Kematian merupakan kemestian. Siapa saja dan apa saja pasti akan merasakan mati. Baik orang beragama maupun tidak, kalau sudah membicarakan tema “kematian” pasti akan sepakat bahwa kematian itu mutlak terjadi. Kematian menggambarkan akhir dari titik perjuangan dunia. Kematian merupakan detik-detik yang menentukan seseorang akan mendapat penghargaan apa kehinaan. Sangat jarang orang yang bermimpi bagaimana seharusnya kelak ia mati, karena yang terbayang jika disebut kata ‘kematian’ yang ada di benaknya hanyalah rasa takut dan ngeri. Padahal pada batas tertentu kita sebenarnya bisa merencanakan jauh-jauh hari kita mati dalam kondisi apa dan bagaimana. Namun ini sama sekali tidak menentang takdir Tuhan, manusia hanya bisa berdoa pada Tuhan agar dimatikan dalam kondisi yang terbaik. Sebagai muslim tentu saja menginginkan mati dalam kondisi khusnul khatimah(akhir yang baik). Supaya kematian tidak hanya sekadar sebagai sesuatu yang menakutkan dan mengerikan, maka kematian seharusnya dijadikan sebagai ‘kesadaran diri’. Setiap kali melakukan sesuatu hendaknya dipikir terlebih dahulu bahwa apa yang dilakukan ada kaitannya dengan kematian terbaiknya?. Alangkah indahnya jika kita mati dalam kondisi syahid, di mana banyak sekali yang mengantar jenazah kita ke pemakaman dengan derai air mata kehilangan. Laiknya ulama-ulama besar semacam ibnu Taimiyah, ibnu Jauzi, ibnu Qayyim, ibnu Hajar dan lain sebagainya yang diantarkan oleh beribu-ribu orang.
Coba kita luangkan waktu sejenak untuk melihat pada lembaran sejarah emas sahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Mereka merupak generasi yang sama sekali tidak takut mati. Mereka punya pendirian: “mengapa kita takut mati sedangkan kematian itu pasti, yang terpenting ialah apa yang kita persiapkan sebelum kematian datang”. Maka jangan heran jika pada lembaran sejarah emas mereka banyak didapati orang yang bukan hanya tak takut sama mati, namun menjadikan kematian sebagai kerinduan; menjadikan kematian sebagai pelipur lara dunia yang sungguh fana. Diantara mereka sangat rindu dengan kematian. Bukan sekadar kematian tapi kematian yang luar biasa yaitu mati ‘syahid’. Ada yang ingin mati di medan perang, ada yang ingin mati ketika berdakwah, ada yang ingin mati ketika bersama Rasulullah, ada yang ingin mati di majlis ilmu. Kesemuanya terangkum dalam ‘mati syahid’. Mereka hanya bisa merencanakan kematian, tetapi yang menentukan hanyalah Tuhan. Khalid bin Walid misalnya, ia sangat mendabakan mati syahid di medan jihad, dan berpuluh-puluh peperangan yang ia ikuti dan mendapat kemengan gemilang, namun ternyata ia mati bukan di medan perang tapi di ranjang. Abu Bakar pun mati sakit di ranjang. Umar, Utsman dan Ali mati dibunuh musuh. Apapun dan bagaimanapun cara kematiannya, mereka sepakat untuk mendambakan ‘mati syahid’, sehingga mati dalam kondisi apapun asalkan ada niatan untuk mendapat kesyahidan maka itu adalah impian ideal.
Coba kita luangkan waktu sejenak untuk melihat pada lembaran sejarah emas sahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Mereka merupak generasi yang sama sekali tidak takut mati. Mereka punya pendirian: “mengapa kita takut mati sedangkan kematian itu pasti, yang terpenting ialah apa yang kita persiapkan sebelum kematian datang”. Maka jangan heran jika pada lembaran sejarah emas mereka banyak didapati orang yang bukan hanya tak takut sama mati, namun menjadikan kematian sebagai kerinduan; menjadikan kematian sebagai pelipur lara dunia yang sungguh fana. Diantara mereka sangat rindu dengan kematian. Bukan sekadar kematian tapi kematian yang luar biasa yaitu mati ‘syahid’. Ada yang ingin mati di medan perang, ada yang ingin mati ketika berdakwah, ada yang ingin mati ketika bersama Rasulullah, ada yang ingin mati di majlis ilmu. Kesemuanya terangkum dalam ‘mati syahid’. Mereka hanya bisa merencanakan kematian, tetapi yang menentukan hanyalah Tuhan. Khalid bin Walid misalnya, ia sangat mendabakan mati syahid di medan jihad, dan berpuluh-puluh peperangan yang ia ikuti dan mendapat kemengan gemilang, namun ternyata ia mati bukan di medan perang tapi di ranjang. Abu Bakar pun mati sakit di ranjang. Umar, Utsman dan Ali mati dibunuh musuh. Apapun dan bagaimanapun cara kematiannya, mereka sepakat untuk mendambakan ‘mati syahid’, sehingga mati dalam kondisi apapun asalkan ada niatan untuk mendapat kesyahidan maka itu adalah impian ideal.
Pernahkah anda mendengar sahabat yang dikenal dengan sebutan Abu Tsa`labah Al-Khusyna? Mungkin jarang sekali yang mendengar atau bahkan sama sekali belum mendengar. Berkaitan dengan kematian, ada kisah menarik berkaitan dengan beliau. Ketika membicarakan kematian pada rekan-rekannya, ia berujar: Sesungguhnya aku benar-benar menginginkan Allah mematikanku tidak seperti mematikan kebanyakan kalian. Kematian dengan cara apa gerangan yang diinginkan oleh Abu Tsa`labah? Dalam kitab siyarul A`lam an-Nubala` karya Imam ad-Dzahabi disebutkan bahwa Abu Tsa`labah berharap pada Allah agar ia dimatikan dalam kondisi sujud. Apakah permintaannya dikabulkan?. Ya, Allah mengabulkannya. Ketika ia sedang menunaikan shalat Malam, ia meninggal dalam kondisi sujud. Ketika malam, putrinya bermimpi bahwa ayahnya telah meninggal, seketika itu juga ia bangun. Lantas ia panggil ibunya: “di mana ayah bu?”. Ibunya menjawab: “ayahmu di mushallanya”. Lalu dengan segera putrinya memanggil Abu Tsa`labah, tetapi Abu Tsa`labah sama sekali tak menjawabnya. Berbegas ia bangunkan ayahnya ternyata ayahnya sudah meninggal dunia. Masyaaallah, alangkah bahagianya Abu Tsa`labah meninggal dunia sesuai dengan apa yang diinginkannya, kelak ketika hari Kebangkitan tiba, ia akan dibangkitkan dalam kondisi sujud. Ia telah mendapatkan khusnul khatimah (akhir –kematian- yang baik).
Setelah membaca kisah-kisah sahabat Nabi berkaitan dengan kematian, lantas apakah kita akan menyikapi kematian sebagaimana kebanyakan orang? Kebanyakan orang hanya menakutinya. Padahal kalau dihadapi dengan ketakutan maka orang akan semakin berusaha melupakan dan menjauhinya. Orang yang takut mati, sejatinya telah dijangkiti penyakit wahn sebagaimana khabaran Nabi Muhammad shallallahu`alaihi wasallam. Cinta dunia dan takut mati merupakan penyakit kronis yang dapat menggerogoti iman seseorang. Semakin otang takut mati maka ia akan menjauhi kematian dan akan semakin cinta dunia, semakin dunia dicintai maka orang akan semakin malas untuk mempersiapkan bekal kematian. Kebanyakan orang di dunia ini mengumpulkan, mencari, menghimpun sesuatu yang sejatinya tak bakal dibawa mati, padahal kematian itu pasti. Ada riwayat yang menjelaskan: Orang yang cerdas ialah orang yang mampu melakukan evaluasi diri dan menundukkan nafsunya dan melakukan amalan sebagai bekal setelah mati, sedangkan orang lemah dan bodoh ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan pada Allah. Sekarang pilihan di tangan anda. Anda mau jadi orang cerdas apa menjadi orang pandir. Muslim yang cerdas akan merencanakan, mempersiapkan, berdo`a sedemikian rupa untuk menghadapi datangnya mati. Sedangkan muslim yang dungu ialah muslim yang selalu mengikuti hawa nafsu sehingga takut pada kematian bahkan lupa untuk mempersiapkan amal ketika ia tiba. Kesadaran akan kematian, dan perencanaan akan kematian akan berpengaruh besar pada langkah hidup kita menuju kematian khusnul khatimah. Kematian yang didambakan setiap orang ketika dijemput malakul maut(malaikat maut) menuju kehidupan yang abadi. Akhir yang baik merupakan titik final dan penentuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wallahu a`lam bis shawab.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !