Home » » Generasi Alay bin Lebay

Generasi Alay bin Lebay

Written By Amoe Hirata on Senin, 09 Februari 2015 | 02.30

              Pertama kali aku datang ke Indonesia, ke kampung halaman, terjadi banyak perubahan besar. Dari gaya bicara, life still, pergaulan, hingga ke pandangan hidup. Kaula muda sebagai representasi bagi masa depan desa, sudah merasa ‘modern’. Masing-masing sudah ‘bersepakat’ atau mau tidak mau ‘menyepakati’-karena pengaruh media serta lingkungan- untuk menggunakan bahasa gaul. Kalau dulu yang ku tau hanya beberapa kata berupa: lo, gue, jutek, kuper, kupeng, boring, jablay, rules, sob, brow, meneketehe`, prikitiew, katrok, ortu, bokap, nyokap, getho lho, ndesit dan lain sebagainya. Maka ketika aku datang sudah banyak yang tidak aku mengerti diantaranya: gokil, terus aku harus bilang wow gitu, ciyus miyapa, kamsudnya, kepo, alay, lebay, lahacia, eaa, enelan, akooh, maacih, macama, macapah, binun, amaca cih, cemungudh, mager, peres, kicep, bais, lo gue end, afgan, yalsi, moge, narsis, galau, jayus, gayus, cumi, dan lain sebagainya. Pernah ketika aku sedang main-main kerumah saudara, ketika aku sedang enak-enak ngomong, tiba-tiba ia ngomong: ciyus miyapa, emang aku harus bilang wow gitu. Karena ga tau, akhirnya ku coba browsing-browsing diinternet arti-arti dari tiap-tiap kata yang aku dengar. Setelah aku tau, aku merasa, dari dulu sampei sekarang, bahasa gaul memang terhindar sama sekali dari keseriusan, tidak ada kepakeman, yang sudah mapan dibolak-balik sedemikian rupa, yang penting akrab, enjoy, nyaman dalam berkomunikasi. Kepakeman, kesaklekan, keseriusan seolah menjadi pantangannya. Dalam batas-batas tertentu memang ketidakseriusan memang dibutuhkan, dalam konteks relaksasi dan menghibur diri. Masalahnya ketika ketidakseriusan sudah merambah tak terbatas ke segenap lapisan masarakat dan dalam semua segmen kehidupan.
            Sebagai gejala sosial, banyak kemungkinan yang diasumsikan melatari tumbuh-berkembangnya bahasa-bahasa gaul ini. Dari sisi sosial masyarakat desa misalkan, gampang terpengaruh dengan hal-hal yang baru, yang masyhur itulah yang harus ditiru tanpa reserve. Yang tak mau ngikut perkembangan akan ke-glindes (terlindas) roda zaman. Di sisi lain, peran media juga berperan besar dalam menciptaka ‘popularitas kata’ sehingga menjadi booming ke masyarakat luas. Apa lagi standart kemajuan dan kemodernan, sudah mengalami penyempitan makna. Yang modern ya yang gaul, yang modern ya yang ngikut gaya di teve. Gaya alay, gaya lebay seolah menjadi makanan pokok sehari-hari. Kemudian secara individu, kemungkinan tersebut bisa terjadi akibat melemahnya daya kontrol akal untuk mengkritisi setiap gejala yang berkembang. Nilai-nilai agama dan budi-luhur kemasyarakatan sudah tidak mempunyai peran yang signifikan. Sebenarnya sebagai gejala sosial yang cendrung menjadi budaya, fenomena ini bisa dikontrol sedemikian rupa jika tumbuh kesadaran sosial untuk mengkritisi dan memperlakukannya secara wajar dan berlebihan. Namun sekali lagi, kenyataan berkata lain, fenomena ini berkembang dengan begitu dahsyatnya. Dari anak kecil hingga dewasa; cowok hingga cewek; rakyat hingga pejabat. Sungguh sangat ironis jika fenomena ini begitu berkembang pesat tanpa terbendung. Dampak paling nyata yang bisa dirasakan secara langsung ialah: melunturnya budaya sopan-santun di kalangan remaja. Coba bayangkan misalnya ada orang tua menyuruh anaknya: Nak tolong belikan beras! Si anak langsung nyahuti: Ciyus miyapa, masak aku harus bilang wow gitu. Bukankah ini kurang ajar kalau ditinjau dari kesopansantunan anak pada orang tua.
            Bagaimanapun juga memang para pemuda merupakan aset yang begitu berharga. Masa depan suatu komunitas bisa dilihat dari para pemuda. Coba bayangkan jika yang tumbuh berkembang adalah generasi lebay, alay, dan tidak serius, apa akan lahir capaian-capain positif bagi kehidupan komunitas. Bayangkan jika nanti beberapa tahun ke depan budaya ini sudah menjadi karakter: anak alay, orang tua alay, guru alay, dokter alay, mahasiswa alay, dosen alay, pejabat alay, bahkan presiden alay, apa jadinya nanti negara ini. Alay memproduksi hati lalai. Karena tabiatnya yang tak serius, maka memungkinkan hati lalai, dan lupa. Kita memang tidak boleh pesimis dan frustasi menghadapi gejala ini. Sebagai sebuah potensi, gaya alay bila ditempatkan pada waktu yang tepat dan proporsional maka akan menjadi energi internal positif yang mampu menghadapi setiap kendala-kendala internal psikologis. Cuman memang dibutuhkan kesadaran kolektif untuk mengubahnya menjadi energi positif. Perubahan hanya mungkin terjadi jika ada sekelompok orang yang dengan sadar peduli untuk mengubah keburukan menjadi kebaikan. Kalau tidak, jangan nelongso ketika suatu saat kita jadi guru, orang tua, atasan, pejabat, bos, tiba-tiba ketika menyuruh anak, anak didik, dan anak buah dengan sangat tidak serius, dijawab: eaaa....ciyus mi yapa, emang aku harus bilang wow gitu. Ironisnya itu merambah ke segenap lapisan.
Share this article :

1 komentar:

  1. makasih atas infonya sangat membantu, dan jangan lupa kunjungi website kami http://bit.ly/2CNOHb3

    BalasHapus

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan