Pertama kali aku datang ke
Indonesia, ke kampung halaman, terjadi banyak perubahan besar. Dari gaya
bicara, life still, pergaulan, hingga ke pandangan hidup. Kaula muda
sebagai representasi bagi masa depan desa, sudah merasa ‘modern’. Masing-masing
sudah ‘bersepakat’ atau mau tidak mau ‘menyepakati’-karena pengaruh media serta
lingkungan- untuk menggunakan bahasa gaul. Kalau dulu yang ku tau hanya beberapa
kata berupa: lo, gue, jutek, kuper, kupeng, boring, jablay, rules, sob, brow, meneketehe`,
prikitiew, katrok, ortu, bokap, nyokap, getho lho, ndesit dan lain sebagainya.
Maka ketika aku datang sudah banyak yang tidak aku mengerti diantaranya: gokil,
terus aku harus bilang wow gitu, ciyus miyapa, kamsudnya, kepo, alay,
lebay, lahacia, eaa, enelan, akooh, maacih, macama, macapah, binun, amaca cih,
cemungudh, mager, peres, kicep, bais, lo gue end, afgan, yalsi, moge, narsis,
galau, jayus, gayus, cumi, dan lain sebagainya. Pernah ketika aku sedang
main-main kerumah saudara, ketika aku sedang enak-enak ngomong, tiba-tiba ia
ngomong: ciyus miyapa, emang aku harus bilang wow gitu. Karena ga tau,
akhirnya ku coba browsing-browsing diinternet arti-arti dari tiap-tiap
kata yang aku dengar. Setelah aku tau, aku merasa, dari dulu sampei sekarang,
bahasa gaul memang terhindar sama sekali dari keseriusan, tidak ada kepakeman,
yang sudah mapan dibolak-balik sedemikian rupa, yang penting akrab, enjoy,
nyaman dalam berkomunikasi. Kepakeman, kesaklekan, keseriusan seolah menjadi
pantangannya. Dalam batas-batas tertentu memang ketidakseriusan memang
dibutuhkan, dalam konteks relaksasi dan menghibur diri. Masalahnya ketika
ketidakseriusan sudah merambah tak terbatas ke segenap lapisan masarakat dan
dalam semua segmen kehidupan.
Sebagai gejala sosial, banyak
kemungkinan yang diasumsikan melatari tumbuh-berkembangnya bahasa-bahasa gaul
ini. Dari sisi sosial masyarakat desa misalkan, gampang terpengaruh dengan
hal-hal yang baru, yang masyhur itulah yang harus ditiru tanpa reserve.
Yang tak mau ngikut perkembangan akan ke-glindes (terlindas) roda
zaman. Di sisi lain, peran media juga berperan besar dalam menciptaka
‘popularitas kata’ sehingga menjadi booming ke masyarakat luas. Apa lagi
standart kemajuan dan kemodernan, sudah mengalami penyempitan makna. Yang
modern ya yang gaul, yang modern ya yang ngikut gaya di teve. Gaya alay,
gaya lebay seolah menjadi makanan pokok sehari-hari. Kemudian secara individu,
kemungkinan tersebut bisa terjadi akibat melemahnya daya kontrol akal untuk
mengkritisi setiap gejala yang berkembang. Nilai-nilai agama dan budi-luhur
kemasyarakatan sudah tidak mempunyai peran yang signifikan. Sebenarnya sebagai
gejala sosial yang cendrung menjadi budaya, fenomena ini bisa dikontrol
sedemikian rupa jika tumbuh kesadaran sosial untuk mengkritisi dan memperlakukannya
secara wajar dan berlebihan. Namun sekali lagi, kenyataan berkata lain,
fenomena ini berkembang dengan begitu dahsyatnya. Dari anak kecil hingga
dewasa; cowok hingga cewek; rakyat hingga pejabat. Sungguh sangat ironis jika
fenomena ini begitu berkembang pesat tanpa terbendung. Dampak paling nyata yang
bisa dirasakan secara langsung ialah: melunturnya budaya sopan-santun di
kalangan remaja. Coba bayangkan misalnya ada orang tua menyuruh anaknya: Nak
tolong belikan beras! Si anak langsung nyahuti: Ciyus miyapa, masak aku
harus bilang wow gitu. Bukankah ini kurang ajar kalau ditinjau dari
kesopansantunan anak pada orang tua.
Bagaimanapun juga memang para pemuda
merupakan aset yang begitu berharga. Masa depan suatu komunitas bisa dilihat
dari para pemuda. Coba bayangkan jika yang tumbuh berkembang adalah generasi
lebay, alay, dan tidak serius, apa akan lahir capaian-capain positif bagi
kehidupan komunitas. Bayangkan jika nanti beberapa tahun ke depan budaya ini
sudah menjadi karakter: anak alay, orang tua alay, guru alay, dokter alay,
mahasiswa alay, dosen alay, pejabat alay, bahkan presiden alay, apa jadinya
nanti negara ini. Alay memproduksi hati lalai. Karena tabiatnya yang tak
serius, maka memungkinkan hati lalai, dan lupa. Kita memang tidak boleh pesimis
dan frustasi menghadapi gejala ini. Sebagai sebuah potensi, gaya alay bila
ditempatkan pada waktu yang tepat dan proporsional maka akan menjadi energi
internal positif yang mampu menghadapi setiap kendala-kendala internal
psikologis. Cuman memang dibutuhkan kesadaran kolektif untuk mengubahnya
menjadi energi positif. Perubahan hanya mungkin terjadi jika ada sekelompok
orang yang dengan sadar peduli untuk mengubah keburukan menjadi kebaikan. Kalau
tidak, jangan nelongso ketika suatu saat kita jadi guru, orang tua,
atasan, pejabat, bos, tiba-tiba ketika menyuruh anak, anak didik, dan anak buah
dengan sangat tidak serius, dijawab: eaaa....ciyus mi yapa, emang aku harus
bilang wow gitu. Ironisnya itu merambah ke segenap lapisan.
makasih atas infonya sangat membantu, dan jangan lupa kunjungi website kami http://bit.ly/2CNOHb3
BalasHapus