Home » » Mereguk Hikmah dari Nenek Bungkuk

Mereguk Hikmah dari Nenek Bungkuk

Written By Amoe Hirata on Jumat, 13 Februari 2015 | 07.33

            Siang hari, Kamis 12 Februari 2015, sepulang dari workshop pemikiran Islam kontemporer di ITS Surabaya, ada pemandangan miris yang aku jumpai di Jl. Manyar, Sukolilo, Surabaya. Seorang nenek tua –entah siapa namanya- dalam kondisi bungkuk, berjuang sekuat tenaga untuk mengais sesuap nasi. Dari kejauhan dibalik kaca mobil, aku bisa melihat dengan jelas ia sedang menjual kora Jawa Pos. Dengan sangat sabar, telaten, dan semangat tinggi, ia hampiri satu per satu tiap mobil untuk menjajakan dagangannya. Melihat fenomena tersebut, hati terenyuh. Nenek setua itu, masih berjuang sekuat tenaga untuk bekerja.
            Berbagai pertanyaan pun memenuhi otakku. “Kenapa pada usia setua itu, ia bekerja? Di mana keluarganya? Bagaimana sikap pemerintah setempat ketika melihat kejadian itu?” Uniknya, ia tidak menjadi pengemis walau sebenarnya ia sangat layak mengemis. Ia memilih untuk berdiri di atas kaki sendiri. Dari auranya terlihat ketegaran, kekuatan, ketahanan yang sangat sulit –kalau tidak boleh dikatakan mustahil- ditiru oleh anak-anak jaman sekarang yang manja, alay dan lebay. Di usia yang semestinya pensiun, dan istirahat di rumah, ia malah berjibaku dengan keadaan, untuk bertahan hidup di luar. Merupakan cambukan luar biasa baik bagi aku pribadi, masyarakat bahkan pemerintah.
            Aku berpikir sejenak, menembus lorong waktu. Apa jadinya jika pemandangan seperti ini dilihat oleh Khalifah Umar bin Khattab?  Pada zamannya saja –tanpa disuruh- ia rajin melakukan blusukan di malam hari untuk memeriksa kondisi rakyatnya yang masih dalam kondisi melarat, apalagi jika melihat kondisi yang sedemikian terang seperti yang aku lihat hari ini? Di mana nurani manusia modern tersimpan, ketika melihat kejadian seperti ini?  Ah, semakin tidak aku pahami saja logika orang modern. Padahal secara normatif, Nabi pernah mengingatkan: “Bukan dari golongan kami orang yang tidak memuliakam orang tua renta”. Ini menjadi semacam nasihat bagi setiap jiwa yang masih hidup nuraninya, untuk segera membantunya.

            Aku tak berdaya di hadapannya. Aku hanya bisa terenyuh, tanpa bisa membantu; hanya bisa kasihan, tanpa ada bantuan; hanya bisa meratapi, tanpa ada solusi. Sejauh yang aku bisa untuk sementara ini, hanyalah mereguk hikmah dari sekilas perjalanannya. Pertama, kondisi sesulit apapun bukan alasan untuk menyerah dan berpangku tangan. Kedua, hidup melarat tapi mandiri, jauh lebih mulia dari pada hidup mewah, tapi bergantung pada orang tua. Dalam Islam, ada ajaran: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. Sebuah ajaran luar biasa yang menempa orang untuk memberi, daripada meminta-minta. Ketiga, selama manusia berusaha dengan keras, Allah pasti menunjukkan jalannya. Keempat, sebagai kritik sosial. Adanya orang seperti ini, tanpa ada peran nyata dari pemerintah, maka sesukses apapun pembangunan negara, akan sia-sia jika dibangun tanpa nurani. Kelima, jangan sampai kita membiarkan orang tua kita dalam kondisi seperti itu. Minimal dimulai dari keluarga, kemudian orang lain.

            Bila hati tak terenyuh dengan kejadian ini, maka masihkah tersisa dalam benak anda rahma Tuhan? Jadikanlah ini sebagai peringatan. Karena pada dasarnya, pertolongan Allah kebanyakan muncul dari orang-orang lemah sepertinya. Wallahu a`lam bi al-shawab.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan