Dalam khazanah hadits Rasulullah shallalâhu `alaihi wasallam ada satu hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang berbunyi demikian: man yuridillâhu bihi khairan yufaqqihhu fiddîn(barang siapa dikehendaki Allah mendapat kebaikan, maka ia akan difahamkan dalam urusan agama). Dalam istilah ilmu Fiqh, orang yang faham tentang agama disebut fâqih (ahli hukum). Kandungan hadits itu sangat jelas: Orang yang faham hukum agama, maka secara otomatis sebenarnya telah dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan. Hadits tersebut secara garis besar membicarakan kemuliaan orang yang memahami hukum agama. Yang menjadi pertanyaan mendasar ialah: apakah kebaikan di sini sifatnya umum? Dalam arti, apakah setiap orang yang faham hukum agama sudah bisa dipastikan bahwa seluruh tingkah lakunya pasti baik? Apakah kepahaman hukum berjalinkelindan dengan segenap tingkah dan laku? Apakah orang yang mengerti pasti mengamalkan? Apakah orang yang faham pasti beramal?.
Kalau kita jeli dan cermat saat membaca semangat inti dari hadits itu, maka kita akan mendapatkan kesimpulan, ‘orang yang paham hukum agama, memang dikehandaki oleh Allah mendapat kebaikan, tapi tak berhenti sampai di situ. Meskipun paham hukum, jika hukum hanya dijadikan teori keilmuan, tidak pernah benar-benar dijalankan dan ditegakkan, maka paham hukum agama malah akan membuat seangsara diri dan orang lain’. Realita membuktikan, bahwa banyaknya orang yang faham hukum agama, tidak berbanding lurus dengan kebaikan sikap dan laku. Sehingga faham hukum agama saja tidak cukup untuk membuat orang menjadi baik. Makanya tidak mengherankan jika misalkan terdapat kesenjangan yang serius pada kenyatannya antara Islam sebagai agama dan muslim sebagai pemeluk agama. Kebaikan itu sifatnya bukan paten atau tetap (konstan), tetapi bersifat dinamis (bergerak), selama orang masih hidup, maka tidak ada kata berhenti untuk berusaha menjadi baik, kebaikan baru paten jika empunya kebaikan sudah kembali ke haribaan Tuhannya.
Kalau kita jeli dan cermat saat membaca semangat inti dari hadits itu, maka kita akan mendapatkan kesimpulan, ‘orang yang paham hukum agama, memang dikehandaki oleh Allah mendapat kebaikan, tapi tak berhenti sampai di situ. Meskipun paham hukum, jika hukum hanya dijadikan teori keilmuan, tidak pernah benar-benar dijalankan dan ditegakkan, maka paham hukum agama malah akan membuat seangsara diri dan orang lain’. Realita membuktikan, bahwa banyaknya orang yang faham hukum agama, tidak berbanding lurus dengan kebaikan sikap dan laku. Sehingga faham hukum agama saja tidak cukup untuk membuat orang menjadi baik. Makanya tidak mengherankan jika misalkan terdapat kesenjangan yang serius pada kenyatannya antara Islam sebagai agama dan muslim sebagai pemeluk agama. Kebaikan itu sifatnya bukan paten atau tetap (konstan), tetapi bersifat dinamis (bergerak), selama orang masih hidup, maka tidak ada kata berhenti untuk berusaha menjadi baik, kebaikan baru paten jika empunya kebaikan sudah kembali ke haribaan Tuhannya.
Selanjutnya,
kita bisa bertanya lebih dalam lagi: apakah faham hukum agama dan
mengamalkannya itu saja sudah cukup untuk membuat orang baik? Ternyata masih
belum cukup. Ada beberapa faktor lagi yang perlu dipenuhi misalkan: keikhlasan,
cara penyampaian atau mengajarkannya
kepada orang lain yang belum mengerti. Nah, dalam hal penyampaian dan
pengajaran inilah secara umum banyak dai-dai yang mengatasnamakan kelompoknya
berjuang di bawah naungan panji-panji
Islam berdasarkan al-Qur`an dan Hadits kurang santun dan bijak dalam
mengajarkan, menyampaikan, dan menyikapi orang yang belum benar-benar mengerti
tentang hukum Islam. Ini berkaitan erat dengan metode penyampaian dan
penyikapan dakwah. Bila hukum agama meskipun baik dan benar, tetapi tidak
disampaikan dan diajarkan dengan cara yang bijak dan santun maka, hanya akan
membuat hukum agama semakin dibenci. Jadi sekali lagi kebenaran dan kebaikan
juga membutuhkan cara penyikapan dan penyampaian yang baik. Orang yang ahli
hukum, tetapi hanya sebatas keahlian, dan digunakan untuk menghakimi orang
dengan cara yang tak santun maka hanya akan mencoreng hukum Islam. Padahal da`i
itu tugasnya bukan menghukumi, tetapi mengajak dengan cara yang baik, santun
dan sebijak-bijaknya. Realitanya banyak yang ahli hukum, tapi tidak santun.
Dalam
sejarah emas kehidupan sahabat Nabi Muhammad shallalâhu `alaihi wasallam
ada pelajaran berharga yang berkaitan dengan tema di atas. Anda tentu tak asing
dengan nama sahabat agung bernama Mu`adz bin Jabal. Seorang sahabat yang luas
ilmu, dermawan, qâri`(ahli dalam masalah al-Qur`an)handal, mujahid sejati, sahabat yang pernah diberi
komentar Rasulullah: Demi Allah wahai Mu`adz sungguh aku mencintaimu, demi
Allah ya Mu`ad sungguh aku mencintaimu (Hr. Abu Daud, Nasa`i dan Hakim), dan
digambarkan oleh Rasulullah shallalâhu `alaihi wasallam sebagai orang
yang paling mengetahui hukum halal dan haram pada umat Islam. Anas bin Malik radhiyallâhu
`anhu pernah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallalâhu `alaihi
wasallam bersabda: orang yang paling pengasihsayang pada umat ini di antara umatku ialah Abu Bakar, dan yang
paling gigih dan tegas dalam menjaga agama Allah adalah Umar, dan yang paling
pemalu(secara benar) adalah Utsman bin `Affân, dan yang paling alim(faham)
mengenai hukum halal dan haram adalah Mu`adz bin Jabal....[H.r. Ahmad, Tirmidzi, dan Nasa`i]. Demikianlah
secara singkat mengenai keagungan Mu`adz bin Jabal.
Ketika Mu`adz
berdakwah ke negeri Yaman bersama dengan Abu Musa al-`Asy`ari, Ia mendapat
nasihat berharga dari Rasulullah. Nasihat itu padat dan singkat namun sangat
dalam maknanya bagi mereka yang mengerti hukum dan ingin mengajarkannya pada
orang lain. Rasulullah menasihatinya: yassiru wa lâ tu`assiru(permudah
dan jangan mempersulit), bassyiru wa lâ tunaffiru(berilah kabar
menggembirakan hati, jangan membuat orang lari). Mu`adz sangat memegang betul
nasihat Rasulullah, sehingga sebagai ahli hukum, Ia juga santun, pantaslah jika
banyak orang yang mencintainya, dakwahnya pun terhitung sukses, lebih dari itu
Ia juga pejuang sejati, yang mati dalam usianya yang terhitung muda (yaitu
sekitar 33 tahun, terkena wabh tho`un[lepra]). Apakah Mu`adz tak pernah berbuat
kurang bijak? Tentu saja sebagai manusia Ia pernah melakukan ketidakbijakan
dalam melakukan sesuatu meskipun secara hukum fiqih bisa dikatakan benar.
Pernah suatu ketika, setelah Ia bermakmum Shalat Isya` yang diimami Rasulullah,
Ia pulang dan mengimami kaumnya, tapi waktu itu Mu`adz dilaporkan kepada Nabi
gara-gara bacaan ayat waktu menjadi Imam sangat panjang, sehingga membuat
salahsatu makmum yang tak tahan akhirnya melakukan shalat sendiri, kemudian
melaporkan kejadian ini pada Rasulullah. Sewaktu ketemu, Rasulullah
berkomentar: Fattân Fattân Fattân(Tukang Fitnah, Tukang Fitnah, Tukang
Fitnah). Mu`adz mendapat pengalaman berharga bahwa mengerti hukum saja tidak
cukup, tapi perlu mempertimbangkan sisi-sisi lain dalam menerapkan atau
menyampaikan hukum. Di sinilah pentingnya hukum dibungkus dengan kebijaksanaan
dan kesantunan.
Di negeri
tercinta ini, mungkin banyak yang mengerti hukum, tapi pertanyannya ialah
apakah hukum sudah benar-benar ditegakkan, kalau pun ditegakkan, apa sudah
bijak dan santun?. Masyarakat sangat butuh figur-figur seperti Mu`adz bin Jabal,
yang menguasai dan piawai hukum, tapi tetap menyampaikan, menegakkannya dengan
cara santun, sehingga tak mengherankan jika banyak masyarakat yang kagum. Hukum
memang perlu dan sangat penting ditegakkan, tapi yang lebih penting lagi hukum
harus dibungkus dengan cara yang bijak dan santun. Disampaikan dengan cara
sebijaksana mungkin, dan melalui tahapan-tahapan yang memungkinkan orang untuk
melakukannya secara optimal. Bila tidak demikian, maka jangan heran dan marah
jika, orang yang didakwahi malah benci bahkan memusuhi agama. Akhirnya: HUKUM
memang penting, tapi yang lebih penting lagi, ialah harus dibalut dengan HIKMAH.
Hukum tanpa hikmah hanya akan membuat nilai-nilah agama menjadi mengerikan dan membuat
susah.
Sumengko, Rabu 30 April 2014/20:07
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !