Siang hari, Kamis 12 Februari 2015,
sepulang dari workshop pemikiran Islam kontemporer di ITS Surabaya, ada
pemandangan miris yang aku jumpai di Jl. Manyar, Sukolilo, Surabaya. Seorang
nenek tua –entah siapa namanya- dalam kondisi bungkuk, berjuang sekuat tenaga
untuk mengais sesuap nasi. Dari kejauhan dibalik kaca mobil, aku bisa melihat
dengan jelas ia sedang menjual kora Jawa Pos. Dengan sangat sabar, telaten, dan
semangat tinggi, ia hampiri satu per satu tiap mobil untuk menjajakan
dagangannya. Melihat fenomena tersebut, hati terenyuh. Nenek setua itu, masih
berjuang sekuat tenaga untuk bekerja.
Berbagai pertanyaan pun memenuhi
otakku. “Kenapa pada usia setua itu, ia bekerja? Di mana keluarganya? Bagaimana
sikap pemerintah setempat ketika melihat kejadian itu?” Uniknya, ia tidak
menjadi pengemis walau sebenarnya ia sangat layak mengemis. Ia memilih untuk
berdiri di atas kaki sendiri. Dari auranya terlihat ketegaran, kekuatan,
ketahanan yang sangat sulit –kalau tidak boleh dikatakan mustahil- ditiru oleh
anak-anak jaman sekarang yang manja, alay dan lebay. Di usia yang semestinya
pensiun, dan istirahat di rumah, ia malah berjibaku dengan keadaan, untuk
bertahan hidup di luar. Merupakan cambukan luar biasa baik bagi aku pribadi,
masyarakat bahkan pemerintah.
Aku berpikir sejenak, menembus
lorong waktu. Apa jadinya jika pemandangan seperti ini dilihat oleh Khalifah
Umar bin Khattab? Pada zamannya saja –tanpa
disuruh- ia rajin melakukan blusukan di malam hari untuk memeriksa
kondisi rakyatnya yang masih dalam kondisi melarat, apalagi jika melihat
kondisi yang sedemikian terang seperti yang aku lihat hari ini? Di mana nurani
manusia modern tersimpan, ketika melihat kejadian seperti ini? Ah, semakin tidak aku pahami saja logika orang
modern. Padahal secara normatif, Nabi pernah mengingatkan: “Bukan dari golongan
kami orang yang tidak memuliakam orang tua renta”. Ini menjadi semacam nasihat
bagi setiap jiwa yang masih hidup nuraninya, untuk segera membantunya.
Aku tak berdaya di hadapannya. Aku
hanya bisa terenyuh, tanpa bisa membantu; hanya bisa kasihan, tanpa ada
bantuan; hanya bisa meratapi, tanpa ada solusi. Sejauh yang aku bisa untuk
sementara ini, hanyalah mereguk hikmah dari sekilas perjalanannya. Pertama, kondisi
sesulit apapun bukan alasan untuk menyerah dan berpangku tangan. Kedua,
hidup melarat tapi mandiri, jauh lebih mulia dari pada hidup mewah, tapi
bergantung pada orang tua. Dalam Islam, ada ajaran: “Tangan di atas lebih baik
daripada tangan di bawah”. Sebuah ajaran luar biasa yang menempa orang untuk
memberi, daripada meminta-minta. Ketiga, selama manusia berusaha dengan
keras, Allah pasti menunjukkan jalannya. Keempat, sebagai kritik sosial.
Adanya orang seperti ini, tanpa ada peran nyata dari pemerintah, maka sesukses
apapun pembangunan negara, akan sia-sia jika dibangun tanpa nurani. Kelima,
jangan sampai kita membiarkan orang tua kita dalam kondisi seperti itu. Minimal
dimulai dari keluarga, kemudian orang lain.
Bila hati tak terenyuh dengan
kejadian ini, maka masihkah tersisa dalam benak anda rahma Tuhan? Jadikanlah
ini sebagai peringatan. Karena pada dasarnya, pertolongan Allah kebanyakan
muncul dari orang-orang lemah sepertinya. Wallahu a`lam bi al-shawab.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !