Home » » Wisata Religi di Dāru al-Aitām

Wisata Religi di Dāru al-Aitām

Written By Amoe Hirata on Jumat, 27 Februari 2015 | 05.47


          Biasanya, ‘wisata religi’ oleh kebanyakan orang dimaknai sebagai perjalanan menziarahi para wali dan ulama-ulama besar. Namun, aku sendiri mempunyai makna tersendiri terkait dengan ‘wisata religi’. Bagiku, ‘wisata religi’ adalah wisata yang membangkitkan girah keberagamaan seorang hamba sehingga bisa menjadi lebih dekat dengan Tuhan, menambah iman, dan bermanfaat baik bagi pribadi maupun orang lain.
            Konsekuensi dari pengertian tersebut menjadikan ‘wisata religi’ tidak tergantung kepada obyek wisata, tapi pada bagaimana mencari dan menggali makna dari berbagai obyek wisata, sehingga bisa menumbuhkan kesadaran bagi jiwa. Jadi, apapun obyek wisatanya, kalau mampu digali maknanya kemudian melahirkan kesadaran jiwa sehingga menjadikan keagamaannya lebih baik dari sebelumnya, maka berarti itu bisa dinamakan ‘wisata religi’.
            Ada beberapa nas al-Qur`an –yang aku anggap- sangat representatif dijadikan sebagai dalil perlunya ‘wisata religi’ dalam pengertian seperti yang aku ungkap di atas. Sebagai contoh: Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(Qs. Al-Ankabut: 20).
            Ayat yang semisalnya ada di: Ali Imran: 137, Al-An`am: 11, An-Nahl: 36, An-Naml: 69, Rum: 42. Pada semua ayat tersebut, kata perintah ‘sīrū’(berjalanlah kalian), selalu beriring kata ‘fanḍuru’(lihat/perhatikanlah). Secara eksplisit, perjalanan apapun bentuknya, bila tak diiringi dengan pengambilan pelajaran, maka bisa dikatakan sebagai perjalanan yang sia-sia. Karena itulah, meskipun obyek wisatanya terkesan religi, namun  isa tidak menjadi religi jika orang yang berwisata hanya sekadar wisata.
           
 Wisata yang akan saya catat pada tulisan ini ialah wisata religi di Dāru al-Aitām, Garut. Lembaga ini adalah bagian penting dari pondok pesantren Darus Salam Garut. Ketika shubuh, aku pergi ke mushalla al-Rahmah menunaikan shalat. Di situ aku melihat anak-anak kecil yang berbaris rapi menunaikan shalat. Dari usianya, terlihat sangat variatif. Ada yang sangat kecil, ada pula yang lumayan besar sekitar sepuluh tahunan. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana anak sekecil itu sudah tidak berayah dan beribu.
            Kondisi ini membuat pikiranku menelusuri masa silam, menembus masa yang menggambarkan sosok manusia paling agung, Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Ternyata, ia juga terlahir yatim.  Dipikir-pikir, ternyata yatimnya beliau sangat berarti bagi kita, umat Islam. Paling tidak ada beberapa pelajaran berharga yang dapat diambil darinya: Pertama, mengasah rasa belas kasihan terhadap anak yatim. Kedua, ilmunya tidak didapat dari manusia. Ketiga, yatim bukan sebagai penghalang untuk menjadi orang sukses. Keempat, yatim sebagai peluang, bukan kemalangan. Kelima, mendorong para dermawan untuk membantu dan memberdayakan mereka.
            Ketika aku berkunjung di lembaga Dāru al-Aitām ini, rasa optimis begitu memenuhi alam pikir dan jiwaku. Mereka ini calon orang-orang besar di masa depan. Guru tahfidz sudah disediakan dari negeri Arab langsung, Yaman. Sarana dan prasarana terjamin. Mereka hanya sekolah dan menghafal al-Qur`an. Tinggal menunggu takdir dari-Nya, jika calon mujahid-mujahid kecil ini mampu dikawal dan dididik dengan baik, maka akan lahir generasi baik.
            Ada beberapa pelajaran berharga yang dapat diambil dari ‘wisata religi’ Dāru al-Aitām. Di antaranya: Pertama, bagi anda yang memiliki orang tua yang masih lengkap, tanamkan kepedulian dalam jiwa untuk membantu mereka. Kedua, keyatiman berpeluang besar membentuk orang besar. Ketiga, perlu ada kerjama yang sistematis dan strategis untuk mengayomi dan mendidik mereka agar tidak menjadi generasi sia-sia. Keempat, sebagai upaya religius untuk mendekatkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya. Kelima, sebagai cambuk sosial pada setiap jiwa agar peka terhadap permasalahan umat, sehingga mampu mencari solusi terbaik. Bukankah ada ungkapan: “Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan umat Musli, maka ia bukan bagian dari mereka”. Wallahu a`lam bi al-Shawab.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan