Bila Allah ta`ala memberi kesempatan pada saudara untuk mendapat keberuntungan, lantas keberuntungan apa yang tergambar di benak saudara? Keberuntungan apa yang saudara bayangkan ketika mendapat kesempatan emas ini? Keberuntungan apa yang hendak dimohon pada Allah subhaanahu wa ta`aala? Apa saudarai ingin kaya raya? Ingin wanita cantik? Ingin tahta? Ingin jabatan? Ingin pintar? Ingin terkenal? atau tak ingin sama sekali. Konsep kita mengenai pengertian keberuntungan akan mempengaruhi sikap dan aksi kita dalam mengusahakannya. Orang yang didominasi oleh pemikiran materialistik mempersepsikan keberuntungan hanya sekadar materi belaka; yang untung ialah yang punya harta banyak, isteri cantik, jabatan tinggi, dan berbagai atribut materi lainnya. Sedangkan orang yang didominasi oleh pemikiran Islam mempersepsikan keberuntungan yang terutama bukan sekadar keberuntungan materil, kebuntungan yang diinginkan adalah keberuntungan lintas dimensi. Keberuntungan yang dapat mengantarkannya menuju keberuntungan akhirat. Sehingga keberuntungan material duniawi yang tak bisa mengantarkannya pada keberuntungan akhirat, maka hal itu adalah keberuntungan semu dan palsu. Sebagaimana manusia biasa pada umumnya, orang tipe ini bukan berarti tak suka atau sama sekali membuang materi. Materi digunakan sedemikian rupa untuk memudahkan jalannya pada keberuntungan abadi menuju akhirat.
Fenomena semacam ini akan sangat mudah kita jumpai dalam lembaran sejarah para sahabat Nabi Muhammad shallallahu`alaihi wasallam. Mari kita baca salah satu perkataan sahabat berikut ini: “Demi Allah aku beruntung”. Ucapan ini keluar dari bibir seorang sahabat mulia yang bernama Haram bin Milhan. Kata-kata ini keluar bukan karena telah mendapat untung besar ketika berdagang, bukan karena mendapatkan isteri cantik jelita, bukan karena mendapat anugerah harta yang begitu besar. Sama sekali tidak berhubungan dengan yang demikian itu. Kata-kata ini justru keluar di saat-saat kritisnya. Kata-kata ini keluar di saat ajal hendak tiba. Kata-kata ini keluar ketika ia ditikam dari belakang oleh Jabbar bin Silmi hingga tembus ke dadanya. Bayangkan! Di saat yang genting dan kritis seperti ini, beliau sempat mengucapkan kata-kata yang mencengangkan itu. Ini berkaitan dengan peristiwa penting mengenai 70 sahabat ahli Qur`an yang di utus untuk berdakwah ke Najad bersama Aamir bin Malik – pemuka kabilah Amir- sampai terjadinya pembunuhan masal di Bi`ru Ma`unah. Tidak ada yang selamat dalam pembunuhan masal ini, kecuali sahabat yang bernama Ka`ab bin Zaid yang meninggal setahun setelah peristiwa itu di pertempuran Khandaq.
Ketika sampai di Bi`ru Ma`unah para sahabat berkemah di sana, kemudian mengutus Haram bin Milhan untuk berdakwah pada Amir bin Thufail – keponakan dari Amir bin Malik- Keponakan Amir bin Malik ini terkenal jahat, licik dan suka berkhianat. Apa yang terjadi kemudian? Yang terjadi bukan disambut dengan baik malah, orang jahat ini menyuruh salah satu pembesarnya yang bernama Jabbar bin Silmi untuk membunuh Haram bin Milhan dari belakang. Diambillah satu tombak besar kemudian ditikamkan pada punggung Haram bin Milhan hingga tembus ke depan dadanya. Reaksi Haram bin Milhan sungguh membingungkan Jabbar Sang pembunuhnya. Pasalnya, ketika sudah jelas-jelas hidupnya sangat kritis, Haram bin Milhan bukan malah bersedih tapi mengucapkan dengan mimik muka bahagia: Demi Allah aku beruntung. Jabbar tidak habis pikir melihat kejadian ini. Menurutnya apa untungnya mati. Bukankah kematian adalah akhir dari segalanya. Ini menurut pemahamannya. Rasa penasaran inilah nanti yang membimbingnya menuju petunjuk Allah yaitu Islam. Ia menemukan kenyataan penting bahwa salah satu kata kunci yang bisa menjelaskan kata-kata Haram bin Milhan ialah anugerah syahid. Ya, Haram bin Milhan merasa beruntung karena tiada terkira karena telah syahid di jalan Allah. Ia telah beruntung karena sudah pindah dari dunia yang semu dan sementara menuju akhirat yang hakiki dan abadi. Ia merasa bahagia karena idealismenya selama ini mendapatkan ridha ilahi benar-benar terwujud. Ungkapan Haram bin Milhan yang diabadikan sejarah ini bukan saja membuat dirinya untung secara pribadi, bahkan mengantarkan pembunuhnya yang bernama Jabbar bin Silmi menuju petunjuk Allah subahanahu wata`ala.
Peristiwa yang menarik dan mencengangkan ini memberikan pelajaran berharga pada kita mengenai makna keberuntungan. Keberuntungan ialah kebahagian yang dicapai seseorang berupa ridha Allah subhanahu wata`ala. Untuk menggapai keridaan-Nya memang dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Mungkin nanti harta akan habis, mungkin nanti aka mendapat kesusahan yang luar biasa, dan mungkin nanti pada puncaknya nyawa yang akan dipertaruhkan. Keberuntungan seperti ini adalah keberuntungan di atas keberuntungan. Keberuntungan yang tidak terpaku pada keberuntungan materil; keberuntungan yang mengantarkan hamba kepada Tuhannya. Coba peristiwa ini dijadikan semacam cermin persepsi kita mengenai keberuntungan. Sudahkah sama atau mirip makna keberuntungan yang kita persepsikan dengan keberuntungan yang dipersepsikan oleh Haram bin Milhan? Kalau dunia lebih mendominasi alam pikiran kita maka cerminan yang dihasilkan bukan saja berbeda dengan cerminan Haram bin Milhan bahkan sama sekali bertentangan. Keberuntungan yang dipersepsikan dan dicapai Haram bin Milhan adalah keberuntungan yang mengharuskan orang memiliki semangat perjuangan dan pengorbanan. Keberuntungan yang dibangun bukan atas landasan egoisme materil, tetapi keberuntungan yang dilandasi oleh kepentingan sosial-umat. Ia syahid ketika menjalankan misi dakwah. Dan sejarah mengabadikannya dengan tinta emas yang akan menjadikannya teladan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan keberuntungan sejati.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !