“Hanya dengan bahasa tangis, aku mampu menepis. Duka-lara yang sekarang mendera. Hati ini sedang terkikis. Oleh janji, yang tak pernah ditepati. Sedang diri, setia menanti. Oleh harapan yang begitu menjulang tinggi, tanpa pernah terbukti. Hatiku dipenuhi lamunan, tanpa ada kepastian; dipenuhi angan, tanpa ada pembuktian. Padahal bagiku, ia adalah sosok ikhwan shalih, tapi ternyata aku salah pilih. Padahal bagiku ia calon imam sejati, ternyata aku salah mengerti.” Begitulah ungkapan Shania, sang aktivis Muslimah, yang sedang patah hati. Sayap hatinya patah, sehingga hatinya sekarang rentan. Rapuh dalam ketidakpastian.
Ibunya –Siti Maimunah- yang penuh kasih dan sayang, tak tinggal diam. Ia berusaha menguatkan hati putri tersayang. “Wahai ananda! Kau masih terlalu muda, untuk mampu membedakan antara madu dan cuka. Tak semua yang terlihat baik, berbanding lurus dengan hati apik. Terkadang engkau lihat buah mangga pada musim penghujan. Mukanya sungguh menawan, sedangkan di dalamnya terjadi pembusukan. Barangkali, lelaki shalih yang telah menyakiti hatimu, laiknya buah mangga yang tumbuh di musim penghujan. Kalau itu yang terjadi, kamu tinggal menunggu, musim panas menghampiri. Sebab mangga di musim panas, terasa manis dan puas”.
“Ibu bukan sok tahu. Namun, perjalanan cinta telah menempa. Hati ibu yang dipersembahkan untuk ayah. Dulu ibu mengira, ayahmu adalah orang biasa. Karena dari tampang, sangat susah untuk dijuang. Dari aura wajah, sangat susah untuk dikerah. Persis seperti ketika masih pada usia sepertimu, ibu memiliki banyak fantasi cinta. Kala itu, laki-laki ideal adalah laki-laki yang: romantis, puitis, perhatian, bertampang shalih. Namun perjalanan cinta memberikan pelajaran berharga, bahwa: romantika, tanpa kepribadian kuat, hanya fatamorgana. Puitis, tapi tak realistis, hanya butiran debu yang dihempas angin. Perhatian yang tak berasas keseriusan, hanya buih dihempas ombak. Shalih sejatinya bukan bermuara pada tampang, karena bentuk lahir bisa dipalsu.
“Ananda! Coba sejenak kamu berselancar. Pada lembaran kisah al-Qur`an. Di sana pasti kamu dapati, ciri-ciri lelaki idaman. Kamu bisa membaca kisah Nabi Yusuf. Dengan ketampanan luar biasa, tak membuatnya lupa diri. Ia bertumbuh dilingkungan istana, segalanya sudah terpenuhi, tapi ketika dirayu oleh Sang Ratu, untuk mengugurkan harga dirinya, ia tak mau. Ia lebih memilih Allah di atas segalanya. Kamu juga bisa membaca kisah Nabi Musa, yang tidak tampan, bahkan kurang lancar berbicara. Namun Nabi Syu`aib, justru memilihnya menjadi menantu”.
“Secara fisik(ketampanan wajah), memang Yusuf dan Musa tak berbanding. Namun keduanya bisa bertemu, pada dua sifat mendasar: kuat dan amanah. Carilah suami yang kuat dan amanah. Kekuatan tanpa amanah, maka hanyalah tirani. Amanah tanpa kekuatan, hanya menjadi romantisme yang tak mungkin dilaksanakan. Keduanya saling berkaitan. Tak kan pernah dilepaskan. Mulai sekarang, jangan mudah tertipu dengan janji-janji indah, tanpa bukti. Cinta sejati adalah cinta yang dibangun di atas landasan syar`i. Cinta yang beriring keseriusan, sehingga menuju ke pelaminan. Bukan cinta kebanyakan, begitu melenakan(indah memesona), tapi berujung kesengsarakan.” Pungkasnya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !