Home » » Logika Problematis Pejuang Feminis

Logika Problematis Pejuang Feminis

Written By Amoe Hirata on Senin, 01 September 2014 | 23.14


            Diantara sekian banyak paham yang menyebar luas di era kontemporer ialah tentang masalah feminisme. Ada beberapa kata yang bisa dikatakan sebagai ‘saudara kandung’ dari kata feminis yang berasal dari Barat seperti: kesetaraan gender, dan emansipasi wanita.Sebenarnya di Barat sendiri dilihat secara historis paham-paham yang sedang tren ini timbul tidak lepas dari ‘rasa trauma’ para wanita Barat yang diperlakukan secara tidak manusiawi baik oleh penguasa maupun pemuka agama di gereja melalui inkuisisi dan lain sebagainya. ‘Trauma sejarah’ yang dirasakan oleh kebanyakan wanita Barat pada abad kegelapan(dark ages) dan abad pertengahan(middle ages) inilah yang pada masa baik modern maupun post-modern berusah disebarluaskan kesegenap negara yang ada di dunia.
Yang menjadi masalah kemudian, paham yang diimpor dari Barat ini, rupanya mewabah di kalangan umat Islam. Ramailah dialog-dialog yang berkaitan dengan tema feminisme yang obyek utamanya adalah wanita. Banyak para intelektual muslim yang turut serta meramaikan dialog itu dengan cara menulis di media masa atau dengan menulis buku secara khusus. Banyak pula wanita muslimah yang terbujuk hingga rela memperjuangkannya dalam bentuk gerakan. Mereka secara berani menggugat ajaran-ajaran agama yang sifatnya permanen, dengan argumentasi-argumentasi yang disesuaikan dengan konteks yang ada sesuai dengan sosio-kultural. Wacana yang diangkat terdengar menarik, tetapi ketika diteliti ternyata tidak otentik. Seolah-olah memperjuangkan wanita, sejatinya memasung kodratnya.
            Syubhat yang diperjuangkan oleh kaum feminis –yang menurut mereka bertentangan dengan doktrin agama Islam- biasanya mengenai masalah: pembagian waris antara pria dan wanita yang dinilai tidak adil lantaran satu banding dua, adanya ayat dan hadits misoginis(yang membenci wanita) seperti mengenai derajat wanita lebih rendah dari laki-laki, laknat malaikat terhadap istri yang tidak mau melayani(berhubungan  intim)suami, kekerasan rumah tangga (dalam hal ini legalitas pemukulan) yang diilhami oleh ayat tentang nusyûz(Qs. An-Nisa: 34), kepemimpinan wanita dan lain sebagainya. Menurut logika yang mereka pegang segala ajaran dalam Islam yang menyalahi kepentingan wanita –tentu saja sesuai dengan versi cara pandang mereka-, maka ayat itu harus ditafsirkan secara kontekstual atau kalau tidak bisa maka ditolak sama sekali dan diragukan keotentikannya sebagai dalil. Atas dasar logika yang rancu ini, mereka melatari segenap perjuangan mereka. Akibat yang paling fatal ialah doktrin agama yang sudah tegas, ditolak dengan ganas. Dalil-dalil yang sudah qath`i(tetap), diplintir sesuka hati.
            Ide feminisme lahir tentu saja berasal dari logika yang dilatari kenyataan sejarah. Untuk mengetahui letak kerancuan logika yang probelematis itu -ketika dipaksakan dalam memahami teks agama Islam-, kita perlu mengambil salah satu syubhat yang didengungkan kemudian menakar dan menimbang apakah argumen yang dibangun berdasarkan logika yang jelas, atau malah problematis. Misal saja kita mengambil syubhat tentang penyamaan antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspeknya, yang berimplikasi pada penolakan ayat tentang hak waris. Untuk menimbang kekuatan dari statemen itu kita perlu menanyakan lebih dalam mengenai kekuatan argumen yang melandasinya. Bila ternyata argumennya dibangun berdasarkan pada dalil yang tidak ilmiah dan logis, bahkan memaksakan sesuatu sesuai dengan kemauan pribadi tanpa mengindahkan asas berpikir ilmiah, berarti idenya problematis, dan tentunya tidak bisa diterima.
Kalau memang wanita dan laki-laki sama, lalu mengapa secara biologis –sejak awal- berbeda? Kalau mau menafsirkan teks agama, apa bisa disebut logis dan ilmiah jika menggunakan metodologi tafsir yang ternyata bertentangan dengan agama? Bisakah panduan mesin pesawat digunakan untuk menjalankan dan merawat mesik kapal? Kalau kita marah pada seseorang, apakah kita dibenarkan melampiaskan kemarahan pada orang yang tidak salah? Ditambah lagi dengan fakta di lapangan yang menjelaskan bahwa ternyata persamaan yang diperjuangkan hanya menyangkut sesuatu yang menguntungkan menurut mereka. Ayat dicomot sedemikian rupa, dengan merubah interpretasi dan makna aslinya. Bila demi kepentingan kemudian dengan sengaja memanipulasi interpretasi dalil, apakah ini bisa dibenarkan? Dari sini kita bisa menilai betapa problematisnya logika berpikir yang diterapkan oleh pejuang feminis.
            Bila kita mau jujur memperlakukan teks agama Islam –yang dalam hal ini yang diserang adalah al-Qur`an mengenai hak waris-, maka untuk menafsirkannya tentunya dengan menggunakan metodologi ahli tafsir yang mempunyai otoritas di dalamnya. Merupakan tindakan yang tidak ilmiah jika memaksa memaknai teks agama dengan metodologi yang sama sekali berbeda dan bertentangan dengan agama. Kalau memang pembagian hak waris itu dianggap tidak adil lantaran satu banding dua, yang perlu diselesaikan terlebih dahulu ialah definisi adil. Apakah adil meski sama rata? Apakah bisa disebut adil jika menyamakan uang saku anak kuliah dengan uang saku anak TK? Justru pembagian satu banding dua itu menggambarkan keadilan yang sudah benar dan tidak perlu diperdebatkan lagi kalau benar-benar memahami pesan yang terkandung di dalamnya. Logikanya laki-laki dapat dua, tapi dia masih mempunyai tanggungan untuk menafkahi istri; sedangkan perempuan dapat satu tapi nanti ia mendapat nafkah dari suami, apakah pembagian seperti ini masih dikatakan sebagai pembagian yang tidak adil?.
Bila sejak awal logika yang menjadi asas berpikir sudah problematis, maka kesimpulan yang didapat juga akan problematis. Mereka berjuang atas kepentingan hawa, kemudian marasionalisasikan asumsi dengan merusak tafsir agama.  Mereka adalah orang yang rugi, sebagaimana surat al-Kahfi ayat 103-104: “Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?(103)Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya(104). Di sini Allah ta`ala memberitahukan orang yang paling rugi. Kata kuncinya ialah: mereka merasa beramal, berjuang, tetapi amalannya sia-sia, parahnya dengan PD-nya merasa bahwa apa yang diperjuangkan adalah perbuatan yang baik, dan demi kepentingan bersama.

Siman, ISID 01 September 2014/12:10
Share this article :

3 komentar:

  1. teori adil 50/50 sendiri sebenarnya banyak dikritik orang bule .. E. Wolgast, John Rawls dkk,, di bukunya bu Ratna Megawangi pak,, hehe..

    BalasHapus

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan