Jam sudah menunjukkan pukul 07.00,
saatnya Sarikhuluk berangkat menuju Pulau Garam, Madura. Ia mendapat kabar
bahwa salah satu gurunya – yang bernama Imron Khozinudin - sedang sakit. Ia ke Pulau Garam pergi sendiri
dan lebih memilih untuk naik bus. Bagi Sarikhuluk, naik bus merupakan suatu pengalaman yang tidak biasa. Ia bisa
melihat langsung bagaimana sifat-sifat dasar manusia ketika di bus. Daripada
melihat beberapa caleg yang terpampang di baliho-baliho, Ia lebih suka
melakukakan ‘wisata hati’ di bus sembari mempelajari watak-watak manusia.
Begitulah Sarikhuluk. Setiap kali bepergian Ia tak mau menyia-nyiakan sedetik
pun apa yang dialaminya. Banyak sekali yang Ia alami di bus. Ia pernah dicopet,
dimarahin orang, diajak berkelahi, berseteru dengan kondiktur, membantu ibu-ibu
yang tiba-tiba pingsan, menggantikan supir yang mendadak sakit, mengantar
wanita yang sedang darurat ingin melahirkan, sesekali Ia juga pernah mengamen
ketika sedang kehabisan uang, dan masih banyak lagi pengalaman yang begitu
memberikan pelajaran berharga baginya. Ia sangat menikmati perjalanan selama di
bus. Di bus Ia mendapatkan pelajaran berharga, yang bisa jadi tidak akan pernah
Ia dapatkan di bangku-bangku sekolah dan kuliah, meski sudah bertahun-tahun.
Selama perjalanan di bus, ada satu
hal yang kali ini menarik perhatiannya. Dari pertama kali berangkat hingga
sampai tujuan, Ia sangat menikmati lagu-lagu yang dibawakan para pengamen. Yang
terutama sebenarnya bukan karena suaranya-karena tak semua suara pengamen
merdu, ada juga yang fales-, tapi biasanya lagu-lagu yang dibawakan itu
bernuansa kemanusiaan, keserdehanaan, kritik sosial, . Lebih dari itu, selama
di bus – ketika berangkat saja - ada sekitar 5 pengamen yang bergonta-ganti
mengais rizki di bus yang Sarikhuluk tumpangi. Ada kalimat yang benar-benar
Sarikhuluk amati betul-betul, yang biasanya kerap kali diucapkan oleh setiap
pengamen baik sebelum atau sesudah menyanyikan lagu yaitu: “Ikhlas bagi anda,
halal bagi kami”. Siapa saja yang pernah naik bus, terutama di Indonesia, pasti
tak asing dengan para pengamen yang mengucamkan kalimat itu. Bagi Sarikhuluk,
kalimat itu jangan sampai hanya menjadi ‘angin lewat’. Ia harus bisa menguak
makna, menyibak pelajaran yang tersimpan di dalamnya. Ia harus mampu
menyelaminya, bukan hanya pada tataran makna yang dangkal, tetapi juga nuansa,
semangat, keadaan yang dialami pengamen ketika mengeluarkan kata-kata itu.
Inilah yang membedakan Sarikhuluk dengan penumpang-penumpang bus lainnya. Ia
menganggap, setiap peristiwa yang dialami di bus merupakan ‘kado Tuhan’ untuk
memberi pelajaran berharga baginya.
Ia berusaha merenungi kalimat:
“Ikhlas Bagi Anda, Halal Bagi Kami”. Kalau dicermati, kandungan maknanya begitu
dalam. Kalimat itu menggambarkan perpaduan antara akhlak dan hukum;
menggambarkan ‘pengawinan’ antara ‘kesadaran hukum’ dengan ‘kesadaran akhlak’;
menggambarkan tentang penyatuan antara ‘tata hukum’ yang bersifat materil,
dengan ‘tata krama’ yang bersifat non-materil. Akhlak diwakili dengan kata, ‘ikhlas’,
sedangkan hukum diwakili dengan kata, ‘halal’. Walaupun tak menjamin bahwa
setiap mereka pasti mengerti dan melakukan apa yang dikatakan, tapi paling
tidak bagi Sarikhuluk mereka lebih jujur dalam mengamalkan kalimat itu,
dibandingkan dengan pejabat-pejabat pemerintah yang koar-koar tentang hukum;
dibanding dengan ustadz-ustadz di TV yang rajin menyerukan akhlak. Di Indonesia
ini, yang ditegakkan baru supremasi hukum, sedangkan akhlak tak pernah menjadi
supremasi. Makanya Sarikhuluk tak heran jika hukum di Indonesia ini gampang
diperjualbelikan, lantaran ‘kesadaran hukum’ tidak berbanding lurus dengan
‘kesadaran akhlak’. Para pengamen ngerti betul bahwa sesulit apapun keadaan
yang dialami, tetap harus dibangun kesadaran dalam batin untuk tetap taat hukum
berupa: mencari rizki harus dengan cara yang halal, jangan sampai mendzalimi
orang lain, jangan sampai meniru para pejabat yang menghalalkan segala cara
untuk mengais rizki. Hukum saja tak cukup, supaya lebih bermakna suatu
pemberian, maka Ia mengingatkan pada para penumpang untuk ‘sadar akhlak’ bahwa ‘ikhlas’
adalah kata kunci yang menjadikan pemberian tak terhenti pada makna wadag,
jasmani tetapi lebih dari itu akan menjadikannya bermakna rohani, ukhrowi.
Kalimat yang diucapkan setiap
pengamen sebagaimana yang Sarikhuluk dengar sebenarnya juga bisa dijadikan
kritik sosial. Mereka saja yang dianggap remeh, hina, marjinal, dan dipandang
sebelah mata, berusaha sedemikian rupa untuk ‘taat hukum’ yang dibuat (hukumnya
juga bukan sekadar hukum buatan manusia tetapi hukum buatan Tuan), dan
‘menjunjung tinggi nilai akhlak’, apalagi para pemimpin, para pejabat negara,
yang notabene lebih terpelajar, berpendidikan, dan terpandang. Tetapi sekali
lagi, kenyataan berkata lain. Terdapat kesenjangan yang sangat tajam diantara
mereka. Apa yang terjadi di negeri tercinta ini malah sebaliknya. Betapa banyak
orang yang mengerti hukum tapi tak mengindahkan dan tak sadar hukum. Hukum
hanya ditegakkan jika menyangkut orang lain, tetapi ketika hukum mengenai
pribadi dan keluarganya, maka hukum menjadi lunak. Betapa banyak orang yang
paham nilai akhlak, tetapi akhlak hanya terbatas pada taraf teori dan tak
benar-benar menjadi kesadaran diri pada masing-masing figur yang notabene
dianggap sebagai tokoh yang mengerti betul tentang akhlak. Melihat fakta yang
demikian memilukan, Sarikhuluk menjadi semakin prihatin sekaligus tertawa lucu.
Ia sangat prihatin karena bila hukum sudah tak ditaati, lalu apakah bisa
dijamin mengenai keamanan rakyat, padahal salah satu kebutuhan pokok rakyat
ialah terwujudnya stabilitas keamanan. Apalah arti kesejahteraan jika tak
beriring rasa aman sentausa. Ia sangat prihatin jika nilai akhlak ditanggalkan
dari batin manusia, maka akan hilang ‘kontrol-kontrol batin’ sebagai penunjang
dari ‘kontrol lahir’(berupa hukum). Kalau keduanya sudah tak ditegakkan maka
apa yang diharapkan dari negara. Ia juga merasa sangat lucu melihat kondisi
ini. Sampai-sampai saking lucunya sampai dia membayangkan bagaimana jika
seandainya para pejabat yang ngamen, kira-kira apa yang akan di katakan sebelum
dan sesudah ngamen. Sarikhuluk berusaha mengarangnya, dan hasilnya seperti ini:
“Melas bagi anda, royal bagi kami”. Artinya: rakyat semakin susah dan melas
karena hartanya dikeruk oleh ‘pengamen-pengamen negara’, ketika harta sudah
didapat maka, difoya-foyakan dan diroyal-royalkan untuk kepentingan pribadi.
Beginilah jika hukum diceraikan dari akhlak, atau keduanya dihilangkan dari
kesadaran batin manusia.
(Tanpa sadar
ternyata karena asyik merenung, Sarikhuluk kebablasan karena sebenarnya yang Ia
tuju ialah Pamekasan, tapi ternyata dia sudah sampai Kali Anget, Sumenep.
Haduuuuh, .... balik poleh ta` iyeh.... peseh poleh).
Sumengko,
Rabu 5 Maret 2014, 06: 18.
menarik .... inspirasi sosial lanjutken
BalasHapus