat
sedih mbak. Sampean kenal ayahku `kan? Beliau tanpa sepengetahuan kami telah
menikah lagi. Sebenarnya yang membuat kami sedih bukan terutama pada masalah
nikah. Poligami sebaaimana yang kami ketahui memang dibolehkan asalkan bisa
adil. Lha ayahku mbak, untuk mencukupi kebutuhan keluarga saja masih
tersendat-sendat kok malah menikah lagi. Ibuku sangat benci dipoligami, meski
dia tau kalau itu halal. Ibuku adalah tipe wanita setia. Baginya menikah hanya
sekali dalam seumur hidup. Ia begitu menjaga erat cinta, meski terkadang
caranya menjaga cinta bukan dengan bahasa lembut. Sekarang hatinya terluka
begitu dalam. Ketika ditanya kenapa ayah menikah lagi, dengan enteng dia
menjawab: “Aku ingin mencari istri yang bisa memberiku modal untuk berbisnis. Aku
sudah tidak kuat hidup seperti ini”.
Dua jam lebih Kaila bercerita
mengenai masalah yang sedang menimpanya. Keharmonisan keluarga yang sudah
seperempat abad terjalin, kini terancam hancur. Hati ibunya dipenuhi dilema. Ia
punya prinsip: “Aku tidak mau di madu. Lebih baik aku diceriai, daripada aku
dimadu”. Di sisi lain, ia juga masih cinta dan sayang pada suaminya. Kesedihan
bertambah meningkat ketika terjadi perubahan yang sangat besar pada sikap
ayahnya. Sudah beberapa bulan ia jarang ke rumah. Kaila, ibu beserta
adik-adiknya merasa ayahnya sudah berubah. Perhatiannya tercurah kepada istri
barunya. Rasa sesal selalu menghinggapi sanubari ibunya: “Kenapa aku dulu mau
nikah dengan Mas Sufyan, padahal aku dulu sudah ada yang melamar. Kalau tau
akan seperti ini jadinya, aku tak kan mau menikah dengannya” begitulah ia
berbicara ketika puncak kesedihan tak bisa tertahankan.
Sekarang ibunya semakin kurus. Dandanannya
semakin tak terurus. Ia sudah jarang sekali makan. Nafsu makannya seolah
dikalahkan oleh rasa sakitnya. Hari-harinya dipenuhi dengan lamunan.
Banyang-bayang masa lalu dengan suaminya –meski tak selalu bahagia- begitu menyibukkan
akal dan hatinya. Malam hari tidak bisa tidur. Pagi hari pikiran melayang
kemana-mana ketika sedang sendiri. Mendengar penjelasan Kaila, seketika itu
Puspita tak kuasa menahan air mata. Apa yang diceritakan oleh Kaila
mengingatkannya kepada pamannya yang hobi nikah. Pamannya mempunyai empat
istri. Puspita sebenarnya juga tidak mempermasalahkan hukum poligami, tapi yang
dipermasalahkan ialah sikap dan perilaku pamannya yang tidak bisa adil. Jelas-jelas
sudah tidak bisa menafkahi lahir dan batin, kok berani-beraninya menambah istri
sampai empat. Akibatnya jelas, keluarganya berantakan dan tidak harmonis.
“Kaila, untuk saat ini aku belum bisa
membantu secara maksimal. Sejauh yang bisa kubantu, saat ini ialah membesarkan
hatimu. Aku punya paman yang lebih parah dari ayahmu. Dulunya bibiku ga bisa
menerima perlakuan seperti itu. Sampai-sampai badannya sangat kurus akibat
sering memikirkan paman. Dari pengalaman bibiku mau belajar. Ia sadar bahwa mau
diratapi bagaimanapun, semua telah terjadi. Akhirnya dia fokus kepada anak-anak
dan cucunya. Dia sebenarnya berada dalam dilema juga seperti ibumu. Di satu
sisi dia ga mau dimadu, di sisi lain ia juga tidak mau bercerai, karena masih
sayang pada paman. Akhirnya apa? Ia biarkan saja pamanku apa adanya. Akhirnya
lambat laun perasaan sedih dan sumpek sedikit demi sedikit bisa terkikis,”
ungkap Puspita pada Kaila.
“Terima kasih mbak atas
pencerahannya. Sebagai seorang perempuan aku ga bisa langsung lupa mbak. Terlebih
aku malu dengan warga sekitar. Aku bersama adik-adikku `kan dididik dipondok,
dan meski bukan ustadz ayahku sangat peduli dalam pendidikan keagamaan. Nah
yang membuatku malu ialah, kenapa dia yang mengerti agama bahkan menyekolahkan
anaknya dalam pondok pesantren, malah tidak bisa memberi contoh yang baik bagi
anak-anaknya. Aku merasa malu, karena sekarang ayahku jadi bahan pergunjiangan
dan menjadi buah bibir warga. Secara umum mereka berkomentar sinis: ‘Lha
ya, wong ngerti agama kok kaya` gitu. Mendingan yang ga ngerti agama’.
Aku merasa cinta ibu terpelosok pada ranjau derita. Dulu ia mengiri hubungan
cinta dengan ayah akan baik-baik saja sampai mati, nyatanya cinta terciderai
dengan adanya orang lain, layaknya ranjau yang siap mencelakakan dan
menghancurkan orang yang terperangkap di dalamna” komentar Kaila sambil
mengusap air matanya.
“Sekarang begini ya dik, betapapun
kesedihan meliputi hati keluargamu. Kamu harus tetap terlihat tegar. Ibu dan
adik-adikmu sekarang butuh orang yang bisa membesarkan hatinya. Kesedihan itu
bukan untuk disuburkan dengan kesedihan-kesedihan. Kesedihan perlu ditawarkan
dengan kegembiraan. Caranya supaya tidak tambah parah ya seperti tadi, setiap
kali kamu bertemu ibumu pasanglah wajah gembira, beri dia semangat, yakinkan
bahwa dia tidak sendiri, kamu beserta adikmu akan kompak menjalankan hidup
dengan penuh keyakinan untuk menyongsong masa depan yang cemerlang. Jangan lupa
banyak-banyak berdo`a kepada-Nya. Kamu jangan larut dalam kesedihan. Sebenarnya
aku juga ingin memberitahumu sesuatu, tapi aku rasa belum tepat untuk
diomongkan saat ini” timpal Puspita.
Tiba-tiba Kaila menjadi penasaran
mendengar kata-kata terakhir dari Puspita: “Mbak sampean ngomong saja ga papa. Jangan
bikin Kaila penasarang, pleas pleas ya kak sampaikan saja yah,” pinta
kaila dengan wajah memohon. “Begini Kaila, usiamu `kan sudah dua puluh tahun.
Kamu sudah hafal al-Qur`an. Ilmumu juga lumayan luas, kenapa kamu tidak
menyempurnakan agamamu” sahut Puspita. “Maksud mbak gimana nih? Nikah maksud
mbak? Kayaknya belum kepikir sampai ke situ mbak. Apalagi sekarang ibu lagi
ditimpa masalah, aku tidak bisa bahagia ketika ibuku sedang merasakan kesedihan”
komentar Kaila. “Anak dari kiai pondokku sedang mencari pasangan hidup. Dia
menginginkan istri yang shalihah dan hafal al-Qur`an. Usianya sekitar 27 tahun.
Kehidupannya juga sudah mapan. Barangkali siapa tahu Allah melapangkan jalan
untuk membantu beban orang tuamu. Anaknya sholih banget Kaila. Dia walaupun
anak kiai yang kaya dan terkenal, tapi perilakunya sangat sederhana dan begitu
berwibawa. Namun sekali lagi aku tidak maksa, semua keputusan berada di
tanganmu” jawab Puspita.
Setelah satu jam berbicara dengan
Puspita, akhirnya tibalah saatnya Kaila undur diri. Ia mengucapkan
banyak-banyak terimakasih kepada puspita yang membesarkan hatinya, dan mau
meluangkan waktu untuk mendengarkan curahan hatinya. Di sepanjang perjalanan,
dia kepikiran dengan tawaran Puspita. Sudah layakkah dirinya menikah? Dirinya sekarang
diliputi kebingungan. Di satu sisi ia begitu tidak tega dengan kesedihan yang dialami
ibunya, di sisi lain hatinya terketuk –sebagai seorang perempuan yang sudah
baligh- untuk menyempurnakan separuh agamanya. Apa lagi yang diberitahukan
Puspita adalah laki-laki sholih dan mapan. Keshalihan adalah sebaik-baik bekal
bagi terbinanya keluarga sakinah mawaddah wa rahmah(tenang, cinta dan
sayang). Dan salah satu yang membuat keluarga menjadi kokoh ialah kemapanan
materi. Siapa yang tidak menginginkan laki-laki mapan secara materi?. Hatinya
begitu berkecamuk. Semalaman ia tak mengantuk. Tak lupa ia memohon petunjuk,
kepada Allah agar ditunjukkan jalan terbaik, untuk diri dan keluarganya. Ia tak
mau terjebak dalam ranjau cinta sebagaimana ibunya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !